• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Pemberian Kepada Anak-anak

BAB III PANDANGAN ISLAM MENYIKAPI KEKERASAN DALAM

C. Perlakukan Kekerasan Terhadap Anak di Dalam Islam

2. Perbedaan Pemberian Kepada Anak-anak

Seoarang ayah harus menyamakan antara anak-anaknya dalam permberian,

sehingga dengan demikian mereka akan berbuat baik kepada ayah dengan sama.

Di samping itu seorang ayah dilarang mengistimewakan pemberiannya

kepada salah seorang diantara mereka tanpa ada suatu kepentingan yang sangat.

Sebab yang demikian itu akan menjengkelkan hati yang lain. Dan akan mengobarkan

api permusuhan dan kebencian sesame merka. Ibu dalam hal ini sama dengan ayah..

Rasulullah s.a.w bersabda sebagai berikut: “Berlaku adillah kamu terhadap

anak-anakmu.’ 3 kali” {HR. Ahmad, Nasai dan Abu Daud.}.

40

40

BAB IV

GAMBARAN UMUM PELAKU DAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP

ANAK DALAM RUMAH TANGGA

A. Identitas Keluarga Korban

Gambaran Identitas korban kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak

sangat penting diketahui. Hal ini untuk melihat sejauh mana perbedaan dan

persamaan identitas pada masing-masing kasus berangkat dari pengetahuan identitas

masing-masing kasus, penelitian akan semakin utuh dalam menjelaskan kekerasan

dalam rumah tangga terhadap anak kasusunya, pada tabel 3 di bawah ini dijelaskan

identitas keluarga korban pada masing-masing rumah tangga.

Tabel 1. Identitas Keluaraga Korban

Informan Agama Etnis Jumlah Anak

Kasus 1 Islam Betawi 2 orang laki-laki

Kasus 2 Islam Sunda 1 Orang anak Perempuan

Kasus 3 Islam Betawi 2 Orang Anak Perempuan

Kasus 4 Islam Jawa 1 Orang Anak Laki-laki

Kasus 5 Islam Jawa 1 Orang Anak Perempuan

Berdasakan karakteristik agama, pelaku dan korban kekerasan semuanya

beragama Islam. Sejak lahir mereka sudah memeluk agama Islam. Para orang tua

mereka semuanya, menganut agama Islam jadi memeluk agama Islam berdasarkan

keturunan. Sedangakan berdasarkan etnis pelaku dan korban dari etnis dan

berbeda-beda. Pada etnis betawi, sunda, jawa, masing-masing ada yang menjadi pelaku tindak

kekerasan rumah tangga terhadap anak dan sekaligus korban kekerasan rumah tangga.

Atas dasar tersebut walapun dalam penelitian ini hanya tiga etnis yang menjadi

subjek penelitian yaitu: Betawi, Sunda dan Jawa, kekerasan dalam rumah tangga

terhadap anak dapat terjadi setiap hari di setiap etnis apapun.

Karateristik keluarga berdasarkan jumlah anak yang terkena kekerasan dalam

rumah tangga berbeda-beda, ada yang dua orang di setiap etnis misalnya pada kasus

ketiga terjadi pula tindak kekerasan. Hal serupa juga terjadi pada keluarga yang

memiliki satu orang anak misalnya pada kasus pertama memiliki dua orang anak.

Berdasakan fakta tersebut , hal ini menunjukan bahwa pelaku dan korban kekerasan

anak dalam rumah tangga dapat menimpa setiap keluarga yang memiliki jumlah anak

yang berbeda-beda anak laki-laki maupun perempuan. oleh karena itu jumlah anak

dalam keluarga tidak dapat mengerem tindakan kekerasan terhadap anak dalam

rumah tangga.

41

Karena sistem perlindungan untuk anak masih lemah dan advokasi masalah

41

Tangerang 10 Februari 2008, Komnas HAM Dan Perlindungan Anak Dalam Rumah Tangga Dan Masyarakat, Riset, Wawancara, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Desa Gandaria Rt5 Kecamatan Mekar Baru Tangerang Banten 2008.

tersebut seolah jalan ditempat, maka kita perlu berpikir kreatif. Antara lain, kita perlu

memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan para pelaku kekerasan untuk

memberikan pendidikan masyarakat. Kiat ini tentunya akan menuai kontroversi. Bagi

saya pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang yang sering kali tidak

mampu mengatasi nasibnya sendiri untuk menjadi warga masyarakat yang baik.

Mereka, sebagaimana kriminal yang lain juga. Dalam perjalanan hidupnya

kemungkinan besar pernah menjadi korban. Pada saat itu tak seorangpun datang

untuk menolong mereka sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan keyakinan

bahwa kemalangan itu dan segala kekerasaan yang diterimanya memang menjadi

bagian dan hidupnya.

Bantuan sosial-psikologis terhadap pelaku kekerasan dalam persoalan KDRT,

seharusnya menjadi bagian integral dalam prevensi primer dan sekunder. Melalui

bantuan seperti itu, kita mencegab mereka mengulang tindakannya. Selain itu,

beberapa di antaranya mungkin dapat diberdayakan untuk keluar dari stigmatisasi

masyarakat dan siksaan batinnya untuk membantu orang lain agar tidak melakukan

kekerasan pada anak. Mereka adalah sumber yang dapat dipercaya karena mereka

pernah dalam keadaan emosional dan mental yang menjadikan mereka tidak lebih

baik dari binatang. Mereka adalah manusia-manusia yang pernah bersentuhan dengan

bagian yang paling gelap dan sifat kemanusiaan mereka. Jika pengalaman mereka

dapat direkonstruksi menjadi energi positif untuk mengatasi masalah yang amat

kompleks dan sulit ini, bukankah ini jauh lebih baik dari pada tenggelam dalam

lingkaran setan hukuman dan kekerasan. Jika rasa bersalah atau kemarahan yang ada

pada pelaku kekerasan dapat kita kemas ulang menjadi kepedulian dan tanggung

jawab, yang Iebih dari cukup dari kekejamannya. Bersamaan dengan itu, kita jelas

harus membangun sistem perlindungan yang betul-betul Mari kita renungkan

bersama.

42

.

Berkat dan anugerah Tuhan yang dititipkan kepada kita. Dan semestinya

negara dalam tanggung jawabnya secara politis dan yuridis yang diamanatkan

konstitusi dasar, tidak membiarkan dan menyerahkan begitu saja tanggung jawab

perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak anak terhadap masyarakat dan

keluarga. Sementara negara masih enggan menempatkan posisi anak-anak dalam

kebijakan pembangunan sejajar dengan isu politik dan ekonomi. Kebijakan-kebijakan

pemerintah dalam menjawab derita anak-anak, khususnya anak yang membutuhkan

perlindungan khusus, sering kali menempatkan anak sebagai persoalan domestic

43

.

Padahal Persoalannya bukan menyangkut kondisi saat ini saja yang

menyakitkan, tetapi juga penderitaan anak yang menjadi korban kekerasan itu kerap

berkepanjangan. Ada yang menderita tekanan fisik dan cacat, juga ada yang terbawa

sepanjang hidupnya yang menjelma menjadi trauma. Anak-anak yang menjadi korban

kekerasan akan mengalami nasa ketidaksadaran dan konflik batin yang hebat.Dalam

kompleksitas kehidupan sosial, bisa dipastikan ada banyak hal yang mempengaruhi

terjadi berbagai bentuk dan jenis kekerasan pada anak-anak. Di satu sisi ada yang

berkaitan dengan budaya, yang kemudian memunculkan istilah budaya kekerasan, di

42

Hasan Hanafi. “ Agama Kekerasan Dan Islam Kontemporer”. Jakarta: Jendela, 2001. H. 7.

43

LBH. Apik Lembaga Bantuan Hukum , Perlindungan Anak Sebagai Upaya Menghapus Tindak Kekerasan Atas Anak . Jakarta: LBH 2004. H.1

sisi lain ada yang bertalian dengan struktur dan relasi kekuasaan.

44

Fakta dan data di atas dan untuk menghadapi persoalan pelanggaran hak anak,

semua pihak sebagai tanggung jawab berbangsa dan bernegara patut terus mendorong

pemerintah sebagai penyelenggara mengambil langkah- langkah dalam upaya

menimalisir tindak kekerasan terhadap anak, Pertama, menjauhkan budaya

kekerasan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, dan menyatakan

bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua,

menjadikan program perlindungan Anak di Indonesia sebuah program prioritas bagi

pemerintah dalam menjawab komitmen negara sebagai negara peserta yang

meratifikasi Konvensi Hak Anak dan pelaksanaan UU No 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Ketiga, mengeluarkan kebijakan Negara yang bersifat teknis

dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak kekerasan , diskriminasi, dan

perlakuan.

45

B. Identitas Pelaku Tindak Kekerasan Terhadap Anak

Tabel 2 identitas tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak-anak.

Informan Usia Pendidikan Pekerjaan Penghasilan

Kasus 1 38 SD Pedagang Rp. 200.000

Kasus 2 42 SD Petani Rp. 30.000

44

LBH Apik Lembaga Bantuan Hukum. “ Hak Pemeliharaan Dan Status Kewarganegaraan Dan Anak Setelah Putusnya Perkawinan Campuran Selembaran LBH Jakarta 2004. H. 42.

45

LBH APIK Lembaga Bantuan Hukum “ Perlindungan Anak Sebagai Upaya Menghapus Tindak Kekerasan Atas Anak. Selembaran LBH Jakarta: h. 2,

Kasus 3 25 SI PNS Rp. 500.000

Kasus 4 28 SMA Pedagang Rp. 200.000

Kasus 5 53 SMP Pegawai Biasa Rp. 500.000

Sumber:Diolah dari hasil wawancara

Berdasarkan kniteria pendidikan satu kasus SD, Sekolah Dasar, SMA Sekolah

Lanjutan Tingkat Atas, Pendidikan Sarjana, pelaku kekerasan rumah tangga yang di

lakukan kepada anak dan di lakukan oleh kedua orang tua asuh dengan alasan untuk

mendisiplinkan, dengan cara yang berbeda-beda dan di lihat dari penghasilan yang

berbeda-beda Termasuk kekerasan kategori agak berat dan berat antara lain diminta

bekerja tanpá mengenal waktu untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.

Bahkan yang sangat memilukan adalah kenyataan, Perlindungan Anak

Sebagai Upaya Menghapus Tidak sedikit anak-anak yang semestinya menikmati

keriangan dunia bermain bersama temannya dijual dan dijadikan pekerja seks

komersial. Di sekolah anak-anak yang kurang pandai atau prestasinya tertinggal dari

temannya serta mendapat cap “nakal” sering diperlakukan kurang layak oleh gurunya.

Ada yang dilecehkan dengan sebutan atan perlakuan yang bersifat merendahkan dan

bagi yang dianggap “nakal” memperoleh hukuman. Para orang tua dan guru yang

melakukan kekerasan itu mungkin tidak menyadari tindakannya bisa berdampak

panjang bagi si anak. Pelecehan dan hukuman akan membekas pada benak si anak

dan bisa mempengaruhi perkembangan kejiwaannya. Berdasarkan lima kasus yang di

temukan besar Rp. 500.000 dan kecilnya Rp. 30.000 penghasilan kedua orang tua

tidak dapat menghentikan sebagai pelaku tindak kekerasan rumah tangga terhadap

anak

46

C. Identitas Korban Kekerasan Terhadap Anak

Keriteria Korban Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang ditemukan

pada lima kasus ini ternyata berbeda-beda, hal ini dapat di lihat pada tabel 3

Informan Usia Pendidikan Tingkatan anak Akibatnya

Kasus 1 16 SD 3 Cacat Fisik

Kasus 2 14 SD 2 Cacat Fisk

Kasus 3 15 SD 1 Patah Tulang

Kasus 4 12 SD 2 Pemerkosaan

Kasus 5 17 SMP 1 Gangguan Jiwa

Berdasarkan temuan di lapangan , keriteria para anak yang jadi korban

kekerasan anak menunjukan usia pada masih dini dan masih terhitung belum

mengerti apa-apa antara anak laki-laki dan perempuan, dan berdasarkan pendidikan

mereka masih menginjak SD, Dan Juga SMP, dan yang paling banyak mengalami

kekerasan adalah anak perempuan sering kali mereka Dipukul, dijambak, ditendang,

46

LBH Jakarta, Nobik Apik Lembaga Bantuan Hukum “ Sindikat Perdagangan Anak Perempuan Selembaran LBH 2004 Jakarta, h. 4 Data dari wawancara 10 Februari 2008 Desa Gandaria rt 01 rw 05 Tangerang Banten

diinjak, dicubit, dicekik, dicakar, ditempel besi panas, dipukul dengan karet timba,

dijewer dan lain sebagainya. Akibat tindakan yang tidak terpuji itu, akan membawa

dampak pada si kecil, seperti kematian. Menghambat pertumbuhan dan

perkembangan anak. Mempengaruhi kesehatan anak. Mempengaruhi kemampuan

untuk belajar dan kemauannya untuk bersekolah. Mengakibatkan anak lari dari

rumah. Menghancurkan rasa percaya diri anak. Dapat mengganggu kemampuannya

untuk menjadi orang tua yang baik di kemudian hari. Di antara rutinitas itu terlihat

pemandangan yang tak enak.

Seringkali terjadi kasus seorang ayah mencabuli anak kandungnya yang

mempunyai keterbelakangan mental. Jika si ayah sudah puas, untuk menghindani

jejaknya, si ayah yang biadab ini mengancam kepada putrinya yang masih belia.

Ayah yang tidak mempunyai perikemanusiaan ini akan membunuh bocah

perempuannya jika memberitahu kejadian yang baru saja dilakukannya. Hal ini

kesetaraan antara pendidikan SD, SMP tidak dapat mengerem tindakan kekerasan

yang di lakukan oleh orang tua.

47

Tentunya sebagai orangtua harus memandang anak sebagai amanah dan

karunia Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai potensi dan generasi penerus cita-cita dan

eksistensi bangsa dan negeri. Serta sebagai dambaan dan penerus keluarga.Anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Termasuk kategori anak juga bisa

47

LBH Apik Lembaga Bantuan Hukum “ Perlindungan Anak Sebagai Upaya Menghapus Tindak Kekerasan Atas Anak , Selembaran LBH Jakarta 2004. h. 2

dikatakan masih dalam kandungan.

48

Hak anak adalah bagian integral dari Hak Asasi Manusia yang wajib dijamin,

dilindungi, dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemenintah dan

negara.Anak mempunyai hak dasar yang harus diperhatikan, yakni, hak untuk hidup.

Yakni hak untuk mendapatkan identitas diri dan status kewanganegaraan. Hak untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan jasmani dan rohani. Hak untuk beribadah menurut

agama dan keyakinan yang dianut. Selain anak mempunyai hak untuk hidup, anak

juga mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang.

49

Meliputi, hak untuk

beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, berkreasi dan bergaul dan hak

mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Tak hanya itu, anak juga mempunyai

hak berpartisipasi, diantaranya, hak untuk dinyatakan dan didengar pendapatnya. Hak

mendapat, mencari dengan tingkat kecerdasan seusianya. Dan yang terakhir anak juga

harus mendapatkan hak untuk mendapatkan perlindungan. Sebagai contoh,

perlindungan dari tindakan eksploitasi, penelantaran, kekerasan, dan penganiayaan

serta perlakuan salah lainnya. Tindak kekerasan yang terjadi pada anak setiap hari

jutaan anak yang ada di dunia di eksploitasi, disiksa dan merupakan korban tindak

kejahatan yang dilakukan orang dewasa.

50

48

Drs. Rahmat. A, Tata Negara, Bandung: Mizan Ganeca Exacet1996. h. 154

49

Praf. Dr.Isrnail Suniy,Sh., Penggeseran Kekuasaan Ekcekut: Jakarta:Aksara Baru 1986,h 20

50

Ka Seto, Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga Di Jakarta Tahun 2001-200 Dan Hak nAnak Dalam Rumah Tangga, WWW. Googel Com. Komnas HAM, Bagian Kekerasan Rumah Tangga, LBH, h. 1.

BAB IV

ANALISA KEKERASAN RUMAH TANGGA TERHADAP ANAK

A. Faktor Yang Menyebabakan Kekerasan Didalam Rumah Tangga Terhadap Anak

Anak menilai faktor ekonomi sebagai pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. “Kemiskinan menyumbang stres terhadap orang tua yang kemudian melampiaskan ke anak, korban kekerasan terhadap anak. Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang semakin meningkat, kemarahan terhadap pasangan dan ketidak berdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak. Diperparah dengan berbagai kebijakan pembiaran yang dilakukan negara terhadap pelanggaran hak anak.

Kejadian seperti busung Iapar, polio, demam berdarah, anak terlantar, anak putus sekolah sampai pada kenaikan BBM merupakan sebagian daftar panjang kebijakan negara yang semakin mempersulit kehidupan masyarakat menengah bawah. Untuk itu pemerintah mendesak untuk benar-benar melaksanakan kewajibannya dalam mcnghentikan kekerasan,

penelantaran. diskriminasi dan eksp1oitasi terhadap anak.51 Konmas juga mendesak

pemerintah untuk memberi alokasi anggaran khusus untuk anak-anak korban kekerasan. Anak Indonesia harus memperoleh jaminan untuk memperoleh aksesbilitas layanan kesehatan, pendidikan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang serta hak partisipasi baik secara fisik maupun psikis.

51

Gede Aiya B Winat a., “Hak Asasi M anusia Dalam Realitas” Refika Adit am a. LBH Afik, Kom nas HAM Perlindungan Perem puan, 2005. h.227 48

Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak selama tahun 2005 ada 736 kasus kekerasan terhadap anak yang terbagi atas 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis dan 130 kasus penelantaran anak. pemah tersentak oleh beritaberita mengenal kekerasan terhadap anak yang seringkali

berada di luar akal sehat.52 Hampir setiap pasangan yang telah berumah tangga senantiasa

mendambakan kehadiran seorang anak. Watau tak dipungkiri masih ada segelintir pasangan lain yang menolak untuk memiliki anak, dengan berbagai dalihnya. Sehingga, dalam setiap perkawinan kehadiran anak seringkali dianggap sebagai syarat mutlak untuk menentukan kebahagiaan dan keberlangsungan perkawinan itu sendiri. Walau juga tak jarang pasangan yang tetap bisa melanggengkan tall perkawinan meskipun tanpa anak. Dan mereka juga bahagia, meski ‘kadar’nya tetap tak bisa disamakan dengan yang memiliki anak. Selain sebagai penerus keturunan, kehadiran anak juga dianggap sebagai ‘simbol’ dan status. Menjadi simbol karena kehadirannya melambangkan kesuksesan orangtua dalam melakukan perannya untuk melanggengkan keberlangsungan hidup manusia dan menaikkan status bila si

anak berhasil melakukan pencapaian-pencapaian tertrnggi dalam setiap tahap

perkembangannya. Anak lantas didudukkan pada tempat tertinggi layaknya seorang dewa Anak ditempatkan lebih berharga dari permata. Orangtua tak pernah mengeluh walau harus berbanjir peluh demi mencukupi kebutuhan sang anak Bahkan waktupun bagai tak lagi memiliki batasan Dan tak jarang seluruh aturan dan rambu-rambu yang menghalang begitu saja diterjang. Resiko hitung belakang. Bahwa tekanan hidup yang sedemikian keras telah melenyapkan kesadaran oràng tua. Di mana tekanan itu telah menciptakan akumulasi persoalan yang akhirnya bermuara pada ledakan emosional. Selain itu, kekerasan terhadap

52

Najlah Naqiyah, Otomi Daerah Perempuan Dan Perdagangan Perempuan Di Indonesia

anak juga terkait erat dengan faktor kultural dan struktural dalam masyarakat. Dan faktor kultural, anak dipandang sebagai harta kekayaan orang tua sehingga ia harus patuh kepada orang tua. Bila anak dianggap Ialai, rewel, tidak patuh, dan menentang kehendak orang tua, dia akan memperoleh sanksi atau hukuman. Faktor struktural diakibatkan adanya hubungan

yang tidak seimbang (asimetris), baik di Iingkungan keluarga maupun masyarakat.53

Dalam posisi Iebih lemah dan rendah, karena secara fisik mereka memang lebih lemah daripada orang dewasa dan masih bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya. Akibathya, anak secara struktural sering terjadi, baik secara sadar maupun tidak. Memang, tidak dapat dipungkiri, bahwa kasus-kasus kekerasan secara fisik dan penelantaran yang menimpa anak umumnya terjadi pada keluarga-keluarga yang berada pada atau di bawah garis kemiskinan. Namun, kekerasan secara psikhis dan tindakan justru cukup banyak ditemui pada keluarga-keluarga di level menengab ke atas. Dimana banyak anak yang kehilangan hak-haknya atas dasar ‘kepentingan terbaik anak’.

Pada keluarga di level ekonomi bawah, kekerasan anak terjadi sebagal akibat dan benturan kefrustasian orangtua dalam menghadapi kesulitan hidup sekaligus memenuhi

‘ambisi’ untuk menjadikan anak jauh lebih baik dan mereka.54

B. Respon Masyarakat Dan Keluarga Yang Ada Di Desa Gandaria Mengenai Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Anak

53

Jam Hari Ism at u Ropi, “Cit ra Perempuan Dalam Islam, Pandangan Ormas Keagamaan” , IKAPI, 2003, h. 6

54

Badriyam ah Fayum i, “Halaqah Islam M engkaji Perempuan HAM dan Perempuan” , Ushul Press U~N Jakart a, 2004, h. 26-32

Mengenai kekerasan terhadap anak memang merupakan sesuatu yang dilematis bagi kita, karena kasus-kasus kekerasan terhadap anak ini berakar pada konsep “pembinaan” dan “pendidikan” telah terkonstruksi dalam paradigma masyarakat kita sedemikian rupa, sehmgga menyebabkan kesulitan dalam mengatasinya. Akan tetapi, ada beberapa altematif pemecahan yang dapat ditawarkan agar kasus-kasus kekerasan terhadap anak dapat direduksi secara maksimal. Dalam perspektif Sosiologi, kekerasan terhadap anak berpijak pada dalam kata kunci: perilaku menyimpang dan masalah sosial. Kekerasan terhadap anak ini memiliki akar pennasalahan yang berasal dan penilaku menyimpang masing-masing individu yang jika

teijadi secara kolektif akan menimbulkan masalah sosial.55

Respon masalah sosial yang berupa nilai dan norma sosial di masyarakat juga dengan jelas menunjukkan paralelitas Dengan hubungan tersebut, penyusun berargumen bahwa kekerasan terhadap anak berakar pada perilaku menyimpang, dan jika kekerasan terhadap anak ini semakin bertambah kuantitasnya, akan berimbas pada masalah sosial. Sebagai

sandaran dalam menetapkan sanksi dan batasan.56

Negara kita telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kekerasan terhadap anak. Dalam 12 tahun sebelum disahkannya UU No 23/2003 tentang perlindungan anak, atau tepatnya path 1990, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No 36/1990. Intinya adalah, pengembangan nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa Indonesia bagi perlindungan dan pengembangan anak yang serasi dengan agama, sosial, budaya, dan ekonomi. Secara tegas menyebutkan empat prinsip perlindungan anak

55

JarnHari, Ism at u Ropi, Cit ra Perempuan Dalam fslam, Pandangan Ormas Keagamaan, (Jakart a, Ikapi, 2003).h 146

56

M uhaxnad Toihab Hasan’ Islam Dan M asalah Sumber Daya M anusia’(Jakart a: Lantabora Press, 2003), h. 35

yang harusnya dijalani, yakni nondiskriminasi, terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam konteks kekerasan terhadap anak, dapat kita lihat bahwa perilaku-perilaku tersebut, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun guru bertentangan dengan Undangan-Undang Dasar No 23 tahun 2002. Pada Deklarasi Hak Anak (Declaration of The Right of The Child).57

Hal ini berarti bahwa anak, karena belum dewasa secara fisik dan mental, memerlukan pengawalan dan perlindungan khusus, termasuk perlindungan legal dan layak, sebelum dan sesudah lahir. Selain itu, keluarga sebagai agen terkecil dalam masyarakat juga memegang peranan yang sangat krusial, keluarga yang harmonis biasanya akan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebaliknya keluarga yang sering ada masalah baik dan dalam maupun dan luar akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Serta peran orangtua dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya menjadi insan cerdas dan mandiri. Lebih lanjut, keluarga yang tertata dengan baik juga akan menjauhkan dan tindak kekerasan terhadap anak.

Faktor berikutnya adalah lingkungan masyarakat, karena di sinilah anak banyak berinteraksi selain dan lingkungan keluarga. Menciptakan tatanan masyarakat yang damai

adalah kunci utamanya.58 Artinya, seorang anak akan tumbuh kembang dengan baik apabila

masyarakat jauh dari konflik sosial. Anak yang dibesarkan dari berbagai konflik biasanya

57

Sit us ww w .google.com ’ Peran Perempuan Dalam Keluarga Dan M asyarakat Dalam Islam’ YLBHI, LBHI Jakart a , Di Akses Tanggal 26 Januari 2008.com

58

M uharnad, Tolhah Hasan, Islam Dan M asalah Sumber Daya M anusia, (Jakart a: Lant abora Press, 2003), h. 13-34

akan lebih agresif dalam artian sering bertindak brutal dan kurang mampu mengendalikan diri dengan baik. Hal ini tentunya berbeda dengan anak-anak yang dibesarkan dalam situasi yang aman dan jauh dan konflik. Mereka pada dasarnya dapat tumbuh kembang dan belajar dengan

Dokumen terkait