• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Penanggulangan Kemiskinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tantangan Penanggulangan Kemiskinan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Tantangan

Penanggulangan

Kemiskinan

MODUL DASAR

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

Direktorat Jenderal Cipta Karya

Komunitas

01

(2)

Modul 1 Paradigma Pembangunan 1

Kegiatan 1: Tujuan dan Hasil Pembangunan 2 Kegiatan 3 : Curah pendapat pengeritan paradigma dan implikasinya

terhadap kebijakan dan kemiskinan

4

Modul 2 Masalah Kemiskinan 15

Kegiatan 1 : Diskusi Pohon Persoalan Kemiskinan 16 Kegiatan 2 : Diskusi Kedalaman Lemiskinan Perempuan 18

(3)

Modul 1

Topik: Paradigma Pembangunan

Peserta memahami dan menyadari: 1. Tujuan Pembangunan

2. Pengertian paradigam dan implilkasinya terhadap kebijakan pembangunan 3. Terjadinya pergeseran paradigma pembangunan di Indonesia dan implikasinya

terhadap kemiskinan

Kegiatan 1: Diskusi kelas tujuan pembangunan

Kegiatan 2: Curah pendapat pengeritan paradigma dan implikasinya terhadap kebijakan dan kemiskinan 2 Jpl ( 90 ’) Bahan Bacaan: 1. Pardigma Pembangunan 2. Pembangunan Manusia • Kerta Plano • Metaplan

• Papan Tulis dengan perlengkapannya • Spidol, selotip kertas dan jepitan besar

(4)

Diskusi Tujuan dan Hasil Pembangunan

1) Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita akan memulai Modul Paradigma Pembangunan dan apa yang akan dicapai melalui modul ini, yaitu :

Peserta memahami dan yakin tentang: • Tujuan pembangunan

• Pengertian paradigma dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan.

• terjadinya pergeseran paradigma pembangunan di Indonesia dan implikasinya terhadap kemiskinan.

2) Uraikan kemudian bahwa kita akan memulai kegiatan 1, yaitu diskusi mengenai tujuan pembangunan. Kemudian tanyakan kepada peserta : apa yang dimaksud dengan pembangunan ? dan apa tujuan pembangunan ?

Untuk mempermudah pemahaman peserta, ajak untuk mendiskusikan contoh dalam membangun rumah : mengapa kita membangun rumah?

Pembangunan pada dasarnya adalah upaya untuk mencapai kesejahteraan (kondisi yang ideal), karena kondisi saat ini dirasakan belum mencapai kondisi yang ideal seperti yang diharapkan. Artinya ada proses perubahan yang harus dilakukan dalam upaya pembangunan yaitu merubah dari kondisi sekarang kepada kondisi yang diharapkan (masyarakat yang sejahtera).

3) Tanyakan kepada peserta, apa saja upaya pembangunan yang sudah dilakukan di kelurahan/desa ini? Tuliskan jawaban peserta dalam kertas plano.

4) Jelaskan kepada peserta, untuk membahas pembangunan di kelurahan/desa kita, maka akan didiskusikan dalam kelompok kecil supaya diskusi lebih mendalam. Bagi peserta ke dalam beberapa kelompok ( 1 kelompok terdiri dari 7 – 8 orang). Kemudian beri tugas setiap kelompok untuk mendiskusikan :

• Jenis pembangunan yang dilaksanakan di kelurahan/.desa setempat • Siapa yang membangun ?

• Siapa yang menerima manfaat? Apakah kelompok miskin menerima manfaat? • Bagaimana prosesnya ?

• Bagaimana hasilnya? (apakah kemiskinan berkurang?)

(5)

5) Bahas hasil diskusi kelompok dalam pleno kelas. Mintalah setiap kelompok untuk mempresentasikan hasilnya.

6) Setelah semua kelompok mempresentasikan hasilnya bahas bersama : • Apakah masyarakat sudah menjadi lebih baik ?

• Mengapa capaian hasil pembangunan demikian?

• Apa yang dibangun selama ini, ekonomi masyarakat?, sarana dan prasarana?

7) Refleksikan bersama dan beri penegasan kepada peserta, berdasarkan hasil diskusi tadi bahwa selama ini yang dibangun lebih banyak kepada hal – hal yang sifatnya fisik seperti membangun SD Inpres, membangun puskesmas, yang memunculkan proyek – proyek yang hanya bisa diakses oleh pihak – pihak tertentu (misal : kontraktor). Di bidang ekonomi peluang – peluang lebih banyak diakses oleh para pemilik modal, sehingga yang tidak mempunyai modal semakin ketinggalan dan akhirnya semakin miskin.

Curah Pendapat Paradigma dan Implikasinya Terhadap

Pembangunan dan Kemiskinan.

1) Jelaskan kepada peserta, bahwa kita akan memulai dengan kegiatan 2 dalam modul ini, yaitu membahas paradigma dan implikasinya terhadap pembangunan.

2) Ingatkan kepada peserta pada hasil diskusi dalam kegiatan 1 mengenai pelaksanaan pembangunan, kemudian diskusikan bersama :

• Apakah masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan

• Apabila ya masyarakat yang mana? Apakah masyarakat miskin terlibat? • Apakah perempuan terlibat ?

3) Beri penjelasan kepada peserta bahwa

selama ini masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam proses pembangunan dari mulai perencanaan sampai dengan evaluasi. Kalaupun terlibat seringkali hanya dalam proses pelaksanaannya saja, itupun terbatas hanya pada kelompok masyarakat tertentu (tokoh, kaum laki – laki dan sebagainya). Pembangunan lebih banyak dilakukan oleh pihak luar (pemerintah dan lembaga lain). Sehingga masyarakat hanya menjadi objek (sasaran) pembangunan, tetapi tidak diberi kesempatan untuk membangun. Artinya yang dibangun adalah sarana – prasarana, ekonomi dan yang sifatnya fisik tetapi tidak pernah membangun manusianya. Oleh karena masyarakat tidak terbiasa membangun sendiri, maka tumbuh mental ketergantungan kepada pihak luar, termasuk kepada pemerintah. Beri contoh – contoh nyata mengenai kondisi ini, misalnya siapa yang menentukan kelompok sasaran pada saat ada bantuan raskin?. Pada saat krisi ekonomi, masyarakat tidak bisa berbuat apa – apa karena tidak tahu caranya, selama ini masyarakat tidak pernah ikut memecahkan masalah, padahal dulu ada yang namanya lumbung padi sehingga ketika paceklik masyarakat punya tabungan padi.

(6)

4) Tanyakan lebih jauh kepada peserta, mengapa selama ini masyarakat tidak diberi

kesempatan untuk membangun?. Gali pendapat peserta sampai ketemu kata kunci : pihak luar tidak percaya pada kemampuan masyarakat.

Pihak luar mempunyai pandangan bahwa masyarakat tidak mampu memecahkan masalah sendiri, apabila diberi bantuan untuk mengelola sendiri selalu habis sia – sia dan sebagainya. Masyarakat miskin itu bodoh, malas dan sebagainya. Perempuan tidak perlu terlibat dalam pembangunan karena persoalan pembangunan persoalan kaum laki – laki. Pandangan – pandangan itu yang membuat kaum miskin dan perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses pembangunan. Pandangan – pandangan tadi disebut dengan paradigma, dalam hal pembangunan disebut paradigma pembangunan.

Paradigma seseorang akan mempengaruhi keputusan dan pada akhirnya mempengaruhi tindakan seseorang. Dalam contoh tadi jelas apabila kita tidak percaya pada kemampuan masyarakat, maka kita akan memutuskan aturan – aturan yang tidak memungkinkan masyarakat untuk terlibat, dan tindakan kitapun akan mengarah kepada hal tersebut.

Keputusan seseorang (si A atau Si B), hanya akan berdampak pada orang tersebut paling jauh berdampak pada keluraganya. Akan tetapi kalau keputusan sekelompok orang sebagi pengambil kebijakan akan berdampak pada masyarakat. Contohnya keputusan DPRD, akan mempunyai dampak pada kehidupan masyarakat satu Kota/Kabupaten. Oleh karena itu cara pandang (pola pikir) para pengambil kebijakan terhadap pembangunan menjadi penting.

5) Ajak peserta untuk berdiskusi bahwa pembangunan harus sudah mengarah pada

pembangunan manusia yaitu pembangunan yang melibatkan setiap pelaku pembangunan (masyarakat, pemerintah dan kelompok lain) sebagai subjek bukan sebagai objek. Pembangunan yang memberdayakan manusia agar mampu mengidentifikasi dan memecahkan masalahnya sendiri.

Sebenarnya sejak reformasi arah pembangunan sudah mulai kepada pembangunan manusia dengan pendekatan pembangunan partisipatif dan pemberdayaan.

6) Tanyakan lebih lanjut kepada peserta, mengapa pembangunan yang sudah mengarah pada pemberdayaan manusia hasilnya masih saja belum mensejahterakan masyarakat secara luas, belum mengurangi angka kemiskinan secara menyeluruh ?, akan tetapi masih menguntungkan kepada kelompok masyarakat tertentu? Gali terus pendapat peserta sampai ketemu kata kunci : sikap mental para pelaku pembangunan yang lebih mementingkan diri sendiri yang menyebabkan proses pembangunan manusia tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

(7)

Apabila para pengambil kebijakan masih mementingkan diri sendiri dan golongannya, maka keputusan (kebijakan) yang dibuat hanya akan menguntungkan kelompok tertentu. Kepentingan – kepentingan golongan tersebut akan menimbulkan perpecahan . Dalam kondisi ini, maka pembangunan seringkali tidak berpihak kepada orang miskin. Di lain pihak kelompok masyarakat yang selalu menggantungkan diri pada uluran tangan pihak luar (tidak mencoba ke luar dari permasalahan secara mandiri) juga akan semakin memperparah proses keluar dari lingkaran kemiskinan. Hal ini akan menjadi sebuah lingkaran setan, kalau tidak diputus rantainya maka akan berlangsung terus menerus.

(8)

Paradigma Pembangunan

Oleh: Parwoto

Pengertian

Kata paradigma berasal dari Yunani, semula lebih merupakan istilah ilmiah dan sekarang lebih lazim digunakan dengan arti model, teori dasar, persepsi, asumsi atau kerangka acuan. Dalam bahasa sehari-hari paradigma juga disebut sebagai “cara kita memandang dunia”, bukan dalam arti visual tetapi lebih dalam arti mempersepsi, mengerti atau menafsirkan (Stephen R Covey. 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif)

Lebih lanjut “paradigma” adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangan seseorang. Konsekwensinya paradigma ini juga akan membentuk citra subyektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita.

Pengantar

Paradigma adalah sumber dari sikap dan perilaku seseorang, berkenaan dengan tindakan mempersepsi, memahami dan menafsirkan sesuatu hal. Dengan kata lain manakala seseorang menguraikan sesuatu yang dilihat atau dialami, sebenarnya orang tersebut sedang menguraikan pandangannya/anggapannya mengenai hal tersebut atau sebenarnya dia sedang menjabarkan dirinya sendiri, citra subyektifnya, persepsinya, pandangannya yang dilandasi oleh paradigmanya. Penafsiran masing-masing orang tentang sesuatu hal menggambarkan pengalaman orang tersebut sebelumnya.

Semakin sadar seseorang akan paradigmanya yang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya, maka semakin orang tersebut bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi akibat paradigma yang dianutnya. Dia akan makin terbuka dan terus menguji paradigmanya berdasarkan realita baru yang ditemuinya, mendengarkan orang lain dan bersikap terbuka terhadap persepsi orang lain, sehingga mendapatkan gambaran yang lebih besar dan pandangan yang lebih obyektif sehingga yang terjadi kemudian adalah penguatan atau justeru perubahan paradigma.

Perubahan paradigma menggerakkan seseorang untuk beralih dari satu cara pandang ke cara pandang yang lain. Perubahan paradigma bersifat kuat. Paradigma seseorang, terlepas dari benar atau salah, adalah sumber dari sikap dan perilakunya, yang akhirnya akan menjadi sumber dari hubungan orang tersebut dengan orang lain.

Hampir setiap terobosan penting di dalam berbagai bidang kehidupan, pada mulanya merupakan pemutusan dengan tradisi, cara berpikir dan paradigma yang lama. Perlu juga selalu diingat bahwa tidak semua perubahan paradigma memiliki arah positif dan tidak semua perubahan paradigma terjadi seketika.

Pergeseran Paradigma Pembangunan

Secara singkat dan sederhana terjadinya pergeseran paradigma global didunia ini dapat diuraikan sebagai berikut di bawah ini

(9)

1. Paradigma Ekonomi

Paradigma ekonomi merupakan yang paling tua dan paling dominan dalam menentukan pembangunan. Hal ini disebabkan oleh pengertian ekonomi itu sendiri sebagai “mengatur rumah tangga sendiri” yang dapat dipahami sebagai upaya mengatur kesejahteraan keluarga, komunitas dan bangsa dalam skala yang lebih luas. Pada awalnya ( ekonomi klasik) paradigma ini menekankan pertumbuhan dan melihat pembangunan sebagai pembangunan ekonomi (development=economic development) sehingga ukuran keberhasilan pembangunan adalah pertumbuhan produksi barang dan jasa secara nasional (Produksi Nasional Bruto/Gross National Product). Makin tinggi pertumbuhannya makin berhasil pembangunan suatu bangsa/negara. Paradigma ini juga menekankan perlunya kebebasan, pemupukan modal dan pembagian kerja (spesialisasi). Kelompok yang tidak puas dengan paradigma ini kemudian melaku pembaruan yang kemudian dikenal dgn Neo Ekonomi yang lebih menekankan pada pemerataan dgn mengukur berapa % dari PNB/GNP diraih oleh penduduk miskin.

Meskipun paradigma neo-ekonomi ini masih sangat jelas dipengaruhi nilai-nilai ekonomi klasik, tetapi ada beberapa perbedaan yang fundamental dalam indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur pembangunan dan makna pertumbuhan itu sendiri. Paradigma neo-ekonomi menggunakan indikator dalam mengukur pembangunan sebagai berkurangnya kemiskinan, pengangguran dan berkurangnya kesenjangan.

Masih dalam paradigma ekonomi ini muncul juga pandangan (ekonomi politik neo klasik) yang melihat hubungan antara masyarakat maju (kapitalis) dengan masyarakat yang belum maju (pra kapitalis) yang melahirkan eksploatasi dari masyarakat maju kepada masyarakat belum maju sehingga yang terjadi adalah keterbelakangan (underdevelopment) dari masyarakat yg blm maju

Meskipun sudah banyak perubahan dalam paradigma ekonomi tetapi perkara utamanya tetap pertumbuhan dan pemerataan dipercayakan melalui mekanisme penetesan (trickle down effect)

2. Paradigma Kesejahteraan Sosial

Pada awalnya paradigma kesejahteraan social ini melihat pembangunan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Indikator pembangunan diukur dari pemenuhan kebutuhan dasar, seperti antara lain MASOL (Minimum Acceptable Standard of Living) yang dikembangkan oleh Doh Joon Chien atau PQLI (Physical Quality Life Index) yang sedikit lebih maju dengan mengukur harapan hidup, kematian bayi dan melek huruf sampai dengan yang lebih canggih yang melihat pembangunan sebagai upaya terencana untuk memenuhi kebutuhan sosial yang lebih tinggi, bukan berapa banyak, tetapi berapa baik, bukan kualitas barang tetapi kualitas hidup seperti antara lain keadilan, pemerataan, peningkatan budaya, kedamaian, dsb. (Bauer, 1966; Conyers, 1986)

Meskipun telah terjadi banyak perkembangan tetapi perkara utama paradigma ini masih tetap pemenuhan kebutuhan hidup sehingga sering dikritik “mendudukkan masyarakat sebagai obyek bantuan” (Freire, 1984)

3. Paradigma Pembangunan Manusia

Melihat pembangunan sebagai pembangunan manusia untuk mampu berbuat dan menciptakan sejarahnya sendiri. Manusia sebagai fokus utama dan sumber utama pembangunan (Korten). Penghormatan terhadap martabat manusia, pembebasan manusia dari dominasi teknologi (Illich), pembebasan manusia dari dominasi pasar (Ramos), pembangunan manusia; kelangsungan hidup, kehormatan dan kebebasan (Goulet), pembebasan manusia dari dominasi manusia lain melalui proses penyadaran diri (Freire).

Fokus pembangunan bukan lagi pada ekonomi, social atau teknologi melainkan pada manusia itu sendiri.

(10)

……….a sense of self worth and a personal capacity for actively participating in life’s important decision ………….

……….social development become the liberation of human being and community from passive recipients towards a developed, active citizenry, capable of participating in in choice about community issues (Thomas, 1984)

Penganut-penganut teori ini adalah Ivan Illich, Denis Goulet, Mahbub ul Haq, Freire, Guerreiro Ramos, David Korten, dsb.

Pergeseran paradigma seperti tersebut di atas bergerak dari paradigma ekonomi ke paradigma kesejahteraan sosial akhirnya ke paradigma pemanusiaan. Pembangunan menurut kedua paradigma terdahulu (ekonomi dan kesejahteraan sosial) adalah pembangunan yang berkiblat ke manusia, sedangkan pembangunan menurut paradigma pemanusiaan adalah pembangunan manusia itu sendiri untuk menjadi manusia yang utuh dan merdeka atau secara ekonomi produktif dan secara sosial efektif (Soedjatmoko).

Pergeseran Paradigma Pembangunan di Indonesia

Pergeseran paradigma global tersebut juga terjadi di Indonesia, dari Repelita ke Repelita sampai ke Propenas

Repelita 1 (1979-1974)

Kita baru saja lepas dari musibah nasional G 30 S sehingga nuansa yang dominan mempengaruhi paradigma pembangunan adalah keamanan dimana pendekatan yang digunakan adalah pendekatan stabilitas, sehingga Trilogi Pembangunan dimulai dari Stabilitas, Pertumbuhan dan baru Pemerataan.

Peran utama pemerintah adalah menciptakan suasana aman dan stabil.

Repelita 2 (1974-1979)

Pada waktu itu suasana sudah cukup tenang dan stabil sehingga mulai berkembanglah paradigma ekonomi untuk memperbesar kue pembangunan dengan meningkatkan pertumbuhan. Trilogi Pembangunan dengan serta merta diubah urutannya dari Stabilitas, Pertumbuhan dan Pemerataan menjadi Pertumbuhan, Stabilitas dan Pemerataan. Dengan menerapkan pendekatan pertumbuhan ini berarti prioritas pembangunan diberikan kepada kegiatan-kegiatan yang dianggap dapat menjamin terjadinya pertumbuhan, termasuk prioritas pilihan model dan pelaku pembangunan yang akhirnya jatuh ke sector formal yang dianggap paling mampu menjadi mitra pemerintah dalam menciptakan pertumbuhan. Pada masa inilah merupakan masa kebangkitan sector formal dengan konsekwensi logic terpinggirkannya sector informal baik kegiatannya maupun pelakunya dengan akibat turutannya dari proses marjinalisasi ini adalah kesenjangan dan keterbelakangan. Pintu terjadinya kemiskinan structural terbuka lebar.

Repelita 3 (1979-1984) s/d Repelita 5 (1989-1994)

Berangkat dari situasi menganganya jurang kesenjangan, keterbelakangan dan munculnya banyak OKB (orang kaya baru) dan diwarnai dengan banyak protes maka Repelita 3 dirumuskan dengan landasan paradigma yang jauh berbeda yaitu “kesejahteraan sosial” dalam rangka menutup jurang kesenjangan dan keterbelakangan sebagai upaya koreksi terhadap kesalahan pembangunan di masa sebelumnya. Pendekatan yang digunakan adalah “pemerataan”, sehingga dengan serta merta Trilogi Pembangunan urutannya juga diubah dari Pertumbuhan, Stabilitas dan Pemerataan menjadi Pemerataan, Pertumbuhan dan Stabilitas. Muncullah waktu itu “8 Jalur Pemerataan” yang harus dianut oleh semua instansi dalam

(11)

mengajukan anggaran biaya pembangunan. Dalam prakteknya pemerataan ini lebih diartikan sebagai pemerataan pembangunan dan pemerataan hasil pembangunan dalam bentuk pelayanan kebutuhan dasar, air bersih, SD Inpres, dsb, dimana masyarakat didudukan sebagai penerima manfaat yang pasif (obyek bantuan, Freire, 1984). Untuk mengurangi ketimpangan ini kemudian dimunculkan upaya untuk menggalakkan lagi partisipasi masyarakat melalui instruksi Menteri Dalam Negeri dan diterapkannya mekanisme perencanaan dari bawah yang dikenal sebagai P5D. Dalam prakteknya semua gagasan yang indah ini tidak diterapkan sepenuh hati. Malah pergeseran paradigma ini tidak pernah secara sistematik dibahas apa pengaruhnya terhadap pembangunan daerah, posisi masyarakat dan perubahan peran para pelaku pembangunan. Akibatnya alih-alih mengurangi kesenjangan yang terjadi justeru; (i) pemerataan terbatas pada apa yang disebut pemerataan pembangunan dan hasil pembangunan, (ii) merebaknya semangat “project oriented” yang melanda semua pelaku pembangunan, sehingga tupoksi tidak jalan karena tidak ada proyek dan tumbuhnya para konsultan maupun kontraktor yang bermental ABS (asal babak senang), (iii) merebaknya semangat apatisme dari masyarakat sebagai penerima manfaat proyek, masyarakat menjadi pasif tinggal menunggu saja, (iv) yang sangat menyedihkan adalah justeru kesenjangan makin melebar karena justeru yang menikmati pembangunan adalah pelaku pembangunan (kaum elit) dan bukan pemanfaat (rakyat jelata). Situasi tersebut menunjukkan bahwa yang sangat parah terpengaruh dengan model pembangunan repelita demi repelita dalam masa PJP I adalah mentalitas manusianya, terjadi proses pembodohan, dehumanisasi dan lunturnya nilai-nilai luhur universal (demoralisasi). Marjinalisasi makin keras dan keterbelakangan makin nyata.

Awal PJP II dan Masa Reformasi dgn Propenas (1999-2004)

Hal tersebut di atas yang terjadi selama masa PJP I juga disadari dan dilakukan koreksi pada masa pembangunan jangka panjang kedua.

Pada waktu Repelita 6 (1994-1999). Kesadaran akan akibat-akibat negatif dari model pembangunan sebelumnya telah membawa model pembangunan yang sangat lain yang dilandasi “paradigma pembangunan manusia” melalui pendekatan pemberdayaan. Dimana urutan prioritas Trilogi Pembangunan tetap Pemerataan, Pertumbuhan dan Stabilitas hanya maknanya berubah dari pemerataan hasil pembangunan menjadi pemerataan kesempatan membangun. Sayangnya penerapan paradigma ini dalam model-model pembangunan kurang dihayati dan kurang tulus dilaksanakan.

Setelah pergantian pemerintahan maka Repilita tidak diberlakukan lagi dan disusunlah Propenas (Program Pembangunan Nasional) 1999-2004 dengan tujuan jangka panjangnya adalah :

“Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, barakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hokum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin”.

Prioritas Pembangunan ditetapkan sebagai berikut:

1) Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan kesatuan 2) Mewujudkan supremasi hokum dan pemerintahan yang baik

3) Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan system ekonomi kerakyatan

4) Membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan ketahanan budaya

(12)

Dari judul prioritas pembangunan yang dicanangkan melalui Propenas jelas prioritas pembangunan manusia menjadi kabur atau melemah padahal persoalan utama yang kita hadapi sebenarnya adalah adanya krisis moral dan kepemimpinan yang mampu menjadi teladan pelaku moral.

Disisi lain secara umum terlihat pengaruh paradigma ekonomi dan kesejahteraan social sangat kuat, mungkin ini adalah dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan, tetapi jelas tanpa pembangunan manusia dari aspek kritis manusia tidak mungkin dicapai prioritas pembangunan di atas sebab semuanya itu memerlukan pelaku yang memiliki komitmen moral yang tinggi yang mampu menjadi teladan bagi sesama.

Sumber :

1. Parwoto, ISS 1981, Housing Paradigm

2. Prof. DR. Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, 1984. 3. Prof. DR. Moeljarto. T. MPA, Politik Pembangunan, 1993

4. Stephen R. Covey, The Sevent Habits of Highly Effective People, 1990. 5. A. Suryana Sudrajat, ed, Demokrasi dan Budaya MEP, 1995.

6. Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi.

7. Undang-undang Republik Indonesia No 25 tentang Program Pembangunan Nasional, Tahun 2000-2004

(13)

Pembangunan Manusia

Marnia Nes

Manusia Sejati

Apa dan siapa yang disebut dengan manusia?. Apa perbedaan yang paling hakiki antara manusia dengan hewan?. Tidak seperti hewan manusia mempunyai akal sehat, hati nurani dan pilihan bebas. Manusia bukan semata – mata makhluk intelektual yang hanya menggunakan akalnya saja, bukan juga hanya sekedar jasmaniah semata, bukan hanya memiliki hati nurani atau jiwa saja. Manusia merupakan perpaduan yang harmonis antara akal sehat, hati nurani, jasmani dan jiwa sehingga dalam menjalankan dan menemukan kemanusiaannya bisa bersikap, berbuat, berperilaku berdasarkan pilihannya yang berpangkal pada hati nurani dan akal sehat. Berbeda dengan binatang yang tidak punya pilihan bebas dan hati nurani , sehingga apa yang dia lakukan digerakan hanya oleh insting. Manusia bukan hanya sebagai makhluk biologis, tetapi juga makhluk yang bisa berfikir, merasa dan mengerti akan makna hidup.

Nurani pada dasarnya adalah seperangkat nilai yang merupakan hukum moral di dalam diri manusia mengenai benar dan salah, mengenai apa yang baik dan buruk, apa yang mendukung dan mengganggu, yang bermanfaat dan merusak, kejujuran dan keadilan dimana perangkat nilai ini merupakan nilai – nilai yang universal bagi semua manusia di seluruh penjuru dunia. Kebenaran itu melekat dalam pemikiran, perkataan dan perbuatan.

Orang yang menggunakan nuraninya, adalah orang – orang yang mengerti maknanya berkorban, keikhlasan, persahabatan, kesetiaan, kepedulian, kejujuran, keadilan, tidak sewenang – wenang terhadap orang lain dan nilai – nilai positif lainnya. Golongan manusia seperti ini sanggup menantang maut demi kepentingan manusia lain dan memelihara lingkungan sehingga hidupnya bermanfaat bagi keberlangsungan umat manusia. Nilai – nilai kebenaranlah yang menjadi kontrol perilaku mereka bukan pendapat lingkungan yang kadang – kadang memanipulasi kebenaran yang sesungguhnya. Manusia seperti inilah yang sudah bisa menemukan ”makna hidup” (the meaning of life) sebagai manusia sejati.

Jika manusia mengunakan nurani – nilai nilai kebenaran - sebagai kontrol perilakunya, maka akan memberi ruang – ruang kepada manusia lainnya untuk mempunyai akses yang setara terhadap berbagai sumberdaya bagi kehidupan yang lebih sejahtera; memberi ruang kepada pihak lain untuk ikut mengambil keputusan bagi kehidupannya; membantu pihak lain untuk keluar dari kesulitan hidup; bertindak adil apabila dia menjadi pemimpin, tidak melakukan manipulasi dan korupsi dan sebagainya.Apabila ini terjadi dalam proses – proses pembangunan iklim yang kondusif untuk partisipasi, demokrasi, transparansi akan terjadi dan tidak akan ada kelompok minoritas yang menindas dan kelompok mayoritas yang tertindas, sehingga tidak akan terjadi dehumanisasi.

Dehumanisasi; Sistem dan Struktur Sosial

Pada kenyataannya sekarang, proses – proses dehumanisasi (pengingkaran terhadap jati diri manusia) masih terus berlangsung baik pada komunitas yang paling kecil sampai kepada komunitas yang lebih besar seperti dominasi dari negara – negara adikuasa terhadap negara – negara dunia ketiga. Hal ini terjadi karena manusia berada dalam sistem dan struktur sosial yang saat ini masih menguntungkan pihak – pihak tertentu yang mempunyai kepentingan bagi dirinya dan golongannya sehingga terjadi eksploitasi kelas, dominasi gender maupun karena hegemoni dan

(14)

dominasi budaya lainnya. Sistem dan struktur yang ada memunculkan dan melanggengkan ketidakadilan bagi golongan – golongan yang tidak mempunyai kekuasaan dan akses terhadap pengambilan keputusan.

Saat ini walaupun standar kehidupan, dalam artian materi yang dimiliki telah meningkat. Tetapi kualitas kehidupan dalam arti hakikat manusia masih dipetanyakan.Asset dan akses terhadap sumberdaya hanya dimiliki oleh kelompok tertentu saja sehingga memunculkan ketimpangan dan ketidakadilan.

Menurut Paulo Freire, seorang aktivis dari Barzil, sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya membuat masyarakat mengalami proses ”dehumanisasi”. Freire bertolak dari kehidupan nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa – sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara – cara yang tidak adil. Dari segi jumlah kelompok yang menikmati ini merupakan minoritas. Keadaan tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang, tidak adil. Persoalan itu yang disebut Freire sebagai ”penindasan”. Bagi Freire kondisi ini apapun alasannya adalah tidak manusiawi , sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi bersifat mendua, dalam pengertian terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak – hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam ”kebudayaan bisu”. Minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberdaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi manusia sesamanya.

Manusia: Memberdayakan Manusia Sejati

Beberapa dekade ke belakang pembangunan berorientasi pada pembangunan ekonomi. Perencanaan ekonomi ditujukan untuk menciptakan pertumbuhan dan meningkatan standar kehidupan, dalam konteks ketersediaan barang dan jasa untuk keperluan konsumsi. Hal ini merupakan karakter dominan dalam sistem negara kesejahteraan. Pertanyaan penting untuk diajukan adalah : bagaimana dengan kesejahteraan manusia dan masyarakat pada umumnya apabila dikaitkan dengan aspek non ekonomis?.

Apakah sudah terjadi pemberdayaan untuk meningkatkan kualitas hidup – baik untuk individu maupun masyarakat secara keseluruhan – dalam konteks kebenaran, keadilan, kasih sayang, dan kepedulian kepada sesama, toleransi, kerja sama, profesional dan tanggung jawab sosial, semangat demokrasi serta nilai – nilai kemanusiaan lainnya?. Barangkali,melalui refleksi sederhana akan tampak bahwa dibandingkan dengan kemajuan hebat yang telah diraih manusia untuk mencapai kemakmuran materialnya, ternyata tidak ada kemajuan yang berarti bagi martabat kualitas kehidupan manusia, padahal kemajuan aspek tersebut sangat esensial bagi kebahagiaan dan kepuasan manusia.

Mahatma Gandhi,pejuang keadilan dari India, berpendapat bahwa dalam kehidupan manusia, pertumbuhan dan perkembangan aspek material dan non material harus berjalan seimbang dan harmonis. Hanya pertumbuhan yang mencakup aspek spiritual dan material inilah yang benar – benar bernilai bagi manusia. Kecenderungan atas kemajuan material yang tidak terbatas dapat menjadi rintangan bagi pencapaian kemajuan kemanusiaan. Pemenuhan kebutuhan material tanpa dibarengi dengan peningkatan kualitas akal budi akan menimbulkan keserakahan, persaingan yang tidak sehat, kesewenang – wenangan dari pihak – pihak yang dominan, ketidakadilan dan sebagainya.

Pembangunan yang memberdayakan seharusnya pembangunan yang bisa memproduksi kesadaran kritis agar setiap orang berdaya untuk menjadi manusia yang sejati, artinya manusia yang merdeka yang membebaskan manusia dari proses – proses dehumanisasi. Pemberdayaan dalam hal ini haruslah menumbuhkan kesadaran manusia untuk mengamalkan nilai – nilai universal berupa sikap dan perilaku dalam mengatasi berbagai persoalan manusia dalam segala aspeknya baik ekonomi,

(15)

sosial maupun politik. Keadilan harus menjadi pijakan bagi manusia yang berdaya, dan mendorong jauh – jauh keinginan untuk kemanfaatan dunia yang hanya menguntungkan bagi dirinya sendiri. Sebagai manusia yang merdeka, setiap manusia haruslah otonom artinya dia adalah subjek bukan objek. Sebagai subjek setiap manusia berhak dan mempunyai kewenangan untuk menentukan pemecahan masalah yang dihadapinya, mengelola program bagi dirinya. Tidak ada satu pihakpun yang bisa mendominasi dan berhak untuk menentukan nasib orang lain, sedangkan objeknya adalah realitas kehidupan yang harus dipecahkan bersama. Akan tetapi pemenuhan hak harus seimbang dengan kemampuan untuk menjalankan kewajiban sebagai manusia dalam menjalankan peran – peran dalam hidupnya. Hak–hak setiap orang akan terpenuhi apabila orang – orang di sekitarnya menjalankan kewajibannya. Kewajiban manusia yang paling mendasar adalah melayani kelompok lainnya; pemerintah harus melayani rakyatnya; orangtua melayani anaknya dan sebaliknya; guru melayani muridnya; dokter malayani pasiennya dan seterusnya.

Ekonomi harus diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia, dan kesejahteraan manusia mustahil terwujud tanpa kepedulian yang mendalam terhadap kesejahteraan moralitas manusia. Lebret seorang tokoh cendekiawan Perancis terkemuka mengatakan bahwa Kita tidak mempercayai dan tidak bisa menerima pemisahan eknomi dari kemanusiaan maupun pembangunan, karena hanya melalui perpaduan antara ekonomi dan kemanusian lah peradaban itu bisa eksis. Apa yang paling penting bagi kita adalah manusia, setiap manusia, setiap manusia beserta kelompoknya, dan mencakup keseluruhan aspek kemanusiaannya. Lebih jauh Gandhi berpendapat bahwa dalam tatanan masyarakat harus tercipta perpaduan yang harmonis antara kemajuan moral dan material. Hanya dengan cara inilah masyarakat bisa mencapai kesejahteraan yang sesungguhnya bagi setiap warganya dalam masyarakat sendiri secara keseluruhan. Inilah yang dimaksud Gandhi dengan kesejahteraan integral.

Oleh karena itu dalam mengatasi berbagai persoalan politik, ekonomi dan sosial agar tercapainya kesejahteraan diperlukan kepedulian dan semangat melayani dari semua pihak. Melayani sebagai perwujudan dari penggunaan hati nurani untuk tercapainya kebenaran. Dalam hal ini seringkali dibutuhkan kerelaan dan pengorbanan untuk melawan kezaliman dan ketidakadilan. Kesediaan untuk menderita dan berkorban sesungguhnya merupakan bagian dari perlawanan aktif dari kejahatan. Semangat pengorbanan juga menjadi dasar bagi perjuangan demi melindungi harkat dan martabat kemanusiaan.

Untuk itu pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri harus berubah agar mempunyai kesadaran kritis dalam menjalankan peran–perannya sebagai manusia. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga yaitu: (1) kesadaran magis (magical consciousness), (2) kesadaran naif (naival consciousness) dan (3) kesadaran kritis (critical consciousness).

Kesadaran Magis ( magical consciousness) , yaitu kesadaran masyarakat yang tidak mampu

mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab ketidak berdayaan. Kelompok yang mempunyai kesadaran ini menganggap persoalan yang terjadi dalam hidup termasuk kemiskinan terjadi secara alamiah karena nasib atau dikarenakan faktor–faktor supranatural.

Kesadaran naif , keadaan yang diketegorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ”aspek

manusia” menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini ’masalah etika, kreativitas, dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisa mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ’salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya membangun.

Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.

Pendekatan struktural lebih menghindari ”menyalahkan korban” (orang miskin) dan lebih menganalisa untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya serta akibatnya pada keadaan masyarakat. Sedangkan struktur dan sistem politik diciptakan oleh kelompok yang mempunyai kekuasaan dan akses terhadap pengambilan keputusan.

(16)

Masyarakan harus bisa menganalisa secara kritis faktor–faktor yang menjadi penyebab permasalahan yang terjadi pada dirinya serta menjalankan kewajiban dan haknya sebagai manusia yang merdeka untuk menghilangkan ketidakadilan dan kesewenang - wenangan. Oleh karena itu pembangunan kini beorientasi bukan hanya kepada perkembangan ekonomi akan tetapi berkembang paradigma baru yang disebut dengan 'pembangunan yang berorientasi pada manusia' (human centered development). Manusia dilihat sebagai tujuan utama pembangunan. Pada awalnya paradigma ini berangkat dengan menggunakan Indeks Kualitas Hidup (physical quality life index). Indeks itu ditentukan melalui tiga parameter yaitu angka kematian bayi, angka harapan hidup waktu lahir, dan angka melek huruf. Selanjutnya indikator itu berkembang hingga muncul istilah baru yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Paradigma baru itu mempunyai fokus utama pada pengembangan manusia (human growth), kemakmuran, keadilan dan keberlanjutan (sustainability).

Dasar pemikiran paradigma ini mengacu kepada keseimbangan ekologi manusia dan tujuan utamanya adalah aktualisasi optimal potensi manusia. Setiap manusia mesti dikembangkan menjadi manusia yang berakhlak mulia dan berkualitas. Cita-cita selanjutnya adalah mendorong setiap individu untuk membangun kesalehan pribadi maupun sosial dan bercita-cita untuk menciptakan masyarakat madani yang mandiri, beradab, maju dan bermartabat

Daftar Pustaka:

• Francis Alapatti; Welfare ”In The Gandhian Economics and The Welfare State” ; Pontificiam Universitatem, Roma 1983

• Mansour Fakih, dkk; Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis; INSIST dan Pact; 2001

• Paulo Freire; Pedagogy of the Oppressed; CONTINUUM New York; 1990

(17)

Modul 2

Topik: Masalah Kemiskinan

Peserta memahami dan menyadari:

4. Dimensi – dimensi kemiskinan yang banyak dialami masyarakat 5. faktor – faktor penyebab dan pendorong kemiskinan

6. Kedalaman kemiskinan yang dialami oleh perempuan Peserta mampu menemukan akar penyebab kemiskinan

Kegiatan 1: Diskusi pohon persoalan kemiskinan Kegiatan 2: Diskusi kedalaman kemiskinan perempuan

3 Jpl ( 135 ’)

Bahan Bacaan:

1. Anatomi Kemiskinan 2.

• Kerta Plano

• Kuda-kuda untuk Flip-chart • LCD

• Metaplan

• Papan Tulis dengan perlengkapannya • Spidol, selotip kertas dan jepitan besar

(18)

Diskusi Pohon Persoalan Kemiskinan

1) Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita memulai dengan Modul Anatomi Kemiskinan. Kemudian uriakan apa tujuan modul ini yaitu :

Peserta memahami dan yakin :

ƒ Dimensi-dimensi kemiskinan yg banyak dialami masyarakat ƒ Faktor-faktor penyebab dan pendorong kemiskinan

ƒ Kedalaman kemiskinan yang dialami oleh kaum perempuan Peserta mampu menemukan

ƒ Akar penyebab kemiskinan

Uraikan juga bahwa Modul ini akan dimulai dengan kegiatan 1 : Diskusi Anatomi Kemiskinan dan uraikan juga apa yang akan dicapai melalui kegiatan belajar ini, yaitu :

ƒ Peserta dapat menguraikan dengan kata-kata sendiri rumusan kemiskinan dari berbagai dimensi dan faktor-faktor penyebabnya

2) Tanyakan kepada peserta, mengapa kita harus mengetahui penyebab kemiskinan? Tulislah jawaban peserta pada kertas plano.

Mencari penyebab kemiskinan harus sampai kepada akarnya, agar pemecahannya tuntas. Beri ilustrasi seperti kalau kita akan membabat habis alang – alang, apabila tidak dibabat sampai akarnya maka suatu saat akan tumbuh kembali. Seringkali kita dalam memecahkan masalah kemiskinan hanya melihat bagian – bagian luarnya saja, yang terlihat jelas oleh mata kita yang sering disebut gejala. Padahal kalau kita telusuri lebih jauh banyak faktor yang menyebabkan gejala itu terjadi. Contohnya ketika kita lihat seorang anak tidak sekolah kalau kita telusuri lebih lanjut mungkin disebabkan oleh tidak punya biaya, atau mungkin juga karena orang tuanya tidak menganggap penting pendidikan. Dan seterusnya. Mencari sebab akibat permasalahan kemiskinan, sebetulnya sama dengan dokter yang mendiagnosa penyakit. Panas seringkali hanya merupakan gejala penyakit , ketika ditelusuri oleh dokter lebih lanjut mungkin saja panas yang diderita pasen dikarenakan infeksi ginjal atau mungkin juga penyakit lainnya. Apabila diagnosanya tepat, maka pengobatannyapun akan tepat.

3) Ajaklah peserta untuk mencoba melakukan diagnosa kemiskinan (mencari sebab akibat sampai ke akarnya). Dalam menganalisa permasalahan kemiskinan pakailah kartu – kartu kemiskinan . 4) Bagikan kepada peserta kartu – kartu gambar kemiskinan yang sudah disediakan, mintalah

(19)

kemiskinan yang dialami oleh mereka. Minta agar gambar yang sudah dipilih tetap memegang gambarnya.

5) Mintalah kepada peserta yang sudah memilih gambar untuk menceritakan permasalahan kemiskinan yang ada di wilayahnya berdasarkan kepada gambar yang dipilih tadi. Tuliskan setiap pernyataan pserta dalam kartu – kartu metaplan ( satu pernyataan satu kartu). Contoh : kematian ibu (satu kartu ) , telusuri penyebabnya kenapa terjadi misal : tidak punya biaya berobat (satu kartu). Demikian juga untuk masalah – masalah yang lain.

6) Ajaklah peserta untuk membuat hubungan sebab akibat dari pernyataan – pernyataan yang sudah ada dalam kartu tadi, kemudian petakan hubungan sebab akibat tersebut (lihat contoh dalam LK 1). Simpan hasilnya untuk sementara.

7) Bagikan kepada peserta bahan diskusi kasus ”Tamparan Untuk Bangsa Indonesia” atau ”kisah Rakyat yang Gagal” . Mintalah mereka membaca kasus tersebut dalam beberapa menit. 8) Tanyakan kepada peserta, apakah kejadian – kejadian yang mirip dengan kasus tersdebut

dialami oleh masyarakat di wilayah mereka? Tanyakan mengapa itu terjadi.

9) Ajaklah peserta untuk melanjutkan diskusi pohon persoalan kemiskinan yang sudah dibuat sebelumnya dan analisis lebih jauh sampai pohon persoalan tersebut mencerminkan level – level penyebab kemiskinan tingkat 1 sampai tingkat 4, yang berakar pada keserakahan, ketidakadilan dan sebagainya.

10) Pemandu menggunakan butir-butir kesimpulan yang diperoleh dan coba memberikan pencerahan dan pengkayaan serta akhirnya menyimpulkan bahwa kemiskinan lebih diakibatkan oleh lunturnya nilai-nilai luhur kemanusiaan. Hubungkan juga dengan hasil diskusi dan pembahasan yang sudah disimpulkan pada Modul Paradigma Pembangunan. Gunakan Media Bantu level – level penyebab kemiskinan sebagai alat bantu untuk menjelaskan, yang sudah disiapkan sebelumya.

Catatan untuk Fasilitator :

a. Lakukanlah monitoring ke semua kelompok, perhatikan isue – isue kritis yang muncul dalam diskusi merekadan bantulah mereka untuk menggalinya lebih dalam. b. Buatlah catatan-catatan kecil atas semua kejadian yang

penting dan menarik untuk dibahas kemudian. c. Layanilah mereka apabila mereka meminta pendapat

atau konsultasi pada fasilitator.

d. Apabila terjadi debat kusir yang berkepanjangan, cobalah menengahi atau menunda perdebatan sehingaga menjadi bahasan semua peserta (kelas).

(20)

Permasalahan kemiskinan pada level 4 merupakan dampak (akibat) dari keputusan baik keputusan lembaga maupun keputusan pribadi (misal : boros adalah keputusan pribadi) . Keputusan lembaga sebetulnya merupakan produk dari orang – orang yang ada di dalamnya. Apabila orang – orang yang mengambil keputusan mempunyai sikap mental yang positif, maka keputusan yang diambilpun tidak akan merugikan orang lain. Artinya akar masalah kemiskinan adalah pola pikir (paradigma), sikap dan perilaku dari orang – orang, baik itu pengambil keputusan ataupun bukan . Sikap mental dan paradigma ini yang akan mempengaruhi keputusan seseorang (dan atau lembaga) dan pada akhirnya mempengaruhi tindakan seseorang. Sikap mental ini sangat penting, karena apabila sikap mental pelaku pembangunan negatif, maka keputusan dan perilakunya juga akan negatif sehingga bisa menyebabkan kerusakan (merugikan masyarakat). Akan lebih parah apabila sikap mental negatif ini dipunyai oleh para pengambil keputusan (pemimpin) sehingga lembaga pengambil keputusan di berbagai tataran tidak mampu melahirkan keputusan-keputusan yang benar (adil, berwawasan kemiskinan, dsb).

Diskusi Kedalaman Kemiskinan Perempuan

1) Jelaskan kepada peserta bahwa kita akan memulai kegiatan 2 dalam modul ini, yaitu

membahas kemiskinan yang dialami oleh kaum perempuan.

2) Informasikan kepada peserta, kita akan mencoba mendiskusikan apakah kemiskinan yang

dialami oleh kaum perempuan dengan laki – laki mempunyai kedalaman yang asama atau tidak.

3) Bagilah peserta ke dalam 3 kelompok (lebih baik apabila peserta perempuan dijadikan ke dalam

satu kelompok yang sama) kemudian tugaskan kepada setiap kelompok untuk membahas : • Apa saja masalah kesehatan yang dialami oleh kaum perempuan termasuk asupan gizi

?

• Bagaimana akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan? • Bagaimana kesempatan bersekolah bagi kaum perempuan? • Bagaimana tingkat melek huruf kaum perempuan?

• Bagaimana beban kerja perempuan dalam satu hari?

• Bagaimana pemanfaatan ekonomi keluarga untuk kebutuhan perempuan? • Bagaimana keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di keluarga? • Bagaimana keterlibatan perempuan dalam kegiatan pembangunan?

(21)

4) Setelah diskui kelompok selesai, mintalah masing – masing wakil kelompok untuk

mempresentasikan hasilnya. Bahas dalam diskusi kelas. Berikan penekanan – penekanan pada lebih dalamnya kemiskinan yang dialami oleh kaum perempuan dan laki – laki

5) Refleksikan dan berikan penegasan apabila diperlukan

Pada dasarnya kemiskinan yang lebih parah dihadapi oleh kaum perempuan bersumber pada ketidakadilan. Kebijakan – kebijakan di setiap bidang belum melihat secara lebih proporsional pada kebutuhan – kebutuhan yang dihadapi oleh kaum perempuan. Ketidakadilan ini disebabkan juga oleh paradigma – paradigma mengenai perempuan yang selama ini diyakini oleh masyarakat

Jelaskan juga kepada peserta bahwa paradigma yang berkembang menyebabakan adanya bias dalam memandang peran perempuan dan laki – laki dalam kehidupan. Misal : warna pink adalah warna perempuan, warna biru warna laki – laki; Ibu memasak di dapur dan bapak membaca koran (memasak adalah kewajiban perempuan); bekerja mencari nafkah, pekerjaan domestik (rumah tangga) bukan pekerjaan yang harus diperhitungkan sehingga bapak yang mencari nafkah disediakan asupan makanan yang lebih dibanding ibu yang dari subuh sampai malam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahaslah contoh – contoh lainnya.

(22)

LK – Masalah Kemiskinan

Pertanyaan dan tugas yang terkait dengan “Diskusi Anatomi

Kemiskinan”

Langkah – langkah umum memfasilitasi diskusi ‘pohon persoalan kemiskinan’

ƒ Bahas hasil diskusi kelompok, kemudian ambil satu penyebab kemiskinan (satu kertu) hasil diskusi kelompok , misal : tidak punya penghasilan

ƒ Tanyakan lebih jauh mengapa tidak punya penghasilan ?.

ƒ Lihatlah apakah sudah ada jawabannya pada kartu - kartu yang sudah ada? Apabila sudah ada, tempelkan kartu tersebut di dekat kartu sebelumnya (tidak punya penghasilan) beri tanda panah yang menunjukkan sebab akibat. Apabila jawabannya belum ada dalam kartu kartu tadi tulislah jawaban peserta pada kartu baru, tempel dekat kartu sebelumnya, dan beri tanda panah untuk menunjukkan mana yang menjadi penyebab dan akibatnya. Galilah terus dengan pertanyaan – pertanyaan ‘mengapa’ untuk setiap kartu yang muncul (lihat contoh di berikut).

catatan: Pohon masalah di atas hanya sebagian saja dari pernyataan yang mungkin muncul. Galilah pernyataan dari peserta sebanyak–banyaknya dan hubungkan terus sebab akibatnyasampai menjadi pohon persolan kemiskinan seperti contoh di bawah ini.

Tidak punya penghasilan Tidak punya pekerjaan Tidak punya keterampilan Cari kerja sulit

Kemiskinan Tidak ada peluang

Pendidikan rendah

Biaya pendidikan tinggi

Frustasi (apatis) malas Kebijakan pendidikan Kebijakan Tidak ada informasi

(23)

Tidak punya penghasilan Tidak punya pekerjaan Tidak punya keterampilan Cari kerja sulit

Kemiskinan Tidak ada peluang Pendidikan rendah Biaya pendidikan tinggi Frustrasi (apatis) Malas Kebijakan pendidikan Kebijakan Tidak ada informasi Masalah ekonomi Masalah Akses informasi Masalah politik Lembaga/pengambil keputusan tidak mampu menegakkan keadilan.

ƒ Menipisnya kepedulian ƒ Meningkatnya keserakahan ƒ Lunturnya nilai nilai

kemanusiaan Masalah Perilaku (akar masalah) Masalah Sosial Percaya miskin = nasib Masalah Perilaku Kurang dipercaya

(24)

Kisah Rakyat yang Gagal

1 Oleh: Lis Markus

BAGIAN I

Inilah kisah kehidupan yang fakir di Sukapakir. Ini sebuah “dusun” di Kota Bandung, di bagian Selatan yang hanya bisa Anda kunjungi dengan jalan kaki. Karena gang yang harus dilalui tidak mampu memuat mobil, kendaraan harus tinggalkan di jalan Pagarsih, kemudian Anda berjalan terus, terus ke selatan, masuk lorong gang sempit. Di mulut gang, gerobak, motor dan pejalan kaki terkadang harus antre, lalu bergiliran dari arah yang saling berlawanan meniti jalan yang dipersempit oleh sebuah selokan di sebelah sisi. Muatan selokan itu: air comberan hitam pekat, sampah dan kotoran dari WC.

Sepanjang gang anak-anak asyik bermain, sementara para ibu mereka sibuk bekerja, berjualan makanan ringan, mencuci baju dan perabotan rumah tangga, keramas, menyikat gigi, atau mengangkut air dari MCK (mandi,cuci,kakus). Karena satu-satunya tempat yang lowong hanya gang sempit itu, hampir semua kesibukan berlangsung di kawasan ini. Ini “nadi” daerah yang dinamakan Sukapakir.

Jangan berharap dapat melihat kehijauan di antara rumah yang berdempet-dempet hampir tanpa halaman. Tak perlu heran, karena kawasan ini, menurut Sensus Penduduk 1980, adalah salah satu kelurahan yang sangat padat. Penghuninya tukang-tukang bakso, tukang bubur, pengupas bawang, pedagang kaki lima, tukang becak, pelacur, dukun. Cerita tentang mereka adalah kisah orang-orang kecil yang senantiasa berikhtiar, tetapi terus menerus gagal.

Lepas subuh, Ibu Samsu sudah ada di pasar Ciroyom. Pekerjaan rutin belanja untuk warungnya. Di belakangnya mengekor si Nanang gerobak, tempat ibunya menampung perbelanjaan. Ibu Samsu berdecap ngiler melihat sayuran segar. Tapi uang di balik kutangnya tak cukup lagi.

Akhirnya, ia hanya melengkapi belanjaan dengan sambeleun - cabe, bawang serta tomat. Dan ketika uangnya tinggal Rp 100,- dihentikannya acara langak-longoknya. Sisa uang itu ia siapkan untuk ngaburuhan - upah si Nanang, satu-satunya anak Bu Samsu yang mau menerima uang cepek.

Hari ini Ibu Samsu tidak dapat menambah jualan. Dalam beberapa bulan ini warung Bu Samsu memang nampak ngos-ngosan. Ia tak habis pikir mengapa ini bisa terjadi. Padahal tiap hari ada saja yang laku. Heran!

Ada yang berkata bahwa Bu Samsu orangnya kelewat baik. Setiap orang boleh ngebon. Jumlah utang kadang ia catat, tapi lebih sering tidak – semata-mata tergantung kesadaran yang berutang. Malah kalau pengemis yang belanja, ia terkadang memberikan. Ia merasa, alhamdulillah, masih di beri rezeki berlebihan jika dibandingkan dengan nasib para peminta-minta.

Ibu Samsu yakin, ada sebab lain yang “mengganggu” usahanya – sebuah gangguan aneh yang tidak dapat diidentifikasikan dengan tata buku. Di Jawa Barat, menurut kepercayaan orang, ada kencit atau tuyul, makhluk halus yang suka mencopet. Tentu saja piaraan orang yang ingin kaya tanpa kerja. Beberapa pedagang di daerah itu berjaga-jaga dengan isim, kemenyan atau jimat,

1

Tulisan ini diambil dari artikel Majalah Tempo edisi 27 Oktober 1984 berdasarkan penelitian antropologi selama 10 bulan di sebuah kampung perkotaan yang paling miskin di Bandung

(25)

agar kencit tidak nyelonong ke laci mereka. Mang Ikin, misalnya, pedagang bubur keliling, mengatakan bahwa hasil jualannya baru dapat dirasakan lumayan setelah ia membeli jimat anti-kencit dari seorang dukun.

Tetapi Bu Samsu hampir tak percaya sumber gangguan warungnya adalah “kencit”. Kalau begitu apa? Ia pernah berusaha mencari jawaban sendiri, misalnya dengan jalan bertapa di suatu gunung di Kabupaten Bandung. Dalam implengan-nya ia “melihat “ ada tiga orang yang menyiramkan air di depan warungnya – itu pasti orang-orang yang iri. Kendati begitu ia diamkan saja. Tidak membalas. Ia hanya sering tahajud – sembahyang malam – mohon perlindungan Tuhan.

Tapi Pak Samsu tak sesabar ibu. Suatu hari Bapak ke dukun, berkonsultasi dengan seorang “pintar”. Orang pintar itu – yang kerap menolong keluarga ini dengan hasil yang “amat meyakinkan“ - setuju dengan penglihatan Bu Samsu dan membuat penangkal. Keluarga Bu Samsu kemudian membuat selamatan kecil, “buang sial” namanya. Dan betul, kata Bu Samsu beberapa minggu kemudian, jualannya jadi haneuteun, laris. Sayang, hal itu tak berlangsung lama - Ibu Samsu mengeluh, warung rugi terus, uang lagi kurang. Untuk menambah modal, ia mulai pinjam dari bank keliling alias rentenir.

Jika ia sadar apa yang menyebabkan warungnya merosot, tentu saja ia tidak akan susah-susah pergi ke gunung segala. Sebab, sebenarnya ia juga tahu bahwa kalau ia pergi ke pengajian dan warungnya di tunggu anak gadisnya, pasti akan ada uang yang meguap dari lacinya. Belum lagi tiga anak laki-laki yang sudah doyan merokok – bolak-balik masuk warung meminta roko. Kebutuhan dapur sehari-hari juga mengambil dari warung. Semuanya tanpa perhitungan sama sekali.

Memang, seharusnya warung itu merupakan tambahan pendapatan keluarga. Suaminya menerima pensiunan, dan disamping itu menerima honorarium sebagai pegawai tidak tetap. Namun pendapatan bulanan ini kadang-kadang sudah ludes pada minggu ke dua atau ke tiga. Keluarga ini keluarga besar, dan tujuh dari delapan anak masih sekolah. Yang sudah tamat STM, menganggur. Tiga lainnya di SMA, sisanya SMP dan SD. Setiap tiba masa testing atau ujian, keluarga ini mengeluh berat. Pengeluaran biaya itu jauh lebih besar dari penghasilan. Dan waktu itu, mereka pinjam lagi kepada saudara atau rentenir.

Ketika anak sulungnya lulus STM, Ibu Samsu sangat bersuka cita. Tapi tak berlangsung lama; anak harapannya itu tak bisa berbuat banyak. Sebab ijazah, satu-satunya modal untuk mencari kerja, masih di tahan sekolah. Alasannya : uang tunggakan sekolah tujuh bulan dan uang ujian yang di tilep si anak sendiri. Ibu Samsu amat terpukul. Kerja kasar mana mungkin – anaknya sendiri tidak sudi mencari pekerjaan yang tidak sepadan: Masak anak sekolah jadi tukang becak ?

Dua anak laki-lakinya harus segera disunat. Hajat direncanakan enam bulan sebelumnya. Rumah di permak, dan banyak tamu yang datang. Ada harapan sumbangan para tamu akan cukup mengganti biaya perhelatan. Sialnya, banyak tamu yang membawa amplop yang cuma berisi Rp 100,- sampai Rp. 200,-. Padahal biaya hajat, selain uang dari tabungan, pinjam dari rentenir plus uang warung.

Namun warung Bu Samsu buka lagi dan cukup lengkap. Hanya, kali ini, isi warungnya bukan lagi milik sendiri. Bu Samsu hanya menerima titipan alias konsinyasi.

Warung Bu Samsu tentu bukan kasus satu-satunya yang bernasib serupa itu. Ma Erat, misalnya, boleh di kata orang pertama yang nge-warung di Sukapakir. Kira-kira tahun 1960 Erat dan suaminya, Otong, pindah ke daerah ini. Otong cuma pedagang kecil yang – herannya – selalu gagal, meskipun sudah berusaha mati-matian.

Dia sebetulnya cukup ulet; berjualan apa pun rasanya pernah ia lakukan: sayuran, loakan, perhiasan imitasi, tahu-tempe…. Dia berkeliling kota Bandung dengan pikulan. Sering juga ke Cianjur, Sukabumi, dan Tasikmalaya. Tetapi apapun yang ia jual, sejauh manapun ia melangkah, hasilnya cukup pun tidak. Untunglah istrinya tidak kehilangan akal. Di rumahnya ia mulai berjualan rokok ketengan, kue-kue dan barang kelontong – dan belakangan malah nasi sayur segala. Bahkan

(26)

beberapa tahun kemudian, ketika suaminya kapok berjualan keliling karena sering dikompas, Erat meyakinkan bahwa dengan warung saja mereka akan bisa hidup.

Melihat usaha Erat yang cukup menguntungkan, banyak orang mulai mengikuti jejaknya. Warung bermunculan. Itu menjelang akhir 60-an. Jumlah warung tumbuh lebih cepat dari pertambahan penduduk, sehingga Erat mau tidak mau mulai merasakan tekanan persaingan. Sampai-sampai, ketika harga barang-barang grosir naik, ia sama sekali tidak berani menaikkan harga di warungnya. Dengan sendirinya keuntungannya makin berkurang. Malah kadang-kadang ia tak sanggup lagi mengisi warung.

Tapi bagaimanapun warung harus dipertahankan. Untuk mempertahankan, mereka kemudian menjual separoh rumah. Dan mereka sekarang pun tinggal dalam satu ruangan sempit berdinding bilik yang berfungsi sekaligus sebagai ruang tamu, dapur, dan warung. Ruang tidur mereka bangun di langit-langit rumah.

Padahal kebutuhan suami istri Erat sebenarnya sangat sederhana – mereka tidak punya anak yang harus dibiayai. Tapi untuk itu pun warung tak mencukupi. Harga terus membubung modal semakin susut. Buntutnya, beberapa bulan lalu warung kelontongnya tamat. Sekarang Erat hanya menjual nasi dan lauknya: lodeh, urab daun singkong, atau semur jengkol. Sebagian ia jual sendiri berkeliling dari gang ke gang, sebagian lain dijajakan di rumahnya ditunggui Otong, suaminya. Beberapa bulan lalu, satu-satunya barang mewah yang mereka miliki – radio kaset – terpaksa dilego. Erat sakit dan mereka perlu uang.

Salah satu yang menyebabkan bermunculannya warung-warung di Sukapakir adalah semakin tidak cukupnya penghasilan keluarga, sehingga orang mencoba cari tambahan. Jangan lupa, bagian terbesar penduduk di sini pedagang kecil: kaki lima, pedagang asongan, atau orang pasar. Mereka merasakan betul turunnya volume penjualan.

Tempat ini juga menjadi tempat berkumpulnya para buruh borongan. Dan sejak 1980 mereka ini cukup sulit mencari pekerjaan. Seorang buruh kadang-kadang harus menunggu sampai setengah tahun untuk mendapatkan lowongan. Dan, bila dapat dalam jangka waktu itu, proyek itu habis dalam beberapa minggu.

Sukapakir pun markas tukang becak dan pedagang keliling, yang sekarang posisinya semakin sulit. Dapat di mengerti mengapa setiap keluarga berusaha dengan cara apa pun memperoleh penghasilan tambahan. Dalam dua RT saja – yang memuat 135 rumah yang menampung kurang lebih 335 keluarga – sudah ada 40 warung dan 14 orang penjaja makanan. Dan dalam jangka 10 bulan saja, beberapa warung bangkrut.

Orang sering menganggap bahwa warung satu-satunya jalan yang mungkin. Tentu saja bagi yang masih memiliki sedikit modal. Bagi yang tidak, usaha menambah penghasilan adalah kerja mengupas bawang atau membungkus kerupuk – umumnya kaum ibu. Upah pengupas bawang sejak beberapa bulan yang lalu diturunkan, karena pekerjaan mereka pun memang dikurangi. Dulu upah mengupas dan mengiris Rp 60,- per kg. Kemudian menjadi Rp. 40,- per kg, karena tugas mengiris sekarang dipercayakan kepada mesin iris. Sedang upah membungkus kerupuk dalam sehari bisa mencapai Rp 250,- itu pun tak bisa dilakukan tiap hari karena pabrik kerupuk umumnya beromset kecil.

Sukapakir termasuk daerah miskin, dan terdapat di Bandung. Menurut Sensus 1980, tingkat kepadatannya 900 orang lebih per hektar, berarti 90.000 orang per km2. Bandingkan: Bandung

18.061,71 orang per km2, Jakarta 11.023 per km2. Semua data 1982 berarti untuk Sukapakir

sudah harus ada peningkatan. (Tentang Bandung, setidak- tidaknya Gubernur sendiri pernah menyatakan ibukota propinsi itu sebagai kota terpadat di dunia – red).

Dan ke “super-padat“-an Sukapakir akan segera terasa begitu orang memasuki lingkungan itu. Di sini, anak-anak berjejal di mana-mana. Satu bangunan rumah kebanyakan dihuni oleh dua, tiga

(27)

bahkan empat keluarga. Bukan hal aneh bila dua keluarga – masing-masing ayah ibu, dan beberapa anak – menempati satu kamar (bukan rumah!) yang sama.

Dengan sendirinya keadaan sanitasi dan kesehatan runyam. Penyakit menular cepat membaik, juga karena kebanyakan mereka belum tahu cara pencegahannya. MCK memang ada, tapi dua bangunan MCK tersedia untuk 335 keluarga.

Karena penduduk harus membayar guna mendapatkan setetes air bersih, kebanyakan mereka lalu kembali menggunakan air sumur untuk mandi dan nyuci, sekalipun sebagian besar sumur sudah tercemari rembesan air selokan.

Musim kemarau, selalu saja ada yang kena muntaber. Tingkat kematian anak tinggi. Jangan tanya mengapa mereka tidak pergi ke dokter – bahkan puskesmas.

Menantu perempuan Bi Esih, misalnya, sakit radang usus parah. Atas perintah dokter ia dimasukan rumah sakit untuk dioperasi. Pembedahan pertama saja menguras uang mereka habis-habisan, sehingga ketika beberapa minggu kemudian direncanakan operasi lanjutan, Bi Esih dan anaknya merasa tidak sanggup lagi membiayai. Menantu Bi Esih itu kemudian dibawa pulang – dan belum sampai satu bulan, mati. Orang di sekitar malah menyesalkan mengapa penderita dibawa ke rumah sakit.

Jika ada rasa sakit, begitu umumnya mereka berpendapat, beli saja obat penahan rasa sakit di warung, seperti Naspro dan sejenisya, atau mencoba obat kampung. Tak usah malu-malu pergi ke dukun. Selain murah kadang kadang malah sembuh. Cari dukun tak usah jauh-jauh – jumlah mereka di Sukapakir malah mengalahkan jumlah dukun seluruh desa. Dukun di sini ”serba bisa” : mencarikan jodoh, mengurus suami serong, mengobati anak cacingan, sampai ”mencarikan pekerjaan”.

(28)

Tamparan Untuk Bangsa Indonesia

Muslim Sejati 07 Jun 2005, 16:09:40 Salemba, Warta Kota

PEJABAT Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah.

Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta? Bogor pun geger Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari". Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu. Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet. Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.

Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan. Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku. Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi Karena tidak punya

(29)

uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. "Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia", ujarnya.

Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz, mengatakan peristiwa itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin kata Wardah.

(30)

Tulislah dalam kertas plano sebagai Media Bantu untuk menjelaskan dan

memberikan pencerahan kepada peserta :

Penyebab Kemiskinan

K E M I S K I N A N POLITIK YG TDK MEMBUKA AKSES KPD KAUM MISKIN,

KURANG PARTISIPASI EKONOMI YG TDK MEMIHAK; TDK ADA KESEMPATAN, TDK ADA AKSES KE SOSIAL YG SEGREGATIF; MARGINALISASI, INTERNALISASI BUDAYA FISIK ; LINGKUNGAN KUMUH,

ILEGAL, DSB KEBIJAK AN YG TDK BERPIHA K/ ADIL INSTITUSI PENGAMBIL KEPUTUSAN YG TDK MAMPU MENERAPKA N NILAI-NILAI Penyebab tk 4

4tingkat 4

ORANG YG TIDAK BERDAY A (TDK BAIK Penyebab tk 2 Penyebab tk 1 Penyebab tk 3

(31)

Anatomi Kemiskinan

Oleh : Parwoto

Pemahaman Kemiskinan

Latar Belakang

Kemiskinan pada dasarnya bukan hanya permasalahan ekonomi tetapi lebih bersifat multidimensional dengan akar permasalahan terletak pada sistem ekonomi dan politik bangsa yang bersangkutan. Dimana masyarakat menjadi miskin oleh sebab adanya kebijakan ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan mereka, sehingga mereka tidak memiliki akses yang memadaikan ke sumber daya-sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak. Akibatnya mereka terpaksa hidup di bawah standar yang tidak dapat lagi dinilai manusiawi, baik dari aspek ekonomi, aspek pemenuhan kebutuhan fisik, aspek sosial, dan secara politikpun mereka tidak memiliki sarana untuk ikut dalam pengambilan keputusan penting yang menyangkut hidup mereka. Proses ini berlangsung timbal balik saling terkait dan saling mengunci dan akhirnya secara akumulatif memperlemah masyarakat miskin.

Situasi ini bila tidak segera ditanggulangi akan memperparah kondisi masyarakat miskin yang ditandai dengan lemahnya etos kerja, rendahnya daya perlawanan terhadap berbagai persoalan hidup yang dihadapi, kebiasaan-kebiasaan buruk yang terpaksa mereka lakukan dalam rangka jalan pintas mempertahankan hidup mereka yang bila berlarut akan melahirkan budaya kemiskinan yang sulit diberantas.

Di sisi lain upaya-upaya penanggulangan kemiskinan lebih banyak diarahkan hanya untuk meningkatkan penghasilan masyarakat miskin melalui berbagai program ekonomi, seperti peningkatan penghasilan, pemberian kredit lunak, dsb. Semua ini tidak dapat disangkal akan meningkatkan penghasilan masyarakat miskin tetapi tidak serta merta menyelesaikan persoalan kemiskinan. Kesalahan mendasar yang saat ini terjadi adalah melihat kemiskinan sebagai ketidak-mampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang disebabkan oleh rendahnya penghasilan (ekonomi) mereka, sehingga pemecahan yang logis adalah dengan meningkatkan penghasilan. Peningkatan penghasilan disini seolah-olah menjadi obat mujarab terhadap semua persoalan kemiskinan. Padahal akar kemiskinan justeru bukan pada penghasilan. Tinggi rendahnya penghasilan seseorang erat kaitannya dengan berbagai peluang yang dapat diraihnya. Jadi lebih merupakan akibat dari suatu situasi yang terjadi oleh sebab kebijakan politik yang tidak adil yang diterapkan sehingga menyebabkan sebagian masyarakat tersingkir dari sumberdaya kunci yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan hidup mereka secara layak.

Pengertian Kemiskinan

Deepa Narayan, dkk dalam bukunya Voices of the Poor menulis bahwa yang menyulitkan atau membuat kemiskinan itu sulit ditangani adalah sifatnya yang tidak saja multidimensional tetapi juga saling mengunci; dinamik, kompleks, sarat dengan sistem institusi (konsensus sosial), gender dan peristiwa yang khas per lokasi. Pola kemiskinan sangat berbeda antar kelompok sosial, umur, budaya, lokasi dan negara juga dalam konteks ekonomi yang berbeda.

Lebih lanjut mereka juga memberikan 4 dimensi utama dari definisi kemiskinan yang dirumuskan oleh masyarakat miskin sendiri, sebagai berikut di bawah ini.

Dimensi 1: Dimensi material kekurangan pangan, lapangan kerja dengan muaranya adalah kelaparan atau kekurangan makan.

(32)

Dimensi 2: Dimensi psikologi, seperti antara lain ketidakberdayaan (powerlessness), tidak mampu berpendapat (voicelessness), ketergantungan (dependency), rasa malu (shame), rasa hina (humiliation)

Dimensi 3: Dimensi akses ke pelayanan prasarana yang praktis tidak dimiliki

Dimensi 4: Dimensi aset/milik, praktis tidak memiliki aset sebagai modal untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak seperti antara lain:

• kapital fisik (physical capital), antara lain mencakup tanah, ternak, peralatan kerja, hunian, perhiasan, dsb

• kapital manusia (human capital), antara lain menyangkut kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Kesehatan yang buruk sering menghalangan orang untuk bekerja apalagi bila pekerjaannya menuntut tenaga fisik yang sering ditemukan pada masyarakat yang berada pada tingkat survival, begitu juga rendahnya pendidikan sangat menghambat kemajuan seseorang.

• aset sosial (social capital), atau sering diartikan dalam hal ini sebagai sistem kekerabatan yang mendukung kaum miskin untuk tetap bertahan hidup sebab pada umumnya kaum miskin tidak masuk jaringan formal pengamanan sosial seperti asuransi yang mampu melindungi mereka dari berbagai krisis seperti musibah, keuangan, dll

• aset lingkungan (environmental asset), antara lain mencakup iklim dan musim yang sangat berpengaruh pada petani, nelayan dan sebagai pekerja lapangan. Secara rinci ke empat aset tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.

a) Aset fisik (physical capital). Pada dasarnya masyarakat miskin memang praktis tidak

memiliki benda-benda fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara lain tanah yang memadai, rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan kerja dan benda-benda fisik lainnya

b) Aset kemanusiaan (human capital). Pada dasarnya masyarakat miskin juga tidak memiliki

kwalitas sumber daya manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, dsb belum lagi kwalitas manusia yang lain seperti etos kerja yang ulet, jiwa kewirausahaan, kepemimpinan, dsb

c) Aset sosial (Social capital). Masyarakat miskin memang selalu tersisih dari pranata sosial

yang ada termasuk sistem asuransi sehingga mereka harus membangun sendiri institusi mereka agar mendapatkan jaminan sosial (social security) yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar mereka, asosiasi penghuni, yang seringkali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib sepenangungan, dsb.

d) Aset lingkungan (environmental asset). Pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan

memang kurang atau malah tidak memiliki sumber-sumber lingkungan sebagai modal hidup mereka seperti air baku, udara bersih, tanaman, lapangan hijau, pohon-pohon, dsb, sementara para petani dan nelayan sangat tergantung kepada aset lingkungan dalam bentuk musim dan iklim. Lebih lanjut keempat dimensi tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks yang lebih luas yaitu tatanan ekonomi makro dan sistem politik yang berlaku di negara tersebut.

Beberapa pendapat lain melihat kemiskinan dari sudut pandang yang sangat berbeda dan menyimpulkan kemiskinan sebagai berikut di bawah ini

• Kemiskinan absolut, yaitu bila penghasilan seseorang di bawah garis kemiskinan absolut, yaitu suatu ukuran tertentu yang telah ditetapkan dimana kebutuhan minimum masih dapat dipenuhi, dengan kata lain penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum yang ditetapkan dalam garis kemiskinan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam mengungkapkan Struktur batin pada puisi untuk mengetahui suasana apa yang hendak dibangun oleh penyair dalam sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar”, maka

Event wisata merupakan kegiatan diluar aktivitas wisata dimana memiliki tujuan untuk lebih menarik wisatawan untuk datang ke suatu objek wisata dimana kegiatan ini

§ 530.  Dalam Rentjana I, mengenai perhubungan Laut ditetapkan usa­ ha­usaha pembangunan untuk didjalankan sebagai berikut : a. 

Deskripsi Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan konsep, menunjukkan contoh, dan memberikan tugas, sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif (berpikir), dan sesuai

Pemerintah ternyata tidak dapat bertindak tegas terhadap penyalah gunaan layanan yang dilakukan oleh perusahaan jasa swasta tersebut dimana di dalam undang-undang tentang

Cara yang paling afdhal jika anda mendapati 2 ayat yang mirip adalah dengan membuka mushaf pada setiap ayat yang mirip tersebut, lalu perhatikanlah perbedaan diantara kedua

Dari hasil tersebut kemudian dilakukan refleksi awal untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan dalam siklus 2 dari refleksi tersebut ditemukan masalah bahwa guru

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian deskriptif, yang dimaksudkan untuk mendapatkan informasi lebih terperinci dengana cara