• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

B. Perbedaan Pendapat dalam Menanggapi Keabsahan

Dalam penggunaan alat bukti elektronik pada praktek persidangan terdapat anggapan yang berbeda. Ada yang mengganggap dengan diberlakukannya UU ITE maka alat bukti elektronik tersebut merupakan alat bukti yang berdiri sendiri. Namun, ada juga anggapan yang menyatakan bahwa alat bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang telah diakui sebelumnya dalam hukum acara, anggapan ini didasarkan pada isi Pasal 5 ayat ( 2 ) UU ITE. Pengakuan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah dalam dunia peradilan sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, tapi juga tidak bisa disebut barang lama. Penggunaan bukti elektronik dalam proses pembuktian di Indonesia telah akomodir. Dalam beberapa tindak pidana misalnya, e-mail dapat digunakan sebagai alat bukti. Contohnya dalam tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana terorisme, e-mail dijadikan sebagai alat bukti yang berdiri sendiri yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Dalam KUHAP penggunaan alat bukti elektronik seperti e-mail belum tercantum secara jelas, tetapi e-mail tetap dapat digunakan dalam pembuktian sebagai alat bukti surat, yang tentu saja setelah melalui proses formil dari alat bukti surat.

Untuk penggunaan e-mail dalam perkara perdata menurut Ahmad Zakaria

yang berprofesi sebagai seorang notaris, justru akan lebih sulit mengingat pembuktian dalam perkara perdata adalah upaya mencari kebenaran formil. Untuk memenuhi kebenaran formil akan suatu e-mail cukuplah rumit, karena menurutnya e-mail yang memenuhi kriteria tersebut bukanlah e-mail yang diperoleh dari end-user melainkan e-mail yang tersimpan dalam sebuah mail server yang kredibel. Menurut Ahmad Zakaria, dalam prakteknya masih banyak aparat hukum yang menganggap bahwa bukti elektronik hanyalah merupakan bukti pelengkap dan belum dapat dijadikan bukti otentik yang kuat. Namun, beliau kurang setuju dengan hal ini, menurutnya bagaimana bisa dikatakan bukti elektronik hanya merupakan bukti pelengkap atau belum dapat dijadikan bukti otentik padahal penggunaan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah telah jelas diatur dalam UU ITE. Di masyarakat sendiri masih banyak yang berorientasi pada dokumen cetak yang dikuatkan dengan tanda tangan biasa. Hal ini memang tidak salah, tetapi lebih baik bila memang arah dan tujuan dari dokumen dan tanda tangan konvensional tersebut adalah untuk otentifikasi dan otorisasi dilakukan dengan menggunakan dokumen dan tanda tangan elektronik. Ahmad Zakaria juga berpendapat masih kurangnya kemauan hakim-hakim di pengadilan Indonesia untuk menginterpretasikan informasi, dokumen maupun tanda tangan elektronik sebagai alat bukti. Untuk itu diperlukan keinginan yang kuat bagi aparat hukum untuk selalu meng-up date pengetahuan. Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum yang paling berpotensi untuk mendukung penggunaan bukti elektronik melalui putusannya sudah saatnya lebih membuka mata terhadap perkembangan

teknologi. Terlepas dari hakim memiliki hak untuk menentukan pandangannya sendiri.104

Edmon Makarim, pakar hukum telematika dari Universitas Indonesia, berpendapat informasi elektronik dapat diekuivalenkan dengan kertas dimana untuk bernilai hukum seharusnya sebuah informasi elektronik berbentuk tertulis, bertanda tangan dan original, dalam kondisi tertentu. Menurut Edmon Makarim fokus utama dari UU ITE ini adalah menghadirkan informasi elektronik menjadi bernilai secara hukum dan mempunyai kekuatan pembuktian. Oleh karena itu, dengan berlakunya UU ITE ini, maka hakim tidak boleh menolak penggunaan alat bukti elektronik dalam persidangan dan juga harus melakukan verifikasi dengan patokan UU ITE. Edmon juga menambahkan informasi elektronik memerlukan suatu kualifikasi tertentu agar memiliki nilai hukum, dimana informasi elektronik tersebut harus berasal dari sistem yang layak dipercaya dan selain itu, para pihak yang bertransaksi perlu menggunakan tanda tangan elektronik, maksudnya agar para pihak tidak memungkiri substansi dari suatu transaksi. Suatu informasi elektronik berkedudukan baik sebagai barang bukti maupun alat bukti. Dalam hukum acara pidana ketika berkedudukan sebagai barang bukti maka harus dirangkaikan dengan alat bukti lain sehingga dapat diidentifikasi sebagai petunjuk sebagaimana dalam Pasal 184 KUHAP. Ditambahkan beliau juga, dengan adanya UU ITE maka informasi elektronik dapat menjadi alat bukti yang berdiri sendiri. Di bidang hukum acara perdata, transaksi elektronik sebagai kegiatan yang terekam dari proses input, menyimpan, hingga sampai pada print out maka out put

104 www. google. com, Esensi Keberadaan Lembaga Notariat dengan Berlakunya UU

yang ada layaknya akta otentik. Dan ketika informasi elektronik ini didelegasikan pada cyber notary maka kekuatan otentiknya lebih kuat lagi, karena yang melakukan verifikasi adalah notaris. Menurut Edmon Makarim, informasi baik dalam bentuk hard copy maupun soft copy sama-sama rawan rekayasa. Namun, dalam hal tertentu informasi elektronik justru lebih aman karena tidak mudah diubah dan dapat dibaca per karakter.105

Telah dikatakan pada bab sebelumnya bahwa mengenai alat bukti ada diatur dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Pasal 184 ayat ( 1 ) KUHAP menentukan secara limitatif mengenai alat bukti yang sah yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, sedangkan dalam Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 284 RBg/164 HIR menyebutkan alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sehubungan dengan hal ini Arief Indra Kusuma Adhi, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, mengatakan ada dua pilihan yang sering dipakai dimana bukti elektronik dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat atau sebagai alat bukti petunjuk. Dijelaskan Arief, informasi elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi elektronik tersebut diubah dalam bentuk cetak, dan menjadi alat bukti petunjuk bila informasi elektronik tersebut memiliki keterkaitan dengan alat bukti lain dan semua kekuatan alat bukti tersebut bebas. Dengan kata lain kekuatan bukti elektronik sebagai petunjuk sangat tergantung pada keyakinan hakim sebagai pemutus perkara.106

105 www. hukumonline.com., Alat Bukti Elektronik Kian Mendapat Tempat, 20 Desember 2008.

106 www. google. com, UU ITE Jadi Payung Hukum Print Out sebagai Alat Bukti, 20 Desember 2008.

UU ITE seperti halnya cara pandang pengadilan menyebutkan bahwa informasi dan dokumen elektronik adalah perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara, daripada mengakui informasi dan dokumen elektronik sebagai sebuah alat bukti tersendiri, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat ( 2 ) UU ITE. Namun, pengakuan yang diberikan oleh UU ITE memiliki arti penting tersendiri terutama bagi Indonesia sebagai Negara yang tidak menganut prinsip

Stare Decisis yaitu prinsip dimana dasar vonis mengikuti vonis yang pernah

dilakukan dalam perkara yang sama.107 Sehingga keputusan pengadilan bukan merupakan sumber hukum yang mengikat bagi hakim lainnya. Dengan adanya UU ITE, maka sepanjang sesuai dengan UU ITE, tidak dapat lagi dikemukakan keberatan atas penggunaan informasi dan dokumen elektronik maupun tanda tangan elektronik sebagai alat bukti yang sah.