• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perceraian dalam Peraturan dan Perundang-Undangan

KONSEPSI PERCERAIAN DALAM FIKIH DAN PERUNDANG-UNDANGAN

B. Perceraian dalam Peraturan dan Perundang-Undangan

Peraturan di indonesia yang mengatur perceraian adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, menurut R. Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan keputusan hakim atau tuntutan para pihak selama perkawinan.14 Sedangkan

14

22

pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berasal dari suku kata cerai, dan perceraian menurut bahasa berarti perpisahan, perihal bercerai antara suami dan istri, perpecahan, menceraikan.15

Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam undang-undang perkawinan untuk mejelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang pria dengan wanita yang selama ini hidup sebagai suami istri.16 Perceraian adalah suatu pemutus hubungan dalam suatu perkawinan antara suami istri. Perceraian dapat dilakukan apabila sudah ada ikatan yang dijalani antara pria dan wanita.

Pada Bab I tentang Ketentuan Umum huruf i diterangkan, Khulu’

adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan meberikan tebusan

atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya, dengan demikian khulu’

termasuk dalam kategori cerai gugat. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 1/1974 dalam hal teknis, yang menyangkut kompetensi wilayah pengadilan, seperti dalam cerai talak, mengalami perubahan. Hal ini tampak dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.17 Pertama, dalam PP Nomor 9/1975 gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri, maka dalam UU No. 7/1989 dan Kompilasi Hukum Islam, gugatan perceraian diajukan oleh istri (atau kuasanya). Kedua,

15

WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Indonesia, hlm. 200.

16

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta : Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, h. 189.

17

prinsipnya pengadilan tempat mengajukan gugatan perceraian dalam PP diajukan di pengadilan yang mewilayahi tempat tergugat, maka dalam UU No. 7/1989 dan Kompilasi Hukum Islam, di Pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman penggugat. Untuk penjelasan selengkapnya diuraikan berikut.

Pasal 73 UU No. 7/1989 menyatakan :

1. Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

2. Dalam hal penggugat bertempat kediaman diluar negri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

3. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.18

Berikutnya diatur mengenai alat-alat bukti yang menguatkan alasan-alasan diajukan gugatan. Hanya Pasal 21 PP Nomor 9/1975 menambahkan masalah tempat mengajukan gugatan kaitannya dengan alasan-alasannya. Pasal 21

18

24

1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b,

pelanggaran ta’lik talak, pen, diajukan kepada pengadilan ditempat

kediaman penggugat.

2. Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.

3. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Pasal 22

1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, suami istri terus menerus dalam perselisihan, diajukan kepada pengadilan tempat kediaman tergugat.

2. Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri itu.

Adapun yang menyangkut alasan-alasan dan dukungan alat buktinya, dijelaskan dalam Pasal 74, 75, dan 76 UU No. 7/1989 dan Pasal 133, 134, dan 135 Kompilasi.

Hal-hal yang menjadi sebab putusnya ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri yang menjadi pihak-pihak terikat dalam perkawinan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 38 dinyatakan ada tiga sebab, yaitu karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.19

19

Ahmad Khuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Pertama, h. 117.

Perceraian dapat merupakan sebab suami, sebab istri, dan sebab keputusan pengadilan, akan dijabarkan sebagai berikut :

1. Sebab yang merupakan hak suami

Ikatan perkawinan yang dibangun oleh pihak-pihak dengan dasar sukarela dalam arti bebas dari paksaan luar, termasuk pihak dari wali, orang tua ataupun penguasa. Oleh karena itu dalam kondisi tertentu bila ikatan itu tidak dapat dipertahankan, Islam membolehkan untuk memutuskan ikatannya atas dasar kemampuan pihak-pihak. Suami diberi hak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab pemutusannya. Perbuatan hukum itu disebut dengan thalaq.20

2. Sebab yang merupakan hak istri

Istri diberi hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang menjadi sebab putusnya perkawinan, perbuatan hukum tersebut adalah

Khul’un.21 Istri meminta suaminya untuk melakukan pemutusan tali ikatan perkawinan dengan cara istri menyediakan pembayaran untuk menebus dirinya kepada suaminya.

3. Sebab atas keputusan pengadilan

Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak pengadilan berada diluar pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan hubungan ikatan perkawinan ini pengadilan tidak melakukan inisiatif. Keterlibatannya terjadi apabila salah satu pihak suami atau pihak istri mengajukan gugat atau permohonan kepada pengadilan.

20

Ahmad Khuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Pertama, h. 117-118.

26

Perceraian hanya dapat dilakukan dalam sebuah sidang dipengadilan. Apabila perceraian dilakukan bukan didalam sidang pengadilan maka perceraian itu tidak sah karena tidak ada kekuatan hukumnya yang tetap. Pada permulaan sidang di pengadilan, hakim melakukan perdamaian terhadap para pihak untuk tidak bercerai, akan tetapi apabila tidak dapat didamaikan maka sidang dilanjutkan.

Suami istri memiliki hak yang sama untuk melakukan perceraian karena pihak itu tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. akan tetapi perceraian itu harus dengan alasan-alasan yang sesuai dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang perkawinan adalah mempersulit terjadinya perceraian. Karena tujuan dari perkawinan itu adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal serta sejahtera.

Adapun menurut undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 39 ayat (2) dijelaskan bahwa untuk melakukan perceraian diperlukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian, oleh karena itu dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 19.

Subekti SH mengatakan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan satu pihak dalam perkawinan itu.22 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena thalaq atau gugatan perceraian.

Thalaq adalah hak cerai bagi suami sedangkan gugatan cerai adalah hak cerai istri dengan alasan yang telah datur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116.

22

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 1995), cet Ke-27, h. 42.

27 BAB III

Dokumen terkait