PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA
MELAKUKAN TINDAK PIDANA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
MUHAMAD IQBAL HIDAYATULLAH
NIM: 1111048000012
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
i Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
MUHAMAD IQBAL HIDAYATULLAH
NIM: 1111048000012
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
ii
PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA
MELAKUKAN TINDAK PIDANA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
Muhamad Iqbal Hidayatullah NIM: 1111048000012
Pembimbing
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si NIP. 197412132003121002
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
iii
DIDUGA MELAKUKAN TIDAK PIDANA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 September 2015.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelah Sarjana Strata Satu
(S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 23 September 2015
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A NIP. 19691216 199603 1 001 PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H (...) NIP. 196911211994031001
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. (...) NIP. 196509081995031001
3. Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (...)
NIP. 197412132003121002
4. Penguji I : Prof. Dr. H. A Salman Maggalatung, S.H., M.H. (...)
NIP. 1954030319761110
5. Penguji II : Ismail Hasani, S.H., M.H. (...)
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 September 2015
v ABSTRAK
Muhamad Iqbal Hidayatullah NIM 1111048000012. PROBLEMATIKA
PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH
KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 82 halaman.
Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPR menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari Makhakah Kehormatan Dewan. Ayat (2) dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat dilakukan. Tujuan dari skripsi ini untuk mengetahui posisi hukum pemberian persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan hukum dan independensi peradilan serta sinkronisasi dan harmonisasi pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan sejarah (history approach). Pendekatan perundang-undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Sedangkan Pendekatan sejarah adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah latar belakang serta perdebatan dibentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pasal 245 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD mengenai pemberian persetujuan tertulis oleh Mahkamah Kehormatan Dewan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak sesuai dengan asas persamaan didepan hukum dan independensi peradilan, serta adanya disharmonisasi norma hukum antara Pasal 245 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta Pasal 14 Undang-Undang No 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Melihat lagi Maha
Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah
membantu penulis secara baik materil maupun immateril, oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam memberikan nasihat, kritik dan
saran untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
4. Prof. Dr. H. A Salman Maggalatung, S.H., M.H., sebagai dosen penasihat akademik
yang telah memberikan nasihat dan arahan kepada penulis.
5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi ilmu
pengetahuan dan pengalamanya kepada penulis.
6. Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas cinta dan doa kedua orang tuaku
tercinta Ayahanda Achmad Mulyono dan Ibunda Masyitoh, yang telah memberikan
segala dukungan baik materil maupun immateril sehingga penulis dapat
menyelesaikan masa studi S1.
7. Adinda Tercinta, Diah Rahmatun Nazilah, Muhamad Habiburrahman dan Adib Fahri
Syaeban yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan
studi S1.
8. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011
vii
Andreansyah, Lisanul Fikri, Waldan Mufathir, Muhammad Hambali, dan
teman-teman lainnya, terima kasih atas dukungan dan pengalaman yang telah diberikan
selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Himpunan Mahasiswa Cirebon-Jakarta Raya (Hima-Cita), khususnya Muhammad As’ad, Nurkholis Mazied, Fauzi Nurkholis, Aminullah Asy’ari, Mala Himmatul Aulia, serta ang dan yayu lainnya, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan
yang diberikan selama ini.
10. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD), khususnya Ahmad Royani,
Robi Cahyadi, Jordan Muhammad, Vickih Yahya Maulana, Dinata Firmansyah,
Kang Zaki, Kang Lutfi Ghozali, Kang Sofi Mubarok serta sugawan dan sugawati
lainnya, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada
penulis selama ini.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT memberikan berkah
dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka. Amin.
Demikian ini penulis ucapkan terimakasih dan mohon maaf yang
sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan
bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Jakarta, 23 September 2015 Penulis
viii
BAB II SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NO 42 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD A. Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014... 15
B. Perdebatan Dalam Pembentukan Undang-Undang No 42 Tahun 2014... 30
BAB III KEDUDUKAN HUKUM ANGGOTA DPR A. Mahkamah Kehormatan Dewan ... 41
B. Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana ... 47
BAB IV PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM A. Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Asas Persamaan Di Depan Hukum ... 59
B. Kdudukan Hukum Anggota DPR Yang Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Asas Independensi Peradilan ... 67
C. Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 Dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya ... 72
ix
B. Saran ... 81
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak Indonesia merdeka lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu,
Indonesia telah mengalami beberapa peristiwa penting terkait bidang
kenegaraan. Pergolakan masyarakat di daerah, peralihan pemegang kekuasaan,
hingga amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945) menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah negara ini. Hal ini
merupakan bentuk dari dinamisasi masyarakat dan dinamisasi hukum di
Indonesia.
Salah satu hal yang menonjol dari sudut pandang ketatanegaraan diawali
ketika negara ini mengalami gejolak pasca krisis moneter yang mengakibatkan
tersingkirnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada tahun 1998.
Selama melewati masa transisi yang dipimpin oleh Presiden B.J Habibie
selama sekitar dua tahun, tuntutan kebutuhan akan sistem ketatanegaraan yang
lebih baik pun mulai berusaha diwujudkan oleh petinggi negeri ini pada waktu
itu. Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa
penyaklaran UUD 1945 tidak relevan dalam kehidupan bernegara. Selama
empat tahun hingga 2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya
disebut MPR) yang saat itu diketuai oleh Amien Rais dari Fraksi PAN
Reformasi membawa pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan
ketatanegaraan Indonesia, termasuk terhadap parlemen Indonesia, khususnya
Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR).1 Di bidang legislasi,
misalnya, DPR adalah lembaga tertinggi untuk menyusun Undang-Undang.
Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa
DPR memegang kekuasaan dalam membentuk Undang-Undang. Dengan
demikian kedudukan DPR sangat penting dalam susunan ketatanegaraan
Indonesia. Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan
negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan
kontrol (cheks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan
serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan atau
ketersediaan mekanisme saling kontrol ini, merupakan prinsip dari sebuah
negara demokrasi atau negara hukum.2
Pelbagai perubahan ke hal yang lebih baik antara lain DPR sudah mulai
menjadi penyeimbang bagi pemerintah, dalam arti berfungsinya wewenang
pengawasan yang diembanya dan bukan hanya sebagai “lembaga stempel”
seperti di era sebelumnya. Bahwa tugas pelaksanaan pengawasan DPR adalah
terhadap, pelaksanaan Undang-Undang, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, serta kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945,
terlebih penting sebagai legislator atau pembuat undang-undang.
1
Sebastian Salang, dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Angggota Dewan,
(Jakarta: Forum Sahabat 2009), h. 21.
2
3
Selain berkaitan dengan proses legislasi, dalam kewenangannya DPR
sebagai penentu dalam bentuk memberi persetujuan terhadap agenda
kenegaraan yang meliputi: Menyatakan perang, membuat perdamaian,
perjanjian negara lain seperti yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) UUD
1945, Membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan Negara, Pasal 11 ayat 2 UUD 1945, Pengangkatan Hakim Agung,
Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 serta pengangkatan dan pemberhentian anggota
Komisi Yudisial yang tercantum dalam Pasal 24B ayat 3 UUD 1945.
Perubahan lain pasca amandemen UUD 1945 ialah mengenai hak
anggota DPR yang menyatakan bahwa, setiap anggota DPR mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak
imunitas.3 Sementara itu berkaitan dengan keanggotaan DPR diatur
berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR,DPR, dan DPRD menyatakan bahwa susunan DPR terdiri
dari anggota partai politik pemenang pemilu, dan anggota ABRI yang
diangkat dengan keseluruhan jumlah 500 anggota. Pada perkembangannya
pada tahun 2003 Undang-Undang No 4 tahun 1999 tentang MPR, DPR,
DPRD diganti dengan Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang MPR,
DPR, DPD, DPRD karena dianggap tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat
dan perkembangan ketatanegaraan di Indonesia. Dalam Undang-Undang No
22 Tahun 2003 susunan keanggotan berubah, dalam Pasal 16 menyatakan
3Ni’matul Huda,
bahwa DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang
dipilih berdasarkan hasil pemilu. Sementara dalam Pasal 24 mengatakan
bahwa Kedudukan DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga negara. Undang-Undang No 22 Tahun 2003
kemudian diganti dengan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, DPRD untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga
perwakilan rakyat. Berselang 5 tahun, UU No 27 Tahun 2009 kemudian
diganti dengan Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
DPRD. Namun, beberapa bulan kemudian UU No 17 Tahun 2014 diganti
dengan Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.
Sisi yang lain, menguatnya peranan dan wewenang serta kekuasaan
legislatif ternyata tidak otomatis menggambarkan semakin menguatnya
peranan rakyat.4 Reformasi kelembagaan pada dasarnya merupakan harapan
rakyat guna memastikan kepentingan-kepentingan mereka terakomodasi
dalam pelbagai kebijakan negara.5 Padahal UUD 1945 pasca amandemen ke-1
telah memberikan wewenang yang sangat besar kepada DPR agar menjadi
jembatan aspirasi dan kepentingan rakyat yang kokoh. Melalui fungsi
strategisnya yakni legislasi, anggaran dan pengawasan yang merupakan
bingkai dari peran representasi rakyat.
4
Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, (Bandung:PT Alumni 2007), h. ix.
5
5
Oleh karena itu untuk melaksanakan fungsi dan wewenangnya tersebut
secara optimal, menurut Benny K Harman anggota DPR dari Fraksi Partai
Demokrat memandang merasa perlu membentuk alat kelengkapan di DPR
yang lebih kredibel yang bisa menjaga kehormatan dan martabat anggota
dewan. Oleh karena itu dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan
(selanjutnya disebut MKD) sebagai pengganti Badan Kehormatan. Peran
MKD ke depan diperkuat untuk menjaga integritas lembaga dan anggota DPR
dalam melaksanakan fungsi, wewenang dan tugas DPR.6
Hidayat Nurwahid mengatakan anggota DPR adalah orang yang
terhormat, oleh karena itu salah satu langkah yang diwujudkan adalah
membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurutnya saat ini anggota
DPR terlalu mudah untuk dipanggil untuk permintaan keterangan untuk
penyidikan. Ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik terhadap
parlemen. Problema ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau untuk
pemeriksaan penyidikan suatu kasus, menurut Hidayat Nurwahid hal seperti
itu dapat menimbulkan opini publik yang buruk terhadap anggota DPR.7
Pada sisi yang lain, menurut penulis kehadiran kewenangan MKD yang
tertuang dalam Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tentang MD3 bahwa
6 Sjafri Ali, “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR,” artikel
diakses pada 18 Mei 2015 dari
http://www.pikiran- rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakat-masuk-panel-mahkamah-kehormatan-dpr
7Erdy Nasrul, “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses Pada 10
November 2014 dari
pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR untuk penyidikan harus
mendapatkan izin tertulis dari MKD tersebut dianggap dapat menghambat
proses penegakan hukum dan membuat anggota dewan sulit tersentuh. Selain
itu MKD sarat dengan konflik kepentingan. Dengan lahirnya MKD dianggap
akan memperlambat proses peradilan karena adanya prosedur birokrasi
perijinan, serta menambah biaya penegakan hukum yang secara otomatis
terjadi karena rangkaian prosedur yang lebih lama serta tidak sesuai dengan
asas cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan pidana, serta
bagaimana kedudukan hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana yang dimaksud dalam Pasal 245 tersebut jika ditinjau dari asas
persamaan di depan hukum?
Dalam konteks kemajuan demokrasi, reformasi kelembagaan parlemen
merupakan bagian penting dari proses konsolidasi demokrasi, dimana
institusi-institusi kenegaraan ditata sedemikian rupa sehingga memenuhi
indikator demokrasi.8 Inti dari semua ini adalah pelembagaan nilai-nilai
demokrasi dalam keseluruhan prosedur dan mekanisme kerja parlemen.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengorganisasian, tata
tertib lembaga-lembaga perwakilan, dan regulasi-regulasi terkait dengan
kehendak mewujudkan parlemen Indonesia sebagai institusi perwakilan rakyat
yang kredibel, akuntabel, transparan, efektif, dan profesional. Oleh karena itu
penulis tertarik mengambil judul penelitan mengenai “PROBLEMATIKA
PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN
7
TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK
PIDANA.”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan studi pendahuluan maka pembatasan masalah terfokus
pada Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 mengenai kewenangan
Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin pemanggilan dan
permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana dan kedudukan hukum dari anggota DPR
tersebut.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang ada, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana Posisi Hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana ditinjau dari asas persamaan di depan hukum dan independensi
peradilan?
b. Bagaimana Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 Undang-Undang
No 42 Tahun 2014 tentang MD3 dengan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas, penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, maka tujuan penulisan
penelitian adalah sebagai berikut ;
a. Untuk mengetahui Posisi Hukum anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan di depan hukum
dan independensi peradilan.
b. Untuk mengetahui Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245
Undang-Undang No 42 Tahun 2014 dengan Peraturan Perundang-Undang-Undangan di
Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
1) Untuk lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan penulis baik
dibidang hukum pada umumnya, maupun di bidang Hukum Tata
Negara Khususnya.
2) Untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum secara
teoritis, khususnya bagi Hukum Tata Negara mengenai
Kewenangan Mahakamah Kehormatan Dewan dalam memberikan
izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana serta bagaimana kedudukan atau posisi hukum
9
3) Sebagai pedoman awal bagi penelitian yang ingin medalami
masalah ini.
b. Manfaat Praktis
1) Penulis berharap agar memberikan sumbangan pemikiran
mengenai aspek Hukum Tata Negara mengenai Kewenangan
Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana.
2) Agar hasil penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan
oleh semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat umum maupun
setiap pihak yang bekerja seharian di bidang hukum, khususnya
Hukum Tata Negara.
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis
normatif, 9 yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang
ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, makalah-makalah dan
hasil penelitian yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah
Kehormatan Dewan dalam memberikan izin pemanggilan dan
pemeriksaan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
9
serta kedudukan hukum anggota DPR tersebut jika ditinjau dari asas
persamaan di depan hukum.
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif,
maka penulis menggunakan beberapa pendekatan yang akan dilakukan
yaitu, pendekatan Perundang-undangan dan Pendekatan Sejarah.
Pendekatan Sejarah, digunakan untuk mengungkap filosofis,
kontekstualitas masa lahirnya Undang-Undang No 42 Tahun 2014.
Pendekatan Perundang-undangan (Statute-Approach) adalah pendekatan
dengan mengkaji lebih lanjut untuk menjawab rumusan masalah, dalam
hal Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan memberikan izin
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
Pendekatan Perundang-undangan digunakan untuk menela’ah dan
menganalisa bentuk pelaksanaan Mahkamah Kehormatan Dewan
Memberikan Izin Penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana serta bagaimana kedudukan hukum dari anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam pasal
245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014.
3. Sumber Data
Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis,
yaitu:
11
Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang mencangkup
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
mempunyai hukum10 yang mengikat. Bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2) Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MD3.
3) Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3.
4) Undang-Undang No 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik.
b. Sumber Hukum Sekunder.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari
penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan
penelitian ini. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari buku-buku yang berkenaan dengan Lembaga
Perwakilan Rakyat dan buku-buku hukum, Skripsi Hukum Tata
Negara, Tesis Hukum Tata Negara ataupun materi-materi mengenai
hukum yang berkaitan tentang Dewan Perwakilan Rakyat umumnya
dan Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan Khususnya.
c. Bahan Hukum Tersier.
Merupakan bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan
pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum tersier
10
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap hukum
primer dan sekunder, seperti kamus hukum, Ensiklopedia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia dan lain-lain.11
4. Prosedur Pengumpulan Data
Bahan hukum primer maupun sekunder serta tersier dikumpulkan
berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan dijelaskan
secara rinci berdasarkan sumber, sejarah, hirarki untuk dikaji secara
komprehensif.
5. Pengelolahan dan Analisa
Pengolahan yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan,
UUD 1945, Peraturan Perundang-undangan, dan bahan materi lainnya
penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam
penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Bahwa cara pengelolaan bahan hukum dilakukan secara
mendalam tentang Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam
memberikan izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana.
Selanjutnya dianalisa secara mendalam sesuai dengan pendekatan
yang digunakan. Analisa sejarah berlakunya aturan tersebut melalui
pelaksaan Undang-Undang 42 Tahun 2014. Lalu analisa yuridis
perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah
Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan.
11
13
E. Sitematika Penelitian
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
Masing masing bab terdiri atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas
ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti.Adapun urutan dan tata
letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.
BAB I : Pada bab ini berisi tentang pendahuluan mengenai latar belakang, pembatatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sitematika penulisan.
BAB II : Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang terbentuknya Undang-Undang No 17 Tahun 2014, dan perdebatan dalam
pembentukan Undang-Undang tersebut.
BAB III :Menguraikan tentang Mahkamah Kehormatan Dewan dan mekanisme pemberian izin penyidikan terhadap anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana serta Kedudukan hukum Anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
BAB IV :Menganalisa kedudukan hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan di depan
hukum dan independensi peradilan serta menganalisa bagaimana
Harmonisasi dan Sinkronisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42
Tahun 2014 mengenai kewenangan Mahkamah Kehormatan
Dewan dalam memberikan izin penyidikan anggota DPR dengan
BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian serta
memberikan saran dan kritik yang perlu pada permasalahan
15 BAB II
SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NO 14 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD
A. Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014
Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum.12 Hal ini tertulis dalam
Pembukaan UUD 1945 Aline ke IV yang berbunyi sebagai berikut:
“…untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Diembannya tugas negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan
umum tersebut maka pembentukan berbagai peraturan di Negara Indonesia
menjadi sangat penting, oleh karena campur tangan negara dalam mengurusi
kesejahteraan rakyat dalam bidang hukum, politik, ekonomi, budaya,
12
lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan yang diselenggarakan
dengan proses legislasi.13
Ide negara berdasarkan hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan
oleh oleh para filsuf dari zaman yunani kuno. Plato, karya awalnya Politea
(the Republic) berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal
untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan.14 Gasasan yang
dikemukakan Plato tersebut berasal dari bentuk keprihatinannya yang melihat
kondisi kota Athena pada waktu itu. Pada zaman itu Raja yang berkuasa di
kota Athena merupakan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang. Dalam
gagasan negara ideal Plato, penguasa yang memerintah seharusnya memiliki
moralitas yang baik dan terpuji serta memiliki kebajikan dan segala macam
pengetahuan, terutama ilmu pemerintahan. Dalam karya Plato yang lain
Politicos, Plato sudah memberikan perhatian yang cukup penting terhadap
hukum sebagai instrumen penyelenggaraan negara. Namun, fungsi dan
kedudukan hukum dalam gagasan Plato belum sama seperti dalam ide negara
hukum di zaman modern.15 Kedudukan dan fungsi hukum sangat penting baru
tampak dalam karya Plato yang berikutnya, Nomoi. Plato dalam karyanya itu,
ia sudah memberikan perhatian dan arti penting terhadap hukum, Plato
mengemukakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus diatur
13
Maria Farida Indrayanti, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 1.
14
Jimliy Ashhiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika 2012), h. 129.
15
17
oleh hukum. Cita Plato dalam Nomoi kemudian ditegaskan oleh muridnya
Aristoteles dalam karyanya Politica, menurut Aristoteles, suatu negara yang
baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
oleh sebab itu supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda
negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang
selayaknya.16
Aristoteles adalah filsuf terakhir yang membicarakan ide negara hukum
sehingga ia dianggap sebagai penutup diskursus mengenai ide negara hukum
klasik. Setelah zaman Aristoteles, ide negara hukum tidak lagi pernah
diperbincangkan serta tidak mendapat perhatian dari filsuf selama beberapa
abab setelahnya. Barulah pada abad ke-17 dan 18, ide negara hukum kembali
diperbincangkan di Eropa Barat.17
Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan
dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu Rechtstaat antara lain oleh
Immanuel Kant, Paul Labant, Julius Stahl. Adapun dalam tradisi Anglo Saxon
konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan The Rule of Law yang
dipelopori oleh A. V Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait
dengan istilah Nomokrasi yang berarti penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan negara adalah hukum. Menurut Stahl, konsep negara hukum yang
disebut dengan istilah rechtstaat mencakup empat elemen penting yaitu,
pembagian kekuasaan, perlindungan hak asasi manusia, pemerintah
16
Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis Normatif tentang Unsur-Unsurnya, (Jakarta:UI Press, 1995), h. 20.
17Hotma P Sibuea, Asas Negara Hukum …h. 19
berdasarkan undang-undang, peradilan tata usaha negara. Adapun A.V Dicey
menyebutkan tiga ciri penting rule of law yaitu, supremasi hukum, persamaan
di depan hukum, dan asas legalitas.18
Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat dan negara. Perkembangan negara hukum modern
melahirkan prinsip-prinsip penting untuk mewujudkan negara hukum.
Prinsip-prinsip terebut sebagai berikut:19
hukum yaitu pembatasan kekuasaan.20 Dalam konsep ini kekuasaan dibagi
18
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), h. 122.
19
Jimliy Ashhiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 131.
20
19
berdasarkan fungsinya. Pembagian tersebut menunjukan perbedaan antara
fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Konsep klasik yang diterapkan
dibanyak negara ini dikenal sebagai trias politica, atau pemisahan kekuasaan.
Konsep mengenai trias politica bermula dalam tulisan John Locke,
Second Treaties of Civil Government yang berpendapat bahwa kekuasaan
untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka
yang menerapkannya. John Locke mambagi kekusaan negara dalam tiga
fungsi yaitu, legislatif, eksekutif dan federatif. Oleh sarjana hukum Prancis,
Baron de Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois yang merupakan
karya utama Montesqueiu, karya tersebut merupakan salah satu karya yang
paling tajam dan paling berpengaruh di antara karya-karya zaman
pencerahan.21 Karya tersebut ditulis berdasarkan penelitiannya terhadap
sistem konstitusi Inggris, pemikiran John Locke itu diteruskannya dengan
mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan menjadi tiga
cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pandangan
Montesquieu inilah kemudian dijadikan rujukan doktrin saparation of power.
22
Amandemen (Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 34., sedangkan literatur lain menyebutkan dengan istilah pembagian kekuasaan, lihat, Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet ke-6 (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985), h. 181.
21
Franz Magnis-Seseno, Demokrasi: Klasik dan Modern, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 80.
22
Bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana ini tampaknya
mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John
Locke mengutamakan fungsi federatif. John Locke lebih melihatnya dari
hubungan dengan negara lain sebab kekuasaan yudikatif sudah termasuk
dalam kekuasaan federatif. Sementara Montesquieu mengutamakan fungsi
yudikatif, Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan
itu dari hak asasi manusia setiap warga negara. Sebaliknya Montesquieu
mengatakan bahwa fungsi hubungan luar negeri merupakan bagian dari fungsi
eksekutif sementara kekuasaan yudikatif itu harus terpisah dari kekuasaan lain
agar dapat berdiri sendiri tanpa memihak pihak manapun.23 Sebab, gagasan
tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara
demokrasi dan negara hukum.24
Pembahasan yang berkembang selanjutnya cenderung berkaitan dengan
penerapan konsep pemisahan kekuasaan yang dikembangkan oleh
Montesquieu, dalam penyelenggraaan negara. Sir Ivor Jennings melalui teori
dalam bukunya The Law and the Constitution menyanggah konsep pemisahan
kekuasaan dalam trias politica dengan mendasarkan pada kenyataan di Inggris
bahwa lembaga eksekutif turut serta dalam proses pembuatan
undang-undang.25 Jennings berpendapat, pelaksanaan trias politica secara konsekuen
23
Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis… h. 94.
24
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 88.
25
21
seperti diungkapkan Montesquieu amat sulit diwujudkan dalam
penyelenggaraan negara. Kenyataan menunjukkan bahwa pemisahan
kekuasaan dilakukan hanya secara formil, artinya tidak dipertahankan secara
tegas dalam konsep ini. Sehingga menurut Jenings konsep tersebut lebih tepat
dinamakan pembagian kekuasaan (distribution of power).26 Jennings
menggambarkan, apabila pembuatan undang-undang dalam suatu negara
dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif maka konstitusi negara
tersebut menganut asas pembagian kekuasaan.27
Sementara itu Artur Mass justru menggunakan istilah division of power
untuk menyebut pembagian kekuasaan. Mass kemudian membagi lagi
terminologi tersebut menjadi dua, yaitu: (1) capital divission of power untuk
menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat fungsional serta mengandung
pengertian pembagian kekuasaan yang bersifat horizontal; dan (2) territorial
divisson of power yang bermakna pembagian kekuasaan secara vertikal serta
menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat kewilayahan atau kedaerahan.28
Karena itu, doktrin pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin
yang terbatas, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang
kekuasaan. Kekuasaan legislatif bertugas membuat undang-undang,
26
Jennings mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan (saparation of power) dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: (1) materiil, yaitu pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian legislatif, eksekutif dan yudikatif; (2) formil, yaitu apabila pemisahan kekuasaan tidak dipertahankan dengan tegas sehingga lebih tepat disebut pembagian kekuasaan, ibid.
27
Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum.. h. 143.
28
Kekuasaan eksekutif menjalankan undang-undang dan kekuasaan yudikatif
menafsirkan atau mengadili pelanggar undang-undang.
Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, konsep trias
politica dirasakan tidak lagi relevan mengingat tidak mungkinnya
mempertahankan eksklusivitas setiap organ dalam menjalankan fungsinya
masing-masing secara terpisah. Kenyataannya menunjukan bahwa hubungan
antar cabang itu pada praktiknya harus saling bersentuhan. Kedudukan ketiga
organ tersebut pun sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai
dengan prinsip check and balances.29
Perjalanan lahirnya peraturan perangkat kelembagaan politik dalam
konteks demokratisasi, dalam rangka usaha menciptakan check and balances.
Check and balances mempunyai arti mendasar dalam hubungan antar
kelembagaan negara. Misalnya, untuk legislasi, check and balances
mempunyai lima fungsi.30 Pertama, sebagai fungsi penyelenggara
pemerintahan, dimana eksekutif dan legislatif mempunyai tugas dan tanggung
jawab yang saling terkait dan saling memerlukan konsultasi sehingga
terkadang tampak tumpang tindih. Namun disinilah fungsi check and balances
agar tidak ada satu lembaga negara yang dominan tanpa kontrol dari lembaga
lain. Kedua, sebagai fungsi pembagi kekuasaan dalam lembaga legislatif
sendiri, dimana melalui sistem pemerintahan yang dianut, seperti Presidensial
di Indonesia, diharapkan terjadi kontrol secara internal. Ketiga, fungsi
29
Jimliy Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga… h. v.
30
23
hierarkis antara pemerintah pusat dan daerah. Keempat, sebagai fungsi
akuntabiltas perwakilan dengan pemilihnya. Kelima, sebagai fungsi kehadiran
pemilih untuk menyuarakan aspirasinya. Pada dasarnya prinsip check and
balances ini untuk membatasi kesewenang-wenangan dalam konsep
pembagian kekuasaan. Dengan adanya prinsip check and balances ini maka
kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan
baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah dengan
sebaik-baiknya.31
Hal yang terpenting dalam ide negara hukum bahwa setiap tindakan
pemerintah harus berdasarkan hukum. Hal ini berhubungan dengan adagium
yang dikemukakan oleh Mochtar Kusuma Atmadja, hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Oleh
sebab itu pembentukan hukum sangat penting. Pembentukan hukum secara
bersamaan merupakan penerapan hukum.32 Eugen Ehrlich menganjurkan agar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara
keinginan pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran
untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.33 Hukum itu
tidak boleh statis, tetapi harus dinamis, harus selalu diadakan perubahan
sejalan dengan perkembangan zaman dan dinamika kehidupan bermasyarakat
31Ni’matul Huda,
Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2002), h. 115.
32
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara diterjemahkan dari General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971), h. 192.
33
dan bernegara. Apabila hukum hendak diganti dengan hukum yang baru maka
diperlukan beberapa syarat agar hukum baru dapat berlaku secara efektif,
syarat tersebut antar lain, hukum yang dibuat itu harus bersifat tetap, tidak
bersifat ad hoc. Kemudian hukum yang baru tidak saling bertentangan satu
sama lain, dan hukum yang baru itu harus tertulis dan dibuat oleh instansi
yang berwenang.34
Jika didengar secara sekilas penyataan “hukum sebagai produk politik,”
dalam pandangan awam bisa dipersoalkan, sebab pernyataan tersebut
memosisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh
politik. Apalagi dalam tatanan ide atau cita hukum, lebih-lebih di negara yang
menganut supremasi hukum, politik harus diposisikan sebagai variable yang
terpengaruh oleh hukum. Mana yang benar dari kedua pernyataan tersebut?35
Secara metedologi ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dari
pernyataan tersebut, semuanya benar tergantung pada asumsi yang
dipergunakan. Asumsi bahwa setiap produk hukum merupakan produk
keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari
pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun
dari sudut pandang das sollen ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada
ketentuan hukum, namun secara das sein bahwa hukum yang dalam
kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatar belakanginya.36
34
Ibid. h. 4.
35
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 4.
36
25
Dasar keberadaan Undang-Undang No 42 Tahun 2014 MPR, DPR,
DPD, DPRD, bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang di
dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Untuk
melaksanakan prinsip dari kedaulatan rakyat tersebut, perlu diwujudkan
lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga
perwakilan daerah yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi
serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Karena itu salah
satu hal penting dari amandemen UUD 1945 adalah penataan kembali sistem
perwakilan.37
Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik
bangsa di Indonesia, telah dibentuk Undang-Undang No 22 Tahun 2003
Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD, yang
dimaksudkan sebagai upaya penataan susunan dan kedudukan MPR, DPR,
DPD, DPRD. Dalam perkembangannya Undang-Undang No 22 Tahun 2003
diubah dengan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR,
DPD, DPRD. Frasa “Susunan dan Kedudukan” pada undang-undang
sebelumnya dihapuskan. Penghapusan tersebut dimaksudkan untuk tidak
membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada materi muatan susunan dan
kedudukan saja, tetapi juga mengatur hal-hal lain yang sifatnya lebih luas. Hal
37
ini dilakukan dalam upaya pengefektifan kelembagaan MPR, DPR, DPD,
DPRD.
Meskipun telah menjalankan fungsi legislasi secara optimal, DPR tetap
saja tidak sepi dari kesan atau penilaian yang kurang bagi berbagai kalangan.
Sejumlah produk legislasi DPR dianggap kurang sesuai dengan kepentingan
dan kebutuhan masyarakat. Produk legislasi yang berupa undang-undang
terkesan tidak serius dirancang dan dibahas, sebaliknya berdasarkan
kepentingan kelompok dan kompromi politik.38 Keberagaman kepentingan
yang mengikuti anggota DPR akan makin bertambah rumit dengan satu
kenyataan lain berupa kepentingan pribadi dari anggota DPR. Tidak dinafikan
sama sekali, seorang anggota DPR memburu kepentingan-kepentingan diri
dari peran dan status politik yang tengah disandangnya itu.39 Kesan atau
penilaian lainnya adalah DPR periode 2009-2014 kurang maksimal dalam
menjalankan fungsi legislasi, dengan tidak tercapainya Program Legislasi
Nasional (Prolegnas).
Konstruksi prosedural politik yang menghambat pelaksanaan
kewenangan perwakilan politik, di tengah desakan tuntutan politik
demokratisasi, juga menempatkan peran kenegaraan MPR dan DPD yang juga
terjebak pada seremoni prosedural pelaksanaan fungsi-fungsinya. Kendala
seperti ini membutuhkan transformasi alat kelengkapan dan reposisi fraksi
atau pengelompokan keanggotaannya agar dapat secara maksimal mendorong
38
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang atas Perubahan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, h. 5.
39Sebastian Salang, Menghindari…. h. 10
27
peran kelembagaannya yang produktif bagi produktivitas peranannya dalam
agenda nasional.
Ruang lingkup pembaruan politik yang sangat terbatas bagi dukungan
subtansial pelaksanaan fungsi-fungsi kelembagaan perwakilan politik, baik
menyangkut MPR, DPR, DPD, DPRD, dianggap membuktikan titik lemah
dari kelembagaan perwakilan politik tersebut. Bahkan, dalam konteks DPRD,
baik ditingkat provinsi maupun kabupaten atau kota, sejak awal ketentuan
dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 diletakkan pada bagian birokrasi
pemerintah daerah, dan bukan sebagai badan legislatif di daerah, serta sejalan
dengan ketentuan yang ada pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004.
Sehingga campur tangan pemerintah pusat secara berlebihan tehadap politik
pelaksanaan hak-hak keanggotaan dan kelembagaan DPRD sukar dihindarkan.
Dalam rangka penguatan fungsi legislasi, DPR sebagai pelaksanaan
amandemen UUD 1945, perlu pula diatur lebih lanjut mengenai penguatan
peran DPR dalam proses perancangan, pembentukan, sekaligus pembahasan
rancangan undang-undang. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjawab kritik
bahwa DPR bekerja kurang maksimal dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Harapannya adalah agar DPR dapat menghasilkan
produk-produk legislasi yang berkualitas serta berorientasi pada kebutuhan
rakyat dan bangsa. Berkaitan dengan fungsi legislasi, kedudukan DPD perlu
ditempatkan secara tepat dalam pembahasan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, pemekaran, penggabungan daerah,
daerah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 22 D ayat (2) Undang-Undang
Dasar.
Hal penting lainnya yang menjadi perhatian adalah keberadaan sistem
pendukung yang menunjang fungsi serta tugas wewenang MPR, DPR, DPD,
DPRD. Perlunya dukungan yang kuat, tidak terbatas pada dukungan sarana,
prasarana dan anggaran, tetapi ada dukungan keahlian. Dengan demikian
perlu adanya penataan kelembagaan Sekertariat Jenderal di MPR, DPR, DPD
dan sekertariat di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota. Hal ini
diwujudkan dalam pengadaan sumber daya manusia, alokasi anggaran,
sekaligus pertanggungjawaban publik unit pendukung dalam menjalankan
tugasnya.
Untuk itu, beberapa masalah yang menjadi kendala baik secara teknis
maupun subtantif dari dua tingkatan pembenahan kelembagaan politik
perwakilan, merupakan muatan dari revisi Undang-Undang No 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu
dibentuk Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, DPRD guna
meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat,
lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan rakyat daerah untuk
mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan
daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenang lembaga, serta
mengembangkan mekanisme check and balances antara lembaga legislatif dan
eksekutif. Selain itu juga untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan
29
lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
rakyat.
Pada prosesnya perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 2009
menjadi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MD3 disahkan pada pada
tanggal 8 juli 2014. Setelah Undang-Undang No 17 Tahun 2014 ini disahkan,
kembali diubah menjadi Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3
pada 5 Desember 2014. Dalam sidang paripurna perubahan undang-undang
tersebut dihadiri oleh 281 dari 555 anggota dewan dan dipimpin langsung oleh
ketua DPR, Setya Novanto.40 Namun, perubahan tersebut sarat dengan
kepentingan politik.
Perubahan tersebut diantaranya menyepakati delapan poin pasal dalam
Undang-Undang MD3 terkait dengan kewenangan DPR, Pemilihan Pimpinan
Komisi, Tugas Komisi, Pemilihan Pimpinan Badan Legislasi, Pimpinan Badan
Anggaran, Pimpinan Mahakamah Kehormatan Dewan, Pemilihan Pimpinan
BURT. Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal tersebut yaitu Pasal 17 ayat
(3), (4), (5), dan (6), Pasal 97, Pasal 98 ayat (7), (8), (9), Pasal 104, Pasal
109, Pasal 115, Pasal 121 dan Pasal 152. Sementara, terdapat penambahan
pasal sisipan antara pasal 425 dan 426 yaitu Pasal 425A.
40
Julkifli Marbun, “Tanpa Interupsi Paripurna Sahkan revisi Undang-Undang MD3 Menjadi Undang-Undang”, artikel diakses pada 20 April 2015 dari
Mengutip dari pernyataannya Satjipto Rahardjo bahwa setiap produk
hukum bukan sesuatu yang mutlak sempurna. 41 Revisi peraturan
perundang-undangan seperti ini lazim dilakukan untuk dua tujuan utama, yaitu: untuk
menyesuaikan tuntutan dan kebutuhan baru karena perkembangan masyarakat
dan zaman; dan memperbaiki atau menyempurnakan kekurangan dan
kelemahan peraturan perundang-undangan terkait.42
B. Perdebatan Dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014
Untuk mengetahui kualitas rasa dari roti, kita tidak bisa hanya
merasakan ketika memakannya saja, melainkan harus melihat apa saja
bahan-bahan dan bagaimana proses pembuatannya. Oleh karena itu, untuk
mengetahui maksud yang di cita-citakan dari Undang-Undang No 42 Tahun
2014 kita tidak cukup hanya melihat atau memahami dari produk hukum
tersebut, melainkan harus mengetahui bagaimana proses pembahasan dan
beberapa perdebatan pokok dan sampai pengesahan undang-undang tersebut.
Fungsi legislasi adalah fungsi merancang, membahas, dan memutuskan
regulasi (Undang-Undang bagi DPR, atau Peraturan Daerah bagi DPRD).
Fungsi pokok DPR di bidang legislasi ini diberikan oleh Pasal 20 UUD 1945
hasil amandemen.
Seperti yang sudah penulis kemukakan dimuka, bahwa Undang-Undang
No 42 Tahun 2014 adalah perubahan dari Undang-Undang No 17 Tahun 2014
41
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Dari Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Buku Kompas, 2003), h. 131.
42Sebastian Salang…. h.
31
yang hanya merubah beberapa Pasal dalam Undang-Undang No 17 Tahun
2014. Oleh karena itu penulis lebih menekankan pada perdebatan yang terjadi
pada proses pembentukan Undang-Undang No 17 Tahun 2014.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) di
atas terjadi beberapa perdebatan yang krusial. Pertama, terkait pertimbangan
yang disampaikan oleh Tim Musyawarah bahwa bentuk rancangan
undang-undang diusulkan sebaiknya dalam bentuk pergantian. Namun usulan tersebut
ditolak oleh F-PDIP yang diwakili oleh Arif Wibowo, menurutnya sistematika
dalam RUU ini tetap sama dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 karena
materi perubahan yang terdapat dalam RUU ini hanya 27,45% yang
dibuktikan dari 408 Pasal hanya mengalami perubahan 112 Pasal, esensinya
tidak berubah mengingat secara subtansi RUU ini tetap membuat pengaturan
menuju terwujudnya lembaga permusyawaratan perwakilan yang demokratis,
efektif dan akuntabel sebagaimana esensi dan yang ada dalam
Undang-Undang No 27 Tahun 2009.43
Kemudian dari F-Partai Demokrat yang diwakili oleh Mulyadi
menyatakan bahwa perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang No
27 Tahun 2009 merupakan keinginan dari kita semua dalam menjaga hak
dalam melakukan melaksanakan hak konstitusional yang diimbangi dengan
aspek-aspek tranparansi dan akuntabilitas.44 Hal tersebut dimulai dari
43
Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014) h. 23.
44
penguatan terhadap anggota dewan, penguatan kepada komisi tanpa
mengurangi fungsi Alat Kelengkapan Dewan, dan membentuk Mahkamah
Kehormatan Dewan dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan anggota
dewan. Oleh karena itu dalam pasal-pasal yang termaktub dalam rancangan
undang-undang MD3 ini termasuk pergantian.
Senada dengan Mulyadi Pemerintah yang diwakili oleh Wicipto Setiadi
mengatakan banyaknya Pasal baru yang masuk dalam revisi Undang-Undang
No 27 Tahun 2009 menjadi salah satu alasan menjadi penggantian. Hasilnya
dari 9 Fraksi, 6 menyatakan sependapat dengan Pemerintah. Keenam fraksi
yang menyatakan penggantian adalah Demokrat, Golkar, PKS, PPP, PAN dan
Gerindra. Intinya lantaran ada perubahan subtansial. Misalnya badan dan alat
kelengkapan. Sementara 3 Fraksi yang menyetujui dalam bentuk perubahan
yaitu PKB, PDIP, Hanura.45
Kedua, terkait dengan pemilihan Pimpinan DPR. Paripurna penetapan
RUU MD3 berjalan panas dan alot. Tiga fraksi di DPR, Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai
Hati Nurani Rakyat (Hanura), memutuskan walk out setelah muncul
perubahan pasal 82 terkait mekanisme pimpinan DPR yang dinilai sebagai
pasal siluman.46
Pasal 84 RUU MD3, yang notabene sebagai perubahan pasal 82
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, memunculkan
45
Ibid, h. 45.
46 “PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,”
diakses pada 18 Mei 2015 dari
33
perdebatan yang panjang. Ada tiga alternatif pilihan yang ditawarkan pasal 84
RUU MD3. Alternatif pertama berisi sama seperti aturan pasal 82 UU MD3.
Pasal itu menyatakan pimpinan DPR ditentukan berdasar asas
proporsionalitas, yaitu parpol peraih kursi terbanyak mendapat jatah ketua
DPR, sementara jatah wakil ketua DPR menjadi milik empat parpol peraih
suara terbanyak kedua hingga kelima.47
Sementara itu, untuk alternatif kedua dan ketiga, penetapan kursi
pimpinan DPR ditentukan dengan mekanisme pemilihan. Bedanya, alternatif
kedua menetapkan pemilihan pimpinan DPR secara tunggal, sementara
alternatif ketiga dilakukan dengan mekanisme paket pimpinan DPR.
Dua kubu koalisi yang pernah bertarung di pilpres beradu pendapat pada
penetapan RUU MD3. Kubu koalisi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang
berisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya
(Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat berada dalam
satu kubu yang mendukung alternatif kedua dan ketiga pada pasal 84 RUU
MD3.48
Sementara itu, kubu koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berisi PDIP,
PKB, dan Hanura bersikukuh untuk tidak mengubah ketentuan pasal 82 UU
MD3 itu. Salah satu alasan utamanya, dalam pembahasan panitia khusus
47
Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014), h. 7.
48 “PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,”
diakses pada 18 Mei 2015 dari
(pansus) RUU MD3, tidak pernah muncul pembahasan terkait perubahan pasal
82 atau munculnya alternatif-alternatif di pasal 84 RUU MD3 itu.49
Abidin Fikri, anggota Pansus RUU MD3 dari Fraksi PDIP, saat
menyampaikan interupsi mengatakan Fraksi PDIP mengikuti setiap proses,
jam, menit, detik. Menurutnya, mereka tahu akan adanya pasal
penyelundupan, yaitu di pasal 82 itu (pasal 84 RUU MD3).
Perwakilan Fraksi PKB Abdul Malik Haramain menegaskan, tidak
pernah ada pembahasan terkait rancangan pasal 84, baik antarfraksi di DPR
maupun pemerintah. Dalam rekaman rapat, Malik menyatakan tidak pernah
disebutkan bahwa pansus memperdebatkan mekanisme pemilihan ketua DPR.
”Kapan pasal itu ditentukan? Kita rapat di Hotel Sahid, Ritz Carlton, tidak ada
pembahasan,”.50
Tiga fraksi itu meminta agar pimpinan DPR menunda penetapan RUU
MD3 untuk kemudian dilakukan pendalaman dan pematangan kembali.
Namun, sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso tersebut
menyatakan bahwa paripurna akan tetap dilanjutkan dengan pengambilan
keputusan mengingat mayoritas fraksi meminta penetapan dilakukan saat itu
juga.
Sesaat sebelum memutuskan walk out, Menurut Arif wibowo proses
penetapan RUU MD3 ini harus memperhatikan aspek kepastian hukum,
seharusnya keinginan untuk merubah pasal 82 dilakukan sebelum pelaksanaan
49
Ibid.
50
35
Pemilu Legislatif pada 9 April 2014. Masuknya unsur perubahan Pasal 82
secara tiba-tiba setelah ditetapkannya pemilu legislatif menunjukan bahwa
usulan tersebut telah merusak itikad demokrasi dan syarat dengan kepentingan
tertentu yang bertentangan dengan asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.51 Fraksi PDIP menyatakan tidak ikut bertanggung jawab
terkait penetapan RUU MD3.
Setelah walk out, paripurna yang berlangsung hingga pukul 20.30 itu
berjalan singkat. Hanya dalam lima menit, enam fraksi secara aklamasi
menetapan pilihan alternatif ketiga sebagai isi pasal 84, menggantikan isi pasal
82 UU MD3 lama. Menurut Priyo Budi Santoso pengesahan pasal tersebut
sudah melalui mekanisme baku, tidak perlu penjelasan lagi.52
Ketiga, terkait dengan Pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan
yang tercantum dalam Pasal 119 UU No 42 Tahun 2014. MKD dibentuk oleh
DPR dan merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Tujuan
pembentukan MKD tercantum dalam Pasal 119 ayat (2) bahwa MKD
bertujuan menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR
sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Ada satu hal yang banyak disoroti oleh banyak kalangan mengenai
pembentukan MKD ini, terkait dengan kewenangan MKD yang tercantum
dalam Pasal 245 ayat (1) UU No 42 Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan
permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
51
Ibid, h. 24.
52“PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,”
diakses pada 18 Mei 2015 Dari
melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah
Kehormatan Dewan. Benny K Harman, anggota DPR dari F-Demokrat
mengatakan, perbedaan Badan Kehormatan dan Mahkamah Kehormatan
Dewan terletak pada kewenangan untuk membentuk komite penyelidikan.53
Menurutnya, pembentukan MKD dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas
serta menjamin agar anggota DPR tidak menjadi obyek perlakuan tidak wajar
berdasar pengaduan atau laporan masyarakat. Namun pada pihak lain MKD
tetap berada pada posisi untuk tidak melindungi anggota DPR yang
nyata-nyata terbukti melakukan tindakan melanggar etika dan peraturan
perundang-undangan.54
Hidayat Nurwahid mengatakan anggota DPR adalah orang yang
terhormat. Oleh karena itu salah satu langkah yang diwujudkan adalah
membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurutnya saat ini anggota
DPR terlalu mudah untuk dipanggil untuk permintaan keterangan untuk
penyidikan. Ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik terhadap
parlemen. Problema ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau untuk
53
Randi Ferdi Firdaus, “UU MD3 Baru, DPR Wacanakan ganti BK jadi MKD,” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari
http://www.merdeka.com/politik/uu-md3-baru-dpr-wacanakan-ganti-bk-jadi-mahkamah-kehormatan.html
54
Sjafri Ali, “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR,” artikel
diakses pada 18 Mei 2015 dari
37
pemeriksaan penyidikan suatu kasus, menurut Hidayat Nurwahid hal seperti
itu dapat menimbulkan opini publik yang buruk terhadap anggota DPR.55
Sementara Menurut Tantowi Yahya, anggota DPR dari F-Golkar
mengatakan bahwa anggota DPR tidak mempunyai atasan, ketua DPR dan
Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan hanyalah jurubicara dan kordinator
kegiatan, tidak ada kewenangan memberikan punishment yang mereka
lakukan terhadap anggotanya. Oleh karenanya, menurut Tantowi, diperlukan
satu instrument dalam struktur kedewanan yang bertugas mengawasi disiplin
anggota, termasuk memberikan sanksi sesuai tata tertib. Tantowi mengatakan,
sesungguhnya kita layak menaruh harapan tinggi kepada mahkamah ini. Oleh
karenanya, wajar pula apabila pemanggilan anggota dewan yang terindikasi
pelanggaran hukum kecuali pelanggaran berat seperti korupsi, kriminal dan
sebagainya, harus terlebih dahulu seizin MKD.56
Pada sisi yang lain, menurut mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi, Busyro Muqoddas pembentukan MKD berpotensi menghambat
proses penegakan hukum, karena penegakan hukum harus bersifat cepat.
Kritik selanjutnya disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.
Menurut dia sejumlah pasal dalam RUU MD3 sengaja dibuat untuk
membentengi anggota. Padahal jika sekedar pemanggilan dan permintaan
55Erdy Nasrul, “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan
,” Artikel diakses Pada 10 November 2014 dari
http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/29/nb2h4q-dpr-bentuk-mahkamah-kehormatan-dewan
56
Tiga-Anggota-Mahkamah-Kehormatan-Dewan-dari-Luar-keterangan untuk penyidikan, semestinya penegak hukum tidak perlu meminta
izin pada siapapun. Menurut Rafly, kalau tidak merasa bersalah tidak usah ada
ketakutan dan kekhawatiran dengan membuat MKD.57
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa birokratisasi
izin pemeriksaan anggota DPR yang terkandung dalam Pasal 245 UU MD3.
Sebab, pasal tersebut mengatur pemeriksaan anggota DPR harus atas izin
MKD. Ketentuan pemanggilan dan permintaan pemeriksaan anggota DPR
harus dengan seizin MKD khususnya berkaitan dengan tindak pidana
bertentangan dengan ketentuan konstitusi di mana setiap warga negara
memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.58
Bukan hanya menunjukan adanya sikap diskriminatif, ketentuan tersebut
berimplikasi pada pelaksanaan hukum yang berbelit bahkan memberi ruang
untuk menghilangkan alat bukti mengingat sulitnya memeriksa anggota DPR.
Ketentuan ini juga bertentangan dengan sikap independensi peradilan yang
meliputi keseluruhan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
persidangan dan pelaksanaan hukuman. Lebih aneh lagi, aturan ini juga
diskriminatif karena tidak berlaku bagi DPD dan DPRD. Aturan ini semakin
menunjukkan cara berfikir koruptif dan represif anggota DPR.59
Penulis sendiri sangat setuju dengan pembentukan Mahkamah
Kehormatan Dewan tersebut, karena bertujuan untuk lebih mengoptimalkan
57
Majalah Detik 4-10 Agustus 2014
58
Erwin C Sihombing, “Diskriminatif Pembahasan RUU MD3 Layak Dihentikan,”
artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.beritasatu.com/nasional/195457-diskriminatif-pembahasan-ruu-md3-dianggap-layak-dihentikan.html
59