• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rabu | 17 Januari 2007 | 9:41 wib |

Bisakah Anda bayangkan ada orang mencuci piring dan gelas dengan menggunakan air sungai yang begitu kotor? Tak usah heran bila kejadian itu telah menjadi semacam rutinitas yang dilakoni warga yang tinggal di salah satu sudut Ibu Kota. Mau melihat sendiri? Sesekali turun ke bantaran Sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta. Untuk menyiasati pekatnya air sungai, seorang ibu yang tinggal di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, bahkan mencoba mencampurkan cairan kimia pemutih baju ke air sungai yang ditimbanya untuk mencuci piring. Sang ibu, tentu saja tidak sadar akan bahaya lain yang mengancam. Sebab, mencampur air sungai yang kotor dengan cairan kimia pemutih baju jelas tindakan yang membahayakan kesehatan.

Lalu, mengapa tidak menggunakan air bersih? Justru di sana pokok masalahnya. Bagi warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung, pertanyaan semacam ini boleh jadi justru terdengar naif. Air bersih harus dibeli. Selain berarti menambah pengeluaran sehari-hari dari pendapatan yang begitu terbatas, bagi mereka, air bersih sudah seperti identik dengan kemewahan. Kalau setiap kali mencuci piring dan peralatan dapur harus membeli air bersih, jelas mereka tak mampu.

Oleh karena itu, memberi pengetahuan dan pemahaman kepada perempuan di bantaran sungai sangat penting untuk dilakukan. Bagaimanapun, perempuan dan anak-anaklah yang menjadi

KOMPAS/ Priyombodo

Aktivitas mandi dan mencuci warga yang tinggal di

bantaran Sungai Ciliwung di Kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan, akhir Desember 2006, ini telah menjadi

pemandangan biasa. Aliran sungai dengan kualitas air yang buruk menjadi pilihan warga miskin akibat minimnya fasilitas MCK umum. Kondisi ini menjadi salah satu faktor

korban utama akibat kotornya sungai-sungai kita. Setiap hari merekalah yang sangat dekat dengan kehidupan sungai. Kaum perempuan itu pula yang lebih banyak bersentuhan dengan sungai kotor itu, lewat aktivitas sehari-hari, seperti mencuci baju dan atau peralatan dapur/makan.

Pada seminar "Perempuan di Bantaran Sungai Ciliwung" medio Desember 2006, salah seorang peserta, Ny Pini—warga Pasar Pintu Air, RT 05 RW 11, Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat—mengeluhkan sampah pasar yang menumpuk di depan rumahnya. Letak sampah yang berada di pinggir sungai sangat rawan jatuh ke sungai. Belum lagi penumpang kereta yang kerap melempar sampah keluar jendela dan jatuh ke sungai.

"Kami minta dibuatkan bak sampah yang besar karena sampah tidak setiap hari diangkut," kata Ny Pini. Jika sampah menumpuk, bau tidak sedap pun akan segera tercium. "Untung saja sampah ikan tidak dibuang di depan rumah saya. Kalau ikut dibuang di situ, wah pasti banyak lalat," tambahnya.

Situasi sama juga dirasakan Ny Mariam, yang tinggal di dekat Kali Lagoa Kanal dan Kali Sindang di Kelurahan Koja, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Karena sampah dari Pasar Sindang menumpuk, tidak jarang belatung pun ada di mana-mana.

Hal semacam ini tentu tidak nyaman dan mengganggu kesehatan warga, terutama kesehatan anak-anak. Belum lagi bau busuk "pulau-pulau" sampah yang membuat Kali Lagoa Kanal mampet.

……….

Sudah enam bulan ini Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Quadrant Utama mendampingi perempuan di bantaran sungai di wilayah Jakarta. Mereka mengadvokasi, melakukan pendampingan, dan memberi penyuluhan mengenai bagaimana menjaga kebersihan sungai. Sejak didampingi, kini sudah tidak ada lagi ibu-ibu yang mencuci piring dengan air sungai yang dicampur dengan cairan kimia pemutih baju. Setidaknya mereka kian sadar akan bahayanya.

"Getok tular"

Menurut Ny Mariam, Ketua RT 08 RW 08, Kelurahan Koja, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, dari 300 perempuan yang ada di dua RW di sana terbentuklah kelompok inti yang terdiri atas 100 perempuan. 100 perempuan di wilayah Koja inilah yang secara intensif mendapatkan pendidikan, pengetahuan, dan makin luas pemahamannya tentang pentingnya fungsi sungai. Karena tidak semua perempuan teradvokasi, para perempuan di kelompok inti melakukan upaya penyebaran informasi kepada rekan dan tetangga-tetangganya dengan cara "getok tular". Mereka, misalnya, memberi masukan kepada ibu-ibu lain agar sebaiknya tidak

membuang sampah dan buang air besar di sungai supaya sungai tidak mampet dan bau busuk. "Tapi ada saja tetangga yang berkomentar negatif saat diberi saran. Seperti mengucapkan kata-kata ’belagu loe’.... Begitulah, mereka belum sepenuhnya sadar," kata Ny Mariam.

Mereka pun diajak untuk membersihkan lingkungan masing-masing, membuang sampah di tempat sampah yang mereka buat bersama, mengajak anak-anak untuk tidak sembarangan membuang sampah.

Hal yang sama juga dilakukan di Kebon Melati, Pintu Air, di Kelurahan Petamburan, di Manggarai, Jatinegara, dan Kampung Melayu. Bahkan, di Pasar Pintu Air, Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, meskipun rumah-rumah yang ada adalah rumah-rumah petak, kini mereka telah memiliki kaleng bak sampah di depan pintu rumah masing-masing. "Anak-anak di sini pun kami larang untuk berenang di sungai karena berbahaya," kata Ny Pini tentang meningkatnya kesadaran para perempuan di bantaran sungai di sana.

Apalagi menjelang banjir tahunan, mereka harus lebih waspada dan tidak lagi membuang sampah seenaknya. "Kami juga melakukan lomba kebersihan di sini," tutur Ny Pini. Mereka yang tinggal di bantaran sungai tak mau mengulang duka saat kebanjiran, saat perabot rumah tangga mereka—seperti kursi, kasur, televisi, dan piring—terendam air dan rusak.

"Kalau sudah begitu, mau tidak mau kami terpaksa mengungsi di pelataran rumah susun sampai air surut kembali. Jadi, kami tidak mau kebanjiran lagi," papar Ny Pini, dan diamini para perempuan tetangganya.

Kesadaran perempuan dan upaya memberdayakan perempuan yang hidup di bantaran sungai harus terus-menerus dibangun agar suatu saat kita bisa benar-benar mendapatkan sungai yang bersih.

Jendela

Kompas, Jumat, 28 Januari 2005

Belajar Bersama, Membebaskan Diri dari Kemiskinan (2)

Berbagai bentuk komunitas pembelajaran yang muncul dalam berbagai jenis organisasi bisa dijumpai di Yogyakarta. Serikat Petani Jamu (SePeJam) lahir dari keinginan untuk melestarikan tanaman obat. Serikat ini memiliki 562 anggota, 85 persen anggotanya perempuan dan 75 persen anggotanya hanya berpendidikan sampai tingkat sekolah dasar (SD). Mereka mencoba membudidayakan tanaman obat-obatan seperti empon-empon, sere, dan mahkota dewa. Sambil berproduksi mereka saling berdiskusi tentang masalah lingkungan, pertanian organik, dan cara-cara budidaya tanaman obat yang lain.

Kelompok pembelajaran juga muncul di kalangan para pengamen yang tergabung dalam Tim Advokasi Arus Bawah (Taabah). Kelompok ini bermula dari masalah penggarukan yang sering mereka hadapi lantaran tidak memiliki kartu identitas. Berkat pertolongan LBH Yogyakarta, para pengamen, pemulung, dan mereka yang hidup di jalanan bisa mengurus surat keterangan sebagai penduduk musiman. Berangkat dari situ, tujuh pengamen mengontrak rumah di Keparakan Kidul, Yogyakarta, untuk bekerja sama dan belajar bersama.

Di Kampung Nitiprayan, yang terletak di perbatasan selatan Yogyakarta, saat ini menjadi sebuah kampung yang hidup karena berbagai kegiatan pembelajaran. Bermula dari kegiatan anak-anak yang diorganisir melalui Sanggar Anak Alam, kelompok ibu-ibu di kampung itu kini mengelola kelompok bermain, TK PKK, kelompok simpan pinjam, pelatihan pertanian organik, pinjaman untuk renovasi dan kepemilikan rumah sederhana, dan lain-lainnya. Kegiatan kerajinan dan kesenian juga tumbuh di kampung ini.

Tidak ketinggalan pula kelompok pembelajaran di komunitas marginal, seperti pembelajaran di kalangan pekerja seks komersial dalam program "Kamis Sehat". Mereka bertemu dua minggu sekali tiap Kamis untuk mendiskusikan masalah kesehatan reproduksi, alat kontrasepsi, kesehatan reproduksi dan latihan-latihan keterampilan. Untuk pembantu rumah tangga, Rumpun Tjoet Njak Dien membentuk Sekolah PRT dengan mengadakan pertemuan dua minggu sekali. Pertemuan rutin ini dipergunakan untuk latihan keterampilan dan kegiatan diskusi. PENDIDIKAN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Pendidikan tidak terbatas pada institusi bernama sekolah dan berlangsung sepanjang hayat, sejak manusia dilahirkan sampai masuk ke liang kubur. Bagi yang beruntung mereka dapat memperoleh pendidikan yang terstruktur: dari taman bermain sampai perguruan tinggi, mengantongi berbagai jenjang ijazah dan sertifikat, terus memperbarui keterampilan dan ilmu pengetahuan melalui berbagai pelatihan, kursus, atau rapat-rapat kerja.

Bagi sebagian besar masyarakat yang berada dalam posisi marginal, pendidikan semacam itu berada di luar jangkauan. Sebagian mereka tidak bisa membaca dan menulis, tidak memperoleh pendidikan dasar yang baik, dan tidak pernah tersentuh oleh pendidikan formal atau nonformal. Betapa pun demikian, mereka tetap berhak memperoleh pembelajaran untuk mengaktualisasikan diri sebagai makhluk belajar dan mencoba membebaskan diri dari belenggu

kemiskinan yang mengimpit secara turun-menurun.

Belajar sepanjang hayat atau life long learning yang gencar dikampanyekan oleh Organisasi Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB (UNESCO) sebenarnya merupakan nilai yang melekat pada masyarakat sejak dulu. Di Afrika hidup nilai-nilai yang mendorong setiap manusia untuk mencari kebijaksanaan yang dipikirkan secara terus-menerus pada setiap waktu. Agama-agama mendasarkan ajarannya pada kitab suci, yang mengharuskan para pemeluk untuk mempelajarinya terus-menerus sepanjang hayat. Belajar merupakan jendela yang memungkinkan seseorang belajar dari masalah-masalah yang pernah dihadapinya sehingga siap menghadapi masalah-masalah baru yang datang.

"Belajar merupakan sebuah proses yang berlangsung terus-menerus dan bersifat universal. Kita belajar tidak hanya pada seorang guru, tetapi juga pada anak-anak. Kita dituntut rendah hati untuk belajar pada semua orang," kata Admiral Ramdes, seorang aktivis perdamaian dari India. Pembelajaran sepanjang hayat menjadi esensial bagi masyarakat marginal, yang pada umumnya tidak memiliki akses dan gagal dijangkau oleh pendidikan formal yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah. Liberalisasi dan komersialisasi pendidikan semakin menyisihkan kelompok-kelompok marginal dari peluang mendapatkan pendidikan dasar yang bermutu. Ironinya pendidikan nonformal, apalagi pendidikan informal, yang bisa menjadi jalan pintas bagi mereka yang tersisih dari pelayanan pendidikan formal justru tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah.

Inisiatif mesti datang dari masyarakat sendiri. Diinspirasi oleh pendekatan komunikasi masyarakat yang diperkenalkan oleh Paolo Friere, gerakan pembelajaran di kelompok-kelompok akar rumput berkembang dengan pendekatan yang kreatif. Mereka bergerak dengan suatu keyakinan bahwa tidak benar kalangan marginal, suku-suku terasing, merupakan orang-orang yang kemampuan belajarnya lamban dan kemampuan intelektualnya lebih rendah dari rata-rata. Sekalipun mungkin tak pernah berada dalam ruang kelas, tidak bergaul dengan buku, mereka belajar melalui pengalaman atau melalui cerita turun-temurun.

"Pembelajaran dalam masyarakat tidak perlu menghadirkan orang-orang yang ahli dalam bidang lingkungan, jender, atau suku-suku asli. Kami punya keyakinan bahwa kekuatan ada pada komunitas itu sendiri," kata Nani Zulminarni, Ketua Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Jakarta.

Dodo Albasya, pengamen jalanan di Yogya, tidak tamat SD. Namun kemampuan berargumentasi dan kemampuan berorasi Dodo tidak kalah dengan seorang sarjana, pemuka agama, ataupun seorang aktivis politik. Berbekal kemampuan baca tulis yang dimilikinya, Dodo belajar bersama dengan kalangan pengamen dan anak jalanan yang terhimpun dalam komunitas Taabah di Yogyakarta. Ia menciptakan lagu, bermusik, dan memberikan inspirasi pada masyarakat miskin untuk bergerak. Ia berteriak ketika pendidikan menutup diri untuk orang-orang miskin.

Dodo memang tidak pernah berhenti berteriak. "Saat pendidikan makin mahal, orang miskin harus belajar bersama-sama dan bekerja bersama sama," kata Dodo, yang dituangkan dalam syair lagu dan kegiatan nyata komunitas pengamen jalanan Taabah di Keparakan Kidul, Yogyakarta.

Tidak salah bila dikatakan bahwa learning is freedom. Belajar adalah kemerdekaan. (wis)

KOMUNITAS BELAJAR : MEMBANGUN KULTUR PEMBELAJARAN YANG

Dokumen terkait