• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan dan Kemiskinan Marnia Nes

Dalam dokumen Tantangan Penanggulangan Kemiskinan (Halaman 41-44)

Perempuan dan Kemiskinan

Marnia Nes

Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih rendah. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Secara rinci angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebanyak 87,9%, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65%, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar USD 3.320. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke 111 dari 177 negara. Ini menunjukkan kemiskinan di Indonesia masih memprihatinkan.

Data tahun 2003 menunjukkan jumlah penduduk yang menggerombol di antara garis kemiskinan satu atau dua dollar AS per hari mencapai 46%, terdiri dari 10% di bawah dan 36% di atas garis kemiskinan yang berlaku sekitar 1,5 dollar per hari. Walau tingkat kemiskinan menurun 1,1 juta orang atau 0,8% antara tahun 2002 – 2003, namun tingkat kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan meningkat. Hal ini mencerminkan adanya kelompok miskin yang memprihatinkan dan ketidakmerataan sistemik.

Angka – angka itu bisa dibaca keliru kalau tidak bisa memahami bahwa dampak kemiskinan (dan pemiskinan), pada perempuan dan laki – laki berbeda. Edriana dari Women’s Research Center mengatakan bahwa laki – laki dan perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda dalam menghadapi persoalan kemiskinan.Padahal angka kemiskinan di dunia menunjukkan bahwa 2/3 perempuan di dunia termasuk ketegori miskin.

Permasalahan yang mendasar selama ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan , di samping masih adanya praktik diskriminasi terhadap perempuan. Dalam aspek politik, masih rendahnya perempuan terlibat di dalam pengambilan keputusan. Dalam sejumlah data, tentang kemiskinan, kesehatan dan pendidikan masih menunjukkan ketimpangan, dimana perempuan jauh lebih tertinggal dari kaum laki – laki. Kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi dan keterlibatan dalam kegiatan publik. Hal ini menyebabkan rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender (Gender – related Development Index, GDI), yaitu sebesar 59,2. Memprihatinkan bahwa dalam situasi – situasi kemiskinan, perempuan yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain – lain kebutuhan. (Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan).

Pendidikan dan Perempuan

Dalam bidang pendidikan, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal masih lebih banyak diberikan kepada laki – laki dibanding perempuan. Di seluruh dunia, 860 juta orang dewasa tidak bisa membaca atau menulis, duapertiganya adalah perempuan. Di Indonesia 65 % anak tidak sekolah adalah perempuan.

Dana alokasi anggaran pemerintah untuk pendidikan pada tahun 2005 sebesar 6,4 % dari total anggaran. Namun dana tersebut tidak jelas pengalokasiannya. Sementara itu kalau kita lihat angka

buta huruf saja, dengan usia di atas 10 tahun untuk perempuan di pedesaan 16% dan di perkotaan 7%. Angka ini untuk laki – laki di pedesaan 8% dan di perkotaan 3%. Untuk usia 15 tahun ke atas angka buta huruf perempuan sebanyak 45% dan laki – laki sebanyak 23%. Data – data tersebut menunjukkan perbandingan yang tidak imbang antara laki – laki dan perempuan, akan tetapi alokasi anggaran tidak jelas menunjukkan pemakaiannya secara khusus.

Angka GDI (Gender – related Development Index)Indonesia adalah 59,2 yang menunjukkan tingkat melek huruf perempuan lebih rendah, lebih sedikit waktu mereka untuk sekolah dan memperoleh bagian pendapatan. Pendapatan hanya 38% untuk perempuan dan 62% diterima laki – laki. Indonesia berada di urutan ke 91 dari 144 negara yang telah dihitung GDI-nya. (National Human Development Report 2004, The Economics of Democracy Financing Human Development in Indonesia, BPS – Statistics Indonesia, Bappenas, UNDP)

Padahal perempuan merupakan separuh dari penduduk dunia menyumbangkan duapertiga dari seluruh jumlah jam kerjanya untuk mengurus hampir keseluruhan anak di dunia. Namun kesempatan pendidikan bagi mereka lebih buruk dari laki – laki. Mendidik anak perempuan akan membawa kesehatan keluarga yang lebih baik, rendahnya kematian anak dan perbaikan gizi. Dengan kata lain pendidikan bagi anak perempuan merupakan strategi yang sederhana dan mudah dicapai untuk membantu menanggulangi kemiskinan. Masalah perempuan dan pendidikan ini tidak cukup ditangani secara parsial. Sebagian dari anak – anak yang terjerumus dalam bentuk – bentuk pekerjaan terburuk adalah anak perempuan, sebagian dari mereka menjadi pekerja seks anak – anak. Perlu dorongan makro dari pemerintah dan dorongan mikro dari masyarakat untuk mengusahakan keadilan dalam bidang pendidikan.

Kesehatan dan Perempuan

Selain data mengenai pendidikan yang lebih mencemaskan adalah data mengenai kesehatan. Menurut WHO (2005) di Indonesia, 2 orang ibu meninggal setiap jam karena persalinan yang buruk dan nifas, terutama ibu – ibu dari kalangan keluarga miskin. Data ini belum ditambah dengan rendahnya tingkat kesehatan perempuan akibat dari kondisi kemiskinan. Data yang dikelurakan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2002 – 2003 angka kematian ibu (AKI) adalah sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup , ini belum termasuk Aceh, Maluku Utara, Maluku dan Papua. Sedangkan data yang dikeluarakan oleh UNDP angka AKI adalah sebesar 380 per 100.000 kelahiran hidup. Data tersebut menunjukkan angka AKI yang masih tinggi di Indonesia.

Sebagian besar kematian perempuan disebabkan komplikasi karena hamil dan bersalin, termasuk pendarahan dan infeksi, tekanan darah tinggi, dan persalinan lama. Sebagian besar dari komplikasi – komplikasi tersebut sebenarnya dapat ditangani melalui penerapan teknologi kesehatan yang ada. Dengan kata lain, sebagian besar kematian ibu sebenarnya dapat dicegah. Namun demikian banyak faktor baik politis dan teknis yang membuat teknologi kesehatan kurang dapat diterapkan mulus di tingkat masyarakat. Pada waktu kesehatan didekatkan ke masyarakat, belum tentu masyarakat memanfaatkannya karena alasan, termasuk ketidaktahuan dan hambatan ekonomis. Kemiskinan dan rendahnya status sosial ekonomi perempuan mempunyai andil. Kesempat Terbatasnya kesempatan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan baru, hambatan membuat keputusan, terbatasnya akses memperoleh pendidikan memadai, dan kelangkaan pelayanan kesehatan yang peka terhadap kebutuhan perempuan juga turut berperan terhadap situasi ini (Safe Motherhood: A Matter of Human Rights and Social Justice,1998).

Salah satu penyebab AKI adalah rendahnya gizi ibu hamil. Beberapa studi di Asia dan Afrika menunjukkan, asupan kalori kaum perempuan sekitar 50 – 70%. Padahal bila perempuan kurang gizi mengandung, maka mereka akan melahirkan bayi BBLR (berat bayi lahir rendah, kurang dari 2,5 kg).

BBLR akan mempengaruhi tingkat gizi bayi dan balita, bahkan studi pada BBLR menunjukkan, ketika dewasa mereka sangat berpotensi menderita penyakit degeneratif seperti jantung koroner,

sebab tidak sempurnanya struktur darah sehingga mudah tergores dan akhirnya menyebbakan timbunan kolesterol bayi BBRL, menghambat perkembangann organ hati dan berdampak pada munculnya penyakit jantung.

Di Indonesia, pada tahun 2000 , masih diperkirakan dari 4 juta anak yang lahir 300.000 di antaranya meninggal dunia sebelum mencapai 5 tahun. Angka kematian bayi dan anak ini bervariasi cukup lebar antara provinsi. Dijumpai 23 kematian bayi per 1000 lahir hidup di Jogyakarta dan 111 kematian bayi per 1000 lahir hidup di NTB, hal yang sama terjadi juga untuk kematian balita (Sumantri, 2000). Berdasarkan hasil sementara SP 2000, maka diperkirakan jumlah penderita gizi buruk pada balita adalah 1.520.000 anak. Masih tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita berhubungan dengan masih tingginya BBLR, yaitu berkisar antara 7 – 14% pada periode 1990 – 2000. Apabila melihat berita di koran dan televisi akhir – akhir ini barangkali angka ini menjadi lebih tinggi.

Human Development Index pada tahun 2000 yang dilaporkan oleh UNDP adalah 109 untuk Indonesia, tertinggal jauh dari Malaysia, Filipina dan Thailand. Masih tingginya masalah gizi , akan berpengaruh nyata terhadap tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Rendahnya kondisi gizi akan berakibat pada rawannya penyakit infeksi dan semakin tinggi pengeluaran terhadap kesehatan.

Faktor penyebab dari tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita menunjukkan pelayanan kesehatan masyarakat dan keadaan gizi, di luar faktor pencetus lainnya seperti keadaan ekonomi, kesadaran masyarakat dan tingkat pendidikan.

Persoalan busung lapar atau gizi buruk sesungguhnya juga tidak terlepas dari pengetahuan dan keterampilan perempuan dalam merawat anak. Ibu berpendidikan tinggi akan lebih giat mencari dan meningkatkan pengetahuan keterampilan memelihara anak. Mereka juga akan menaruh perhatian lebih besar terhadap konsep hidup sehat untuk seluruh anggota keluarga sehingga anak – anak akhirnya dapat berkembang lebiih baik.

Keselamatan dan kesejahtraan perempuan dan anak sangat penting tidak saja bagi pemenuhan hak hidup sehat bagi mereka, tetapi juga dalam mengatasi masalah ekonomi, sosial dan tantangan pembangunan (Pesan Kunci 2, Hari Kesehatan Dunia 2005). Ketika ibu dan anak meninggal atau sakit, maka keluarga, masyarakat dan negara mereka akan ikut merasakan penderitaan. Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan perempuan berarti meningkatkan status kesehatan masyarakat dan mengurang kemiskinan.

Air Bersih , Sanitasi dan Perempuan

Persoalan pemenuhan air bersih kian hari menjadi isu yang penting di Indonesia, karena semakin hari air bersih menjadi semakin sulit didapat terutama pada musim kemarau. Dalam pemenuhan air bersih perempuan dan laki – laki mempunyai pengalaman yang berbeda,karena mempunyai kebutuhan yang berbeda. Air bersih bagi kaum perempuan menjadi kebutuhan yang sangat penting, karena perempuan merupakan kolektor, pengangkut, pengguna dan pengelola utama air untuk keperluan rumah tangga dan sebagai promotor dalam kegiatan – kegiatan yang berkaitan dengan sanitasi di rumah dan di masyarakat.

Dalam studi ADB, mengenai proyek – proyek Air Bersih dan Sanitasi, penyediaan air bersih dan sanitasi mempunyai beberapa manfaat yaitu :

ƒ Manfaat ekonomi. Akses yang lebih baik pada air akan memberi kaum perempuan waktu yang lebih banyak untuk melakukan aktivitas mendatangkan pendapatan, menjawab kebutuhan – kebutuhan anggota keluarga, atau memberikan kesejahteraan dan waktu luang untuk kesenangan mereka sendiri. Perekonomian secara keseluruhan dapat pula memberikan berbagai manfaat.

ƒ Manfaat kepada anak – anak. Kebebasan dari pekerjaan mengumpulkan dan mengelola air yang memakan waktu dapat membuat anak – anak, khususnya anak perempuan untuk bersekolah.

Dalam dokumen Tantangan Penanggulangan Kemiskinan (Halaman 41-44)

Dokumen terkait