• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAKARAN ORANG SEBAGAI PERCOBAAN PEMBU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBAKARAN ORANG SEBAGAI PERCOBAAN PEMBU"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAKARAN ORANG SEBAGAI PERCOBAAN PEMBUNUHAN

BERENCANA DITINJAU DARI KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM

PIDANA

SKRIPSI

OLEH:

ZULKARNAEN AKHMAD KURNIAWAN

NRP. 2120714

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ii

dapat menyelesaiakan skripsi dengan judul “Pembakaran Orang Sebagai Percobaan Pembunuhan Berencana Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Dalam penulisan skripsi ini tentunya mendapatkan banyak bantuan, pengarahan dan dorongan semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Surabaya, yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk berkarya dan menjadi sivitas akademika Universitas Surabaya.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Dr. Yoan Nursari Simanjuntak, S.H. M.Hum. yang memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi bagian dari keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Surabaya.

(7)

iii

4. Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Dr. Elfina Lebrine Sahetapy, S.H., LL.M. yang memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi bagian dari keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Surabaya.

5. Ketua Laboratorium Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Dr. Suhartati, S.H., M.Hum., atas semua inspirasi, semangat dan dorongan yang diberikan.

6. Ibu Dr. J.M. Atik Krustiyati, S.H., M.S., yang telah memberikan inspirasi, pengetahuan, semangat, dorongan, arahan, bantuan dan waktunya kepada saya. Semoga semua ilmu yang saya peroleh ini dapat berguna bagi kehidupan saya di kemudian hari.

7. Bapak Anton Hendrik Samudra, S.H., M.H., Terimakasih atas waktu yang diberikan, yang telah memberikan banyak pengetahuan, masukan dan wawasan sehingga skripsi saya dapat berjalan dengan lancar dan cepat. Semoga ilmu yang saya peroleh dapat diamalkan di kemudian hari dan bermanfaat bagi banyak orang.

8. Ibu Dr. Elfina Lebrine Sahetapy, S.H., LL.M., terimakasih atas pengetahuan serta arahan yang diberikan kepada saya sehingga skripsi ini menjadi lebih baik lagi. 9. Bapak Suhariwanto, S.H., M.Hum., terimakasih atas masukan dan ilmu yang

diberikan sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

(8)

iv

telah memberikan pelayanan pengurusan administrasi selama saya kuliah.

12.Kepala perpustakaan Universitas Surabaya beserta staf yang telah memberikan pelayanan dalam peminjaman buku.

13.Kedua orangtua saya, Bapak H. Eas Priyana, drs. dan Ibu Hj. Asrul Fatoni, dra., yang merupakan anugerah terindah dalam hidup saya, selalu mendoakan, memberikan yang terbaik buat saya, memberikan kasih sayang, semangat, motivasi, dorongan selama hidup ini serta untuk dapat menyelesaikan studi S-1 dengan berhasil ( Ing Ngarso Sing Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani), dan hal terpenting adalah selalu mengingatkan saya untuk berbuat baik, beribadah tepat waktu, dan tidak lelah untuk bersabar menghadapi sikap, tingkah laku dan semua kekurangan yang ada pada diri saya. Serta mbak-mbak dan mas-mas saya. Keluarga besar Melati Krian dan Keluarga besar Slamet Madiun.

14.Calon istri serta calon ibu dari anak-anak kelak Lisa Dwi Oktaviani, S.Psi yang selalu memotivasi saya dan selalu menemani dikala suka dan duka, serta tidak berhenti bersabar dengan sikap saya.

(9)

v

kedepannya, serta selalu menganggap kami berdua sama halnya dengan keluarga. Sahabat saya Encik Idham Ramdhani, S.M., yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk diskusi dan bertukar pikiran serta selalu mensupport saya. Sahabat seperjuangan saya Emir Ariansyah Sutan Malayu, S.A., yang selalu bersedia membantu saya dalam banyak hal.

16.Saudara dalam kesatuan 48, Mas Dendhy, Mas Riko, Mas Irfan, Mas Fajar, Mas Riyan, Hermawan, S.Psi., Kak Reyhan, Mas Bagoes, Mas Sony, yang selalu support memberikan dorongan, bantuan dan motivasi. Terimakasih karena telah menjadi sahabat dan keluarga seutuhnya. “Kisah Klasik Untuk Masa Depan” 17.Teman seperjuangan dalam kuliah di ubaya, Nurfansyah, S.Psi., Chris, S.Psi.,

Ivan Agiltio, S.H., Nabil Attuwy S.H., Manuk S.H., Vhajr S.Psi, Arya, Juna, Rivo, S.H., Agung, S.H., Juan, S.H.

18.Teman dan keluarga dalam UKM Musik Ubaya.

19.Teman teman warung Mas Fadil, Mak Duk, Madam kantin Psikologi, dan Pak Breng N Friend, Dan seluruh karyawan / cleaning service di Psikologi mas Yadi N Friend dan Karyawan di Fakultas Hukum.

20.Teman dan sahabat bertukar pikiran serta teman seperjuangan dr. Glen Aprilian Podalah, Sahat Rosian, Defris, Fauzan, Nana, Hasya, Mas Pendik, Group jl Jawa, Group Sosial bersatu serta teman-teman lain yang tidak tersebutkan namanya.

(10)

vi

(11)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Rumusan Masalah ... 11

3. Alasan Pemilihan judul ... 11

4. Tujuan Penelitian ... 12

5. Metode Penulisan ... 13

6. Pertanggungjawaban Sistematika... 15

BAB II TINJAUAN TEORI TENTANG KESENGAJAAN ( DOLUS ), PERCOBAAN ( POGING ), PEMBUNUHAN DAN PENGANIAYAAN, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA...17

1. Kesengajaan (Dolus) ... 17

2. Percobaan (Poging) ... 29

3. Pembunuhan dan Penganiayaan ... 37

(12)

viii

2. Analisis Kasus ... 60

BAB IV PENUTUP ... 85

1 Simpulan ... 85

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Willens en wetens dapat memberikan kesan, bahwa seorang pelaku itu baru dapat dianggap sebagai melakukan kejahatannya dengan sengaja, apabila ia memang benar-benar berkehendak untuk melakukan kejahatan tersebut dan mengetahui tentang maksud dari perbuatannya itu sendiri.1 Maksud kalimat tersebut adalah seseorang yang dianggap telah melakukan kejahatan maka orang tersebut telah dalam keadaan sadar, menginsafi apa yang telah diperbuatnya serta mengetahui dampak apa yang telah ia lakukan sehingga dapat dikatakan sengaja untuk melakukan tindak pidana.

Dalam Memorie van Toelichting (MvT) menteri kehakiman sewaktu mengajukan Crimineel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 1915), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu adalah dengan sadar berkehendak untuk suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van den wil op een bepaald misdrijf).2

1 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984

(selanjutnya disingkat P.A.F Lamintang I), h. 269.

2

(14)

Satochid Kartanegara menjelaskan mengenai MvT bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan di ketahui) adalah.3

“Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari itu”

Ketentuan hukum pidana dalam KUHP menentukan beberapa jenis kejahatan diantaranya ialah kejahatan terhadap tubuh dan kejahatan terhadap nyawa. Penganiayaan merupakan kejahatan terhadap tubuh, dalam yurisprudensi diartikan bahwa penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit atau luka, termasuk juga penganiayaan disini adalah sengaja merusak kesehatan orang. Ketentuan tentang penganiayaan terdapat dalam Buku II Bab XX KUHP yang di dalam nya terdapat beberapa macam tindakan yang termasuk dalam penganiayaan misalnya penganiayaan biasa, penganiayaan yang direncanakan, penganiayaan berat dan sebagainya. Seseorang dapat dipidana karena penganiayaan jika orang tersebut telah melakukan tindakan yang telah memenuhi unsur-unsur penganiayaan, yaitu “sengaja menyebabkan : 1) perasaan tidak enak (penderitaan), 2) rasa sakit (pijn) atau 3) menyebabkan luka”.4

3Ibid, h. 18. 4

(15)

3

Kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Buku II Bab XIX khususnya dalam pasal 338-350 KUHP. Pasal 338 menentukan bahwa, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Pembunuhan termasuk dalam delik materil, dimana kejahatan baru dianggap selesai, apabila akibatnya telah terjadi yaitu kematian orang lain, kematian tersebut disengaja, termasuk dalam niat pembuat.5 Sebagai contoh seseorang dengan sengaja melakukan penembakan terhadap seseorang tepat dikepalanya sehingga orang tersebut mati.

Para ahli hukum tidak memberikan definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan pembunuhan, namun banyak yang mengkategorikan pembunuhan itu termasuk dalam kejahatan terhadap nyawa atau jiwa orang lain. Pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain, untuk menghilangkan nyawa orang lain itu, seseorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan matinya orang. “Mengenai opzet dari seorang pelaku yang harus ditujukan pada akibat berupa matinya orang lain, yakni agar tindakannya itu dapat disebut sebagai suatu pembunuhan”.6

5

Ibid., h. 149.

6 P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus (Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, Kesehatan, Serta

(16)

Selain itu ada pula perbuatan yang dapat menyebabkan matinya seseorang, yaitu karena kekerasan yang sering juga disebut dengan penganiayaan dalam kata lain penyerangan terhadap tubuh manusia dengan tujuan membuat perasaan tidak enak yang disebutkan dalam KUHP yaitu sengaja merusak kesehatan. Walau niat pelaku hanya untuk melukai korbannya, tetapi korban dapat mengalami luka berat hingga dapat menyebabkan hilangnya nyawa manusia.

Untuk membedakan antara “kekerasan fisik yang mengakibatkan kematian” dengan “sengaja menghilangkan nyawa orang lain” adalah sebagai berikut: “luka berat atau mati di sini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh si pembuat. Apabila kematian itu dimaksud maka perbuatan itu masuk pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Lain lagi halnya dengan seorang sopir yang mengendarai mobilnya kurang berhati-hati menubruk orang hingga mati. Perbuatan ini bukanlah suatu penganiayaan berakibat matinya orang (Pasal 351 ayat 3), oleh karena sopir tidak ada pikiran (maksud) sama sekali untuk menganiaya, pun tidak masuk dalam pembunuhan (Pasal 338 KUHP) karena kematian orang itu tidak dikehendaki oleh sopir. Peristiwa itu dikenakan Pasal 359 KUHP (Karena salahnya menyebabkan matinya orang lain).7

Hukum pidana juga mengenal tindakan percobaan (poging) yang ditentukan dalam Pasal 53 KUHP yaitu :

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

7

(17)

5

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.

(3) Jika kejahatan dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Undang-undang tidak memberikan rumusan apakah yang dinamakan percobaan itu, KUHP hanya memberikan ketentuan mengenai syarat-syaratnya agar percobaan pada kejahatan itu dapat dihukum. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar percobaan pada kejahatan dapat dihukum, sebagai berikut :

1. Niat untuk berbuat kejahatan sudah ada; artinya orang sudah mempunyai pikiran untuk berbuat jahat yang meliputi sifat sengaja. Oleh karena itu maka percobaan pada kejahatan lalai tidak mungkin terjadi.

2. Orang sudah mulai berbuat kajahatan itu, maksudnya orang tersebut bukan hanya baru berpikir saja, tetapi harus sudah mulai bertindak.

3. Perbuatan kejahatan itu tidak sampai selesai, oleh karena terhalang karena sebab-sebab yang timbul kemudian; tidak selesai, maksudnya tidak semua unsur-unsur dari kejahatan itu dipenuhi, misalnya bagi delik material, akibat dari delik itu belum terjadi.

4. Sebab-sebab itu tidak terletak dalam kemauan pembuat kejahatan itu sendiri; maksudnya tidak dari kemauan sendiri mundur dari mengerjakan kejahatan itu, sebabnya haus dari luar, misalnya dalam hal akan mencuri, karena ketahuan orang dan sebagainya.8

Pertanggungjawaban pidana memberikan pengertian bahwa suatu kewajiban menanggung segala sesuatu perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana sebagai konsekuensi perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum. Pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana jika melakukan perbuatan pidana. Moeljatno menyatakan “perbuatan pidana adalah

(18)

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.9 Asas yang melandasi pertanggungjawaban pidana adalah “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sit rea)”.10 Moeljatno menyatakan bahwa, untuk adanya kesalahan maka terdakwa harus:

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum). 2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan. 4. Tidak adanya alasan pemaaf.11

(19)

7

ikut terbakar, warga yang mendengar teriakan saksi korban berdatangan menolong dan memadamkan api yang membakar korban dan anak korban, selanjutnya dibawa ke RSUD Setjonegoro untuk mendapatkan perawatan intensif.

Luka bakar di atas memang tidak terlalu banyak, akan tetapi karena sebagian besar terjadi pada wajah, maka hal ini memang dapat menyebabkan kematian. Tergantung pada bagian tubuh yang terbakar, maka pasien mungkin dapat tertolong bila pertolongan diberikan dengan cepat. Karena sebagian besar luka bakar berada pada daerah wajah dan leher, yang mungkin menyebabkan gangguan jalan napas dan mengakibatkan kematian.12

Namun berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Wonosobo, MTD dinyatakan bersalah dan melanggar Pasal 351 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Yaitu, tentang penganiayaan yang mengakibatkan luka berat pada korbannya. Ia dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan.

Berikut adalah petikan Putusan Pengadilan Negeri Wonosobo yaitu Nomor: 15/Pid.B/2013/PN.Wnsb:

1. Terdakwa bernama MTD terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penganiayaan mengakibatkan luka berat

12 Cindy Annathassia, Apakah Luka Bakar Dapat Mengakibatkan Kematian?,

(20)

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa MTD dengan penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan

Terdapat Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 2–1-1986 Reg. No 1295 K / Pid / 198:13

Dalam suatu kasus, adakalanya sulit membuktikan unsur “kesengajaan”, misalnya apakah suatu perkara termasuk “pembunuhan” / ”penganiayaan yang menyebabkan kematian”. Hal ini dapat di perhatikan dalam Putusan Mahkamah Agung. Untuk jelasnya penanganan perkara tersebut adalah sebagai berikut:

- Dakwaan: Primer: Pasal 338 KUHP (Pembunuhan);

- Subsider: Pasal 353 ayat (3) KUHP (Penganiayaan yang menyebabkan kematian);

- Kasus posisi: Terdakwa Romli alias Oom menusuk korban dengan pisau yang diarahkan ke jantung yang juga menembus paru-paru (sesuai Visum et Repertum)

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi memutuskan terdakwa bersalah melakukan penganiayaan yang menyebabkan matinya orang (pasal 353 ayat (3) KUHP dan menyatakan bahwa dakwaan primer tidak terbukti. Pertimbangan

judex facti: Untuk mengetahui adanya kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang lain harus dibuktikan dengan tusukan dan apakah korban meninggal seketika atau tidak.

Mahkamah Agung tidak menyetujui pertimbangan judex facti dan berpendapat sebagai berikut: Tidak meninggalnya korban seketika tidak berarti terdakwa tidak ada kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Bahwa kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang lain dapat dibuktikan dengan alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan tempat pada bagian korban yang dilukai alat tersebut.

Pada saat penjatuhan pidana tersebut terdapat hal-hal yang meringankan dan memberatkan atau membuat hukuman pelaku menjadi lebih berat. Dua hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan, karena dalam hakim menjatuhkan vonis atau

13

(21)

9

putusannya, hakim sudah seyogianya dan sepatutnya berpegang pada suatu pembuktian di persidangan dan fakta persidangan sehingga hakim dapat mempertimbangkan apakah pelaku mendapatkan keringanan atau justru memperberat hukuman. Hal-hal yang meringankan dan memberatkan tersebut juga mengakibatkan adanya perbedaan ancaman pidana terhadap terdakwa yang dimuat dalam putusan hakim, sebagaimana terhadap penerapan pasal 338 KUHP dimana seseorang yang menghilangkan nyawa orang lain akan diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun penjara, akan tetapi hakim bisa saja hanya menghukum terdakwa dengan ancaman penjara 2 tahun, 3 tahun penjara, atau lebih. Bahkan apabila ternyata kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.

(22)

pengakuan bahwa terdakwa menghendaki akan terjadinya suatu tindakan yang dapat mengakibatkan suatu tindakan hukum. Tetapi, jika terdakwa tidak kooperatif dan mengkaburkan suatu fakta hukum atau menyangkal kebenaran semestinya yang telah di dakwakan oleh penuntut umum, maka berdasarkan pemeriksaan terhadap terdakwa dan saksi-saksi, hakim dapat mengambil kesimpulan agar terlihat jelas bahwa kesengajaan dari terdakwa terbukti atau justru tidak terbukti.14

Berkaitan dengan hal-hal apa saja yang harus di pertimbangkan oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana baik perihal yang dapat meringankan maupun memberatkan pelaku didalam perundang-undangan, yurisprudensi, dan ilmu hukum tidak diberikan pedoman yang pasti dan mengikat mengenai hal tersebut bagi hakim sehingga membuat kekuasaan hakim menjadi luas. Kekuasaan hakim dalam memutusan suatu perkara sesuai dengan ketentuan pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa, “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Sehingga dalam memutus suatu perkara hakim memiliki kekuasaan yang merdeka demi penyelenggaraan peradilan guna penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, Makna kebebasan

14

(23)

11

yang dimiliki oleh hakim bukan merupakan kebebasan mutlak dan tak terbatas, sehingga tidak boleh adanya kesewenangan dalam menentukan dan memutuskan pemidanaan.15 Penerapan pasal dalam dakwaan dalam suatu kasus juga harus sesuai dengan perbuatan yang dilakukan karena putusan yang di putus oleh hakim juga berdasarkan tuntutan dalam surat dakwaan. Berkaitan dengan penerapan pasal yang tidak tepat maka akan memungkinkan suatu perkara tersebut tidak akan diperiksa lebih lanjut dalam pengadilan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan satu masalah yaitu: “Apakah tindakan Pembakaran MTD terhadap PA dengan menggunakan bensin merupakan bentuk kesengajaan sebagai maksud atau tujuan dalam percobaan menghilangkan nyawa orang lain dan MTD dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana?”

3. Alasan Pemilihan Judul

Alasan pemilihan judul skripsi ini yang berjudul “Pembakaran Orang Sebagai Percobaan Pembunuhan Berencana Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”.

(24)

Alasan pemilihan judul tersebut adalah terdapat kasus pembakaran terhadap seorang manusia yang terjadi dalam masyarakat, tetapi pelaku mendapatkan sanksi pidana yang terlalu ringan dibandingkan dengan trauma yang diderita oleh korban, serta niat kesengajaan pelaku yang terkaburkan akibat kurang cermatnya pertimbangan keilmuan dalam mengenakan pasal yang digunakan, sehingga pelaku dapat membangun asumsi agar seakan akan pelaku tidak ada kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Alasan selanjutnya adalah seringnya terdapat kerancuan dalam upaya penegakan hukum melalui penerapan peraturan perundang-undangan yang dikenakan kepada pelaku, dari hal-hal yang diuraikan di atas, menjadikan kasus tersebut menjadi hal yang menarik sebahai bahan penulisan yang ditinjau dari segi hukum.

4. Tujuan Penelitian

(25)

13

5. Metode Penulisan

a. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis normatif, merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan literatur.16

b. Pendekatan Masalah

Masalah dalam skripsi ini menggunakan pendekatan Statute Approach dan

Conceptual Approach. Statute Approach, yaitu pendekatan masalah yang dijelaskan dikaji dan dirumuskan berdasarkan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Pendekatan secara Conceptual Approach, yaitu pendekatan masalah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum positif.17 Dan dikaitkan dengan pendapat para sarjana yang meliputi obyek penulisan yakni mengenai kejahatan terhadap percobaan (poging) terutama masalah percobaan pembunuhan.

c. Bahan Hukum atau Sumber Hukum

Bahan hukum primer dan hukum sekunder akan menjadi bahan yang akan digunakan pada penulisan skripsi ini. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang

16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

cet.Ke-11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, h. 13.

17 Peter Mahmud Mardzuki, Penelitian Hukum, cet.Ke-6, Kencana Prenada Media Group,

(26)

memiliki sifat mengikat, Bahan Hukum Primer yang dimaksudkan adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pokok masalah, dan KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ) akan menjadi Bahan Hukum Primer untuk pembahasan pada pembahasan skrispsi yang saya buat.18 Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berisikan tentang penjelasan atau menjelaskan bahan hukum primer, berupa buku-buku literatur, karya ilmiah, keterangan ahli, serta berbagai media baik cetak maupun elektronik yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.

d. Langkah Penulisan

Pada penulisan skripsi ini langkah penulisan yang akan digunakan yaitu dengan melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah mengumpulkan seluruh bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, lalu di adakannya klarifikasi dan memilah-milah bahan hukum yang telah dikumpulkan dan terkait dan selanjutnya bahan hukum disusun secara sistematis agar mempermudah dalam membaca, mempelajari dan melaksanakan studi pustaka.

Bahan hukum yang telah tersusun sistematis selanjutkan akan dilakukan langkah pembahasan. Langkah pembahasan bersifat deduktif yaitu penalaran yang berawal dari pengetahuan yang bersifat umum yang didapat dari peraturan perundang-undangan dan literatur. Kemudian Pembahasan secara deduktif tersebut di

(27)

15

implementasikan pada permasalahan yang dibahas, sehingga akan memperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya akan digunakan suatu penafsiran sistematis yaitu mengkaitkan pengertian antara peraturan perundang-undangan yang ada serta pendapat para sarjana.

6. Pertanggungjawaban Sistematika

Sistematika dalam penulisan ini dibagi menjadi 4 (empat) bab dan masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab, yang akan diuraikan dengan maksud agar lebih mudah dipelajari, menganalisa dan memahami sehingga permasalahan lebih terarah.

Bab I. Pendahuluan, yang merupakan gambaran secara umum sebelum maju menuju permasalahan dalam penulisan ini dan akan dilanjutkan dengan penjelasan secara rinci pada bab-bab berikutnya. Pendahuluan ini berisikan gambaran tentang permasalahan yang terjadi yang akan dibahas dan diletakkan dalam Rumusan Masalah, Alasan Pemilihan Judul, Tujuan Penulisan yang terbagi dalam tujuan praktis dan tujuan akademis, Metode Penulisan yang dipergunakan, serta Pertanggungjawaban Sistematika yang menguraikan setiap bagian bab dalam penulisan skripsi ini.

(28)

pembahasan pada bab berikutnya yang terdiri dari dua sub bab yaitu Tindak Pidana Percobaan Pembunuhan dan Pertanggungjawaban Pidana.

Bab III. Analisis Pertanggungjawaban Pidana MTD yang melakukan Pembakaran terhadap PA sebagai bentuk percobaan pembunuhan secara berencana Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berdasarkan batasan-batasan yang telah dijelaskan pada Bab II. Bab ini Merupakan bab yang memuat analisis dari rumusan masalah yang dikemukakan di dalam skripsi ini, yang terdiri dari dua sub bab yaitu Kronologi Kasus yang akan menjelaskan duduk posisi kasus yang diangkat dalam skripsi ini dan Analisis terhadap kasus yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya.

(29)

17 BAB II

TINJAUAN TEORI TENTANG KESENGAJAAN ( DOLUS ), PERCOBAAN (

POGING ), PEMBUNUHAN DAN PENGANIAYAAN,

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

1. Kesengajaan ( Dolus )

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.19

Dalam pergaulan hidup kemasyarakatan sehari-hari, seseorang dengan suatu perbuatan sering mengakibatkan sekedar kerusakan, kalau ia akan menghindarkan diri dari suatu celaan, hampi selalu berkata “saya tidak sengaja.” Biasanya, apabila kerusakan itu tidak begitu berarti, perbuatan yang tidak dengan sengaja itu dimaafkan oleh pihak yang menderita kerugian. Artinya, tidak dikenai hukuman apapun.

Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Biasanya diajarkan bahwa kesengajaan (opzet) itu tiga macam, yaitu ke-1: kesengajaanyang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk); ke-2: kesengajaan yang bukan

19

(30)

mengandung sesuatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan kepastian; dan ke-3: kesengajaan seperti sub 2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian) bahwa sutu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan).

Van het opzet bevat onze wet geen definitie; het opzet als algemeen leerstuk

wordt in het wetboek niet behandeld. Ter defiering van het opzet bestaan twee

theorieen, de wils en de voorstellingstheorie. Demikian Vos menyatakan yang pada intinya bahwa dalam undang-undang (KUHP) kita, kesengajaan tidak didefinisikan; secara umum ajaran kesengajaan tidak ada dalam kitab undang-undang. Definisi kesengajaan terdapat dalam dua teori, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan.20

Menurut Von Hippel, sengaja adalah akibat yang telah dikehendaki sebagaimana dibayangkan sebagai tujuan. Sedangkan Frank sebaliknya, sengaja dilihat dari akibat yang telah diketahui dan kelakukan mengikuti pengetahuan tersebut. Demikian pula Pompemenyatakan, “...voorstellingstheorie, beschrijft opzet als de wil tot handelen bij voorstelling van de tot de wettelijke omschrijving behorende

bestanddelen. De andere, de z,g, wilstheorie, noem opzet de op verwerklijking der

wettwlijke omschrijving will (teori pengetahuan, kesengajaan berarti kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan

20

(31)

19

undang, sedangkan yang lain adalah teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam undang-undang). Terkait teori kehendak, Suringa menambahkan teori kehendak adalah suatu kelakukan yang menimbulkan akibat-akibat merupakan suatu keharusan tanggung jawabnya, baik akibat yang dikehendaki maupun akibat yang tidak dikehendaki.21

Unsur kesengajaan, unsur tersebut merupakan unsur subyektif. Hal tersebut menjadi sangat penting karena dalam pembunuhan tersebut bisa saja matinya seseorang tersebut tidak dikehendaki oleh si pelaku. Menurut Moeljatno dalam teori diajarkan, bahwa dalam kesengajaan ada tiga corak, yaitu : 22

1. Kesengajaan sebagai maksud; 2. Kesengajaan sebagai kepastian;

3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).

Berkaitan dengan unsur niat Moch. Anwar merumuskan unsur sengaja sebagai niat ialah, “hilangnya nyawa seseorang harus dikehendaki, harus menjadi tujuan. Suatu perbuatan dilakukan dengan maksud atau tujuan atau niat untuk menghilangkan jiwa seseorang, timbulnya akibat hilangnya nyawa seseorang tanpa dengan sengaja atau bukan tujuan atau maksud, tidak dapat dinyatakan sebagai pembunuhan, jadi dengan

21Ibid.

(32)

sengaja berarti mempunyai maksud atau niat atau tujuan untuk menghilangkan jiwa seseorang”.23

Berkaitan dengan kesengajaan sebagai kepastian menurut Sianturi, yang menjadi sandaran adalah seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan salah satu unsur dari pada suatu delik yang telah terjadi, dalam hal ini termasuk tindakan atau akibat-akibat lainnya yang pasti atau harus terjadi.24 Misalnya, jika seseorang penerbang membom tanggul sesuatu waduk, ia harus pasti mengetahui bahwa tanggul itu akan hancur dan air dalam waduk akan tertumpah dan mengakibatkan banjir.

Menurut Moeljatno, mengenai akibat dan keadaan yang menyertai, meskipun diinsyafi adanya atau kemungkinan adanya ketika berbuat, mungkin pula tidak dikehendaki. Sehingga kalau dikatakan terdakwa melakukan perbuatan pidana dengan kesengajaan, maka kemungkinanannya ialah bahwa dia memang menghendaki perbuatan tersebut, baik kelakuan maupun akibat/keadaan yang menyertainya.25

Moeljatno juga menjelaskan pula bahwa tidak ada perbedaan prinsip antara kedua teori tersebut terkait kesengajaan terhadap unsur-unsur delik. Teori pengetahuan

23

Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Cipta Adya Bakti, Bandung, 1994, h. 89.

24 S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem

Petehaem, Jakarta, 1986, h. 177.

25

(33)

21

mempunyai gambaran dari apa yang ada dalam kenyataan, sedangkan teori kehendak menyatakan kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik. Kendatipun demikian, Moeljatno sendiri lebih dapat menerima teori pengetahuan daripada teori kehendak dengan alasan bahwa di dalam kehendak untuk melakukan sesuatu sudah ada pengetahuan tentang hal itu, namun tidak sebaliknya, seseorang yang mengetahui belum tentu menghendaki suatu perbuatan.26

Kedua teori tersebut dalam praktiknya tidak ada perbedaan yang hakiki. Menurut sejarah pembentukan KUHP (Memorie van Toelichting) di Twee de Kammer

(Parlemen Belanda) sebagaimana yang dikutip Pompe, syarat kesengajaan adalah

willens en wetens atau menghendaki dan mengetahui (In die zin men opzettelijk aanduiden als willens en wetens (aldus ook de Memorie van Toelichting, Smid I bls).

Kedua syarat tersebut bersifat mutlak. Artinya, seseorang dikatakan melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, jika perbuatan tersebut dilakukan dengan mengetahui dan menghendaki. Hanya saja si pelaku yang melakukan suatu perbuatan pidana sudah pasti menyadari bahwa akibat dari perbuatan tersebut bisa sesuai dengan kehendak atau tujuannya, maupun tidak sesuai dengan kehendak atau tujuannya. Affectus punitur licet non sequator effectus. Artinya, kesengajaan dapat dihukum walaupun kehendak atau tujuannya tidak tercapai.27

26

Ibid., h. 186-187.

27

(34)

Vos, dalam leerboek-nya menyatakan, “….drie vormen waarin het opzet zich kan voordoen: 1) Opzet als oogmerk; 2) Opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn; 3) Opzet bij mogelijkheidsbewustzijn, artinya adalah yang dimaksudkan Vos tiga bentuk kesengajaan meliputi 1) Kesengajaan sebagai maksud, 2) Kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan; 3) Kesengajaan sebagai kemungkinan. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Vos, dalam beberapa literatur kita kenal dengan istilah tiga corak kesengajaan28

Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya yang berjudul “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana” membedakan antara Kesengajaan Sebagai Kemungkinan dengan Dolus Eventualis pendapatnya merujuk pada Jan Remmlink, demikian pula dengan Schaffmeister, Keijzer dan Sutorius,tidakseperti yang telah di ungkapkan Moeljatno diatas, yakni corak dalam kesengajaan menurut Moeljatno hanya ada 3 yaitu: Kesengajaan Sebagai Maksud, Kesengajaan Sebagai Kepastian serta Kesengajaan Sebagai Kemungkinanan (Dolus Eventualis)

Jenis-jenis kesengajaan sendiri menurut Eddy O.S. Hiariej dibagi menjadi delapan belas kesengajaan, dan bahkan kesengajaan sebagai kemungkinan di pisahkan dengan dolus eventualis, berikut adalah klasifikasi kesengajaan :

1. Kesengajaan Sebagai Maksud 2. Kesengajaan Sebagai Kepastian 3. Kesengajaan Sebagai Kemungkinan

28

(35)

23

Kesengajaan seseorang merupakan inti perbuatan. Hukum pidana akan melihat unsur kesengajaan berdasarkan kasus per kasus (animus ad se omne jus ducit). Terkadang kesengajaan lebih diperhitungkan dibandingkan dengan kejadiannya atau fakta yang sesungguhnya (in maleficiis voluntas spectator, non exitus).29

Kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk adalah kesengajaan untuk mencapai suatu tujuan. Artinya, antara motivasi seseorang melakukan perbuatan, tindakan dan akibatnya benar-benar terwujud. Motivasi seseorang sangat mempengaruhi perbuatannya (affection tua nomen imponit operi tuo). Opzet als oogmerk adalah bentuk kesengajaan yang paling sederhana. Sebagai missal, Y ingin membunuh Z karena Z berselingkuh dengan istrinya. Ketika Z sedang berjalan di jalan yang sepi, Y memukul bagian belakang kepala Z dengan batu bertubi-tubi hingga tewas. Disini, motivasi Y adalah karena Z berselingkuh dengan istrinya. Tindakan Y

(36)

memukul berkali-kali di bagian belakang kepala Z hingga mati adalah tindakan dan akibat yang memang dikehendaki.

(37)

25

batin untuk meledakkan kapal dengan mengorbankan nyawa adalah dolus dengan kesadaran akan kepastian atau opzet met noodzakelijkheidsbewutsjzijn. 30

Bemmelen menjelaskan pendapat pompe mengenai kesengajaan sebagai kemungkinan sebagai berikut, “Jika seseorang melakukan suatu perbuatan dengan kesadaran bahwa perbuatannya akan dapat menyebabkan matinya orang lain, hal itu menunjukkan bahwa ia memang menghendaki kematian orang itu”.31

Kesengajaan sebagai suatu kemungkinan adakalanya suatu kesengajaan menimbulkan akibat yang tidak pasti terjadi namun merupakan suatu kemungkinan. Dalam hal yang demikian terjadilah kesengajaan dengan kesadaran akan besarnya kemungkinan atau opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn. Beberapa ahli hukum pidana seperti Vos, Hazewinkel Suringa, Jonkers, Simons dan Moeljatno menyamakan kesengajaan sebagai suatu kemungkinan dengan dolus eventualis. Akan tetapi dalam bab ini kesengajaan sebagai suatu kemungkinan dipisahkan dengan dolus eventualis. Pendapat yang demikian pula Schaffmeister, Keijzer dan Sutorius yang membedakan antara kesengajaan dengan kesadaran besarnya kemungkinan dan kesengajaan bersyarat atau dolus eventualis. Contoh kesengajaan sebagai kemungkinan yang selalu disinggung dalam berbagai literatur adalah kasus kue taart kota Hoorn di Belanda berdasarkan Putusan Hof Amsterdam, 9 maret 1911, W 9154 dan di tingkat Kasasi oleh Hoge Raad, 19 juni 1911, W 9203. Seseorang di Amsterdam yang tidak senang kepada

30Ibid., h. 173.

(38)

Mantri Pasar di Kota Hoorn memberi racun tikus pada kue tarcis yang di belinya di Haarlem pada tanggal 28 September 1910. Kue tarcis yang telah diberi racun tikus kemudian dikirm dari Amsterdam di Hoorn pada tanggal 29 September 1910 kepada Mantri Pasar. Dalam perjalanan dengan kereta api menuju Hoorn, orang tersebut baru menyadari bahwa meskipun tujuannya untuk membunuh Mantri pasar, namun dirumah tempat kue tarcis beracun itu dikirim, Mantri pasar tersebut tinggal bersama istrinya, sehingga ada kemungkinan kue tersebut dimakan juga oleh istrinya. Orang tersebut tidak berbuat apa-apa dan pada kenyataannya yang mati akibat memakan kue tersebut bukannya Mantri pasar, melainkan istrinya pada tanggal 30 September. 32

Dolus Eventualis atau kesengajaan bersyarat pada dasarnya seseorang melakukan perbuatan namun tidak menghendaki akibatnya. Dapat dikatakan bahwa meskipun seseorang tidak menghendaki akibatnya, namun perbuatan tersebut tetap dilakukan, maka dengan demikian orang tersebut harus memikul apapun risiko yang timbul. Dalam Dolus Eventualis menurut hukum Jerman haruslah ada billigend in kauf nehmen atau menerima penuh risiko terwujudnya suatu kemungkinan. Moeljatno menyebutkan teori billigend in kauf nehmen sebagai teori apa boleh buat. Dengan mengutip pendapat Mezger, Moeljatno kemudian menjelaskan bahwa Dolus Eventualis

adalah seseorang yang melakukan perbuatan sama sekali tidak menghendaki adanya akibat yang dilarang oleh hukum pidana. Kendatipun demikian, jika akibat yang tidak dikehendaki itu timbul, maka orang tersebut harus berani memikul risikonya. Sebagai

(39)

27

misal Dolus Eventualis adalah seorang pengendara sepeda motor yang dikejar polisi, kemudian mengendarai motor dengan kecepatan tinggi ditengah lalu lintas yang sangat padat agar lolos dari kejaran polisi. Pengendara sepeda motor tersebut kemudian menabrak penjalan kaki dan menyebabkan kematian. Di sini, jangankan akibat kematian, perbuatan menabrak perjalan kaki sama sekali tidak dikehendaki oleh pengendara sepeda motor, akan tetapi kemungkinan untuk menabrak disadarinya karena mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi ditengah lalu lintas yang padat dan kemungkinan yang disadarinya itu benar-benar terjadi sehingga apa boleh buat pengendara sepeda motor itu harus memikul risikonya. 33

Bandingkan dengan kesengajaan sebagai kemungkinan dalam contoh kasus kue tarcis dari kota Holland diatas. Dalam kasus tersebut si pelaku dari awal sudah mempunyai niat untuk membunuh, namun yang mati bukanlah orang yang dikehendakinya. Terkait Dolus Eventualis ini hanya terdapat perbedaan tipis dengan culpa lata khususnya terkait syarat menghendaki dan mengetahui.

Dapatlah dikatakan bahwa Dolus Premeditatus adalah kebalikan dari Dolus Repentinus. Dalam hukum Jerman, Dolus Premeditatus dikenal dengan istilah beratene mut. Dolus Premeditatus adalah kesengajaan yang dilakukan dengan rencana terlebih dulu. Dalam KUHP, Dolus Premeditatus terdapat di beberapa pasal, antara lain pembunuhan berencana, pembunuhan anak berencana dan penganiayaan dengan

33

(40)

rencana terlebih dulu. Rencana dalam melakukan suatu perbuatan yang dilarangbukanlah bentuk khusus dolus, melainkan memberi suatu nuansa untuk melakukan perbuatan pidana denga pertimbangan yang matang. Dolus Premeditatus

adalah suatu keadaan yang memberatkan dalam penjatuhan pidana. Kejahatan yang dilakukan secara bersama – sama dua orang atau lebih biasanya merupakan Dolus Premeditatus yang dimulai dengan suatu permufakatan jahat.34

Rumusan “sengaja” pada umumnya dicantumkan dalam suatu norma pidana. Akan tetapi, adakalanya rumusan “sengaja” telah dengan sendirinya tercakup dalam suatu “perkataan”, misalnya “memaksa”.35

Rumusan “sengaja pada norma hukum pidana dimuat dengan kata-kata antara lain:36

a. Dengan maksud;

Misalnya Pasal 362 KUHP berbunyi:

“Barang siapa mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memilikinya dengan melawan hukum….”

b. Dengan sengaja;

Misalnya pasal 338 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum….”

c. Mengetahui atau diketahuinya; Misalnya pasal 480 KUHP berbunyi:

“Dengan hukuman penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp.60,00 dapat dihukum karena penadahan, barang siapa … yang

34Ibid, h. 181-182.

(41)

29

diketahuinya atau patut disangkanya bahwa barang itu diperoleh dari kejahatan”.

d. Dengan rencana lebih dahulu;

Misalnya pasal 340 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan berencana …”

Menurut M.v.T., untuk terpenuhinya unsur “dengan rencana terlebih dahulu” diperlukannya waktu untuk berpikir dengan tenang. Dengan demikian, sudah cukup jika si pelaku berpikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia melakukan kejahatan sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya.

2. Percobaan ( Poging )

Adakalanya suatu kejahatan telah mulai dilakukan, tetapi tidak dapat diselesaikan sesuai dengan maksud si pelaku. Misalnya:37

a. A bermaksud mencuri rumah X.

Dengan membongkar dan merusak jendela, A masuk ke rumah X, tetapi karena X terbangun dan jendela dari mana A masuk terbuka, A kepergok dan ditangkap oleh petugas ronda

b. B seorang tukang copet, pada saat memasukkan tangan ke kantong R, ia ketangkap.

Kedua contoh di atas memperlihatkan bahwa maksud pelaku belum terlaksana yaitu X dan R belum kehilangan sesuatu. Meskipun demikian, perbuatan A dan B

37

(42)

merupakan perbuatan melawan hukum beserta membahayakan kepentingan orang lain yang dilindungi oleh hukum dan layak diancam hukuman.

Pada asasnya, dalam hukum pidana suatu perbuatan baru dapat dinyatakan dapat dihukum apabila perbuatan tersebut telah selesai dengan sempurna.38 Sianturi merumuskan bahwa percobaan merupakan “perluasan tindak pidana atau merupakan tindak pidana berbentuk khusus”.39 Sebagai perluasan tindak pidana, percobaan tidak memperluas jumlah rumusan delik suatu tindak pidana tetapi hanya memperluas dapat dipidananya seseorang sesuai dengan pidana yang ditentukan dalam rumusan delik. Definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan (poging) tidak dijumpai di dalam undang-undang. Ketentuan yang menenentukan tentang percobaan terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP, namun di dalam ketentuan tersebut hanya merumuskan tentang syarat-syarat untuk dapat dipidananya bagi seseorang yang melakukan percobaan kejahatan.40 Ketentuan yang menentukan tentang tindak pidana percobaan (poging) ditentukan dalam Pasal 53 KUHP yang menentukan bahwa :

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri.

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.

38 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung,

2011, h. 162.

39 S. R. Sianturi, Op.Cit., h. 310.

40 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Raja

(43)

31

(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Berdasarkan rumusan pasal 53 ayat (1) KUHP, unsur-unsur percobaan adalah: 1) Niat (voornemen), Maksud dari orang yang hendak melakukan kejahatan,

yang diancam sanski oleh suatu norma pidana

2) Permulaan Pelaksanaan kejahatan sudah nyata sebagaimana telah ditentukan dalam suatu norma pidana

3) Keadaan, yakni pelaksanaan itu tidak selesai hanya karena keadaan-keadaan yang tidak tergantung pada kehendak orang yang melakukan (pelaku) Dengan telah dipenuhinya unsur-unsur tersebut maka suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana percobaan. Terdapat beberapa bentuk-bentuk percobaan meliputi percobaan selesai, percobaan tertunda, percobaan yang dikualifisir, dan percobaan tidak mampu.

Voornemen atau yang diterjemahkan sebagai niat adalah unsur yang bersifat subjektif dalam percobaan. Berikut adalah pendapat Pompe mengenai niat, Een voornemen is gericht op willens en wetens, dus opzettelijk, handelen. Voornemen en

opzet staat dus in nauwe btrekking tot elkaar. Toch is voornemen niet slechts mogelijk

bij opzettelijke misdrijven, maar soms ook bij culpoze, nl. Bij die, welke volgens de

(44)

kejahatan-kejahatan yang menurut rumusan undang-undang kekurang hati-hatian juga unsur sengaja).41

Pendapat Pompe mirip dengan Moeljatno yang membedakan antara niat dengan kesengajaan. Menurut Moeljatno niat adalah sikap batin. Sesuatau yang masih berada dalam hati. Jika niat sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat berubah menjadi suatu kesengajaan. Dengan kata lain, niat adalah subjectieve onrehtselement

atau melawan hukum yang subjektif, sedangkan kesengajaan adalah objectieve onrechselement yang dalam konteks percobaan adalah permulaan pelaksanaan. Dalam konteks demikian Eddy O.S. Hiariej sependapat dengan moeljatno yang menyatakan bahwa niat tidak identik dengan kesengajaan.42

Unsur kedua dari percobaan adalah begin van uitvoering atau permulaan pelaksanaan. Menurut van Hamel, pelaksanaan (uitvoering) dalam frasa “permulaan pelaksanaan” haruslah diartikan sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan. Demikian juga Pompe yang menyatakan “De wet eist een begin van uitvoering. Begin van uitvoering van het misdriff, wel te verstaan” (Undang-undang mensyaratkan permulaan pelaksanaan adalah yang dimaksud permulaan dari kejahatan).

Dalam hal ini, telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat dipandang sebagai salah satu unsur dari norma pidana, misalnya:

(45)

33

“Kehendak mencuri atau mengambil barang milik orang lain mulai diwujudkan misalnya, telah memasuki rumah atau pencopet telah memasukan tangan ke kantong orang yang hendak di copet”.

Perbuatan pelaksanaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan (act of preparation). Pengertian perbuatan pelaksanaan menurut Hoge Road adalah sebagai berikut: “bahwa hanya perbuatan yang menurut pengalaman orang dengan tidak dilakukan perbuatan lain lagi, akan menimbulkan pembakaran, dapat dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan”.

Hoge Raad dengan arrest tanggal 19-3-1934, N.J. 1934 halaman 450:

Act of preparations merupakan perbuatan persiapan yang belum termasuk perbuatan pelaksanaan karena masih dibutuhkan perbuatan lain lagi untuk mencapai maksudnya, misalnya: A hendak menganiaya B, maka A mempersiapkan diri membeli sebilah pisau kemudian diasah; serta R bermaksud untuk membakar rumah Y, kemudian R mempersiapkan diri dengan membeli bensin.

Perbuatan-perbuatan tersebut masih memerlukan perbuatan lain lagi untuk merealisasikan maksud atau kehendak si pelaku.43

Tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendak sendiri, bila merujuk pada pasal 53 ayat (1) KUHP, maka unsur ketiga itu berbunyi “Tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendak sendiri”. Menurut M.v.T. unsur ini adalah untuk menjamin

43

(46)

tidak akan dipidana orang yang dengan kehendak sendiri, sukarela mengurungkan pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai. Cujus est instituere, ejus est abrpgare: siapa yang memulanya, ia dapat menghentikannya. Secara a contario, seorang dapat dipidana percobaan jika terhentinya permulaan pelaksanaan karena sesuatu di luar kehendaknya sendiri.

Menurut Frank, kriteria menentukan tidak selesainya permulaan pelaksanaan bukan karena kehendaknya sendiri dirumuskan sebagai berikut: tidak dapat dipidananya pelaku bila pelaku berkata “saya tidak mau meneruskannya, meskipun saya sebenarnya mampu”. Diancam dengan pidana bila pelaku mempertimbangkan “saya tidak dapat melanjutkannya, padahal saya betul ingin menyelesaikannya”. Ilustrasi berdasarkan kriteria yang di berikan oleh Frank dapat digambarkan oleh Eddy O.S. Hiariej sebagai berikut:44

Ilustrasi Pertama: A hendak membunuh B, dengan sebilah pisau yang telah diasah terlebih dahulu, A kemudian mendatangi rumah B. setelah mengetuk pintu rumah B dan kebetulan B yang membuka pintu, pada saat yang sama, A mengeluarkan pisau dan hendak menusuk B, namun berhasil menghindar dan B berteriak minta tolong. Oleh karena teriakan tersebut, A kemudian melarikan diri. Ilustrasi Kedua: C hendak membunuh D karena persaingan bisnis kemudian hendak mendatanginya dengan membawa pistol yang telah diisi peluru, Di tengah jalan, C mendapat telepon bahwa D sedang berbaring di tempat tidur karena terserang stroke. Mendengar kabar tersebut, C kemudian merasa iba dan kembali kerumahnya.

Pada ilustrasi pertama, jelas ada percobaan pembunuhan. Dasar argumentasinya, perbuatan pembunuhan tidak diteruskan karena teriakan minta tolong, menyebabkan pelaku menghentikan niatnya. Artinya, tidak terjadi pengunduran

(47)

35

diri secara sukarela. Sedangkan pada ilustrasi kedua, pelaku karena merasa iba kemudian tidak meneruskan perjalanan kerumah calon korban. Artinya pengunduran diri dilakukan secara sukarela. Dengan dimikian tidak ada percobaan pembunuhan.

Percobaan selesai menurut Adami Chazawi adalah perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang pelaksanaannya sudah begitu jauh sama seperti tindak pidana selesai, akan tetapi oleh sebab sesuatu hal tindak pidana itu tidak terjadi. dikatakan selesai oleh sebab pelaksanaannya sesungguhnya sama dengan pelaksanaan yang dapat menimbulkan tindak pidana selesai. Percobaan tertunda menurut Adami Chazawi adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan. Selain itu, dikenal juga percobaan yang dikualifikasir menurut Adami Chazawi adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju.45

Adapun percobaan tidak mampu, diartikan sebagai “percobaan yang betapapun lanjutnya tidak akan dapat menyelesaikan kejahatan karena atau sarananya atau tujuannya tidak mampu. Ketidak mampuan sarana maupun tujuan dibedakan antara yang mutlak dan nisbi”.46 Tidak mampu mutlak adalah tidak mampu karena sarana atau tujuan dalam keadaan apapun tidak dapat mendatangkan hasil yang dikehendaki. Tidak mampu nisbi adalah tidak sarana dan tujuan yang pada umumnya dapat mendatangkan

45 Adami Chazawi I, Op.Cit., h. 60-61. 46

(48)

hasil yang dikehendaki tetapi dalam keadaan tertentu tidak demikian sehingga masih ada kesempatan atau waktu untuk mencapai suatu tindakan tersebut.

Bentuk percobaan menurut Eddy O.S Hiariej bentuk percobaan dibagi menjadi dua, yaitu yang pertama adalah percobaan yang terhenti atau geschorste poging. Sedangkan bentuk percobaan yang kedua disebut dengan istilah vooltooide poging. Permulaan pelaksanaan sangat erat kaitannya dengan geschorste poging. Dalam beberapa literatur, istilah untuk menggantikan geschorste poging disebut dengan

tentative, sedangkan istilah untuk menggantikan vooltooide poging disebut sebagai

delit manque.47

Ilustrasi tentative adalah sebagai berikut. A dengan sebilah pisau yang terhunus hendak menusuk B di bagian perut, namun karena B pandai beladiri, berhasil menendang tangan A hingga pisau terjatuh. Dalam konteks yang demikian, A telah melakukan percobaan pembunuhan terhadap B, namun percobaan tersebut terhenti atau

geschorste poging atau dalam literature Jerman disebut sebagai unbeendigter versuch. Bandingkan dengan ilustrasi delit manque. A tidak senang dengan B dan ingin membunuhnya. Dengan menggunakan senjata laras panjang, A melepaskan tembakan ke arah B dan mengenai perutnya. Seketika, B dilarikan ke rumah sakit dan nyawanya masih bisa ditolong. In casu a quo, A telah melakukan percobaan pembunuhan terhadap B, namun merupakan percobaan selesai atau dalam literatur Jerman disebut sebagai beendigter versuch. Kendatipun A secara tuntas menempuh jalur criminal

(49)

37

(inter criminis) akan tetapi, akibat yang diharapkan sebagai unsur delik tidak terjadi. Kedua, bentuk percobaan tersebut bila dihubungkan dengan rumusan delik formil – materil, maka dapat disimpulkan bahwa tentative dapat terjadi pada delik-delik baik yang dirumuskan secara formil maupun secara materil. Sedangkan khusus delit manque, hanya dapat terjadi pada delik-delik yang dirumuskan secara materiil.

3. Pembunuhan dan Penganiayaan

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai suatu “pembunuhan” .

Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus diunjukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut.

Kiranya sudah jelas bahwa yang tidak dikehendaki oleh undang-undang itu sebenarnya ialah kesengajaan menimbulkan akibat meninggalnya orang lain. Akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang sepertiitu di dalam doktrin juga disebut sebagai “constituief gevolg” atau sebagai “akibat konstitutif”.48

48

(50)

Dari uraian di atas kiranya juga sudah jelas bahwa tindak pidana pembunuhan itu merupakan suatu delik material atau pun yang oleh profesor van Hamel juga telah disebut sebagai suatu “delict met materiele omschrijving”49 yang artinya delik yang dirumuskan secara material, yakni delik yang baru dapat dianggap sebagai telah selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang sebagaimana dimaksud diatas, dengan demikian orang belum dapat berbicara tentang terjadinya suatu tindak pidana pembunuhan, jika akibat berupa meninggalnya orang lain itu sendiri belum timbul.

Kejahatan terhadap jiwa seseorang diatur didalam BAB XIX Buku II KUHP. Bentuk yang pokok dari kejahatan ini adalah pembunuhan (doodslag) yaitu menghilangkan jiwa seseorang.50 Berdasarkan sistematik KUHP kejahatan terhadap nyawa manusia pada umumnya yang diperinci dengan mendasarkan pada obyek sebagai kepentingan hukum yang dilanggar, meliputi: 1) Pembunuhan dengan sengaja (Pasal 338 KUHP), Pembunuhan dalam bentuk yang memperberat pidananya (Pasal 339 KUHP), dan Pembunuhan yang direncanakan (Pasal 340 KUHP).51

Pembunuhan dengan sengaja merupakan kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (pembunuhan) dalam bentuk pokok yang ditentukan dalam Pasal 338 KUHP, yaitu, “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang

49 P.A.F Lamintang I, Op.Cit., h. 203. 50 Moch. Anwar, Op.Cit., h. 88. 51

(51)

39

lain dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”. “Ketentuan dalam Pasal 338 KUHP merupakan delik secara materiil, dimana disitu diperlukan adanya dua macam hubungan antara perbuatan terdakwa dengan akibat yang dilarang, yaitu matinya orang (lain)”.52 Terdapat unsur-unsur berdasarkan dari ketentuan tersebut yang harus dipenuhi untuk menentukan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana pembunuhan. Unsur-unsur tindak pidana pembunuhan yang terdapat dalam rumusan pasal 338 KUHP, yaitu:

1) Adanya suatu perbuatan yang menyebabkan matinya orang (merampas nyawa); hubungan dalam alam kenyataan;

2) Adanya kesengajaan yang tertuju kepada terlaksananya kematian orang itu, hubungan dalam alam batin.53

Unsur menyebabkan matinya atau menghilangkan nyawa orang lain merupakan unsur obyektif. Hal tersebut menunjukan bahwa kejahatan pembunuhan itu telah menunjukan akibat yang terlarang atau tidak, apabila karena (misalnya membacok) belum minimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain. Kejadian tersebut merupakan percobaan pembunuhan (Pasal 53 jo Pasal 338 KUHP) dan belum atau bukan

(52)

merupakan pembunuhan secara sempurna sebagaimana dimaksudkan Pasal 338 KUHP.54

Tindak Pidana dalam bentuk yang pokok ataupun yang oleh pebentuk Undang-Undang telah disebut dengan kata “doodslag” itu diatur dalam pasal 338 KUHP. Sesuai dengan rumusannya yang asli dalam Bahasa Belanda ketentuan pudana yang diatur dalam pasal 338 KUHP itu berbunyi: 55

Hij die opzettelijk een ander van het leven berooft, words, als schuldig aan doodslag, gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste viftien Jaren”

Artinya adalah:

“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan pembunuhan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lia belas tahun”.

Dari rumusan ketentuan pidana mengenai tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam pasal 338 KUHP di atas, orang dapat mengetahui bahwa tindak pidana pembunuhan yang oleh pembentuk undang-undang telah disebut dengan kata doodslag

itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur Subyektif : Opzetelijk atau dengan sengaja b. Unsur Obyektif : 1. Beroven atau menghilangkan

2. Het leven atau nyawa 3. Een ander atau orang lain

54 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Tubuh, Raja Grafindo, Jakarta, 2010

(selanjutnya disingkat Adami Chazawi II), h. 58.

(53)

41

Para ahli hukum tidak memberikan definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan pembunuhan, namun banyak yang mengkategorikan pembunuhan itu termasuk dalam kejahatan terhadap nyawa atau jiwa orang lain. Pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain, untuk menghilangkan nyawa orang lain itu, seseorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan matinya orang. “Mengenai opzet dari seorang pelaku yang harus ditujukan pada akibat berupa matinya orang lain, yakni agar tindakannya itu dapat disebut sebagai suatu pembunuhan”.56 Menurut Cindy Annathassia kematian orang (lain) dapat disebabkan oleh pembakaran pada bagian tubuh manusia yang dimana dapat membahayakan jiwa seseorang, karena apabila pembakaran terjadi pada bagian kepala seorang manusia dapat menyebabkan gangguan pernafasan sehingga dapat menyebabkan kematian.57 Selain itu, penyebab kematian seseorang dapat juga diakibatkan dari serangkaian perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja oleh pelaku untuk membunuh baik dalam keadaan sebagaimana pada umumnya, dalam keadaan yang memberatkan maupun dengan direncanakan terlebih dahulu oleh pelaku. Kejahatan terhadap jiwa seseorang diatur didalam BAB XIX Buku II KUHP. Bentuk yang pokok dari kejahatan ini adalah pembunuhan (doodslag) yaitu menghilangkan jiwa seseorang.58 Berdasarkan sistematik KUHP kejahatan terhadap

56Ibid, h. 1. 57

(54)

nyawa manusia pada umumnya yang diperinci dengan mendasarkan pada obyek sebagai kepentingan hukum yang dilanggar, meliputi: 1) Pembunuhan dengan sengaja (Pasal 338 KUHP), Pembunuhan dalam bentuk yang memperberat pidananya (Pasal 339 KUHP), dan Pembunuhan yang direncanakan (Pasal 340 KUHP).59

Pembunuhan dengan sengaja merupakan kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (pembunuhan) dalam bentuk pokok yang ditentukan dalam Pasal 338 KUHP, yaitu “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”. “Ketentuan dalam Pasal 338 KUHP merupakan delik secara materiil, dimana disitu diperlukan adanya dua macam hubungan antara perbuatan terdakwa dengan akibat yang dilarang, yaitu matinya orang (lain)”.60 Terdapat unsur-unsur berdasarkan dari ketentuan tersebut yang harus dipenuhi untuk menentukan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana pembunuhan. Unsur-unsur tindak pidana pembunuhan yang terdapat dalam rumusan pasal 338 KUHP, yaitu:

1) Adanya suatu perbuatan yang menyebabkan matinya orang (merampas nyawa); hubungan dalam alam kenyataan;

58 Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Cipta Adya Bakti, Bandung,

1994, h. 88.

59 Hermien Hadiati Koeswadji,

Kejahatan Terhadap Nyawa, Asas-Asas, Kasus dan Permasalahannya, Sinar Wijaya, Surabaya, 1984, h. 8.

(55)

43

2) Adanya kesengajaan yang tertuju kepada terlaksananya kematian orang itu, hubungan dalam alam batin.

Pembunuhan berencana merupakan kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu. Ketentuan tentang pembunuhan berencana ditentukan dalam Pasal 340 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun”.

Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP): "Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun."

Berdasarkan rumusan Pasal 340 KUHP tersebut, unsur yang terpenting pasal ini ialah unsur “dengan rencana terlebih dahulu”. Mengenai unsur dengan rencana lebih dahulu, pada dasarnya mengandung 3 syarat, yaitu:

1) Memutuskan kehendak dalam suasana tenang.

2) Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak.

3) Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.61

Ketentuan dalam Pasal 340 KUHP merumuskan tentang unsur kesengajaan, menurut Hermien “unsur dengan rencana terlebih dahulu adalah bukan bentuk

(56)

kesengajaan tetapi cara membentuk kesengajaan”. Adapun menurut Adami Chazawi yang menyatakan bahwa, “melihat pada proses terbentuknya unsur dengan rencana terlebih dahulu, tampak bahwa kesengajaan sudah dengan sendirinya terdapat di dalam unsur dengan rencana terlebih dahulu”.62

Berikut ini adalah beberapa Yurisprudensi mengenai pasal 340 KUHP dalam bukunya P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir dengan judul Hukum Pidana Indonesia:63

• Untuk dapat diterima mengenai adanya “perencanaan terlebih dahulu” atau “voorbedachte raad” diperlukan suatu jangka waktu singkat ataupun panjang untuk mempertimbangkan secara tenang dan mempertimbangkan kembali secara tenang pula. Si pelaku haruslah dapat meyakinkan dirinya akan arti dan akibat dari perbuatannya dalam suatu suasana yang memungkinkannya untuk memikirkan kembali rencananya.

(H.R. 22 Maret 1909, W.8851)

• Apabila didalam putusan Hakim ditetapkan, bahwa pembunuhan itu telah dilakukan setelah mengadakan pertimbangan secara tenang dan direncanakan dengan tenang pula, maka ini berarti bahwa tertuduh telah beralih pada pelaksanaan untuk membunuh korban sesuai dengan rencana yang telah dibuatnya, setelah ia meyakinkan dirinya akan arti dan akibat dari perbuatannya di dalam suatu suasana yang memungkinkannya untuk memikirkan kembali mengenai rencana itu (H.R. 2 Des. 1940, 1941 No. 293)

Sama halnya dengan pasal 339 KUHP, pasal ini pun rumusannya sama dengan pasal 338, ditambah dengan satu bagian inti (bestanddeek) lagi, yaitu dipikirkan lebih

62

Ibid., h. 86.

63

(57)

45

dulu (Belanda: met voor bedachten rade; Inggris: premeditated murder). Jadi, bukan berencana, artinya tidak perlu ada rencana, cukup telah dipikirkan lebih dulu apakah membunuh ataukah tidak. Jika dipakai istilah “pembunuhan berencana” dan disalin kembali kebahasa Belanda, akan menjadi “gepland moord”. Jika ada rencana lebih dulu sudah pasti moord (Belanda), murder (Inggris), Mord (Jerman), akan tetapi tidak mesti ada rencana membunuh.64

Untuk menentukan adanya unsur (bagian inti), ialah adanya keadaan hati untuk melakukan pembunuhan, walaupun keputusan hati untuk membunuh itu sangat dekat dengan pelaksanaannya. Jadi, banyak sekali kasus di Indonesia yang mestinya diterapkan pasal 340 ini, tetapi diterapkan pasal 338, karena dipikir tidak ada rencana sebelumnya, padahal cukup pembuat sempat berpikir membunuh atau tidak membunuh. Penerapan pasal 338 ialah terhadap pembunuhan spontan.65

Hoge raad dalam putusannya 2 Desember 1940 No.293 mengatakan:66

“Dengan berpikir tenang dan menimbang dengan tenang” merupakan penentu diterapkannya Artikel 289 Sr (Pasal 340 KUHP), sebagai lawan “kemarahan yang timbul secara tiba-tiba”, untuk menerapkan Artikel 287 Sr (pasal 338 KUHP). Maksimum pidana di Netherland jelas pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara, karena tidak ada pidana mati di sana, sejak tahun 1870. Dengan

64

Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, h. 50.

65

Ibid, h. 51

66

(58)

tambahan bagian inti “dipikirkan lebih dulu” (met voor bedachten rade), maka pidananya naik dari maksimum 15 tahun penjara menjadi seumur hidup, atau maksimum 20 tahun. Di indonesia ada ancaman pidana mati.

Umumnya pembunuhan dengan racun termasuk “pembunuhan yang dipikirkan lebih dulu” (moord), karena harus mencari atau menyediakan racun lebih dulu baru dipikirkan dimasukkan ke mana, ke makanan, ke minuman, atau cara yang lain. Begitu pula dengan pembunuhan dengan bom terutama yang rakitan. Bagaiana mengumpulkan bahan peledak, bagaimana memilih objek dan tempat pembunuhan, semuanya harus memakai pikiran yang tenang. Contoh: seseorang menyuntikan racun kesebuah nanas, lalu menyerahkan kepada orang lain dan memakannya yang mengakibatkan kematiannya. Jelas, pada kasus ini, perbuatan telah dipikirkan lebih dulu karena harus mencari racun dan berpikir dimasukkan kemana.67

Penganiayaan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu mishandeling.

Pengertian mishandeling dalam kamus hukum ialah “kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain”.68 Doktrin menafsirkan bahwa penganiayaan adalah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain”.69 Berdasarkan yurisprudensi

67Ibid. 68

P.A.F Lamintang II, Op.Cit.,h. 110.

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian terapi farmakologik dapat dipertimbangkan apabila (1) konsentrasi kolesterol LDL darah tetap > 190 mg/dL setelah dilakukan terapi diet pada subjek yang tidak mempunyai

Gudang Berikat adalah suatu bangunan atau tempat dengan batas-batas tertentu yang didalamnya dilakukan kegiatan usaha penimbunan, pengemasan, penyortiran, pengepakan,

Perencanaan dimensi perahu surya a(6)solut3 - polineri ini berdasarkan pada dimensi yang dibutuhkan panel surya untuk dapat menggerakan motor listrik juga untuk

dalam alkali asam dan dapat dioksidasi. *leh karena itu" dan dapat dioksidasi. Bar Barbit bital d al deng engan an bas basa me a menja njadi g di garam aram.. Barbital adalah

Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Untuk menentukan statistik apa yang harus digunakan dalam pengujian hipotesis. Uji

Dalam konteks ini al-Nursi (2007) melihat bahawa sakit dapat mengajar erti hidup bermasyarakat dan di samping dapat menghapuskan sifat ego dalam diri seseorang kerana

Perubahan ini berkaitan dengan suatu sikap mental orang Madura; kera- pan sapi yang pada mulanya mempunyai simbol religius seperti kesopanan dan ra- sa hormat (introspeksi