• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

Dalam dokumen PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI (Halaman 30-38)

BAB II. LANDASAN TEORI

B. Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

1. Pengertian Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual Myers (2012) mendefinisikan sikap sebagai reaksi evaluatif yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan terhadap sesuatu dan berakar pada kepercayaan dan muncul dalam perasaan dan kehendak untuk bertindak. Menurut Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan yang mendukung atau memihak (favorable) dan perasaan yang tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap suatu obyek (Berkowitz, 1972 dalam Azwar, 2010). Secord dan Backman mendefinisikan sikap sebagai keteraturan dalam hal perasaan (afeksi)), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitar (Azwar, 2010). Sikap juga didefinisikan sebagai kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi secara konsisten (Ahmadi dkk, 1991).

Sikap terhadap perilaku seksual adalah kecenderungan reaksi individu perempuan yang berusia antara 11-19 tahun baik secara positif

atau negatif yang ditunjukkan oleh pemikiran, kepercayaan, pengetahuan, perasaan, dan tindakannya terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

2. Struktur Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

Struktur sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang (Mann dalam Azwar, 2010; Sears, Freedman, & Peplau, 1985; Ahmadi, 1991), yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

a. Kognitif berupa sesuatu yang dipercaya, dipikirkan, dan diketahui oleh individu yang berjenis kelamin perempuan yang berusia 11-19 tahun terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

b. Afektif merupakan perasaan individu yang berjenis kelamin perempuan berusia antara 11-19 tahun terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan. Komponen afektif meliputi perasaan suka (positif) dan perasaan tidak suka (negatif). Pada umumnya reaksi emosional ini ditentukan oleh kepercayaan yang dimiliki seseorang.

c. Konatif merupakan kecenderungan individu yang berjenis kelamin perempuan berusia antara 11-19 tahun untuk bertindak terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan. Komponen ini dapat dipengaruhi oleh kepercayaan dan perasaan yang dimiliki individu tersebut.

3. Bentuk – bentuk Perilaku seksual

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2011). Sedangkan menurut Rathus (2008), perilaku seksual dengan pasangan adalah segala aktivitas tubuh dalam kaitannya dengan ekspresi erotik. Perilaku seksual dibagi menjadi dua yaitu perilaku seksual yang sehat dan aman, dan perilaku seksual beresiko. Perilaku seksual yang sehat dan aman adalah perilaku seksual yang tidak menimbulkan dampak negatif seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual dengan cara memakai alat kontrasepsi ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan. Perilaku seksual beresiko adalah perilaku seksual yang dapat menimbulkan dampak seperti kehamilan yang tidak diinginkan, dan penyakit menular seksual tanpa memakai alat kontrasepsi saat melakukan hubungan seksual dengan pasangannya (Chin dkk., 2012).

Dalam penelitian ini, pengertian perilaku seksual adalah segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

Menurut Rathus (2008), bentuk-bentuk perilaku seksual meliputi :

a. Foreplay

Foreplay terdiri dari cuddling, kissing, petting, dan stimulasi

b. Ciuman

Ciuman terdiri dari dua jenis, yaitu simple kissing dan deep kissing. Simple kissing terjadi ketika ciuman dengan mulut tertutup. Sedangkan deep kissing terjadi ketika pasangan mencium dengan membuka mulut dan lidah saling bertemu di dalam mulut.

c. Sentuhan

Menyentuh bagian tubuh yang sensitif dengan tangan atau bagian tubuh lainnya yang dapat menimbulkan rangsangan.

d. Stimulasi oral genital

Stimulasi oral genital adalah perilaku seksual yang menekankan pemberian stimulus genital oleh mulut. Pemberian stimulasi genital oleh mulut biasanya dilakukan sebelum pasangan melakukan hubungan seksual. Oral genital pada alat kelamin laki-laki disebut

fellatio, sedangkan memberi stimulasi pada alat kelamin perempuan dengan mulut atau lidah disebut cunnilingus.

e. Sexual intercourse

Sexual intercourse terdiri dari dua jenis yaitu vaginal intercourse dan anal intercourse. Vaginal intercourse adalah hubungan seksual dengan masuknya penis ke lubang vagina. Sedangkan anal intercourse adalah hubungan seksual dengan masuknya penis ke lubang anal.

Menurut Sarwono (2010), perilaku seksual dilakukan secara bertahap sebelum sampai ke tahap yang lebih lanjut. Urutan perilaku

seksual tersebut adalah dari yang belum berpengalaman, berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, saling meraba bagian tubuh di luar pakaian, saling meraba bagian tubuh di dalam pakaian, saling menempelkan alat kelamin, dan berhubungan seksual.

Dalam penelitian ini, bentuk-bentuk perilaku seksual yang digunakan yaitu memegang tangan, memeluk, cium pipi, cium bibir, cium leher, petting, oral genital, vaginal intercourse, dan anal intercourse. Alasan menggunakan bentuk- bentuk perilaku seksual di atas karena penelitian ini mengukur perilaku seksual yang dilakukan dengan pasangan.

4. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual

a. Pengalaman seksual sebelumnya

Remaja yang memiliki pengalaman seksual cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual dan penggunaan alat kontrasepsi dibanding dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman seksual (Kabiru & Orpinas, 2009).

b. Sikap teman sebaya terhadap perilaku seksual

Remaja akan lebih memilih teman sebaya dibandingkan dengan orangtuanya. Remaja memiliki kebutuhan sosial dasar berupa kebutuhan kelekatan, penerimaan sosial, keintiman, dan hubungan seksual dengan lawan jenis. Menurut Sullivan, teman sebaya memainkan peranan penting dalam mencapai kebutuhan sosial remaja

(dalam Santrock, 2007). Dibanding kelompok remaja laki-laki, kelompok remaja perempuan cenderung memiliki hubungan yang erat satu sama lain (Grave dkk., 2011). Hal ini mempengaruhi remaja dalam hal bersikap dan bertingkah laku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laflin, Wang, dan Barry (2008), menemukan bahwa remaja perempuan cenderung memiliki sikap yang sama dengan teman sebayanya. Ketika teman sebaya memiliki sikap yang tidak mendukung perilaku seksual maka remaja perempuan cenderung untuk memiliki sikap yang sama, dan begitu pula dengan sebaliknya.

c. Budaya kolektivistik

Keluarga yang tinggal di kebudayaan kolektivistik cenderung menganut aliran konservatif yang menganggap bahwa perilaku seksual sebelum menikah adalah hal yang tabu. Perilaku seksual sebelum menikah dianggap hal yang memalukan dan keluarga lebih memperhatikan nama baik (Kuota & Tolma, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sridawruang, Crozier, dan Pfeil (2010), menemukan adanya standar ganda pada keluarga yang tinggal di budaya kolektivistik. Keluarga memperlakukan remaja perempuan dan remaja laki-laki secara berbeda. Standar ganda ini muncul akibat penilaian dari masyarakat terhadap anak perempuan dan anak laki- laki ketika mereka telah melakukan perilaku seksual sebelum menikah dan terjadi resiko dari perilaku seksual seperti kehamilan yang tidak diinginkan. Adanya standar ganda yang terjadi mempengaruhi remaja

dalam hal bersikap dan bertingkah laku. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap yang kurang mendukung perilaku seksual. Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap yang permisif atau mendukung perilaku seksual.

d. Expose terhadap pornografi

Media massa sebagai penyampai informasi dan membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang mampu mengarahkan pandangan remaja. Informasi mengenai sesuatu memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap. Pesan sugestif yang cukup kuat yang dibawa oleh informasi akan memberi dasar afeksi dalam menilai sesuatu sehingga terbentuk arah sikap tertentu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lou dkk (2012), remaja perempuan yang mendapatkan informasi dari internet, film porno, dan majalah dewasa cenderung memiliki sikap permisif atau mendukung perilaku seksual sebelum menikah.

e. Sumber informasi seksual dan pengetahuan mengenai dampak dari perilaku seksual

Lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri seseorang yang sangat menentukan sistem kepercayaannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kirby dkk (2007), pendidikan seksualitas di sekolah dapat mengubah sikap seksual remaja. Hal itu didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Horng Lou dan Hwang Chen (2009)

yang membuktikan bahwa melalui pengetahuan yang baik dan jelas mengenai seksualitas maka remaja perempuan akan cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung perilaku seksual. Selain itu, pengetahuan yang diperoleh remaja perempuan mengenai dampak dari perilaku seksual dengan pasangannya cenderung menyebabkan remaja memiliki keyakinan bahwa dampak dari perilaku seksual dapat mengambil kebebasan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan remaja. Keyakinan remaja tersebut menumbuhkan motivasi dalam mencari strategi untuk menjauhkan diri dari perilaku seksual agar terhindar dari dampak yang akan ditimbulkan dari perilaku seksual tersebut. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja perempuan memiliki sikap yang kurang mendukung terhadap perilaku seksual (Goodson dkk., 2006).

Pemberian materi seksualitas yang berlandaskan agama cenderung bersifat konservatif yang mampu mempengaruhi keyakinan remaja perempuan untuk tidak melakukan perilaku seksual hingga menikah. Komitmen yang kuat untuk tidak melakukan perilaku seksual cenderung menyebabkan remaja perempuan untuk menghindari perilaku seksual di luar pernikahan (Bearman & Bruckner, 2001). Selain itu, ajaran agama yang diperoleh dari sekolah dapat mempengaruhi remaja perempuan dalam bersikap. Remaja perempuan yang taat pada ajaran agama cenderung memiliki sikap yang kurang

mendukung perilaku seksual dibanding dengan remaja perempuan yang tidak taat beragama (Lefkowitz, Gillen, Shearer, & Boone, 2004). f. Pengaruh faktor emosional

Remaja perempuan yang memiliki pengetahuan mengenai dampak dari perilaku seksual sebelum menikah cenderung memiliki perasaan takut dan bersalah ketika akan melakukan perilaku seksual dengan pasangannya (Macleod, 2009). Hal ini mempengaruhi keyakinan remaja untuk tidak melakukan perilaku seksual hingga menikah (Long-Middleton dkk., 2012).

Dalam dokumen PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI (Halaman 30-38)

Dokumen terkait