• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monolog Kesunyian dalam Sajak Manusia Pe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Monolog Kesunyian dalam Sajak Manusia Pe"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Monolog Kesunyian dalam Sajak Manusia Pertama Di Angkasa

Luar

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Telaah Puisi

Disusun Oleh :

Adelia Savitri

121011003 – Kelas A

Program Studi Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Airlangga

Surabaya

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” karya Subagio Sastrowardoyo ini terdapat di dalam antologi puisi yang berjudul “Dan Kematian Makin Akrab”. Dalam buku “Dan Kematian Makin Akrab” ini dimuat seratus sajak. Sebagian besar telah pernah dibukukan dalam kumpulan, kemudian dipilih lagi oleh Subagio untuk diterbitkan dalam kumpulan antologi ini. Sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” misalnya, pernah diterbitkan dalam kumpulan “Daerah Perbatasan” pada tahun 1970. Pada kumpulan tersebut memuat dua puluh delapan sajak, tetapi dalam kumpulan “Dan Kematian Makin Akrab” hanya dimunculkan sembilan belas sajak.

Dalam sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar”, pembangunan suasana yang dialami penyair untuk disampaikan dan turut dirasakan oleh pembaca begitu kuat. Dalam sajak ini, penyair mencoba berbicara dengan dirinya sendiri yang merasakan kesunyian dan kepasrahan. Cara penyair membangun bangunan suasana tersebut tentunya dipengaruhi oleh proses kreatifnya yang berdampak pada kecenderungan penyair untuk membangun suasana dalam sajaknya. Dalam menciptakan sajak demi tercapainya tujuan tersebut, penyair menggunakan berbagai cara dengan pemanfaatan Licencia poetica atau kewenangan penuh seorang penyair atas kata-kata untuk dimanfaatkan dalam penciptaan makna yang menimbulkan bekasan estetik dalam pikiran pembaca.

Penyair mempunyai cara yang bermacam-macam untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan yang hendak ia tuangkan di dalam sajak. Dalam teori

(3)

bagus dari teks sebelumnya dan diolah kembali berdasarkan kreatifitas konsep dan gagasan penyair. Sehingga tercipta sebuah karya yang baru. Teks dalam hal ini dapat juga diterjemahkan sebagai suatu realita (konteks), tidak hanya teks yang berupa tulisan. Sehingga dalam penelaahan sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” ini, akan cenderung mengaitkan sajak tersebut dengan konteks yang terdapat korelasi yang cukup erat.

Dalam sajak “ Manusia Pertama Di Angkasa Luar” terdapat pula dual sign yang berarti memiliki makna rangkap atau ganda. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Riffatere bahwa dalam sebuah karya sastra terdapat suatu tanda yang memungkinkan untuk mengacu pada tanda-tanda yang lain. Dual Sign dalam sajak ini akan diulas lebih mendalam pada bab pembahasan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Suasana yang seperti apakah yang dibangun penyair dalam sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar”?

2. Bagaimanakah penyair mengungkapkan perasaannya melalui ketidaklangsungan ekspresi?

3. Bagaimana intertekstualitas dalam sajak tersebut?

4. Dual Sign yang seperti apakah yang diciptakan penyair dalam sajaknya?

1.3. Manfaat dan Tujuan

1. Memahami suasana dalam struktur batin puisi “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” yang dibangun oleh penyair.

2. Mengetahui cara penyair mengungkapkan persaannya dalam ketidaklangsungan ekspresi.

3. Mengetahui intertekstualitas sajak tersebut dengan teks lain.

4. Memahami dual sign yang ditimbulkan dari sajak tersebut.

BAB II

(4)

2.1. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan kegiatan telaah puisi, maka diperlukan beberapa buku sebagai referensi untuk memperkuat pertanggungjawaban data yang diutarakan. Proses untuk menentukan buku-buku (pustaka) apa yang sesuai dengan hal yang akan ditelaah, turut mempengaruhi hasil penelaahan. Pustaka yang digunakan dalam makalah ini pada umumnya adalah beberapa buku teori dan pengkajian puisi.

Buku yang berjudul “Pengkajian Puisi” karangan Rachmat Djoko Pradopo memuat hal-hal yang diperlukan sebagai acuan penulisan. Terutama kaitannya dengan teori semiotic of poetry dalam hal ketidaklangsungan ekspresi dan intertekstualitas dalam sebuah puisi. Kedua hal tersebut sesuai dengan rumusan masalah yang hendak dikaji dalam makalah ini.

Selain buku “Pengkajian Puisi”, penulis juga menggunakan buku “Analisis Sajak : Teori, Metodologi dan Aplikasi” karangan Atmazaki. Buku ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana proses penerapan teori untuk mengkaji sebuah sajak.

Buku yang berjudul “Proses Kreatif : Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang” berisi tulisan-tulisan yang merupakan ungkapan pribadi beberapa sastrawan seperti : S. Takdir Alisjahbana, Subagio Sastrowardoyo, A.A. Nafis, Trisnoyuwono, Wildan Yatim, Nh. Dini, Budi Darma, Ajip Rosidi, Putu Wijaya, Julius R. Siyaranamual, dan Arswendo Atmowiloto. Dalam buku ini, para sastrawan tersebut menuliskan proses kreatifnya masing-masing dalam melahirkan sebuah karya. Hal ini dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana proses terciptanya sebuah karya (terutama pada bagian yang ditulis Subagio Sastrowardoyo).

(5)

2.2. Landasan Teori

Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Penyair tentu mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin menyindir, menasehati, menggurui, atau hanya bersikap ingin menceritakan sesuatu pada pembaca. Secara umum, di dalam puisi terdapat unsur-unsur yang membangun suatu makna yang hendak disampaikan penyair terhadap pembaca. Unsur-unsur tersebut tersusun dalam struktur fisik dan batin di dalam suatu puisi. Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya, kami akan mengkaji sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” dari segi struktur batinnya, yaitu pada aspek nada dan suasana yang diungkapkan dalam sajak ini.

Menurut Herman J. Waluyo, nada puisi merupakan sikap penyair terhadap pembaca, sedangkan suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Jika kita bicara tentang sikap penyair , maka kita berbicara tentang nada, jika kita berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi, maka kita berbicara pada suasana. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya (1987 : 125).

Selain dapat dikaji melalui struktur batinnya, puisi juga dapat dikaji dengan pendekatan semiotika Riffatere. Dalam bukunya Semiotics of Poetry, Riffatere mengungkapkan bahwa bahasa adalah tanda, dan sastra menggunakan bahasa sebagai media. Teori semiotika Riffatere mengkaji suatu karya sastra dalam empat pemikiran, yaitu : ketidaklangsungan ekspresi; pembacaan heuristik dan hermeneutik; matriks,model,dan varian; dan intertekstualitas. Dalam ketidaklangsungan ekspresi terdapat tiga cara penyair untuk mengungkapkan ekspresinya, yaitu : displacing of meaning (penggantian arti), distorting of meaning (penyimpangan atau perusakan arti), dan creating of meaning

(6)

pembaca melakukan pembacaan terhadap teks pertama kalinya. Setelah melalui tahapan pembacaan heuristik, pembaca akan melanjutkan pembacaannya pada pembacaan hermeneutik yaitu membaca dengan cara berulang-ulang untuk mendapatkan pemahaman hingga sampai pada tataran pemaknaan.

Pemikiran yang ketiga adalah mengenai matriks, model, dan varian. Pada proses pembacaan tahap kedua dikenali adanya matriks, model, dan varian-varian. Karya sastra merupakan hasil transformasi matriks, yaitu sebuah kalimat minimal yang harafiah, menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak harafiah. Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur oleh aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama (Riffaterre, 1978:19).

Pemikiran yang keempat adalah mengenai intertekstualitas. Interpretasi secara menyeluruh terhadap karya sastra hanya mungkin dilakukan oleh pembaca melalui interteks. Karya sastra mengandung arti hanya dengan mengacu kepada teks-teks lain (Riffaterre, 1978:149), baik teks secara harafiah maupun teks dalam pengertian universal. Pemaknaan karya sastra bersandar sepenuhnya pada intertekstualitas dan untuk mengenalinya bergantung sepenuhnya pada kemampuan pembaca (Riffaterre, 1978:124).

Dalam teori semiotika Riffatere juga terdapat istilah dual sign. Dual sign

adalah sebuah kata yang bermakna rangkap sebagai hasil perpotongan atau pertemuan dua sekuen semantik atau asosiasi bentuk (Riffaterre, 1978:86). Dalam sebuah penandaan, teks dapat menimbulkan pemaknaan yang lebih dari satu. Hal ini dapat terungkapkan juga lewat judul. Judul dapat juga ditemukan aspek dual sign tersebut.

BAB III

(7)

3.1. Suasana yang Dibangun Dalam Sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Di mana tak berpisah malam dan siang.

Hanya lautan yang hampa dilingkung cemerlang bintang. Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang. Jagat begitu tenang. Tidak lapar

Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah.

Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah. Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota Dan raksasa, peri, dan bidadari. Aku teringat

Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari. Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa

Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku.

Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela

Dengan Alex dan Leo,-- itu anak-anak berandal yang kucinta –

Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap Sekelumit dari pesawatku, seleret dari

Perlawatanku di langit tak berberita.

Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu Kutinggalkan kemarin dulu?

Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita Sebab semua telah terbang bersama kereta ruang ke jagad tak berhuni. Tetapi

ada barangkali. Berilah aku satu kata puisi daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji

yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi Tetapi aku telah sampai pada tepi

Darimana aku tak mungkin lagi kembali. Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku

Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.

Aku makin jauh, makin jauh

(8)

Makin gemuruh.

Bunda, Jangan membiarkan aku sendiri.

Pada landasan teori, telah dibahas definisi nada dan suasana sebagai struktur batin pada puisi. Sajak di atas mengandung suasana kesedihan dalam kesunyian. Dampak psikologis yang dapat ditimbulkan setelah membaca sajak tersebut, adalah merasakan kesedihan yang diungkapkan penyair karena kesendiriannya di angkasa luar. Penyair merasa kesepian karena hanya seorang diri di tengah jagat raya yang begitu luasnya. Suasana kesunyian tersebut membuatnya berbicara pada diri sendiri seperti bermonolog. Penyair menceritakan kerinduannya kepada istri, anak, dan ibunya di rumah. Jarak yang memisahkan mereka seolah begitu jauh :

Bumi tenggelam dan langit makin jauh mengawang

....

Aku makin jauh, makin jauh Dari bumi yang kukasih...

Pembaca mengimajinasikan bahwa penyair terbang membumbung begitu jauh melayang ke angkasa, hingga penyair merasakan kerinduan yang begitu mendalam, tidak ingin berpisah dengan istri, anak-anaknya, dan ibunya. Kemudian penyair bermonolog untuk mengisahkan kerinduannya pada orang-orang yang dia kasihi :

...

Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah.

Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah.

Ketika penyair merasakan kerinduan terhadap orang-orang yang dikasihinya, ia teringat oleh masa lalunya, ketika masih kecil ia masih tidur bersama ibunya membawa buku dongeng. Teringat masa mudanya ketika menjalin cinta dengan istrinya. Teringat anak-anaknya yang jauh ia tinggalkan di bumi. Ingatan-ingatan tersebut diceritakan seolah ia begitu ingin kembali ke masa lalu dan kembali berkumpul bersama ibu, istri, dan anak-anaknya :

...

(9)

Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota Dan raksasa, peri, dan bidadari. Aku teringat

Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari. Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa

Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku.

Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela

Dengan Alex dan Leo,-- itu anak-anak berandal yang kucinta –

...

Kemudian terdapat pula rasa ketidakberdayaan penyair. Ia mengungkapkan rasa kepasrahannya, sehingga menimbulkan suasana kesedihan pada pembaca. Ia mengungkapkan bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, tidak ada yang dapat dicita-citakan lagi. Bahkan jika ada, sudah terlambat dan tidak mungkin untuk mewujudkannya, dan ia sadar bahwa ia tidak dapat mengulangi masa hidupnya di bumi untuk mencapai cita-citanya, karena sudah sampai pada akhir hidup :

Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita Sebab semua telah terbang bersama kereta ruang ke jagad tak berhuni.

...

aku telah sampai pada tepi

Darimana aku tak mungkin lagi kembali ...

3.2. Ekspresi Penyair dalam Sajak

Dalam mengekspresikan perasaannya penyair tidak menggunakan bahasa yang lugas seperti bahasa sehari-hari, melainkan menggunakan beberapa ungkapan yang disebut ketidaklangsungan ekspresi. Pada pembahasan di atas telah dijabarkan suasana batin puisi yang ditimbulkan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, penyair mengutarakan perasaannya yang berupa rasa kesedihan dan kegelisahan.

Penggambaran ekspresi kesedihan dan kegelisahan tersebut dapat diketahui dari kata :

(10)

...

Aku makin jauh, makin jauh

Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi Makin gemuruh

Kata “bisu” adalah sebuah tanda yang mewakili kesunyian. Bisu adalah kata sifat yang memiliki arti tidak dapat menghasilkan suara-suara. Kata “bisu” disandingkan dengan kata “angkasa”. Karena di angkasa memang tidak terdapat suara-suara. Pemilihan kata ini memperkuat gambaran kesunyian. Kemudian pada kata hati makin sepi, makin gemuruh. Kata “gemuruh” disini dapat dimaknai sebagai perasaan kegelisahan penyair dengan kondisi kesendiriannya terpisah jauh dengan keluarganya.

Sajak ini tergabung dalam kumpulan sajak “Dan Kematian Makin Akrab”, di mana sajak-sajak yang dipilih bertemakan cinta dan maut. Hal ini diakui oleh Subagio dalam pengantarnya di awal buku : “Setiap sajak boleh dipandang sebagai catatan pengalaman batinnya dalam menangkap dan merasakan cinta. Tetapi berulangkali kembali pada tema maut, seperti pemberian judul pada buku ini” (1995 : x). Maka, teringat oleh pengantar dalam buku antologi tersebut yang diutarakan Subagio selaku pengarang, dapat mempengaruhi penelaahan terhadap sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” ini. Tema yang diusung adalah tentang kematian (maut). Dalam mengungkapkan hal ini, penyair tidak langsung menggunakan kata “mati” atau “maut” itu sendiri. Melainkan dengan cara : ...

Tetapi aku telah sampai pada tepi

Darimana aku tak mungkin lagi kembali. Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku

Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.

Aku makin jauh, makin jauh

Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi Makin gemuruh.

...

(11)

ketidaklangsungan ekspresi melalui displacing of meaning atau penggantian arti. Sebagai umat beragama, keyakinan terhadap alam akhirat tentu ada. Setiap manusia yang telah menjemput mautnya akan pergi dan tinggal di alam yang selainnya. Setiap orang yang telah menemui mautnya akan merasakan kegelisahan dan kecemasan yang luar biasa. Hal ini terungkapkan lewat kata “Hati makin sepi. Makin gemuruh”. Ketika di alam akhirat, setiap manusia akan menempuh pertanggungjawabannya sendiri-sendiri. Maka penyair mengekspresikannya dengan : Bunda, Jangan membiarkan aku sendiri. Hal ini menggambarkan ketakutan untuk menghadapi masa-masa pertanggungjawaban amal sesudah mati.

3.3. Pengertian “tepi” dan Kaitannya dengan Maut dan Ayat Al-Qur’an Dalam pembahasan sub-bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana penyair mengungkapkan ekspresinya tentang perasaan kesedihan, suasana kesunyian, dan kegelisahan yang dialaminya ketika menghadapi maut. Berkaitan dengan hal ini, terdapat teks Al-Qur’an yang menjelaskan tentang batas antara alam dunia dan akhirat yang dalam sajak ini disebut dengan kata “tepi”. Kemudian ungkapan penyair yang ingin kembali ke dunia (“bumi” dalam sajak). Berikut ini adalah kutipan ayat Al-Qur’an surat : Al-Mukminun ayat 99-100 yang berbunyi :

99. (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia)[1021],

[1021]. Maksudnya: orang-orang kafir di waktu menghadapi sakratul maut, minta supaya diperpanjang umur mereka, agar mereka dapat beriman.

100. agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan[1022].

[1022]. Maksudnya: mereka sekarang telah menghadapi suatu kehidupan baru, yaitu kehidupan dalam kubur, yang membatasi antara dunia dan akhirat.

(12)

sajak ini dengan definisi batasan alam antara dunia dan akhirat yang dijelaskan di Al-Qur’an. Keterhubungan antara perasaan penyair yang mengenang masa lalunya hingga menyebabkan ia ingin kembali lagi ke bumi bersama istri, anak, dan ibunya, ternyata juga dijelaskan di Al-Qur’an bahwa ketika seseorang telah sampai pada batas maut, maka seseorang itu akan menginginkan kembali ke dunia untuk memperbaiki amalnya.

3.4. Antara “Angkasa” dan “Akhirat”

Ulasan pada pembahasan sebelumnya telah menunjukkan penafsiran tentang kata “angkasa” yang dimaknai sebagai “alam akhirat” dan “bumi” yang dimaknai sebagai “alam dunia”. Pemaknaan tersebut dapat ditemukan ketika pembaca melakukan pembacaan mendalam terhadap teks. Namun, sebelum pembaca melakukan pendalaman tersebut, ketika membaca judul dari sajaknya yaitu “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” menimbulkan pemahaman yang beragam terhadap arti kata tersebut (dual sign).

(13)

...

Berilah aku satu kata puisi

daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji

yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih.

Pada bait ini, penyair seolah bercerita bahwa ia tidak peduli lagi pada “seribu rumus ilmu” yang mengacu pada ilmu pengetahuan yang ia tekuni hingga ia menjadi astronout dan dapat terbang ke angkasa luar “yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih”. Karena ia ingin kembali ke keluarganya di bumi. Jadi, makna kata “bumi” dan “angkasa” disini dapat juga dimaknai sebagai “bumi” dan “angkasa luar” yang sebenarnya. Penekanannya tetap fokus pada monolog kesunyian penyair. Hal yang berbeda adalah kesunyian di angkasa luar (yang sebenarnya) dalam keadaan yang masih benar-benar hidup dan rindu ingin pulang ke bumi namun takut tidak bisa kembali. Yang kedua, kesunyian di angkasa (akhirat) alam di luar dunia dalam keadaan terdesak maut dan sudah pasti tidak bisa kembali bersama keluarga yang dikasihi.

Dual Sign ini dapat disebabkan karena teks “Manusia Pertama”, dan pembaca memiliki data sejarah bahwa manusia pertama di angkasa luar adalah Neil Armstrong.

BAB IV

PENUTUP

(14)

Suasana yang terkandung dalam sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” adalah suasana kesunyian, penyair menggambarkannya dengan cara bermonolog sehingga pembaca turut merasakan kesunyian dan kesedihan yang dirasakan. Dalam mengungkapkan perasaannya, penyair menggunakan ketidaklangsungan ekspresi berupa penggantian arti yaitu kata “angkasa” dimaknai sebagai “akhirat” dan kata “bumi” dimaknai sebagai “dunia”. Sajak ini juga memiliki keterhubungan dengan teks Al-Qur’an pada surat Al-Mukminun ayat 99-100. Judul sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” menimbulkan dual sign terhadap pemaknaan kata “angkasa”.

Biografi Singkat Subagio Sastrowardoyo

(15)

sebagai penyair meskipun tulisannya tidak terbatas pada puisi. Nama Subagio Sastrowardoyo dicatat pertama kali dalam peta perpuisian Indonesia ketika kumpulan puisinya Simphoni terbit tahun 1957 di Yogyakarta.Ia ditulis oleh seorang yang tidak memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras, atau kesibukan di luar dirinya. Ia justru suatu perlawanan terhadap gerak, suara keras, serta kesibukan di luar sebab Subagio Sastrowardoyo memilih diam dan memenangkan diam. a meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1996 dalam usia 72 tahun. Pendidikan Subagio dilakukan di berbagai tempat, yaitu HIS di Bandung dan Jakarta. Pendidikan HBS, SMP, dan SMA di Yogyakarta. Pada tahun 1958 berhasil menamatkan studinya di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada dan 1963 meraih gelar master of art (M.A.) dari Department of Comparative Literature, Universitas Yale, Amerika Serikat. Subagio pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia B-1 di Yogyakarta (1954—1958). Ia juga pernah mengajar di almamaternya, Fakultas Sastra, UGM pada tahun 1958— 1961. Pada 1966—1971 ia mengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung . Selanjutnya, tahun 1971—1974 mengajar di Salisbury Teacherrs College, Australia Selatan, dan di Universitas Flinders, Australia Selatan tahun 1974—1981. Selain itu, ia juga pernah bekerja sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982—1984) dan sebagai anggota Kelompok Kerja Sosial Budaya Lemhanas dan Direktur Muda Penerbitan PN Balai Pustaka (1981). Oleh karena itu, ia tidak saja dikenal sebagai penyair, tetapi sekaligus sebagai esais, kritikus sastra, dan cerpenis. Ajip Rosidi yang menggolongkannya ke dalam pengarang periode 1953—1961 menyatakan bahwa selain sebagai penyair, Subagio juga penting dengan prosa dan esai-esainya.

Daftar Pustaka

(16)

Alisjahbana, S. Takdir,dkk. 1983. Proses Kreatif : Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta : PT. Gramedia

Atmazaki. 1993. Analisis Sajak : Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung : Angkasa.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sastrowardoyo, Subagio. 1995. Dan Kematian Makin Akrab. Jakarta : PT> Gramedia Widiasarana Indonesia.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta : Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

Program Tunas Mekar adalah hasil daripada program keusahawanan yang dianjurkan secara bersama oleh ICU-JPM, PPPN dan UiTM di negeri Pulau Pinang telah menampakkan kejayaan

Dalam kes Mohd Hashim bin Mohd Noor v Hamsati bt Samori (2009), Rokiah bt Sali lwn Ahmad Bostamam bin Yaacob (2010), Marziana bt Marzuki lwn Mohd Afandi bin

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa makna peran gender bagi subjek adalah peran gender sesuai konsep laki-laki baru dapat muncul

Pelaksanaan directing ditunjukkan pada kegiatan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang dalam memberikan arahan mengenai sarana yang dibutuhkan untuk implementasi pro-

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik, tingkat partisipasi dan hambatan-hambatan partisipasi anggota kelompok tani bawang putih di Desa Sallu

15 Shaw dkk mendapatkan bahwa donepezil meningkatkan fungsi kognitif, mood , serta kualitas hidup setelah pemberian selama 24 minggu dengan efek toksik yang minimal pada

Upaya kriopreservasi semen lele dumbo terhadap 16 kombinasi perlakuan yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu: persiapan pengenceran semen lele dumbo; pencampuran

Dari analisis aspek pasar, aspek teknik, aspek sosial-ekonomi, serta aspek keuangan dengan penilaian investasi Payback Period (PP), Average Rate of Return(ARR),