• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percobaan ( Poging )

Dalam dokumen PEMBAKARAN ORANG SEBAGAI PERCOBAAN PEMBU (Halaman 41-49)

BAB II TINJAUAN TEORI TENTANG KESENGAJAAN ( DOLUS ),

2. Percobaan ( Poging )

Adakalanya suatu kejahatan telah mulai dilakukan, tetapi tidak dapat diselesaikan sesuai dengan maksud si pelaku. Misalnya:37

a. A bermaksud mencuri rumah X.

Dengan membongkar dan merusak jendela, A masuk ke rumah X, tetapi karena X terbangun dan jendela dari mana A masuk terbuka, A kepergok dan ditangkap oleh petugas ronda

b. B seorang tukang copet, pada saat memasukkan tangan ke kantong R, ia ketangkap.

Kedua contoh di atas memperlihatkan bahwa maksud pelaku belum terlaksana yaitu X dan R belum kehilangan sesuatu. Meskipun demikian, perbuatan A dan B

37

merupakan perbuatan melawan hukum beserta membahayakan kepentingan orang lain yang dilindungi oleh hukum dan layak diancam hukuman.

Pada asasnya, dalam hukum pidana suatu perbuatan baru dapat dinyatakan dapat dihukum apabila perbuatan tersebut telah selesai dengan sempurna.38 Sianturi merumuskan bahwa percobaan merupakan “perluasan tindak pidana atau merupakan tindak pidana berbentuk khusus”.39 Sebagai perluasan tindak pidana, percobaan tidak memperluas jumlah rumusan delik suatu tindak pidana tetapi hanya memperluas dapat dipidananya seseorang sesuai dengan pidana yang ditentukan dalam rumusan delik. Definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan (poging) tidak dijumpai di dalam undang-undang. Ketentuan yang menenentukan tentang percobaan terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP, namun di dalam ketentuan tersebut hanya merumuskan tentang syarat-syarat untuk dapat dipidananya bagi seseorang yang melakukan percobaan kejahatan.40 Ketentuan yang menentukan tentang tindak pidana percobaan (poging) ditentukan dalam Pasal 53 KUHP yang menentukan bahwa :

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri.

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.

38 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung,

2011, h. 162.

39 S. R. Sianturi, Op.Cit., h. 310.

40 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Raja

31

(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Berdasarkan rumusan pasal 53 ayat (1) KUHP, unsur-unsur percobaan adalah: 1) Niat (voornemen), Maksud dari orang yang hendak melakukan kejahatan,

yang diancam sanski oleh suatu norma pidana

2) Permulaan Pelaksanaan kejahatan sudah nyata sebagaimana telah ditentukan dalam suatu norma pidana

3) Keadaan, yakni pelaksanaan itu tidak selesai hanya karena keadaan-keadaan yang tidak tergantung pada kehendak orang yang melakukan (pelaku) Dengan telah dipenuhinya unsur-unsur tersebut maka suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana percobaan. Terdapat beberapa bentuk-bentuk percobaan meliputi percobaan selesai, percobaan tertunda, percobaan yang dikualifisir, dan percobaan tidak mampu.

Voornemen atau yang diterjemahkan sebagai niat adalah unsur yang bersifat subjektif dalam percobaan. Berikut adalah pendapat Pompe mengenai niat, Een voornemen is gericht op willens en wetens, dus opzettelijk, handelen. Voornemen en opzet staat dus in nauwe btrekking tot elkaar. Toch is voornemen niet slechts mogelijk bij opzettelijke misdrijven, maar soms ook bij culpoze, nl. Bij die, welke volgens de wettelijke omschrijving naast de onachtzaamheid ook opzet eisen. (Suatu niat di tunjukan pada menghendaki dan mengetahui sehingga itu berarti bertindak dengan sengaja. Dengan demikian, maka antara niat dengan sengaja terdapat suatu hubungan yang erat antara satu dengan yang lain. Akan tetapi niat tidak hanya dapat ditunjukan terhadap kejahatan-kejahatan yang dapat dilakukan dengan sengaja, khususnya pada

kejahatan-kejahatan yang menurut rumusan undang-undang kekurang hati-hatian juga unsur sengaja).41

Pendapat Pompe mirip dengan Moeljatno yang membedakan antara niat dengan kesengajaan. Menurut Moeljatno niat adalah sikap batin. Sesuatau yang masih berada dalam hati. Jika niat sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat berubah menjadi suatu kesengajaan. Dengan kata lain, niat adalah subjectieve onrehtselement

atau melawan hukum yang subjektif, sedangkan kesengajaan adalah objectieve onrechselement yang dalam konteks percobaan adalah permulaan pelaksanaan. Dalam konteks demikian Eddy O.S. Hiariej sependapat dengan moeljatno yang menyatakan bahwa niat tidak identik dengan kesengajaan.42

Unsur kedua dari percobaan adalah begin van uitvoering atau permulaan pelaksanaan. Menurut van Hamel, pelaksanaan (uitvoering) dalam frasa “permulaan pelaksanaan” haruslah diartikan sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan. Demikian juga Pompe yang menyatakan “De wet eist een begin van uitvoering. Begin van uitvoering van het misdriff, wel te verstaan” (Undang-undang mensyaratkan permulaan pelaksanaan adalah yang dimaksud permulaan dari kejahatan).

Dalam hal ini, telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat dipandang sebagai salah satu unsur dari norma pidana, misalnya:

41 Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., h. 335. 42Ibid., h. 336.

33

“Kehendak mencuri atau mengambil barang milik orang lain mulai diwujudkan misalnya, telah memasuki rumah atau pencopet telah memasukan tangan ke kantong orang yang hendak di copet”.

Perbuatan pelaksanaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan (act of preparation). Pengertian perbuatan pelaksanaan menurut Hoge Road adalah sebagai berikut: “bahwa hanya perbuatan yang menurut pengalaman orang dengan tidak dilakukan perbuatan lain lagi, akan menimbulkan pembakaran, dapat dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan”.

Hoge Raad dengan arrest tanggal 19-3-1934, N.J. 1934 halaman 450:

Act of preparations merupakan perbuatan persiapan yang belum termasuk perbuatan pelaksanaan karena masih dibutuhkan perbuatan lain lagi untuk mencapai maksudnya, misalnya: A hendak menganiaya B, maka A mempersiapkan diri membeli sebilah pisau kemudian diasah; serta R bermaksud untuk membakar rumah Y, kemudian R mempersiapkan diri dengan membeli bensin.

Perbuatan-perbuatan tersebut masih memerlukan perbuatan lain lagi untuk merealisasikan maksud atau kehendak si pelaku.43

Tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendak sendiri, bila merujuk pada pasal 53 ayat (1) KUHP, maka unsur ketiga itu berbunyi “Tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendak sendiri”. Menurut M.v.T. unsur ini adalah untuk menjamin

43

tidak akan dipidana orang yang dengan kehendak sendiri, sukarela mengurungkan pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai. Cujus est instituere, ejus est abrpgare: siapa yang memulanya, ia dapat menghentikannya. Secara a contario, seorang dapat dipidana percobaan jika terhentinya permulaan pelaksanaan karena sesuatu di luar kehendaknya sendiri.

Menurut Frank, kriteria menentukan tidak selesainya permulaan pelaksanaan bukan karena kehendaknya sendiri dirumuskan sebagai berikut: tidak dapat dipidananya pelaku bila pelaku berkata “saya tidak mau meneruskannya, meskipun saya sebenarnya mampu”. Diancam dengan pidana bila pelaku mempertimbangkan “saya tidak dapat melanjutkannya, padahal saya betul ingin menyelesaikannya”. Ilustrasi berdasarkan kriteria yang di berikan oleh Frank dapat digambarkan oleh Eddy O.S. Hiariej sebagai berikut:44

Ilustrasi Pertama: A hendak membunuh B, dengan sebilah pisau yang telah diasah terlebih dahulu, A kemudian mendatangi rumah B. setelah mengetuk pintu rumah B dan kebetulan B yang membuka pintu, pada saat yang sama, A mengeluarkan pisau dan hendak menusuk B, namun berhasil menghindar dan B berteriak minta tolong. Oleh karena teriakan tersebut, A kemudian melarikan diri. Ilustrasi Kedua: C hendak membunuh D karena persaingan bisnis kemudian hendak mendatanginya dengan membawa pistol yang telah diisi peluru, Di tengah jalan, C mendapat telepon bahwa D sedang berbaring di tempat tidur karena terserang stroke. Mendengar kabar tersebut, C kemudian merasa iba dan kembali kerumahnya.

Pada ilustrasi pertama, jelas ada percobaan pembunuhan. Dasar argumentasinya, perbuatan pembunuhan tidak diteruskan karena teriakan minta tolong, menyebabkan pelaku menghentikan niatnya. Artinya, tidak terjadi pengunduran

35

diri secara sukarela. Sedangkan pada ilustrasi kedua, pelaku karena merasa iba kemudian tidak meneruskan perjalanan kerumah calon korban. Artinya pengunduran diri dilakukan secara sukarela. Dengan dimikian tidak ada percobaan pembunuhan.

Percobaan selesai menurut Adami Chazawi adalah perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang pelaksanaannya sudah begitu jauh sama seperti tindak pidana selesai, akan tetapi oleh sebab sesuatu hal tindak pidana itu tidak terjadi. dikatakan selesai oleh sebab pelaksanaannya sesungguhnya sama dengan pelaksanaan yang dapat menimbulkan tindak pidana selesai. Percobaan tertunda menurut Adami Chazawi adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan. Selain itu, dikenal juga percobaan yang dikualifikasir menurut Adami Chazawi adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju.45

Adapun percobaan tidak mampu, diartikan sebagai “percobaan yang betapapun lanjutnya tidak akan dapat menyelesaikan kejahatan karena atau sarananya atau tujuannya tidak mampu. Ketidak mampuan sarana maupun tujuan dibedakan antara yang mutlak dan nisbi”.46 Tidak mampu mutlak adalah tidak mampu karena sarana atau tujuan dalam keadaan apapun tidak dapat mendatangkan hasil yang dikehendaki. Tidak mampu nisbi adalah tidak sarana dan tujuan yang pada umumnya dapat mendatangkan

45 Adami Chazawi I, Op.Cit., h. 60-61. 46

hasil yang dikehendaki tetapi dalam keadaan tertentu tidak demikian sehingga masih ada kesempatan atau waktu untuk mencapai suatu tindakan tersebut.

Bentuk percobaan menurut Eddy O.S Hiariej bentuk percobaan dibagi menjadi dua, yaitu yang pertama adalah percobaan yang terhenti atau geschorste poging. Sedangkan bentuk percobaan yang kedua disebut dengan istilah vooltooide poging. Permulaan pelaksanaan sangat erat kaitannya dengan geschorste poging. Dalam beberapa literatur, istilah untuk menggantikan geschorste poging disebut dengan

tentative, sedangkan istilah untuk menggantikan vooltooide poging disebut sebagai

delit manque.47

Ilustrasi tentative adalah sebagai berikut. A dengan sebilah pisau yang terhunus hendak menusuk B di bagian perut, namun karena B pandai beladiri, berhasil menendang tangan A hingga pisau terjatuh. Dalam konteks yang demikian, A telah melakukan percobaan pembunuhan terhadap B, namun percobaan tersebut terhenti atau

geschorste poging atau dalam literature Jerman disebut sebagai unbeendigter versuch. Bandingkan dengan ilustrasi delit manque. A tidak senang dengan B dan ingin membunuhnya. Dengan menggunakan senjata laras panjang, A melepaskan tembakan ke arah B dan mengenai perutnya. Seketika, B dilarikan ke rumah sakit dan nyawanya masih bisa ditolong. In casu a quo, A telah melakukan percobaan pembunuhan terhadap B, namun merupakan percobaan selesai atau dalam literatur Jerman disebut sebagai beendigter versuch. Kendatipun A secara tuntas menempuh jalur criminal

37

(inter criminis) akan tetapi, akibat yang diharapkan sebagai unsur delik tidak terjadi. Kedua, bentuk percobaan tersebut bila dihubungkan dengan rumusan delik formil – materil, maka dapat disimpulkan bahwa tentative dapat terjadi pada delik-delik baik yang dirumuskan secara formil maupun secara materil. Sedangkan khusus delit manque, hanya dapat terjadi pada delik-delik yang dirumuskan secara materiil.

Dalam dokumen PEMBAKARAN ORANG SEBAGAI PERCOBAAN PEMBU (Halaman 41-49)

Dokumen terkait