• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

Dalam dokumen PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI (Halaman 44-50)

BAB II. LANDASAN TEORI

D. Perbedaan Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

Banyaknya kasus perilaku seksual di kalangan remaja cukup membuktikan bahwa perilaku seksual rentan dilakukan oleh remaja. Pada masa remaja, mulai muncul ketertarikan pada hal seputar seksualitas. Remaja memperlihatkan bentuk egosentrisme dimana mereka memandang dirinya sebagai sosok yang unik. Hal ini mendorong remaja mengambil resiko dari

perilaku seksual. Dalam keadaan emosi, dorongan seksual remaja dapat membatasi kemampuannya dalam mengambil keputusan sehingga memungkinkan remaja terjerumus pada perilaku seksual sebelum menikah. Bentuk-bentuk perilaku seksual seperti memegang tangan, memeluk, cium pipi, cium bibir, cium leher, petting, oral genital, vaginal intercourse, dan

anal intercourse. Perilaku seksual membawa dampak yang cukup merugikan bagi remaja terutama remaja perempuan dari segi fisik, psikologis, dan lingkungan sosial budaya. Salah satu faktor yang dapat mencegah atau mengurangi dampak dari perilaku seksual adalah pemberian pendidikan seksualitas di sekolah. Hal ini didukung oleh pernyataan Needlman (2004) bahwa sekolah merupakan lingkungan kedua bagi remaja untuk melakukan berbagai aktivitas dan menjalin hubungan sosial dengan teman-temannya sehingga bisa dikatakan sekolah mempunyai pengaruh yang besar bagi remaja. Tujuan pendidikan seksualitas adalah mencegah dan mengurangi dampak yang ditimbulkan dari perilaku seksual sebelum menikah seperti kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, aborsi, dan HIV/AIDS (Kirby dkk., 2007; Pamela dkk., 2008; Linberg & Zimet, 2012; Kohler & Lafferty, 2008).

Pendidikan seksualitas terdiri dari 2 jenis yaitu pendidikan seksualitas

abstinence dan pendidikan seksualitas komprehensif. Pendidikan seksualitas abstinence adalah pendidikan seksualitas yang berlandaskan ajaran agama yang melarang seseorang yang belum menikah melakukan perilaku seksual yang berguna untuk menunda remaja melakukan perilaku seksual. Pendidikan

seksualitas komprehensif adalah pendidikan seksualitas abstinence ditambah dengan informasi mengenai metode pengontrolan kelahiran dan alat kontrasepsi yang berguna untuk menunda dan mengurangi dampak dari perilaku seksual (Chin dkk., 2012; Gelperin dkk., 2004; Kabiru & Orpinas, 2009; Kohler dkk., 2008).

Pendidikan seksualitas di sekolah diberikan pada siswa melalui dua cara yaitu materi yang disusun dalam kurikulum tertentu dan melalui materi yang diberikan secara acak tanpa kurikulum tertentu. Menurut review yang dilakukan oleh Kirby dkk (2007), menemukan bahwa pendidikan seksualitas yang efektif adalah pendidikan seksualitas berdasarkan kurikulum. Pada sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, dalam pengembangan kurikulum melibatkan berbagai orang yang ahli dibidang seksualitas, melakukan asesmen kebutuhan sebelum merancang program sehingga pendidikan seksualitas dapat berguna secara efektif pada siswanya, merancang aktivitas yang konsisten sesuai yang dianut oleh siswa dan adanya ketersediaan pengajar. Pendidikan seksualitas diberikan berdasarkan tujuan kesehatan dan mampu menjelaskan faktor resiko dan protektif perilaku seksual dari segi sosial dan psikologi. Sekolah ini melakukan uji coba pada materi pendidikan seksualitas. Dalam aktivitasnya, pendidikan seksualitas yang diberikan mampu menciptakan lingkungan sosial yang nyaman, meliputi berbagai aktivitas dalam memberikan materi seksualitas, dan metode pengajaran dirancang untuk membantu siswa dalam menerima informasi mengenai faktor resiko dan protektif dari perilaku seksual. Aktivitas, instruksi,

dan pesan dalam pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya, tahap perkembangan remaja, dan pengalaman seksual yang dimiliki siswa. Materi seksualitas diberikan pada siswa secara berurutan. Pada implementasinya, pendidikan seksualitas mendapatkan dukungan dari pihak berwenang di sekolah. Para pengajar diberikan pelatihan sebelum memberikan pendidikan seksualitas pada siswanya. Pengajar harus memiliki kriteria tertentu untuk mengajar pendidikan seksualitas. Pihak sekolah perlu memberikan pengawasan, pengarahan, dan dukungan bagi para pengajar. Bila perlu, menarik remaja di luar sekolah untuk mengikuti pendidikan di sekolah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Creagh (2004) menemukan bahwa pada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, materi seputar seksualitas diberikan oleh guru Biologi, Agama, dan Bimbingan Konseling. Pendidikan seksualitas di sekolah ini menjelaskan mengenai faktor resiko dan faktor protektif dari segi biologi, agama, dan psikologi. Namun materi seksualitas diberikan tidak lengkap sehingga siswa memiliki pengetahuan yang kurang mengenai seksualitas. Metode pengajaran yang digunakan adalah presentasi di kelas. Materi seksualitas yang diberikan berupa kesehatan reproduksi, dan pacaran sehat dari sudut pandang agama dan psikologi. Pada sekolah ini tidak melakukan asesmen dan uji coba karena materi seksualitas sudah tersedia di buku pelajaran masing-masing. Jenis pendidikan seksualitas di sekolah ini adalah pendidikan seksualitas abstinence

Pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya dan tahapan remaja pada umumnya, tanpa melihat pengalaman seksual yang dimiliki remaja.

Pada sekolah negeri, guru Bimbingan Konseling tidak memberikan pendidikan seksualitas pada siswanya karena menurutnya sekolah tersebut merupakan sekolah pilihan dan siswanya memiliki status sosial ekonomi menegah keatas sehingga jauh dari pergaulan yang beresiko. Sekolah tersebut mengundang beberapa tokoh ahli di bidang seksualitas satu kali dalam satu tahun. Program ini disarankan oleh BKKBN untuk tiap sekolah di Indonesia. Namun pada kenyataannya tidak semua sekolah menggunakan saran dari BKKBN tersebut.

Pendidikan seksualitas tidak dapat secara spesifik menjelaskan pengaruhnya terhadap perilaku seksual tanpa adanya faktor mediator. Sikap merupakan salah satu faktor mediator pendidikan seksualitas (Kirby dkk., 2007). Menurut Myers (2010), sikap yang dimiliki individu dapat mempengaruhi perilakunya. Sikap terhadap perilaku seksual merupakan kecenderungan reaksi individu secara positif (mendukung) atau negatif (tidak mendukung) yang ditunjukkan oleh pemikiran, kepercayaan, pengetahuan (kognitif), perasaan (afektif), dan tindakannya (konatif) terhadap segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

Sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual dipengaruhi oleh pengalaman seksual sebelumnya, sikap teman sebaya terhadap perilaku seksual, budaya kolektivistik, expose terhadap pornografi, sumber informasi

seksual, dan pengetahuan mengenai dampak dari perilaku seksual. Beberapa penelitian menemukan bahwa remaja yang memiliki pengalaman seksual cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual dan penggunaan alat kontrasepsi dibanding dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman seksual (Kabiru & Orpinas, 2009). Remaja perempuan yang memiliki teman yang mendukung abstinence maka cenderung memiliki sikap yang sama dengan temannya (Laflin, Wang, & Berry, 2008).

Sikap remaja terhadap perilaku seksual tidak lepas dari pengaruh budaya di tempat tinggalnya. Berdasarkan penelitian Kuota dan Tolma (2008), menemukan bahwa keluarga yang tinggal di budaya kolektivistik menganggap bahwa perilaku seksual sebelum menikah adalah hal yang tabu dan memalukan. Hal tersebut memunculkan adanya perbedaan perlakuan antara remaja perempuan dan remaja laki-laki. Remaja perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akan diasingkan ke suatu tempat yang tidak diketahui oleh orang lain untuk menjaga nama baik keluarga. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual. Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lou dkk (2012), remaja perempuan yang mendapatkan informasi dari internet, film porno, dan majalah dewasa cenderung memiliki sikap permisif atau mendukung perilaku seksual sebelum menikah. Kirby dkk (2007), menemukan bahwa pendidikan seksualitas di sekolah dapat mengubah sikap seksual remaja. Pendidikan

seksualitas yang efektif adalah berdasarkan kurikulum. Hal itu didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Horng Lou dan Hwang Chen (2009) yang membuktikan bahwa melalui pengetahuan yang baik dan jelas mengenai seksualitas maka remaja perempuan akan cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung perilaku seksual. Selain itu, pengetahuan yang diperoleh remaja perempuan mengenai dampak dari perilaku seksual dengan pasangannya cenderung menyebabkan remaja memiliki keyakinan bahwa dampak dari perilaku seksual dapat mengambil kebebasan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan remaja. Keyakinan remaja tersebut menumbuhkan motivasi dalam mencari strategi untuk menjauhkan diri dari perilaku seksual agar terhindar dari dampak yang akan ditimbulkan dari perilaku seksual tersebut. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja perempuan memiliki sikap yang kurang mendukung terhadap perilaku seksual (Goodson dkk., 2006).

Perbedaan-perbedaan antara sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas tersebut dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan sikap terhadap perilaku seksual.

Dalam dokumen PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI (Halaman 44-50)

Dokumen terkait