• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian serta

SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NO 14 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD

B. Perdebatan Dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014

Untuk mengetahui kualitas rasa dari roti, kita tidak bisa hanya merasakan ketika memakannya saja, melainkan harus melihat apa saja bahan-bahan dan bagaimana proses pembuatannya. Oleh karena itu, untuk mengetahui maksud yang di cita-citakan dari Undang-Undang No 42 Tahun 2014 kita tidak cukup hanya melihat atau memahami dari produk hukum tersebut, melainkan harus mengetahui bagaimana proses pembahasan dan beberapa perdebatan pokok dan sampai pengesahan undang-undang tersebut. Fungsi legislasi adalah fungsi merancang, membahas, dan memutuskan regulasi (Undang-Undang bagi DPR, atau Peraturan Daerah bagi DPRD). Fungsi pokok DPR di bidang legislasi ini diberikan oleh Pasal 20 UUD 1945 hasil amandemen.

Seperti yang sudah penulis kemukakan dimuka, bahwa Undang-Undang No 42 Tahun 2014 adalah perubahan dari Undang-Undang No 17 Tahun 2014

41

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Dari Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Buku Kompas, 2003), h. 131.

31

yang hanya merubah beberapa Pasal dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2014. Oleh karena itu penulis lebih menekankan pada perdebatan yang terjadi pada proses pembentukan Undang-Undang No 17 Tahun 2014.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) di atas terjadi beberapa perdebatan yang krusial. Pertama, terkait pertimbangan yang disampaikan oleh Tim Musyawarah bahwa bentuk rancangan undang-undang diusulkan sebaiknya dalam bentuk pergantian. Namun usulan tersebut ditolak oleh F-PDIP yang diwakili oleh Arif Wibowo, menurutnya sistematika dalam RUU ini tetap sama dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 karena materi perubahan yang terdapat dalam RUU ini hanya 27,45% yang dibuktikan dari 408 Pasal hanya mengalami perubahan 112 Pasal, esensinya tidak berubah mengingat secara subtansi RUU ini tetap membuat pengaturan menuju terwujudnya lembaga permusyawaratan perwakilan yang demokratis, efektif dan akuntabel sebagaimana esensi dan yang ada dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009.43

Kemudian dari F-Partai Demokrat yang diwakili oleh Mulyadi menyatakan bahwa perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang No 27 Tahun 2009 merupakan keinginan dari kita semua dalam menjaga hak dalam melakukan melaksanakan hak konstitusional yang diimbangi dengan aspek-aspek tranparansi dan akuntabilitas.44 Hal tersebut dimulai dari

43

Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014) h. 23.

44

penguatan terhadap anggota dewan, penguatan kepada komisi tanpa mengurangi fungsi Alat Kelengkapan Dewan, dan membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan anggota dewan. Oleh karena itu dalam pasal-pasal yang termaktub dalam rancangan undang-undang MD3 ini termasuk pergantian.

Senada dengan Mulyadi Pemerintah yang diwakili oleh Wicipto Setiadi mengatakan banyaknya Pasal baru yang masuk dalam revisi Undang-Undang No 27 Tahun 2009 menjadi salah satu alasan menjadi penggantian. Hasilnya dari 9 Fraksi, 6 menyatakan sependapat dengan Pemerintah. Keenam fraksi yang menyatakan penggantian adalah Demokrat, Golkar, PKS, PPP, PAN dan Gerindra. Intinya lantaran ada perubahan subtansial. Misalnya badan dan alat kelengkapan. Sementara 3 Fraksi yang menyetujui dalam bentuk perubahan yaitu PKB, PDIP, Hanura.45

Kedua, terkait dengan pemilihan Pimpinan DPR. Paripurna penetapan RUU MD3 berjalan panas dan alot. Tiga fraksi di DPR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), memutuskan walk out setelah muncul perubahan pasal 82 terkait mekanisme pimpinan DPR yang dinilai sebagai pasal siluman.46

Pasal 84 RUU MD3, yang notabene sebagai perubahan pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, memunculkan

45

Ibid, h. 45.

46 “PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,” diakses pada 18 Mei 2015 dari

33

perdebatan yang panjang. Ada tiga alternatif pilihan yang ditawarkan pasal 84 RUU MD3. Alternatif pertama berisi sama seperti aturan pasal 82 UU MD3. Pasal itu menyatakan pimpinan DPR ditentukan berdasar asas proporsionalitas, yaitu parpol peraih kursi terbanyak mendapat jatah ketua DPR, sementara jatah wakil ketua DPR menjadi milik empat parpol peraih suara terbanyak kedua hingga kelima.47

Sementara itu, untuk alternatif kedua dan ketiga, penetapan kursi pimpinan DPR ditentukan dengan mekanisme pemilihan. Bedanya, alternatif kedua menetapkan pemilihan pimpinan DPR secara tunggal, sementara alternatif ketiga dilakukan dengan mekanisme paket pimpinan DPR.

Dua kubu koalisi yang pernah bertarung di pilpres beradu pendapat pada penetapan RUU MD3. Kubu koalisi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang berisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat berada dalam satu kubu yang mendukung alternatif kedua dan ketiga pada pasal 84 RUU MD3.48

Sementara itu, kubu koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berisi PDIP, PKB, dan Hanura bersikukuh untuk tidak mengubah ketentuan pasal 82 UU MD3 itu. Salah satu alasan utamanya, dalam pembahasan panitia khusus

47

Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014), h. 7.

48 “PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,” diakses pada 18 Mei 2015 dari

(pansus) RUU MD3, tidak pernah muncul pembahasan terkait perubahan pasal 82 atau munculnya alternatif-alternatif di pasal 84 RUU MD3 itu.49

Abidin Fikri, anggota Pansus RUU MD3 dari Fraksi PDIP, saat menyampaikan interupsi mengatakan Fraksi PDIP mengikuti setiap proses, jam, menit, detik. Menurutnya, mereka tahu akan adanya pasal penyelundupan, yaitu di pasal 82 itu (pasal 84 RUU MD3).

Perwakilan Fraksi PKB Abdul Malik Haramain menegaskan, tidak pernah ada pembahasan terkait rancangan pasal 84, baik antarfraksi di DPR maupun pemerintah. Dalam rekaman rapat, Malik menyatakan tidak pernah disebutkan bahwa pansus memperdebatkan mekanisme pemilihan ketua DPR.

”Kapan pasal itu ditentukan? Kita rapat di Hotel Sahid, Ritz Carlton, tidak ada

pembahasan,”.50

Tiga fraksi itu meminta agar pimpinan DPR menunda penetapan RUU MD3 untuk kemudian dilakukan pendalaman dan pematangan kembali. Namun, sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso tersebut menyatakan bahwa paripurna akan tetap dilanjutkan dengan pengambilan keputusan mengingat mayoritas fraksi meminta penetapan dilakukan saat itu juga.

Sesaat sebelum memutuskan walk out, Menurut Arif wibowo proses penetapan RUU MD3 ini harus memperhatikan aspek kepastian hukum, seharusnya keinginan untuk merubah pasal 82 dilakukan sebelum pelaksanaan

49

Ibid.

50

Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014), h. 40.

35

Pemilu Legislatif pada 9 April 2014. Masuknya unsur perubahan Pasal 82 secara tiba-tiba setelah ditetapkannya pemilu legislatif menunjukan bahwa usulan tersebut telah merusak itikad demokrasi dan syarat dengan kepentingan tertentu yang bertentangan dengan asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.51 Fraksi PDIP menyatakan tidak ikut bertanggung jawab terkait penetapan RUU MD3.

Setelah walk out, paripurna yang berlangsung hingga pukul 20.30 itu berjalan singkat. Hanya dalam lima menit, enam fraksi secara aklamasi menetapan pilihan alternatif ketiga sebagai isi pasal 84, menggantikan isi pasal 82 UU MD3 lama. Menurut Priyo Budi Santoso pengesahan pasal tersebut sudah melalui mekanisme baku, tidak perlu penjelasan lagi.52

Ketiga, terkait dengan Pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan yang tercantum dalam Pasal 119 UU No 42 Tahun 2014. MKD dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Tujuan pembentukan MKD tercantum dalam Pasal 119 ayat (2) bahwa MKD bertujuan menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Ada satu hal yang banyak disoroti oleh banyak kalangan mengenai pembentukan MKD ini, terkait dengan kewenangan MKD yang tercantum dalam Pasal 245 ayat (1) UU No 42 Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga

51

Ibid, h. 24.

52“PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,” diakses pada 18 Mei 2015 Dari

melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Benny K Harman, anggota DPR dari F-Demokrat mengatakan, perbedaan Badan Kehormatan dan Mahkamah Kehormatan Dewan terletak pada kewenangan untuk membentuk komite penyelidikan.53 Menurutnya, pembentukan MKD dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas serta menjamin agar anggota DPR tidak menjadi obyek perlakuan tidak wajar berdasar pengaduan atau laporan masyarakat. Namun pada pihak lain MKD tetap berada pada posisi untuk tidak melindungi anggota DPR yang nyata-nyata terbukti melakukan tindakan melanggar etika dan peraturan perundang-undangan.54

Hidayat Nurwahid mengatakan anggota DPR adalah orang yang terhormat. Oleh karena itu salah satu langkah yang diwujudkan adalah membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurutnya saat ini anggota DPR terlalu mudah untuk dipanggil untuk permintaan keterangan untuk penyidikan. Ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik terhadap parlemen. Problema ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau untuk

53

Randi Ferdi Firdaus, “UU MD3 Baru, DPR Wacanakan ganti BK jadi MKD,” artikel

diakses pada 18 Mei 2015 dari

http://www.merdeka.com/politik/uu-md3-baru-dpr-wacanakan-ganti-bk-jadi-mahkamah-kehormatan.html

54

Sjafri Ali, “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR,” artikel

diakses pada 18 Mei 2015 dari

http://www.pikiran- rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakat-masuk-panel-mahkamah-kehormatan-dpr

37

pemeriksaan penyidikan suatu kasus, menurut Hidayat Nurwahid hal seperti itu dapat menimbulkan opini publik yang buruk terhadap anggota DPR.55

Sementara Menurut Tantowi Yahya, anggota DPR dari F-Golkar mengatakan bahwa anggota DPR tidak mempunyai atasan, ketua DPR dan Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan hanyalah jurubicara dan kordinator kegiatan, tidak ada kewenangan memberikan punishment yang mereka lakukan terhadap anggotanya. Oleh karenanya, menurut Tantowi, diperlukan satu instrument dalam struktur kedewanan yang bertugas mengawasi disiplin anggota, termasuk memberikan sanksi sesuai tata tertib. Tantowi mengatakan, sesungguhnya kita layak menaruh harapan tinggi kepada mahkamah ini. Oleh karenanya, wajar pula apabila pemanggilan anggota dewan yang terindikasi pelanggaran hukum kecuali pelanggaran berat seperti korupsi, kriminal dan sebagainya, harus terlebih dahulu seizin MKD.56

Pada sisi yang lain, menurut mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas pembentukan MKD berpotensi menghambat proses penegakan hukum, karena penegakan hukum harus bersifat cepat. Kritik selanjutnya disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun. Menurut dia sejumlah pasal dalam RUU MD3 sengaja dibuat untuk membentengi anggota. Padahal jika sekedar pemanggilan dan permintaan

55Erdy Nasrul, “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses Pada

10 November 2014 dari

http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/29/nb2h4q-dpr-bentuk-mahkamah-kehormatan-dewan

56

Widya Victoria, “Hindari Bias Tiga Anggota Dewan Dari Luar,”, Artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://politik.rmol.co/read/2014/10/10/175321/Hindari-Bias,-

Tiga-Anggota-Mahkamah-Kehormatan-Dewan-dari-Luar-keterangan untuk penyidikan, semestinya penegak hukum tidak perlu meminta izin pada siapapun. Menurut Rafly, kalau tidak merasa bersalah tidak usah ada ketakutan dan kekhawatiran dengan membuat MKD.57

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa birokratisasi izin pemeriksaan anggota DPR yang terkandung dalam Pasal 245 UU MD3. Sebab, pasal tersebut mengatur pemeriksaan anggota DPR harus atas izin MKD. Ketentuan pemanggilan dan permintaan pemeriksaan anggota DPR harus dengan seizin MKD khususnya berkaitan dengan tindak pidana bertentangan dengan ketentuan konstitusi di mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.58

Bukan hanya menunjukan adanya sikap diskriminatif, ketentuan tersebut berimplikasi pada pelaksanaan hukum yang berbelit bahkan memberi ruang untuk menghilangkan alat bukti mengingat sulitnya memeriksa anggota DPR. Ketentuan ini juga bertentangan dengan sikap independensi peradilan yang meliputi keseluruhan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pelaksanaan hukuman. Lebih aneh lagi, aturan ini juga diskriminatif karena tidak berlaku bagi DPD dan DPRD. Aturan ini semakin menunjukkan cara berfikir koruptif dan represif anggota DPR.59

Penulis sendiri sangat setuju dengan pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan tersebut, karena bertujuan untuk lebih mengoptimalkan

57

Majalah Detik 4-10 Agustus 2014

58

Erwin C Sihombing, “Diskriminatif Pembahasan RUU MD3 Layak Dihentikan,”

artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.beritasatu.com/nasional/195457-diskriminatif-pembahasan-ruu-md3-dianggap-layak-dihentikan.html

59

39

kinerja dari anggota DPR. Selain itu kehadiran MKD juga untuk menjaga martabat dan kehormatan dari anggota DPR sebagai wakil rakyat. Akan tetapi, dengan adanya kewenangan yang tercantum dalam pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat izin tertulis dari MKD penulis tidak setuju, karena selain dapat menghambat penegakan hukum, kewenangan tersebut menempatkan anggota DPR menjadi seakan kebal hukum.

Pada intinya, proses penyusunan Undang-Undang bisa dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu sosiologis dan yuridis. Dalam tahap sosiologis, berlangsung proses-proses untuk mematangkan suatu masalah, sehingga bisa masuk ke dalam agenda yuridis, sedangkan dalam tahap yuridis dilakukan suatu perkerjaan yang benar-benar menyangkut perumusan suatu Undang-Undang. Dalam perdebatan tersebut yang termasuk dalam tahap sosiologis adalah pada perdebatan yang pertama, sedangkan yang termasuk tahap yuridis adalah pada perdebatan kedua dan ketiga. Terlihat jelas dalam perdebatan di atas bahwa komposisi anggota legislator sangat menentukan dalam mengesahkan suatu undang-undang. Mengutip pandangan Satjipto Raharjo bahwa komposisi keanggotaan legislator juga sangat mempengaruhi produk hukum yang dihasilkan. Akibatnya, objektifitas dari semoboyan bahwa, Undang-Undang berdiri di atas semua golongan hanya merupakan suatu

cita-cita yang tidak akan datang dengan sendirinya, tapi harus terus diperjuangkan.60

60

41 BAB III

KEDUDUKAN HUKUM ANGGOTA DPR