• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Gambaran Budaya Patriarki di Kabupaten Nias

D.3 Perempuan Dalam Adat Nias 54

Kedudukan perempuan sebagai nomor dua membuka kesempatan kepada pihak laki-laki untuk berlaku secara sewenang-wenang terhadap perempuan.Perempuan bukan tidak diperlukan, tapi dikalahkan.Perempuan dilihat sebagai jenis kelamin kedua.Akan tetapi, dalam beberapa hal perempuan nias

Perempuan dalam adat istiadat dan suku Nias adalah warga kelas dua.Tingkatan ini jelas, dan secara terang-terangan terjadi.Pertama, yang menjadi kepala keluarga adalah laki-laki.Kedua, perempuan tidak bisa mengambil keputusan apapun tanpa suaminya.Ketiga, perempuan sering disamakan dengan barang/harta/kekayaan laki-laki.Keempat, anak yang diharapkan dalam keluarga adalah laki-laki.Bila laki-laki belum ada, maka orang nias bisanya merasa belum memiliki anak.Anak laki-laki adalah penerus marga. Yang mampu mengantikan posisi keluarga dan meneruskan nama klan. Artinya lelaki adalah hidup itu sendiri.

53

Mariati Zendato, Sh, M.Hum. 2003. “Perkembangan Kedudukan Wanita Dalam System Partineal Terhadap

Hak-Hak Pewarisan Tanah Di Daerah Kabupaten Nias.” Jurnal Ilmu Hukum Tahun 2003Hal.10.

54

P. Johannes Maria Harmmerle,OFMCap. 2001. Asal Usul Masyarakat Nias – suatu Interpretasi. Gunung

memiliki peranan yang sangat sentral.Misalnya saat pesta perkawinan.Merekalah yang mamidi afo (membuat sirih) dan mamotu ono nihalő (menasehati pengantin perempuan).Dan mereka juga yang pertama sekali menyambut ketika tamu rombongan dari pengantin laki-laki datang. Memperlakukan perempuan sebagai jenis kelamin kedua memang tidak adil.Akan tetapi perspektif budaya nias membuka kesempatan ke arah ketidakadilan ini.Dalam adat perkawian, perempuan secara tidak langsung itu dibeli oleh pihak laki-laki. Dengan membayar “bowő ” (jujuran) yang besar, maka perempuan itu menjadi miliknya. Artinya perempuan adalah harta suaminya.Lelaki memiliki kuasa penuh kepada istrinya.Orang tua perempuan tidak boleh ikut campur lagi.Kedudukan laki-laki yang lebih tinggi dalam budaya Nias tampaknya tidak terlepas dari mitos asal-usul masyarakat Nias.Di mana Sirao, menurunkan anak-anaknya ke dunia, dan mereka semua adalah laki-laki.

D.3.1 Kedudukan Wanita Nias Dalam Kelembagaan.

Di dalam masyarakat Nias Perempuan dalam kelembagaan tidak dapat mengadakan pesta adat untuk menaikkan derajat atau statusnya, sebagaimana diuraikan diatas, nilai perempuan yang diskriminatif menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, tidak produktif, malah kehadiran wanita di forum publik cenderung disepelekan, wanita itu dianggap melampaui kodrat wanitanya. Misalnya berkarya, berbisnis, berorganisasi dll.

D.3.2 Kedudukan Wanita Dalam Hubungannya Dengan Keluarga.

Hubungan keluarga dalam Hukum Adat Nias merupakan Hukum Adat yang mengatur kedudukuan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tuanya yang mengatur pertalian darah.

1. Kedudukan wanita sebagai anak.

• Sebelum berkeluarga atau sebelum menikah dipelihara oleh orang tuanya, dan segala keperluannya ditanggung oleh orang tuanya sebagai anak yang sah.

• Setelah berkeluarga tetap sebagai anak yang sah dari orang tuanya tetapi dalam tanggung jawab penuh adalah suaminya dan mertuanya (Orang tua suaminya).

2. Kedudukan Wanita sebagai Anak Piatu

• Apabila orang tuanya meninggal baik bapak atau ibunya jika masih dibawah umur atau sudah dewasa maka yang berhak memelihara dan melindunginya adalah pihak saudara bapaknya dan setelah berkeluarga adalah suami dan mertuanya.

3. Kedudukan Wanita sebagai Anak Angkat

Mengangkat anak apabila yang sama sekali bukan keluarganya, anak tersebut dimasukkan dalam keluarga yang mengangkatnya sebagai anak sendiri dan berkedudukan sama sebagai anak kandung yang mengangkatnya. Dalarn hal ini orang tua yang mengangkatnya kurang memenuhi persyaratan-persyaratan

misalnya menjamu makan semua masyrakat dan keluarga anak yang diangkat, orang tua, saudara pihak hapak dan ibu dan pengetua adat, juga dengan membayar dengan emas sebesar 3 fanulo (30 gram) untuk berikan kepada pengetua adat dan pihak paman (saudara laki-laki dari ibu sianak).

Beberapa contoh kasus yang dihadapi oleh perempuan di Nias terutama di desa-desa antara lain:

1. Berpendidikan rendah

Anak perempuan jarang bersekolah tinggi misalnya melanjutkan sekolah di SMP/SMU, apalagi ke Perguruan Tinggi.Mereka hanya tamat Sekolah Dasar, setelah itu tinggal di rumah membantu orangtua membanting tulang mencari nafkah dan biaya pendidikan untuk saudara laki-laki.Salah satu penunjang biaya pendidikan anak laki-laki biasanya dalam keluaraga menurut kebiasaan mereka adalah memelihara babi.Dalam hal ini yang ditugaskan untuk itu adalah anak perempuan.Mereka harus mengurus dan memelihara sampai besar dan setelah besar, lalu dijual. Hasilnya akan diserahkan untuk biaya sekolah anak laki-laki. Hal ini paling menyakitkan, karena perempuan tidak menikmati hasil jerih payahnya.Akibat dari pendidikan yang rendah ini, perempuan semakin terpinggirkan dan tinggal dalam kebodohan dengan dalih kodrat.

2. Tidak boleh menentukan pasangan hidup atau jodohnya sendiri

Peranan orangtua dalam menentukan jodoh anaknya sangatlah besar, terutama kepada anak perempuan.Banyak perempuan yang sudah menikah sejak umur 16 tahun, bahkan ada juga yang berumur di bawahnya.Dalam hal kesehatan,

ini sangat mempengaruhi angka kematian ibu, sebab umur tersebut masih terlalu muda untuk memproduksi/ melahirkan. Akibat dari perkawinan ini, maka lahirlah keluarga baru yang tidak didasari cinta atau suka sama suka. Dan tidak sedikitnya banyak suami yang pergi merantau meninggalkan istri, bahkan ada juga yang tidak mau pulang.Hal ini terjadi akibat kurang matangnya pemikiran dan rasa tanggungjawab dalam berumah tangga.

3. Kawin paksa

Ini juga sudah menjadi tradisi.Banyak alasan mengapa terjadi kawin paksa. Umpamanya, orangtua perempuan memaksa anaknya untuk kawin supaya ia mendapat penghormatan dari orang lain, segera mendapat cucu, merasa berutang budi kepada pihak laki-laki, meringankan beban keluarga, calon menantu kebetulan orang kaya sehingga derajatnya di tengah masyarakat akan meningkat, dan masih banyak alasan lain.

4. Tidak berhak mengemukakan pendapat

Sesuai dengan kebiasaan di Nias, perempuan tidak boleh angkat bicara, sekalipun keputusan itu merugikan dirinya sendiri. Dalam hal suami-istri, seandainya suami tidak ada di rumah sementara ada satu hal penting yang harus diputuskan saat itu juga, maka istri tidak boleh mengambil keputusan sendiri, melainkan harus menunggu suami pulang atau bila ada ayah mertuanya, maka itulah yang bisa membantu memberi keputusan. Dalam musyawarah adat, perempuan tidak dilibatkan. Mereka hanya menunggu apa yang diputuskan oleh kaum lelaki.

Dokumen terkait