• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan status pendidikan terhadap kehilangan zat giz

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Perbedaan status pendidikan terhadap kehilangan zat giz

Menurut Almatsier (1992), sisa makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan, kelompok umur, dan cita rasa makanan. Sedangkan menurut penelitian Nida (2011), bahwa tidak ada hubungan antara sisa

18

makanan dengan tingkat pendidikan. Semakin rendah tingkat pendidikan, dapat dikatan juga bahwa umur konsumen tersebut semakin muda. Hal ini terlihat dalam penelitian Djamaluddin (2005) yang menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan sisa makanan menurut kelompok umur, walaupun dijumpai sisa lauk hewani nabati dan sayur yang banyak pada kelompok umur 17-25 tahun, namun perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna.

Tabel 18 Kehilangan zat gizi menurut status pendidikan dan jenis rumah makan Zat Gizi <SLTA D3/S1 S2/S3

PADANG Energi (kkal) 12.2 8.6 3.1 Protein (g) 0.9 0.6 0.0 Fe (g) 0.2 0.0 0.0 Vitamin A (RE) 47.9 24.5 30.3 SUNDA Energi (kkal) 4.5 12.7 4.7 Protein (g) 0.4 1.1 0.0 Fe (g) 3.7 3.1 4.7 Vitamin A (RE) 10.8 7.6 16.6 JAWA Energi (kkal) 23.1 25.7 170.0 Protein (g) 2.3 1.8 11.3 Fe (g) 0.9 1.0 2.3 Vitamin A (RE) 7.7 6.0 83.9 TENDA Energi (kkal) 3.7 66.7 0.4 Protein (g) 0.4 4.7 0.0 Fe (g) 0.0 0.9 0.0 Vitamin A (RE) 1.6 31.3 0.0

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa kehilangan zat gizi dari sisa makanan berdasarkan tingkat pendidikan tidak menunjukkan pola yang sama dan teratur pada setiap rumah makan. Kehilangan energi dan protein terbesar di RM Padang terdapat pada tingkat <SLTA, sedangkan di RM Sunda dan Warung Tenda pada tingkat D3/S1, di RM Jawa pada tingkat S2/S3. Kehilangan zat besi dan vitamin A terbesar di RM Padang terdapat pada tingkat <SLTA, sedangkan di RM Sunda dan RM Jawa pada tingkat S2/S2, di RM Jawa pada tingkat D3/S1. C. Perbedaan status ekonomi terhadap kehilangan zat gizi

Pendapatan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah pendapatan per bulan yang diterima responden. Sumber pendapatan responden bervariasi sesuai dengan pekerjaannya. Bagi responden yang belum berpenghasilan maka pendapatan diartikan sebagai uang saku yang diterima selama sebulan dan bagi rumah tangga diartikan sebagai pendapatan suami perbulannya. Pendapatan responden mempengaruhi dalam memilih dan menentukan tempat pembelian (Gunawan 2011).

Berdasarkan tabel 19, diketahui bahwa kehilangan energi di RM Padang terbesar pada kelompok sampel yang memiliki pendapatan 3-5 juta rupiah, sedangkan di RM Sunda dan Warung Tenda pada kategori >5 juta rupiah, di RM Jawa pada kategori < 3 juta rupiah. Kehilangan protein di RM Padang terbesar

19 pada kelompok sampel yang memiliki pendapatan 3-5 juta rupiah, sedangkan di RM Sunda, RM Jawa, dan Warung Tenda pada kategori >5 juta rupiah. Sedangkan kehilangan zat besi terbesar terjadi pada kelompok sampel dengan pendapatan per bulan <3 juta rupiah serentak di semua jenis rumah makan. Kehilangan vitamin A di RM Padang dan RM Sunda terbesar pada kelompok sampel yang memiliki pendapatan 3-5 juta rupiah, sedangkan di RM Jawa dan Warung Tenda pada kategori >5 juta rupiah. Belum ada penelitian yang menghubungkan antara pendapatan per bulan dengan sisa makanan.

Tabel 19 Kehilangan zat gizi menurut pendapatan per bulan dan jenis rumah makan

Zat Gizi <3 juta rupiah 3-5 juta rupiah >5 juta rupiah PADANG Energi (kkal) 9.0 15.2 8.1 Protein (g) 0.7 1.2 0.8 Fe (g) 0.2 0.0 0.0 Vitamin A (RE) 53.8 8.8 31.2 SUNDA Energi (kkal) 11.2 2.9 12.3 Protein (g) 0.7 0.0 1.3 Fe (g) 3.9 2.5 2.2 Vitamin A (RE) 10.1 7.1 7.9 JAWA Energi (kkal) 38.6 9.7 36.9 Protein (g) 2.7 0.5 2.9 Fe (g) 1.5 0.0 1.0 Vitamin A (RE) 8.7 6.8 17.0 TENDA Energi (kkal) 28.3 5.6 36.2 Protein (g) 2.0 0.4 2.3 Fe (g) 0.3 0.2 0.0 Vitamin A (RE) 11.5 1.6 30.3

Perbedaan Cara Penyajian terhadap Sisa Makanan

Penyajian makanan merupakan perlakuan terakhir dalam penyelenggaraan makanan dan merupakan faktor penentu dalam penampilan hidangan yang disajikan. Penampilan makanan waktu disajikan akan merangsang indera penglihatan yang berkaitan dengan citra makanan tersebut. Ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam penyajian makanan agar dapat membangkitkan selera makan yaitu pemilihan alat yang digunakan, cara menyusun makanan dalam tempat penyajian makanan serta penghias hidangan (Moehyi 1992). Cara penyajian makanan merupakan faktor yang perlu mendapat perhatian dalam mempertahankan penampilan dari makanan yang disajikan (Depkes 2003). Dwiyanti (2003) menyatakan bahwa setiap jenis rumah makan yang membawa khas daerah masing-masing memiliki cara penyajian makanan yang berbeda-beda. Ada beberapa macam cara penyajian atau penghidangan makanan tradisional. Untuk makanan berat biasanya disajikan pada saat waktu makan. Misalnya nasi disajikan dengan lauk hewani-lauk nabati. Kebiasaan orang Indonesia adalah makanan besar, antara nasi, lauk hewani lauk nabati dan sayur

20

diletakkan dalam satu piring. Kebiasaan ini berbeda dengan kebiasaan orang barat, umumnya mereka memakan sup terlebih dahulu kemudian memakan makanan utama atau main course. Makanan tradisional selain makanan berat ada juga makanan soto. Hidangan soto ini disajikan di mangkuk, hidangan soto ni dapat disajikan dengan atau tanpa nasi (Sulastiono 2002). Cara penyajian makanan yang disukai oleh konsumen juga diantaranya dipengaruhi oleh atribut mutu pelayanan, seperti kebersihan, suhu penyajian makanan, kecepatan pelayanan, ukuran porsi, harga, dan lokasi restoran (Ramdhani 2005).

Pengklasifikasian cara penyajian dalam hal ini dibagi ke dalam dua jenis, yaitu (i) variasi lauk hewani, lauk nabati, atau sayuran yang digunakan sebagai bahan suatu hidangan; (ii) porsi penyajian hanya berdasarkan pengamatan karena porsi makanan yang disajikan tidak ditimbang. Pertama, jumlah jenis pangan (variasi) pangan yang digunakan sebagai bahan hidangan lauk hewani, lauk nabati, atau sayuran dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu (1) kurang bervariasi, terdiri dari 1- 3 jenis pangan, (2) cukup bervariasi, terdiri dari 4-6 jenis pangan, (3) bervariasi, terdiri dari 7-9 jenis pangan, dan (4) sangat bervariasi, terdiri dari ≥10 jenis pangan. Kedua, porsi penyajian berdasarkan pengamatan dibandingkan terhadap standar DBMP II (Daftar Bahan Makanan Penukar) dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu (1) Lebih kecil dari standar DBMP, (2) Sama dengan standar DBMP, dan (3) Lebih besar dari standar DBMP.

Tipe pelayanan di RM Padang sangat unik dimana pelayan akan membawa banyak piring makanan ke meja dalam sekali antar. Makanan tersaji dan bertumpuk dua tingkat. Konsumen dapat memilih menu mana yang sesuai selera dan hanya perlu membayar makanan yang dimakan saja. Namun cara penyajian seperti itu lebih sering dilakukan pada RM Padang besar, pada RM Padang kecil biasanya konsumen hanya memesan makanan yang diinginkan dalam satu piring (rames). Variasi lauk hewani di RM Padang sangat banyak, misalnya daging sapi, daging ayam, paru-paru, kikil, hati ayam, bebek, ikan mas, cumi, udang, kakap, ikan kembung, telur, dan ikan tongkol sehingga masuk ke dalam kategori sangat bervariasi. Variasi ini diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan jumlah jenis sisa lauk hewani di RM Padang cukup banyak (5 jenis). Variasi lauk nabati di RM Padang sedikit, hanya tahu dan tempe sehingga masuk ke dalam kategori kurang bervariasi. Variasi ini diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak ada sisa lauk nabati di RM Padang. Variasi sayuran di RM Padang cukup banyak, misalnya singkong, timun, kacang panjang, nangka, dan kentang sehingga masuk ke dalam kategori cukup bervariasi. Variasi ini diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan jumlah jenis sisa sayuran di RM Padang cukup banyak (4 jenis). Porsi penyajian lauk hewani di RM Padang secara umum lebih besar dari standar DBMP sehingga berat sisa beberapa jenis lauk hewaninya cukup besar. Porsi penyajian lauk nabati di RM Padang secara umum diperkirakan sama dari standar DBMP sehingga tidak ada sisa lauk nabati. Porsi penyajian sayuran di RM Padang secara umum diperkirakan sama dari standar DBMP namun berat sisa beberapa jenis sayurannya besar.

Tipe pelayanan RM Sunda besar yaitu berkonsep prasmanan/ buffet, dimana pelayanan yang penyajian makanannya tersedia di meja hidangan dan konsumen dapat mengambil makanan sesuka hati. Ada pula beberap RM Sunda kecil yang menggunakan konsep pemesanan di meja dari menu terlebih dahulu/ table service, sehingga standar porsi makanan yang disajikan sudah ditentukan oleh penjual.

21 Dengan tipe pelayanan seperti ini, diduga yang menjadi salah satu faktor sehingga berat sisa perkapita pertahun beberapa jenis pangan yang diperoleh cukup besar. Variasi lauk hewani di RM Sunda sangat banyak, misalnya daging sapi, daging ayam, hati ayam, bebek, udang, ikan kembung, telur, ikan tongkol, ikan nila, ikan mas, ikan gurame, dan cumi sehingga masuk ke dalam kategori sangat bervariasi. Namun, kenyataannya jumlah jenis sisa lauk nabati di RM Sunda sedikit (3 jenis). Variasi lauk nabati di RM Sunda sedikit, hanya tahu, tempe, dan oncom sehingga masuk ke dalam kategori kurang bervariasi. Jenis sayuran yang digunakan untuk hidangan sayur di RM Sunda sangat bervariasi, misalnya labu siam, kacang tanah, jagung, jagung muda, jamur, kacang panjang, melinjo, buncis, tomat, mentimun, terong, bayam, dan kangkung. Variasi ini diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan jumlah jenis sisa sayuran di RM Sunda paling banyak di antara rumah makan lainnya (10 jenis). Porsi penyajian lauk hewani, lauk nabati, dan sayuran di RM Sunda secara umum lebih besar dari standar DBMP sehingga berat sisa beberapa jenis lauk hewani, lauk nabati, dan sayurannya pun besar.

Tipe pelayanan di RM Jawa besar memiliki konsep yang hampir sama dengan RM Sunda, yaitu berkonsep prasmanan. Namun untuk RM Jawa kecil, jarang ada yang menyediakan berbagai macam menu masakan, menu yang disediakan di RM Jawa kecil lebih khusus pada beberapa jenis menu saja, misalnya sate Tegal, atau soto Kudus dimana porsi penyajian makanannya sudah ditentukan oleh pihak RM. Cara penyajian RM Jawa mirip dengan RM Sunda, maka berat sisa perkapita pertahun yang diperoleh pun cukup banyak seperti di RM Sunda. Jenis lauk hewani RM Jawa yang sangat bervariasi mengakibatkan jumlah jenis sisa lauk hewani yang diperoleh pun paling banyak dibanding RM lainnya (8 jenis). Variasi lauk nabati di RM Jawa terdiri dari tahu, tempe, dan oncom sehingga masuk ke dalam kategori kurang bervariasi. Variasi sayuran di RM Jawa juga sangat bervariasi. Variasi ini diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan jumlah jenis sisa sayuran di RM Jawa cukup banyak (7 jenis). Porsi penyajian lauk hewani, lauk nabati, dan sayuran di RM Jawa secara umum lebih besar dari standar DBMP sehingga berat sisa beberapa jenis lauk hewani, lauk nabati, dan sayurannya cukup besar.

Tipe pelayanan di Warung Tenda yaitu pemesanan di meja dari menu terlebih dahulu dan penyajian makanan yang dipesan digabung ke dalam suatu piring (rames). Lauk hewani di Warung Tenda misalnya ayam, sapi, telor, lele, dan nila sehingga masuk kategori cukup bervariasi. Variasi ini diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan jumlah jenis sisa lauk hewani di Warung Tenda cukup banyak (5 jenis). Variasi lauk nabati di Warung Tenda terdiri dari tahu, tempe, dan oncom sehingga masuk ke dalam kategori kurang bervariasi. Variasi sayuran di Warung Tenda cukup bervariasi namun jumlah jenis sisa sayuran di Warung Tanda sedikit (3 jenis). Porsi penyajian lauk hewani di Warung Tenda secara umum lebih besar dari standar DBMP sehingga berat sisa beberapa jenis lauk hewani cukup besar. Porsi penyajian lauk nabati dan sayuran di Warung Tenda secara umum lebih kecil dari standar DBMP namun berat sisa beberapa jenis lauk nabati dan sayurannya cukup besar.

22

Tabel 20 Perbedaan penyajian makanan terhadap sisa yang diperoleh

Jenis RM RM Padang RM Sunda RM Jawa Warung Tenda Variasi jenis pangan yang digunakan untuk hidangan

Lauk hewani Sangat bervariasi, sehingga jumlah jenis sisa lauk hewani cukup banyak (5 jenis) Sangat bervariasi, namun jumlah jenis sisa lauk hewani paling sedikit (3 jenis)

Sangat bervariasi, sehingga jumlah jenis sisa lauk hewani paling banyak (8 jenis)

Cukup bervariasi, sehingga jumlah jenis sisa lauk hewani cukup banyak (5 jenis) Lauk nabati Kurang bervariasi, sehingga jumlah jenis sisa lauk nabati paling sedikit (tidak ada)

Kurang bervariasi, jumlah jenis sisa lauk nabati paling (3 jenis)

Kurang

bervariasi, jumlah jenis sisa lauk nabati paling banyak (3 jenis)

Kurang

bervariasi, jumlah jenis sisa lauk nabati sedikit (2 jenis) Sayuran Cukup bervariasi, sehingga jumlah jenis sisa sayuran paling sedikit (4 jenis) Sangat bervariasi, sehingga jumlah jenis sisa sayuran paling banyak (10 jenis)

Sangat bervariasi, sehingga jumlah jenis sisa sayuran banyak (7 jenis)

Cukup bervariasi, namun jumlah jenis sisa sayuran sedikit (3 jenis)

Porsi penyajian (berdasakan hasil pengamatan dibandingkan terhadap standar DBMP II) Lauk hewani Lebih besar, sehingga berat sisa lauk hewani cukup besar Lebih besar, sehingga berat sisa lauk hewani besar pula

Lebih besar, sehingga berat sisa lauk hewani besar Lebih besar, sehingga berat beberapa jenis lauk hewani diperoleh besar Lauk nabati Sama, sehingga tidak ada sisa lauk nabati

Lebih besar, sehingga berat sisa lauk nabati besar

Lebih besar, sehingga berat sisa lauk nabati besar

Lebih kecil, sehingga berat sisa lauk nabati kecil

Sayuran Sama, namun ada berat sisa beberapa jenis sayuran yang diperoleh besar Lebih besar, sehingga berat sisa sayuran besar Lebih besar, sehingga berat sisa sayuran besar

Lebih kecil, namun berat sisa beberapa jenis sayuran yang diperoleh besar Secara umum, kehilangan pangan dan zat gizi perkapita perkali makan tidak terlalu berarti atau persentase kehilangan terhadap AKG rata-rata masih di bawah satu persen setiap bahan pangannya. Banyak faktor lain yang sebenarnya dapat mempengaruhi sisa makanan konsumen. Menurut Moehyi (1992) sisa makanan terjadi karena makanan yang disajikan tidak habis dimakan atau dikonsumsi. Faktor internal adalah nafsu makan, faktor psikis, keadaan pencernaan, dan kondisi khusus juga mempengaruhi. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi misalnya sikap pelayan dan suasana rumah makan, serta cita rasa makanan. Namun, dalam kasus ini tidak ikut diteliti. Menurut Kwon et al (2012), bahwa Laporan kota Seattle 2007 menunjukkan bahwa mengurangi jumlah sisa makanan dari kegiatan jasa makanan akan berkontribusi secara signifikan terhadap

23 pengurangan kehilangan pangan karena jumlah sisa makanan yang dihasilkan dari supermarket dan restoran diperkirakan 16% dari aliran secara keseluruhan sisa. Pengelola jasa makanan juga perlu untuk melakukan tambahan upaya dan biaya untuk mendidik karyawan dan pelanggan tentang manajemen sisa makanan dan melaksanakan program limbah makanan. Sedangkan menurut Finn (2011), di Amerika Serikat, sisa makanan keseluruhan meningkat lebih dari 50% sejak 1974 dan sisa makanan merupakan sisa terbanyak ketiga setelah kertas dan sampah jalanan. Disebutkan bahwa bisnis lokal (toko, pasar, dan restoran atau rumah makan) merupakan salah satu sasaran yang diharapakan berinisiatif dalam mengurangi sisa makanan.

Dokumen terkait