Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT PADA
MASYARAKAT ADAT BATAK KARO
(STUDI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO)
TESIS
Oleh
FRANS CORY MELANDO GINTING
077011023/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT PADA
MASYARAKAT ADAT BATAK KARO
(STUDI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FRANS CORY MELANDO GINTING
077011023/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi Telah diuji pada
Tanggal : 29 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum
Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum
2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH,MS
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, CN, MS
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Judul Tesis : PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT PADA
MASYARAKAT ADAT BATAK KARO (STUDI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO)
Nama Mahasiswa : Frans Cory Melando Ginting
Nomor Pokok : 077011023
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum) Ketua
(Prof.Dr.Budiman Ginting,SH, MHum) (Dr.Pendastaren Tarigan, SH, MS)
Anggota Anggota
Ketua Program, Direktur,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc)
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi ABSTRAK
Perselisihan dan keributan di antara saudara dapat terjadi akibat pembahagian harta warisan yang tidak adil. Ketidak-adilan akan membawa para pihak bersengketa untuk menyelesaikan dengan cara kesepakatan atau dengan cara menempu jalur hukum. Perselisihan dan keributan dalam pembahagian harta warisan pada masyarakat adat Batak Karo telah membuat suatu putusan Mahkamah Agung No. 179K/Sip/1961, tanggal 23 Oktober 1961 dan putusan Mahkamah Agung No. 100K/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968, yang memutuskan bahwa anak perempuan dan janda sebagai ahli waris. Putusan Mahkamah Agung No. 179K/Sip/1961, tanggal 23 Oktober 1961 dan putusan Mahkamah Agung No. 100K/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968, yang memutuskan bahwa anak perempuan dan janda sebagai ahli waris bertentangan dengan hukum waris adat Batak Karo yang menganut sistem pewarisan patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana anak laki-laki sajalah yang berhak terhadap harta warisan orang tuanya.
Di Indonesia, putusan Mahkamah Agung hanya menentukan suatu hukum yang berlaku bagi pihak-pihak tertentu dalam suatu perkara. Keputusan hakim hanya mengikat bagi para pihak yang diadili oleh putusan yang bersangkutan, dan tidak mengikat bagi orang lain yang bukan merupakan para pihak, sementara hukum waris adat Batak Karo dirasa kurang adil bagi kaum perempuan dan janda. Karena itu maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pembahagian harta warisan pada masyarakat adat Batak Karo.
Lokasi penelitian adalah pada tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda) di Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologi (empiris) dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif.`
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah ada perkembangan hukum waris adat Batak Karo khususnya terhadap anak perempuan sebagai ahli waris. Ini dapat dibuktikan dengan adanya pembahagian yang khusus dan kewajiban untuk memberikan pemberian kepada anak perempuan walaupun tidak sebanyak bahagian anak laki-laki. Keduduka n janda belum diterima sebagai ahli waris harta suaminya karena masyarakat masih berpegang teguh pada hukum waris adat Batak Karo yang menolak janda sebagai ahli waris.
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
ABSTRACT
Dispute And hubbub of among you can be happened by the effect of
inequitable heritage part. Unjust will bring the the parties of have dispute to finish by agreement or by menempu band punish the. dispute And hubbub in heritage part of at society of custom of Batak Karo have made an decision of Appellate Court No. 179K/Sip/1961, date of 23 October 1961 and decision of Appellate Court No. 100K/Sip/1967, date of 14 June 1968, deciding that daughter and widow as heir. Decision of Appellate Court No. 179K/Sip/1961, date of 23 October 1961 and decision of Appellate Court No. 100K/Sip/1967, date of 14 June 1968, deciding that daughter and widow as heir illegal the heir of custom of Batak Karo embracing system of endowment patrilinial, that is clan system pulled by according to father line, where just just boy of rightful claimant to its parent heritage
In Indonesia, decision of Appellate Court only determine an applicable law for certain partys in a case. Verdict only fasten to all party judged by pertinent decision, and do not fasten for others which is non representing the parties, whereas hereditary law of custom of Batak Karo felt unjust for clan of woman and widow. In consequence hence require to be done/conducted by a research to know the heritage part of at society of custom of Batak Karo.
Research Location is at three countryside ( countryside Merdeka, countryside
Gongsol, countryside Jaranguda) in Subdistrict Independence The, Regency Karo, North Sumatra Province. This Research have the character of descriptive analyse by using approach of yuridis sociology ( empiris) done/conducted by qualitative. And conclusion withdrawal [done/conducted] with the Inductive approach.
Result of research indicate that the growth of hereditary law of custom there
have Batak Karo specially to daughter as heir. This is provable with the existence of special part and obligation to give the gift to daughter although do not as much boy part. Dimiciling widow not yet been accepted as by its husband estae heir because society still head towards the hereditary law of custom of Batak Karo refusing widow as heir
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah
satu persyaratan untuk memperolah gelar MAGISTER KENOTARIATAN di
Universitas Sumatera Utara Medan. Didalam memenuhi tugas inilah maka penulis
menyusun dan memilih judul : ”PERKEMBAGAN HUKUM WARIS ADAT
PADA MASYARAKAT ADAT BATAK KARO (STUDI : KECAMATAN
MERDEKA, KABUPATEN KARO)”. Saya menyadari masih banyak kekurangan
didalam penulisan Tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka, saya menerima saran dan
kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pendoman dimasa yang akan datang.
Didalam penulisan dan penyusunan Tesis ini, saya mendapat bimbingan dan
pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan
ini saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya
secara kusus kepada Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum, selaku Ketua
Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., MHum, serta
Bapak Dr. Pendastaren Tarigan SH, MS, masing-masing selaku anggota komisi
pembimbing kepada saya dalam penulisan tesis ini dan kepada Bapak Prof. Dr.
Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN,
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Selanjutnya ucapan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpA (K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk
mengikuti dan menyelesaiakan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.
2. Ibu Prof. Dr. Ir.T. Chairun Nisa B, MSc, Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak-Bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para kariawan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister
Kenotariatan yang telah banyak membantu dalam penulisan Tesis ini dari awal
Pertengahan sampai selesai.
Secara khusus penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan
terimakasih yang tak terhingga kepada Ibunda Tringani Tarigan, SH, SpN, tercinta
yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan,
kesabaran, dan kasih sayang serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat
melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.
Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada kakanda Laura beru
Ginting, SH, MKn, yang selalu memberikan perhatian dan doa serta selalu
memberikan dukungan, sehingga saya dengan lapang dapat menyelesaikan penulisan
dan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada Bapak Tengah dan
keluarga di desa Gongsol, serta silih Erik Perangin-angin yang telah menemani dan
membantu saya dalam mengadakan penelitian.
Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada Bapak Camat Merdeka,
Bapak Kepala Urusan Pemerintahan Desa Merdeka, Bapak Kepala Desa Gongsol,
Bapak Kepala Desa Jaranguda, serta pihak-pihak yang telah membantu saya dalam
melakukan penelitian tesis saya ini.
Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada teman-temanku dan
sahabatku, Bangun P Nababan, SH, Debora Br Gultom SH, Vina Br Pasaribu SH,
Natal Surbakti SH, dan seluruh teman-teman group C, Swary Natalia Br. Tarigan,
SH, dan seluruh teman-teman group B, Juni Surbakti, SH, dan seluruh teman-teman
group A serta seluruh teman-teman yang namanya tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi,
membantu dan memberikan pemikiran kritik dan saran yang dari awal masuk di
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister
Kenotariatan.
Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada rekan-rekan kantor dan
lingkungan tempat tinggal saya, yang selama ini membantu saya dalam penulisan
tesis ini.
Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Akhirnya dengan segala kerendahan hati dan penuh ucapan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa, saya menyerahkan diri semoga tetap didalam lindunganNya.
Semoga Tesis ini dapat berguna bagi diri dan juga semua pihak dan kalangan yang
mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.
Medan, Agustus 2009
Penulis
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
Nama : Frans Cory Melando Ginting
Tempat Tanggal Lahir : Medan, 04 Mei 1979
Alamat : Jl. Bajak V Gang Sejahtera No. 34 Medan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum menikah
II. ORANG TUA
Nama Ayah : Connat Ginting
Nama Ibu : Tringani Tarigan, SH, SpN
III.LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
SD Masehi Tamat Tahun 1991
SMP Putri Cahaya Tamat Tahun 1994
SMU Negeri 2 Bandung Tamat Tahun 1997
Fakultas Hukum Universitas Panca Budi Medan Tamat Tahun 2006
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR ISTILAH ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Keaslian Penelitian ... 9
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 10
1. Kerangka Teori ... 10
2. Konsepsi ... 17
G. Metode Penelitian ... 25
1. Sifat Penelitian Dan Metode Penelitian ... 25
2. Lokasi Penelitian ... 26
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
4. Metode Pengumpulan Data ... 27
5. Alat pengumpulan Data ... 28
6. Analisis Data... 28
BAB II PERKEMBANGAN UNSUR-UNSUR AHLI WARIS PADA MASYARAKAT BATAK KARO DI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO, PROVINSI SUMATERA UTARA ... 30
A. Ahli Waris Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo ... 30
B. Ahli Waris Dalam Masyarakat Batak Karo Di Kecamatan Merdeka ... 44
C. Kemungkinan Hilangnya Hak Waris ... 55
BAB III PEMBAHAGIAN WARISAN YANG DILAKUKAN OLEH MASYARAKAT BATAK KARO DI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO, PROVINSI SUMATERA UTARA ... 58
A. Harta Waris ... 58
B. Proses Pewarisan ... 61
C. Pembahagian Warisan ... 71
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA PERGESERAN HUKUM WARIS ADAT BATAK KARO PADA MASYARAKAT BATAK KARO ... 88
A. Faktor Agama ... 88
B. Faktor Ekonomi ... 91
C. Faktor Pendidikan ... 94
D. Besarnya Tanggung Jawab Perempuan ke Adat ... 98
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103
A. Kesimpulan... 103
B. Saran ... 104
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris ... 46
2. Anak Perempuan Yang Tidak Mempunyai Saudara Laki-laki Sebagai Ahli Waris ... 49
3. Janda Sebagai Ahli Waris ... 54
4. Cara Pembahagian Harta Warisan ... 70
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi DAFTAR ISTILAH
1. Merga artinya marga
2. Meherga artinya mahal/istimewa
3. Keleng ate artinya sayang
4. Anak namur atau anak embun artinya anak zinah
5. Anak beru artinya kelompok penerima perempuan yang bertugas untuk menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan serta mengatur jalannya upacara pesta
6. Cabur Pinang artinya buah pinang yang dihancurkan lumat-lumat, merupakan simbolis putus hubungan darah dan hubungan hukum antara seorang anak dengan orang tuanya.
7. Tektek ketang artinya memotong rotan dengan pisau atau perang yang tidak dapat disambung lagi, merupakan simbolis putus hubungan darah dan hubungan hukum antara seorang anak dengan orang tuanya.
8. Barang jabu artinya harta rumah
9. Barang darat barang artinya diluar rumah
10.Kalimbubu artinya kelompok pemberi wanita, pihak keluarga isteri, saudara laki-laki isteri
11.Puang kalimbubu artinya kelompok dari orang tua isteri
12.Sembuyak atau senina artinya satu marga antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan
13.Erta tading tadingen artinya harta pusaka
14.Kerangen artinya hutan, rimba
15.Erta bekas encari artinya harta pencaharian bersama
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
17.Taneh buat-buaten artinya pemberian tanah dari pihak kalimbubu kepada anak beru
18.Pemere artinya pemberian
19.Pemerean penjayon artinya tindakan pemberian orang tua kepada anaknya semasa hidupnya
20.Pemberian tedik-tedik artinya pemberian orang tua kepada salah seorang anak disebabkan lebih pandai mencari perhatian orang tuanya, dari pada anak-anaknya yang lain
21.Tare-tare iluh artinya penahan air mata
22.Maneh-maneh artinya kain atau sejumlah uang yang diberikan kepada kalimbubu dari sanak saudara yang meninggal dalam usia tua dan semua anaknya sudah berumah tangga sebagai kenangan atas orang yang meninggal tersebut
23.Morah-morah artinya kain, uang atau emas sebagai kenangan yang diberikan kepada saudara ibu dari seorang keponakan wanita yang meninggal dunia
24.Pengamburkan lau simalem-malem artinya menabur air dingin diatas kuburan si pewaris setelah beberapa hari dikuburkan
25.Perkah-kah bohan artinya suatu pesta jamuan makan yang lauk pauknya terdiri dari sayur-sayuran bercampur daging, yang dimasak dalam bambu muda
26.Tukur arinya beli, mas kawin
27.Kitang artinya tempat nira yang terbuat dari seruas bambu, sehingga dapat langsung dituang ke mulut
28.Perbelang kade-kade artinya memperluas kekeluargaan
29.Unjuken artinya jumlah mas kawin dari seorang anak wanita yang kawin
30.Surat Ukat artinya tulisan pada sendok bambu yang berbunyi endi (memberi) enta (meminta), maksudnya agar setiap orang terlebih dahulu memberi baru meminta atau setiap orang mengetahui hak dan kewajibannya
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Sempa Sitepu, Bujur Sitepu dan A. G. Sitepu bila ada suatu warisan
yang ditinggalkan oleh orangtua diturunkan kepada anak dan cucunya, hendaknya
warisan tersebut meningkatkan perbaikan hidup bagi anak dan cucunya dan untuk
terciptanya suatu kedamaian sesamanya.1
Tradisi masyarakat Batak Karo sebelum menganut suatu agama masih berdasarkan kepercayaan terhadap nenek moyang (leluhur) yang berintikan kehidupan duniawi para leluhur yang sudah meninggal dilanjutkan oleh anak laki-laki mereka. Keturunan mereka memuja dan mengurus mereka yang berada dalam kerajaan mereka di alam baka, dan pasang surut, naik turun, kemakmuran dan kemiskinan yang hidup, tercermin dalam pemujaan dan Tetapi apa yang terjadi berbeda sama sekali
dengan kenyataaannya. Pada akhir-akhir ini, pertentangan dan pertikaian yang terjadi
dalam suatu kelompok/keluarga justru dipicu oleh adanya warisan. Pertikaian ini
disebabkan banyak sebab, diantaranya adalah pembagian harta warisan yang dirasa
tidak adil oleh salah satu pihak atau beberapa pihak ahli waris.
Salah satu rasa ketidak-adilan ini dapat ditemukan pada pembagian warisan
menurut hukum waris adat Batak Karo, yang mana pembagian warisan berdasarkan
sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak (sistem Pewarisan Patrilinial),
dimana kedudukan pria mendapat lebih banyak bahagiannya dari kedudukan wanita
didalam pewarisan.
1
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
penghormatan yang dinikmati oleh roh mereka. Harta kekayaan orang yang meninggal tidak memiliki keturunan laki-laki akan diwarisi oleh anggota keluarga yang mempunyai keturunan laki-laki terdekat.2
Pada masyarakat adat Batak Karo dikenal anak laki-laki dianggap sebagai penerus keturunan (marga) pada suku Batak Karo. Sedangkan anak perempuan yang sudah kawin secara jujuran dan oleh karenanya setelah perkawinan masuk kerabat dari suaminya dan dilepaskan dari hubungan kerabatnya sendiri, tidak merupakan ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kemegahan yang terdapat pada
kuburan-kuburan yang ada pada masyarakat adat Batak Karo dan pembicaraan adat atau
kehidupan sehari-hari pada masyarakat adat Batak Karo seolah-olah orang yang
meninggal tersebut (leluhur) mendengar apa yang dibicarakan dan mengetahui
perbuatan keturunannya.
3
Dalam hukum waris Batak Karo dikenal istilah pewaris pengganti, yaitu bila seorang anak yang menjadi ahli waris meninggal dunia sebelum orangtuanya, maka tempatnya diganti oleh keturunannya, hingga cucu mendapat sebagian dari warisan neneknya atau kakeknya, yang sebenarnya menjadi hak dari orangtuanya yang telah meninggal itu.4
Tetapi istilah ini tidak berlaku bagi anak perempuan dalam adat Batak Karo.
Apabila harta pusaka diberikan kepada anak perempuan yang telah menikah, hal
tersebut hanya dapat dipakai selama dia hidup dan tak bisa dijual olehnya. Setelah dia
meninggal maka harta pusaka tersebut harus dikembalikan kepada marga asal yang
menyerahkannya. Hal ini disebabkan karena harta pusaka tersebut harus tetap
2
J.C. Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta, Pustaka Azet, 1986, halaman 297 dan 298.
3
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1995, halaman 183.
4
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
menjadi milik marga asal yang menguasai, sehingga tidak terjadi pergantian marga
terhadap kepemilikan harta pusaka tersebut.
Dalam hal ini Hukum waris menurut adat Batak Karo bertentangan dengan
putusan Mahkamah Agung No. 179K/Sip/1961 (kasus : Dem beru Sitepu dan Benih
beru Ginting lawan Lang Tewas Sitepu dan Ngadu Sitepu)
Penyelesaian sengketa dilakukan melalui peradilan adat maupun peradilan
negara. Peradilan adat melalui putusannya memegang teguh prinsip-prinsip adat yang
memberikan hak mewaris kepada perempuan. Hanya saja kali ini putusan yang
memberi hak pakai kepada perempuan (bukan hak milik). Putusan adat tidak
menyelesaikan persoalan, karena perempuan tidak dengan sukarela menundukkan diri
kepadanya. Hal ini membuat pihak laki-laki kecewa dan meneruskan perkara ke
pengadilan negara. Namun dengan begitu perempuan justru berkenalan dan berurusan
dengan pengadilan negara, karena harus menghadapi gugatan. Pengadilan Negeri
memenangkan pihak perempuan, Pengadilan Tinggi mengalahkannya, dan
Mahkamah Agung kembali memenangkannya.
Kasus sengketa ini adalah perseteruan antara Dem (perempuan) yang karena
meninggal diteruskan oleh anak perempuannya, Benih beru Ginting melawan Lang
Tewas dan kawan-kawan (laki-laki) karena merebut tanah pusaka milik Rolak Sitepu
(ayah dari ayah Benih beru Ginting). Perkara ini pernah dicoba diselesaikan peradilan
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
memutuskan bahwa Dem hanya boleh menguasai tanah pusaka terpekara dengan hak
pakai, bukan hak milik karena ia perempuan. Dem tidak mengindahkan putusan
tersebut.
Pihak laki-laki menggugat ke Pengadilan Negeri Kabanjahe, tetapi Pengadilan justru mengalahkan mereka dan meminta mereka untuk mengembalikan ladang terpekara kepada keturunan anak perempuan. Perkara diteruskan ke Pengadilan Tinggi di Medan. Akan tetapi Pengdilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan sebelumnya. Kali ini pihak perempuanlah yang tidak puas dan naik kasasi. Putusan Mahkamah Agung memenangkan pihak perempuan melalui putusan No. 179K/Sip/1961. Putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang bersejarah bagi persamaan hak anak perempuan Batak Karo dalam hal waris.5
Demikian juga terhadap janda pada masyarakat Batak Karo karena janda
merupakan anggota keluarga dari pihak suami akibat anak perempuan dalam adat
Batak Karo wanita yang telah menikah menjadi bahagian dari pihak laki-laki (telah
dibeli) maka ia tetap dapat menguasai harta warisan dan menikmati harta tersebut
selama janda tersebut hidup untuk kepentingan dirinya dan kelanjutan anak-anaknya.
Dan apabila ia ingin menikah lagi maka ia dapat menikah dengan saudara lelaki
suami (ganti tikar). Tetapi apabila ia menikah dengan marga lain yang tidak terdapat
hubungan saudara dari suaminya maka ia harus menyerahkan harta pusaka tersebut
kepada marga asal (anak laki-lakinya atau saudara lelaki suami). Penguasaan janda
atas harta warisan suami yang telah wafat tersebut berakhir apabila anaknya sudah
dewasa dan berumahtangga atau sampai saatnya diserahkan kepada waris atau waris
pengganti.
5
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap warisan di
wilayah hukum Pengadilan Tinggi Medan, khususnya mengenai Batak Karo,
diperoleh data sebagai berikut:
“Janda hanya berfungsi sebagai :
1. Pengawas atau pemelihara harta peninggalan menggantikan kedudukan suami yang telah meninggal guna menjaga kepentingan ahli waris
2. Selama janda masih hidup dia berhak menguasai dan menikmati harta-harta tersebut serta berhak atas hasil dan keuntungannya yang timbul dari padanya.
3. Sifat pengawas dan penikmatan tadi tidak boleh mengurangi atau memisahkan maupun menjual harta-harta tersebut.6
Penjualan hanya dapat dilakukan jika telah mendapat persetujuan dari anak
beru, senina, dan kalimbubu dalam batas keperluan :
1. Untuk biaya penguburan mayat almarhum suaminya
2. Biaya untuk memperbaiki rumah dan belakangan ini juga dibenarkan
untuk kepentingan pengobatan dan pendidikan anak-anak.
3. Untuk biaya perkawinan anak laki-laki.
4. Untuk keperluan hidupnya serta anak-anaknya.
Akan tetapi perlu diingat, bahwa pengawasan dan penikmatan itu akan tanggal
dengan sendirinya apabila janda itu telah cerai dari keluarga suaminya atau janda
tersebut melakukan perkawinan dengan laki-laki lain di luar keluarga mendiang
suaminya.
6
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa janda bukanlah ahli waris
bagi suaminya di kalangan masyarakat Batak Karo yang partrinineal murni.7
Dalam hal ini hukum waris menurut adat Batak Karo bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung No. 100K/Sip/1967, dalam perkara Tangsi Bukit lawan Pengidahen beru Beliala dan kawan-kawan. Mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris, Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi yang menetapkan bahwa dalam hal meninggalnya seorang suami yang meninggalkan seorang janda, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, janda berhak atas separuh/setengah dari harta bersama, yang sisanya dibagi antara janda dan kedua anaknya, masing-masing mendapat sepertiga bagian.8
Di dalam Praktek (kenyataan), hukum adat waris lama masih dipertahankan, yaitu masih dipakainya ketentuan bahwa anak laki-laki saja yang memperoleh harta warisan dari orang tuanya. Tetapi dari sudut lain kita lihat bahwa masyarakat Batak Karo sendiri sudah lebih cenderung untuk menggunakan ketentuan dari Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961 tersebut dalam mempertahankan haknya ataupun dalam pembagian warisan, yaitu dapat kita lihat pada perkara yang masuk ke pengdilan mengenai masalah warisan.
Dengan demikian, menurut Mahkamah Agung anak perempuan dan janda
adalah sebagai ahli waris. Bagaimanakah kenyataannya sekarang ini. Oleh karena
keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961 dan No. 100 K/Sip/1967 itu dibuat
untuk kasus yang terjadi pada masyarakat di tanah Karo tersebut, K. Rehngena Purba
(1978) menulis di dalam makalahnya bahwa :
9
Putusan pengadilan hanya akan menentukan hukum yang berlaku atau
mengikat bagi para pihak yang berpekara atau terkena perkara tertentu, sedangkan
7
Dikutip dari : Soerjono Sokanto & Yusuf Usman, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris
Adat, 1986, Ghalia Indonesia, halaman 25 dan 26.
8
Abdurrahnan.Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, , Bandung, Alumni, 1978, halaman 141 dan 142.
9
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
yurisprudensi adalah putusan-putusan pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung) yang
telah memiliki daya ikat secara umum, yang diikuti oleh pengadilan-pengadilan yang
ada dibawahnya secara tetap. Dalam wacana hukum, hal demikian dinamakan sebagai
preseden (judge made law atau case lase), putusan pengadilan dalam perkara tertentu
yang diikuti oleh pengadilan-pengadilan lainnya sebagai landasan untuk memutuskan
perkara yang serupa.negara-negara menganut yurisprudensi sebagai dasar untuk
mengadili ini biasanya adalah negara-negara Anglo-saxon yang tidak menganut
kodifikasi, seperti Amerika Serikat.
Di Indonesia, asas preseden bukan merupakan suatu kelaziman, walaupun terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yang seringkali dianggap sebagai yurisprudensi. Dalam praktik hukum di Indonesia, hakim adalah lembaga yang berwenang menentukan hukum in concreto, menentukan suatu hukum yang berlaku bagi pihak-pihak tertentu dalam suatu perkara. Keputusan hakim hanya mengikat bagi para pihak yang diadili oleh putusan yang bersangkutan, dan tidak mengikat bagi orang lain yang bukan merupakan para pihak.10
1. Bagaimana perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat Batak Karo di
tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda), Kecamatan Merdeka,
Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara?
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
10
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
2. Bagaimana pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat Batak
Karo di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda), Kecamatan
Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi SumateraUtara ?
3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris Adat
Batak Karo pada masyarakat Batak Karo di di tiga desa (desa Merdeka, desa
Gongsol, desa Jaranguda), Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi
Sumatera Utara ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan diatas, maka tujuan penelitian yang dilakukan
penulis adalah:
1. Untuk mengetahui perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat Batak
Karo di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda), Kecamatan
Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui pembagian harta warisan tersebut yang dilakukan oleh
masyarakat Batak Karo di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa
Jaranguda), Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi SumateraUtara.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran
Hukum Waris Adat Batak Karo pada masyarakat Batak Karo di tiga desa (desa
Merdeka, desa Gongsol, desa Jaranguda), Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo,
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Dengan adanya penelitian dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan
dan berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kebenaran dan
fakta yang terjadi di lapangan.
2. Secara praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan untuk para
notaris, masyarakat umum, akademis maupun dalam upaya mempersiapkan peraturan
tentang pengertian harta warisan, unsure-unsur ahli waris serta kedudukan wanita dan
janda dalam pembagian warisan pada adat Batak Karo dan mengetahui tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris Adat pada
masyarakat Batak Karo.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa penelitian dengan judul perkembangan hukum waris adat pada
masyarakat Batak Karo (studi : di tiga desa (desa Merdeka, desa Gongsol, desa
Jaranguda) Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara) dengan
permasalahan pertama bagaimana perkembangan unsur-unsur ahli waris pada
masyarakat Batak Karo, dan permasalahan kedua bagaimana pembagian harta
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
tentang faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris
Adat Batak Karo pada masyarakat Batak Karo yang penelitiannya dilakukan pada
desa Merdeka, desa Gongsol dan desa Jaranguda di Kecamatan Merdeka, Kabupaten
Karo, Provinsi Sumatera Utara belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini
dapat dipertanggung jawabkan keasliannya secara akademis.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian kita kearah
suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu yaitu ada seorang anggota
masyarakat yang meninggal dunia.11
Apabila seorang manusia itu pada suatu waktu meninggal dunia maka dengan
sendirinya timbul pertanyaan, apakah yang akan terjadi dengan perhubungan-Seorang manusia selaku anggota masyarakat selama masih hidup, mempunyai
tempat dalam masyarakat dengan disertai pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
terhadap orang-orang anggota masyarakat itu dan terhadap barang-barang yang
berada dalam masyarakat itu.
Dengan pekataan lain : ada pelbagai perhubungan hukum antara seorang
manusia itu disatu pihak dan dunia luar disekitarnya di lain pihak sedemikian rupa
bahwa ada saling mempengaruhi dari kedua belah pihak itu berupa kenikmatan atau
beban yang dirasakan oleh masing-masing pihak.
11
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
perhubungan hukum itu, yang mungkin sekali sangat erat sifatnya pada waktu si
manusia itu masih hidup.
Namun demikian walaupun seorang yang meninggal dunia itu sudah
dimakamkan, perhubungan-prhubungan hukum itu tidaklah lenyap begitu saja,
bukankah sesorang itu masih sanak saudara yang ditinggalkan, apakah itu ayah atau
ibunya, kakek atau neneknya atau juga anak-anaknya.
Maka dari itu, di tiap-tiap masyarakat dibutuhkan suatu peraturan hukum yang
mengatur bagaimana cara kepentingan-kepentingan dalam masyarakat itu dapat
diselamatkan, agar masyarakat itu sendiri dapat diselamatkan juga selaku tujuan dari
segala hukum
Jadi dapat ditarik kesimpulan dari pengertian warisan, yaitu suatu cara
penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat, yang melahirkan
sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari meninggalnya seorang manusia.12
Sebagaimana diketahui, hukum kita masih tetap dihinggapi ciri dualisme :
hukum adat (tidak tertulis) untuk golongan pribumi, hukum kodifikasi (Burgerlijk
Wetboek dan Wetboek Van Koophandel) untuk golongan non pribumi.13
Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau
kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan, oleh karena sistem garis
12
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Pt Rineka Cipta, Mei 1991, halaman 1.
13
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem sosial suku-suku
bangsa atau kelommpok-kelompok etnik.14
1. Pengawas atau pemelihara harta peninggalan menggantikan kedudukan suami yang telah meninggal guna menjaga kepentingan ahli waris
Sistem Pewarisan yang ada pada masyarakat adat Batak Karo adalah sistem
Pewarisan Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak,
dimana kedudukan pria lebih banyak pengaruhnya dari kedudukan wanita didalam
pewarisan.
Apabila harta pusaka diberikan kepada anak perempuan yang telah menikah,
hal tersebut hanya dapat dipakai selama dia hidup dan tak bisa dijual oleh nya.
Setelah dia meninggal maka harta pusaka tersebut harus dikembalikan kepada marga
asal yang menyerahkannya. Hal ini disebabkan karena harta pusaka tersebut harus
tetap menjadi milik marga asal yang mengusai, sehingga tidak terjadi pergantian
marga terhadap harta pusaka tersebut.
Menurut Hukum Waris Batak Karo, Hak menikmati merupakan hak
satu-satunya dari janda terhadap harta warisan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap warisan
di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Medan, khususnya mengenai Batak Karo,
diperoleh data sebagai berikut :
Janda hanya berfungsi sebagai :
14
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
2. Selama janda masih hidup dia berhak menguasai dan menikmati harta-harta tersebut serta berhak atas hasil dan keuntungannya yang timbul dari padanya.
3. Sifat pengawas dan penikmatan tadi tidak boleh mengurangi atau memisahkan maupun menjual harta-harta tersebut.15
Penjualan hanya dapat dilakukan jika telah mendapat persetujuan dari anak
beru, senina, dan kalimbubu dalam batas keperluan :
1. Untuk biaya penguburan mayat almarhum suaminya
2. biaya untuk memperbaiki rumah dan belakangan ini juga dibenarkan
untuk kepentingan pengobatan dan pendidikan anaak-anak.
3. untuk biaya perkawinan anak laki-laki.
4. Untuk keperluan hidupnya serta anak-anaknya.
Akan tetapi perlu diingat, (bahwa) pengawasan dan penikmatan itu akan
tanggal dengan sendirinya apabila janda itu telah cerai dari keluarga suaminya
atau janda tersebut melakukan perkawinan dengan laki-laki lain di luar
keluarga mendiang suaminya.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa janda bukanlah ahli waris
bagi suaminya di kalangan masyarakat Batak Karo yang Partrinineal murni.16
15
Penelitian Mahkamah Agung tahun 1979 terhadap warisan diwilayah hukum Pengadilan Tinggi Medan.
16
Soerjono Sokanto & Yusuf Usman, Op. cit, halaman 25 dan 26.
Beberapa keputusan Mahkamah Agung telah menetapkan mengubah
ketentuan ahli waris menurut hukum adat, khususnya anak dan janda. Misalnya
keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961, tanggal 23-10-1961, yang
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Berdasarkan selain rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, juga atas
hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan
mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh
Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal
waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak
laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.
Berhubungan dengan itu maka juga di tanah Karo, seorang anak perempuan
harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta
warisan dari orang tuanya.
Juga keputusan Mahkamah Agung No. 100 K/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968,
yang menyatakan bahwa :
Karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju ke arah
persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai
ahli waris telah merupakan yurisprudensi yang dianut oleh Mahkamah
Agung..
Pembagian warisan dalam hukum adat bisa terjadi pada saat hidupnya si
pewaris (yang mewariskan).17
Laporan Negara-negara peserta Konvensi harus mencantumkan komentar mengenai aturan hukum atau adat/kebiasaan yang berkaitan dengan hukum kewarisan, karena hal ini berpengaruh pada kedudukan perempuan seperti Hal ini sangat bagus untuk menghindari pertentangan
dan pertikaian dalam keluarga.
17
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
ditentukan dalam Konvensi dan Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial 884D (XXXIV), di mana Dewan memberikan rekomendasi bahwa Negara menjamin bahwa laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan yang setingkat terhadap orang yang meninggal berhak mendapat bagian yang sama dalam hal pemilikan atas tanah dan tingkat urutan pewarisan (equal rank in the order of succession).18
Masyarakat Indonesia memang sedang dalam proses menuju ke suatu sistem keturunan yang berdasarkan kesederajatan, keseimbangan dan kemitrasejajaran antara pria dengan wanita, karena adanya perubahan sosial, dalam arti bahwa ada faktor –faktor yang mempengaruhi perubahan keturunan unilateral menuju ke arah Bilateral. Di samping juga dikemukakan beberapa contoh Yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengarah ke Bilateral.19
Penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Hal ini membuat pelaksana hukum waris adat pada masyarakat Batak Karo
menjadi simpang siur akibat tidak terdapat kepastian hukum dalam masyarakat itu
sendiri.
20
Allotts menyatakan, bahwa hukum tidak akan
bekerja dengan baik jika tidak sesuai dengan konteks sosialnya. Allotts menjelaskan
bahwa ”penyesuaian hukum untuk merubah kondisi-kondisi sosial adalah bagian
kerjaan dari kerjanya melalui penegasan kembali batasan-batasan instrumen yang
sah”.21
18
Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan UU No.7 Tahun 1984
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007, halaman 297 dan 298. 19
Penyunting: Tapi Omas Ihromi, Sulistyowati Irianto, Archie Sudiarti Luhulima, Penhapusan
Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung, Alumni, 2006, halaman 115.
20
Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta, PT. Citra Aditya Bakti, 1993, halaman 1.
21
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Pemerintah dan ahli hukum adat seperti Koesnoe dan Imam Sudiyat berpendapat bahwa paham kodifikasi dan unifikasi itu tidak dapat dianut di Indonesia karena paham tersebut berpangkal pada paham legisme yang di Indonesia tidak memiliki akar. Paham legisme adalah paham yang mengatakan bahwa UU atau hukum tertulis merupakan satu-satunya sumber hukum. Dengan kata lain, paham kodifikasi dan unifikasi bertendensi menbunuh hukum adat yang secara riil masih banyak yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat Indonesia.22
Donald Black mengatakan bahwa hukum dapat dilihat sebagaimana layaknya hal lain dalam dunia empiris. Adalah hal penting untuk mendapatkan kejelasan bahwa dari sudut pandang sosiologi, hukum terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dapat diamati, bukanlah terdiri dari perbuatan-perbuatan-perbuatan-perbuatan sebagaimana konsep peraturan atau norma yang digunakan baik dalam literatur yurisprudensi (ilmu hukum) maupun dalam bahasa hukum sehari-hari. Dari sudut pandang sosiologi, hukum bukanlah apa yang para ahli hukum pandang sebagai peraturan-peraturan yang mengikat dan wajib dilaksanakan, tetapi lebih-sebagai contoh-merupakan kecondongan-kecondongan yang dapat diamati dari para hakim, anggota polisi, jaksa/penuntut umum atau pejabat administrasi.23
Eugen Ehrlich (1862-1922) mengatakan bahwa pada waktu sekarang, seperti
juga pada waktu yang lain, pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak pada ilmu
hukum, juga perundang-undangan, juga tidak pada keputusan hakim, tetapi dalam
masyarakat itu sendiri.24
Roscoe Pound mengatakan bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu alat pengendali sosial (social control), bahkan hukum selalu menghadapi pertentagan dari kepentingan-kepentingan. Kecuali, dia berusaha untuk menyusun suatu kerangka dari nilai-nilai dalam masyarakat yang harus dipertahankan oleh hukum di dalam menghadapi pertentangan dari kepentingan-kepentingan.25
22
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, 1999, halaman 36.
23
Soleman B. Taneko, Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat,Jakarta,raja Grafindo Persada, 1993, halaman 21.
24
http : //www.pta-palangkaraya.net/data/mengajarkan-keteraturan.pdf 25
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
2. Konsepsi
Untuk melihat sejauh mana keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961,
tanggal 23-10-1961 (tentang anak perempuan sebagai ahli waris yang sama
kedudukannya dengan anak laki-laki) dan keputusan Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 100 K/Sip/1967 tanggal 14 Juni 1968 (janda sebagi
ahli waris) berlaku dalam masyarakat adat Batak Karo, maka haruslah dilakukan
penelitian terhadap masyarakat adat Batak Karo itu sendiri.
Tetapi sebelum melakukan penelitian maka haruslah ditarik kesimpulan tentang
pengertian-pengertian dasar dari perumusan masalah yang ada, antara lain adalah :
Menurut Iman Sudiyat, dinyatakan : dasar berlakunya hukum adat yang
berasal dari zaman kolonial Belanda pada masa sekarang masih berlaku adalah
ketentuan pasal 131 ayat 2 sub b I.S yang menyatakan bagi golongan hukum
Indonesia asli dan golongan Timur Asing berlaku hukum adat.26
Menurut Djaren Saragih, hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada peraturan keadilan rakyat yang selalu berkembang yang meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, senantiasa ditaati dan dihormati oleh masyarakat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).27
Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tak terwujud
benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.28
26
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung, Alfabeta, 2008, halaman 4
27
Ibid, halaman 23. 28
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Hukum Waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri dengan pihak ketiga.29
Hukum Waris Adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum
yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/ perpindahan
harta-kekayaan materiil dan non matteriil dari generasi ke generasi.
30
Pada hakekatnya subjek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris
adalah seorang yang meninggalkan harta warisan sedangkan ahli waris adalah
seorang atau beberapa orang yang menerima harta warisan.31
Pada umumnya para waris adalah anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir hidup; tetapi tidak semua anak adalah ahli waris, kemungkinan para waris lainnya seperti para waris lainnya seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris balu, waris kemenakan, dan para waris pengganti seperti cucu, ayah-ibu, kakek-nenek, waris anggota kerabat dan
Dalam masyarakat
Batak Karo yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki saja.
Menurut Hilman Hadikusuma, Para Waris adalah :
“Semua orang yang (akan) menerima penerusan atau pembagian warisan baik ia sebagai ahli waris yaitu orang yang berhak mewarisi maupun yang bukan ahli waris tetapi mendapat warisan. Jadi ada waris yang ahli waris dan ada waris yang bukan ahli waris. Batas antara keduanya sukar ditarik garis pemisah, oleh karena ada yang ahli waris di suatu daerah sedang di daerah lain ia hanya waris, begitu pula ada yang di suatu daerah sebagai waris tetapi tidak mewarisi sedangkan di daerah lain ia mendapat warisan.
29
A. Pitlo, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Menurut KUHPerdata, Jakarta, PT. Bina Aksara, 1984, halaman 7.
30
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta, Liberty Yogyakata, 1981, halaman 151.
31
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
waris lainnya. Kemudian berhak tidaknya para waris tersebut dipengaruhi oleh sistem kekerabatan bersangkutan dan mungkin juga karena pengaruh agama, sehingga antara daerah yang satu dan yang lain terdapat perbedaan.”32
Janda adalah wanita yang tidak bersuami lagi, baik karena bercerai maupun
ditingga l mati suaminya.
33
Marga atau beru adalah suatu nama yang diwariskan secara turun-temurun
berdasarkan garis keturunan ayah menurut garis lurus keatas maupun kebawah
Janda menurut hukum waris adat Batak Karo bukan ahli
waris terhadap harta peninggalan suaminya.
Sedangkan pada prinsipnya yang merupakan obyek hukum waris pada Batak
Karo dapat di bagi dua (2) bagian, yairu : immateriel dan materiel
Obyek hukum waris immateriel pada masyarkat Batak Karo adalah berupa
marga pada anak laki-laki dan beru pada anak perempuan.
34
atau
kelompok unilinear yang terbesar yang membagi masyarakat Karo atas lima golongan
besar masing-masing tidak merasa terpaut dengan atau berasal dari yang lain di dalam
asal-usul.35
a. marga atau beru Karo-karo
Dalam Masyarakat Batak Karo mempunyai lima induk marga atau beru, yaitu :
b. marga atau beru Ginting
c. marga atau beru Tarigan
32
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citr Aditya Bakti, 2003, halaman 67
33
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2007, halaman 193. 34
Darwan Prints dan Darwin Prints, Sejarah Dan Kebudayaan Karo, Jakarta, CV. Irma, 1985, hlm 31.
35
M.D. Mansoer CS, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
d. marga atau beru Sembiring
e. marga atau beru Perangin-angin
Kelima marga atau beru masih mempunyai cabang-cabang, yaitu terdiri dari
83 cabang marga atau beru. Untuk lebih jelasnya saya menurunkan dibawah ini
cabang-cabang marga atau beru tersebut adalah sebagai berikut :
a. Merga Karokaro dan cabang-cabangnya
1. Karokaro Sinulingga di Lingga, Bintang Meriah, dan Gunung Merlawan. 2. Karokaro Surbakti di Surbakti dan Gajah.
3. Karokaro Kacaribu di Kutagerat dan Kerapat
4. Karokaro Sinukaban di Pernantin, Kabantua, Bintang Meriah, Buluh Naman, dan L. Lingga.
5. Karokaro Barus di Barus Jahe, Pitu Kuta. 6. Karokaro Simbulan di Bulanjulu dan Bulanjahe.
7. Karokaro Jung di Kutanangka, Kalang, Perbesi, dan Batukarang. 8. Karokaro Purba di Kabanjahe, Berastagi, dan Lau Cih (Deli Hulu). 9. Karokaro Ketaren di Raya, Ketaren Sibolangit, dan Pertampilen. 10.Karokaro Gurusinga di Gurusinga dan Rajaberneh.
11.Karokaro Kaban di Kaban dan Sumbul. 12.Karokaro Sinuhaji di Ajisiempat. 13.Karokaro Sekali di Seberaya. 14.Karokaro Kemit di Kuta Bale.
15.Karokaro Bukit di Bukit dan Buluh Awar.
16.Karokaro Sinuraya di Bunuraya, Singgamanik, dan Kandibata. 17.Karokaro Samura di Samura.
18.Karokaro Sitepu di Naman dan Sukanalu
b. Merga Ginting dan cabang-cabangnya
1. Ginting Suka di Suka, Linggajulu, Naman, dan Berastepu. 2. Ginting Babo di Gurubenua, Munte, dan Kutagerat. 3. Ginting Sugihen di Sugihen, Juhar, dan Kutagunung.
4. Ginting Gurupatih di Buluh Naman, Sarimunte, Naga, dan Lau Kapur. 5. Ginting Ajartambun di Rajamerahe.
6. Ginting Capah di Bukit dan Kalang. 7. Ginting Beras di Laupetundal.
8. Ginting Garamata di (Simarmata) Raja Tengah, Tengging. 9. Ginting Jadibata di Juhar.
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
11.Ginting Manik di Tengging dan Lingga. 12.Ginting Sinusinga di Singa.
13.Ginting Jawak di Cingkes 14.Ginting Seragih di Lingga Julu.
15.Ginting Tumangger di Kidupen dan Kemkem. 16.Ginting Pase
c. Merga Tarigan dan Cabang-cabangnya
1. Tarigan Sibero di Juhar, Kutaraja, Keriahen, Munte, Tanjung Beringin, Selakar, dan Lingga.
2. Tarigan Tua di Pergendangen. 3. Tarigan Silangit di Gunung Meriah.
4. Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu. 5. Tarigan Tegur di Suka.
6. Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Berastepu. 7. Tarigan Gerneng di Cingkes (Simalungun). 8. Tarigan Gana-gana di Batukarang.
9. Tarigan Jampang di Pergendangen.
10.Tarigan Tambun di Rakutbesi, Binangara, Sinaman dll. 11.Tarigan Bondong di Lingga.
12.Tarigan Pekan (Cabang dari Tambak) di Sukanalu 13.Tarigan Purba di Purba (Simalungun)
d. Merga Sembiring dan Cabang-cabangnya
I. Sembiring Siman biang (Tidak biasa kawin campur darah dengan cabang Sembiring lainnya, artinya: tidak diperbolehkan perkawinan dengan sesama merga Sembiring).
1. Sembiring Kembaren di Samperaya dan hampir di seluruh urung Liang Melas.
2. Sembiring Sinulaki di Silalahi. 3. Sembiring Keloko di Pergendangen.
4. Sembiring Sinupayung di Juma Raja dan Negeri
II. Sembiring Simantangken biang (ada dilakukan perkawinan antara cabang merga Sembiring)
1. Sembiring Colia di Kubucolia dan Seberaya.
2. Sembiring Pandia di Seberaya, Payung, dan Beganding. 3. Sembiring Gurukinayan di Gurukinayan.
4. Sembiring Berahmana di Kabanjahe, Perbesi, dan Limang.
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
6. Sembiring Pande Bayang di Buluh Naman dan Gurusinga. 7. Sembiring Tekang di Kaban.
8. Sembiring Muham di Susuk dan Perbesi.
9. Sembiring Depari di Seberaya, Perbesi, dan Munte.
10.Sembiring Pelawi di Ajijahe, Perbaji, Kandibata, dan Hamparan Perak (Deli).
11.Sembiring Busuk di Kidupen dan Lau Perimbon.
12.Sembiring Sinukapar di Pertumbuken, Sidikalang, Sarintono. 13.Sembiring Keling di Juhar dan Rajatengah.
14.Sembiring Bunuh Aji di Sukatepu, Kutatonggal, dan Beganding
e. Merga Peranginangin dan cabang-cabangnya 1. Peranginangin Namohaji di Kutabuluh. 2. Peranginangin Sukatendel di Sukatendel. 3. Peranginangin Mano di Pergendangen.
4. Peranginangin Sebayang di Perbesi, Kuala, gunung dan Kuta Gerat. 5. Peranginangin Pencawan di Perbesi.
6. Peranginangin Sinurat di Kerenda. 7. Peranginangin Perbesi di Seberaya. 8. Peranginangin Ulunjandi di Juhar. 9. Peranginangin Penggarus di Susuk.
10.Peranginangin Pinem di Serintono (Sidikalang). 11.Peranginangin Uwir di Singgamanik.
12.Peranginangin Laksa di Juhar.
13.Peranginangin Singarimbun di Mardinding , Kutambaru dan Temburun. 14.Peranginangin Keliat di Mardinding.
15.Peranginangin Kacinambun di Kacinambun. 16.Peranginangin Bangun di Batukarang.
17.Peranginangin Tanjung di Penampen dan Berastepu. 18.Peranginangin Benjerang di Batukarang
Sebagian dari marga Peranginangin dan Sembiring dapat kawin sesamanya (antar cabang merga).
Ada pula merga yang melakukan Sejandi yaitu perjanjian tidak saling mengambil atau tidak mengadakan perkawinan antar merga bersangkutan, misalnya : antara Sembiring Tekang dengan Karokaro Sinulingga dan antara Karokaro Sitepu dengan Peranginangin Sebayang.36
36
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Sedangkan obyek hukum waris materiel adalah harta keluarga itu. Harta
keluarga itu dapat berupa :
a. Harta Peninggalan adalah harta warisan yang belum dibagi atau tidak
terbagi-bagi dikarenakan salah seorang pewaris masih hidup. Misalnya
harta peniggalan ayah yang telah wafat yang masih dikuasai ibu yang
masih hidup.37
b. Harta Pusaka adalah suatu benda yang tergolong kekayaan di mana benda
tersebut dianggap mempunyai kekuatan magis38 atau harta benda
peninggalan baik benda bergerak maupun benda tetap.39
c. Harta gono gini adalah harta bersama yang diperoleh suami isteri selama
perkawinan berlangsung.40
d. Harta bawaan adalah harta benda atau barang-barang tertentu yang dibawa
baik oleh suami atau isteri pada waktu kawin.
Harta gono gini dapat disamakan
pengertiannya dengan harta perkawinan atau harta pencaharian selama
perkawinan.
41
e. Harta pemberian adalah harta kekayaan yang didapat suami isteri secara
bersama atau perseorangan yang berasal dari pemberian orang lain.
Pemberian itu dapat berupa pemberian hadiah atau hibah atau hibah
wasiat.42
37
H. Hilman Hadikusuma, Op.cit, halaman 11. 38
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Op.cit, halaman 305. 39
Sudarsono, Op.cit, halaman 161. 40
Sudarsono, Op.cit, halaman 149. 41
Sudarsono, Op.cit, halaman 160. 42
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Berdasarkan penilaian masyarakat Karo sendiri (Seminar Adat Istiadat Karo
1977:1-2), ciri-ciri pribadi orang Karo itu adalah jujur dan berani, tabah, sopan santun
beradat, suka menolong dan mengetahui harga diri. Khusus untuk yang trakhir ini,
harga diri merupakan yang utama. Kalau orang berbuat baik terhadapnya, dia bisa
lebih baik lagi. Sebagai pribadi, termasuk ke dalam pribadi yang bersifat sedikit
tempramental, terbuka, jujur, tidak mau mengganggu, namun kalau diganggu, akan
diingatnya sampai lama (pendendam). Satu prinsip hidup masyarakat Karo adalah
seperti yang tertulis dalam Surat Ukat (surat sendok adalah tulisan yang dituliskan
pada sendok nasi yang terbuat dari sepotong bambu). Di sendok tersebut dituliskan
kata er-endi enta (memberi dan meminta), sifat er-endi enta ini, berbalas; tidak hanya
memberi atau meminta saja, tetapi pelaksanaan memberi dan meminta ini harus pada
tempatnya. Bila seseorang memberi sesuatu kepada kita, maka kita juga harus
membalasnya dengan memberikan sesuatu juga kepada orang tersebut. Soal nilai dari
barang yang kita berikan itu tidak senilai dengan yang diberikan seseorang, itu tidak
dipersoalkan.
Arti lainnya yang terkandung di dalam prinsip memberi dan meminta ini,
adalah berkaitan dengan rahasia, dan harga diri seseorang. Bila seseorang lebih sering
meminta dari pada memberi, maka orang tersebut dinilai sebagai pengemis,
sedangkan bila lebih banyak memberinya, akan dinilai sebagai dermawan. Sebagai
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
dirinya. Namun bila menerima selalu, orang akan dapat menakar harga dirinya.
Dalam masyarakat Karo lama yang ditekankan sekali lebih baik memberi daripada
meminta.
Prinsip hidup lain tercermin dalam ungkapan berikut ini keri gia lau pola e,
gelah i sangketken kitangna (walaupun air nira itu telah habis diminum, tidak
masalah, asal tempat air nira itu di simpan kembali pada tempatnya). Ungkapan ini menjelaskan sifat individu Karo dalam bentuk lain. Bagi individu Karo cara sangat penting. Kalau caranya tidak benar, dia akan marah sekali, makanya individu Karo kerapkali bertengkar, bahkan sampai membunuh lawannya bertengkar, hanya gara-gara harga dirinya merasa direndahkan. Namun kalau caranya benar, dia tidak akan mempermasalahkannya.43
1. Sifat Penelitian Dan Metode Pendekatan
G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu :
Menggambarkan perkembangan Hukum Waris Adat yang ada pada masyakat Batak
Karo serta menganalisis masalah-masalah yang timbul yang berhubungan dengan hal
tersebut secara terperinci dan kritis selanjutnya mencoba menarik kesimpulan dan
memberikan masukan-masukan berupa saran.
Bahan-bahan penelitian ini akan diperoleh secara kusioner atau angket, yaitu
sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hak yang ia ketahui.44
43
http://library.usu.ac.id/download/fs/bhsindonesia-pertampilan2.pdf 44
Theresia Dewita Sinuraya, Perkembangan Hukum Waris Adat : Studi Mengenal
Emansipasi Wanita Batak Karo Dalam Pembagian Harta Warisan Di Kabupaten Karo, 2005, Medan,
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Untuk memperkuat bahan-bahan penelitian ini maka dilakukan wawancara
kepada Camat, Kepala Desa, Kepala Lingkungan dan masyarakat pada Kecamatan
Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.
Ditinjau dari sudut tujuan penelitian maka penelitian ini menggunakan
metode yuridis sosiologis (empiris). Yuridis sosiologis (empiris) berarti penelitian ini
mempelajari bahan pustaka dan data yang terdapat dari hasil wawancara dan
dibandingkan Undang-undang yang sedang berlaku sekarang.
2. Lokasi Penelitian
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh
bahan-bahan bagi pembangunan nasional menuju kearah unifikasi hukum yang
terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.45
Salah satu inti dari unsur-unsur hukum adat guna pembinaan hukum waris
nasional adalah hukum waris adat.
Untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan nasional menuju kearah
unifikasi hukum yang terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan
perundang-undangan itu perlu diketengahkan dengan cara melakukan penelitian
kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan.
46
45
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), seminar hukum adat dan pembinaan hukum
nasional, 14 s/d 17 Januari 1975 di Yogyakarta.
46
H. Hilman Hadikusuma, Op. cit, halaman 1
Oleh karenanya si penulis melakukan penelitian
kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan terutama pada masyarakat
Batak Karo yang berada pada Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
3. Populasi dan Sampel, Responden Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang ditentukan di atas, maka yang
ditetapkan sebagai populasi dalam melakukan penelitian ini adalah seluruh
masyarakat Batak Karo yang dianggap mempunyai pengetahuan tentang pokok
permasalahan dalam tesis ini.
Hal ini dilakukan untuk melihat pengertian harta warisan dan unsur-unsur ahli
waris dalam pembagian warisan pada masyarakat Batak Karo.
Pada Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara terdapat
9 desa, maka dalam penelitian ini penulis meneliti 3 desa saja dan setiap desa diwakili
oleh 12 keluarga dimana yang akan diwawancarai adalah keluarga yang telah
melakukan pembagian warisan, dengan menggunakan metode random atau acak. Hal
ini dilakukan mengingat pada dasarnya sifat seluruh populasi relatif homogen ditinjau
dari kepentingan penelitian.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapat data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan
ilmiah, maupun tentang suatu fakta atau gagasan, maka pengumpulan data dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan (Library research) yaitu menghimpun data dengan
melakukan penelaahan bahan kepustakaan baik berupa dokumen-dokumen,
maupun Peraturan Perundang-undangan, yang berkaitan dengan hukum waris
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
b. Studi Lapangan (Field Research) yaitu untuk melakukan wawancara dengan
masyarakat dan pemerintah yang berada dalam Kecamatan Medan Baru,
Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara.
5. Alat Pengumpulan Data
a. Studi Dokumen, untuk mengumpulkan data skunder guna dipelajari kaitannya
dengan permasalahan yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari
buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan
yang ada kaitannya dengan hukum waris adat pada masyarakat Batak Karo.
b. Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan yang
telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka),
yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis.
c. Tujuannya agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan
punya kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang
ada di lapangan.
6. Analisis Data
Dari hasil pengumpulan data primer dan data sekunder sesuai dengan yang
diharapkan, maka untuk mengetahui data yang akurat, dilakukan pemeriksaan dan
pengelompokan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah dibaca
dan dimengerti. Selanjutnya dilakukan klasifikasi data menurut jenisnya dalam
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi
Kemudian data yang telah disusun secara sistematik dalam bentuk persentase
dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis sehingga dapat diperoleh
gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam
pelaksanaan warisan di Kecamatan Merdeka Kabupatan Karo.
Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode
Frans Cory Melando Ginting : Perkembangan H ukum W aris Adat Pada Mas yarak at Adat Batak Karo (Studi BAB II
PERKEMBANGAN UNSUR-UNSUR AHLI WARIS PADA MASYARAKAT BATAK KARO DI KECAMATAN MERDEKA, KABUPATEN KARO,
PROVINSI SUMATERA UTARA
A. Ahli Waris Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo
Pada hakekatnya subyek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris
adalah seorang yang meninggalkan harta warisan, sedangkan ahli waris adalah
seorang atau beberapa orang yang merupakan penerima harta warisan.47
Soerjono Wignjodippoero, memberi istilah ahli waris, yang pengertiannya
adalah : “Seseorang atau beberapa orang yang berhak menerima kekayaan yang
ditinggalkan.
Pada
umumnya mereka yang menjadi ahli waris adalah mereka yang menjadi besar dan
hidup sangat dekat dengan si peninggal harta warisan tersebut. Pada dasarnya yang
menjadi ahli waris adalah anak-anak dari si peninggal harta.
48
Istilah diatas dipakai juga oleh Ali Afandi, yang menyatakan : “Ahli waris
adalah orang yang menggantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan,
baik untuk seluruhnya, maupun untuk sebagian tertentu.”49
47
Soerjono Sokanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Raja grafindo persada, 2008, halaman 262
48
Wignjodipoero Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1995, halaman 13
49