• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan salah satu fungsi yang menentukan dalam proses pengadaan yang berdampak pada ketersediaan obat untuk pelayanan publik. Menurut Kemenkes RI, tujuan dari perencanaan obat dan perbekalan kesehatan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis serta jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan di pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas) (Kemenkes RI, 2009b).

Pada prinsipnya perencanaan obat merupakan suatu proses kegiatan menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pengadaan obat agar sesuai dengan kebutuhan untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Adapun tujuan perencanaan pengadaan obat antara lain adalah (Kemenkes RI, 2008):

1. Mengetahui jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai dengan kebutuhan. 2. Menghindari terjadinya kekosongan obat.

3. Meningkatkan penggunaan obat yang rasional. 4. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1121/MENKES/SK/XII/2008, Proses perencanaan pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan diawali dari data yang disampaikan puskesmas ke unit pengelola obat/gudang farmasi dinas kesehatan kabupaten/kota yang selanjutnya dikompilasi menjadi rencana kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan kabupaten/kota yang dilengkapi dengan teknik-teknik perhitungannya.

Menurut Kemenkes RI (2008) bahwa perencanaan kebutuhan obat adalah salah satu aspek penting dan menentukan dalam pengelolaan obat karena perencanaan kebutuhan akan mempengaruhi pengadaan, pendistribusian dan penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan. Tujuan perencanaan kebutuhan obat adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar termasuk program kesehatan yang telah ditetapkan.

Perencanaan kesehatan tidak bisa berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh data kuantitatif dan kualitatif yang memadai. Data data demografi, sosial ekonomi, dan epidemiologi mempunyai peran sentral. Data adalah elemen penting dalam perencanaan. Tetapi data akurat yang diperlukan dalam perencanaan umumnya tidak tersedia. Ketiadaan data sebagai sumber informasi penting menyebabkan para pengambil keputusan tidak dapat membaca situasi terkini dan melakukan perencanaan dengan normal (Murti, dkk, 2006).

Menurut Kemenkes RI (2004) data yang diperlukan untuk mendukung proses proses perencanaan obat antara lain :

1. Data populasi total disuatu wilayah dan rata-rata pertumbuhan penduduk per tahun.

2. Data status kesehatan yang menyangkut angka penyakit terbanyak pada dewasa dan anak.

3. Data yang berkaitan dengan obat, seperti jumlah penulis resep (prescriber), jumlah biaya yang tersedia, jumlah farmasis dan asisten apoteker dan jumlah item obat yang tersedia di pasaran.

Anshari (2009) mengungkapkan beberapa tujuan dari perencanaan obat yaitu:

1) Mendapat jenis dan jumlah obat tepat sesuai kebutuhan. 2) Menghindari kekosongan obat.

3) Meningkatkan penggunaan obat secara rasional. 4) Meningkatkan efisiensi penggunaan obat.

Manfaat perencanaan obat terpadu (Kemenkes RI, 2008) antara lain adalah : 1. Menghindari tumpang tindih penggunaan anggaran.

2. Keterpaduan dalam evaluasi, penggunaan dan perencanaan. 3. Kesamaan persepsi antara pemakai obat dan penyedia anggaran. 4. Estimasi kebutuhan obat lebih tepat.

5. Koordinasi antara penyedia anggaran dan pemakai obat. 6. Pemanfaatan dana pengadaan obat dapat lebih optimal.

Anshari (2009) mengemukakan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk tujuan perencanaan obat yaitu :

1) Alokasi dana tersedia. 2) Struktur biaya persediaan.

1. Biaya per unit (item cost).

2. Biaya penyiapan pemesanan (ordering cost).

1) Biaya pembuatan perintah pembelian (purchasing order). 2) Biaya pengiriman pemesanan.

4) Biaya penerimaan (receiving cost)

5) Biaya penyiapan (set up cost) surat menyurat dan untuk menyiapkan perlengkapan dan peralatan.

3. Biaya pengelolaan persediaan (carrying cost).

1) Biaya yang dinyatakan dan dihitung sebesar peluang yang hilang apabila nilai persediaan digunakan untuk investasi (cost of capital).

2) Biaya yang meliputi biaya gudang, asuransi dan pajak (cost of storage). Biaya ini berubah dengan nilai persediaan.

4. Biaya resiko kerusakan dan kehilangan (cost of obsolescence, deterioration and loss).

5. Biaya akibat kehabisan persediaan (stockout cost).

3 Penentuan berapa besar dan kapan pemesanan harus dilakukan.

Menurut Febriawati (2013) hal hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan perencanaan obat yaitu :

1. Bottom up dari pemakai.

2. Pola penyakit yang ada.

3. Standart terapi untuk sebuah penyakit. 4. Sisa stok.

5. Formularium.

6. Lead time, waktu yang dibutuhkan untuk barang tersebut di proses sampai barang

tersebut datang.

8. Anggaran.

Untuk melaksanakan pengelolaan kebutuhan obat publik pihak yang berkompeten adalah pemerintah dengan segenap aparatur dan jenjang birokrasi terkait yang dimilikinya. Departemen Kesehatan dalam hal ini adalah merupakan organ fugsional pemeritah pusat yang bertangggung jawab dalam pengelolaan obat publik. Untuk itu adalah sangat perlu pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas atas masing masing tingkat birokrat dari pusat sampai unit terkecil di daerah. Pembagian peran dan tugas tersebut adalah: (Kemenkes RI, 2008).

1. Tingkat Pusat

Departemen Kesehatan RI

1) Menyiapkan, mengirimkan dan mensosialisasikan berbagai Keputusan Menteri Kesehatan ke unit – unit terkait antara lain :

1. Daftar obat PKD, daftar dan harga obat program, daftar dan harga perbekkes serta daftar harga obat generik.

2. Pedoman perencanaan pengadaan, pengelolaan, supervisi dan evaluasi obat publik dan perbekalan kesehatan.

3. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).

4. Menyediakan obat buffer stok nasional berdasarkan “ sistem bottom up”. 5. Melakukan pelatihan petugas IF/IF propinsi dengan prioritas propinsi dan

kabupaten/kota bentukan baru.

6. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan.

7. Menyediakan dan mensosialisasikan pedoman pengobatan dasar di puskesmas.

8. Menyediakan fasilitator untuk pelatihan pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan.

9. Menyediakan pedoman advokasi penyediaan anggaran kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota.

2. Tingkat Provinsi

Dinas Kesehatan Provinsi :

1) Menggandakan dan mensosialisasikan Kepmenkes serta informasi yang terkait dengan obat dan perbekalan kesehatan.

2) Mengelola obat buffer stock nasional di provinsi.

3) Menyediakan dan mengelola obat buffer stok dan obat program di provinsi 4) Melakukan pelatihan petugas IF dan pengelola obat publik dan Perbekalan

kesehatan puskesmas serta sub unitnya.

5) Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan ke kabupaten/kota.

6) Menyediakan fasilitator untuk pelatihan pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan di kabupaten/kota maupun puskesmas.

7) Melaksanakan advokasi penyediaan anggaran kepada pemerintah provinsi 3. Tingkat kabupaten/kota.

1. Menggandakan dan mensosialisasikan Kepmenkes serta informasi lain tentang obat dan perbekalan kesehatan pada instansi terkait dan lintas program.

2. Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun oleh tim perencanaan obat terpadu berdasarkan system “bottom up”.

3. Perhitungan rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun dengan menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi.

4. Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana, agar jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak tumpang tindih.

5. Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota mengajukan rencana kebutuhan obat kepada pemerintah kabupaten/kota, pusat, provinsi dan sumber lainnya.

6. Melakukan pelatihan petugas pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan untuk puskesmas dan sub unitnya.

7. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan ke puskesmas dan sub unitnya.

8. Melaksanakan advokasi penyediaan anggaran kepada pemerintah kabupaten/kota.

9. Dinas kesehatan kabupaten/kota bertanggungjawab terhadap pen-distribusian obat kepada unit pelayanan kesehatan dasar.

10. Dinas kesehatan kab/kota bertanggungjawab terhadap penanganan obat dan perbekalan kesehatan yang rusak, hilang dan kadaluwarsa.

11. Dinas kesehatan kab/kota bertanggungjawab terhadap jaminan mutu obat yang ada di IF dan UPK.

4. Tingkat Puskesmas dan Sub Unit Pelayanan Kesehatan.

1) Menyediakan data dan informasi mutasi obat dan perbekalan kesehatan serta kasus penyakit dengan baik dan akurat.

2) Setiap akhir bulan menyampaikan laporan pemakaian obat dan perbekalan kesehatan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.

3) Bersama Tim Perencanaan Obat Terpadu membahas rencana kebutuhan Puskesmas.

4) Mengajukan permintaan obat dan perbekalan kesehatan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan.

5) Melaporkan dan mengirim kembali semua jenis obat rusak/ kadaluwarsa kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.

6) Melaporkan kejadian obat dan perbekalan kesehatan yang hilang kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.

Tim Perencanaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Terpadu di Kabupaten/ Kota dibentuk melalui Surat Keputusan Bupati/Walikota. Susunan Tim Teknis Perencanaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Terpadu Kabupaten/Kota.

Tim Perencanaan Terpadu terdiri dari : (Kemenkes RI, 2010)

Ketua : Kepala Bidang yang membawahi program kefarmasian di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Sekretaris : Kepala Unit Pengelola Obat Kabupaten/Kota atau Kepala Seksi Farmasi yang menangani kefarmasian Dinas Kesehatan.

Anggota :

Terdiri dari unsur-unsur unit terkait :

1) Unsur Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota.

2) Unsur Program yang terkait di Dinkes Kabupaten/Kota. 3) Unsur lainnya.

Tugas dan fungsi Tim Teknis Perencanaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Terpadu (Kemenkes RI, 2008 ) :

1. Ketua mengkoordinasikan kegiatan Tim Teknis Perencanaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Terpadu.

2. Sekretaris mempersiapkan daftar perencanaan dan pengadaan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan.

3. Unsur Sekretariat Daerah Kabupaten/kota menyediakan informasi ketersediaan dana APBD yang dialokasikan untuk obat dan perbekalan kesehatan.

4. Unsur pelaksana Program Kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten/kota memberikan informasi data atau target sasaran program kesehatan.

Berdasarkan peraturan pemerintah No 51 tahun 2009 bahwa dalam melakukan pekerjaan kefarrmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian (instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, dan praktek bersama) adalah apoteker dibantu oleh apoteker pendamping dan atau tenaga teknis kefarmasian.

Mendukung peraturan tersebut pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No 30 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Penyelengaraan pelayanan kefarmasian di puskesmas minimal harus dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga apoteker sebagai penanggung jawab, yang dapat dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian sesuai kebutuhan. Jumlah kebutuhan apoteker di puskesmas dihitung berdasarkan rasio kunjungan pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan serta memperhatikan pengembangan puskesmas. Rasio untuk menentukan jumlah apoteker di puskesmas adalah 1 (satu) apoteker untuk 50 (lima puluh) pasien perhari (Kemenkes RI, 2014).

Dalam melaksanakan pengelolaan obat publik tenaga famasi harus menerima pelatihan agar dapat melaksanakan pengelolaan obat publik dengan baik. Adapun pelatihan minimal yang sebaiknya diikuti oleh tenaga tersebut antara lain (Kemenkes RI, 2007) : Untuk Apoteker/Sarjana Farmasi/D3 Farmasi atau Asisten Apoteker sebaiknya mengikuti pelatihan berikut :

1) Pengelolaan obat publik dan perbekkes. 2) Perencanaan dan pengelolaan obat terpadu. 3) Pengelolaan obat di puskesmas.

4) Penggunaan obat rasional. 5) Pemanfaatan data LPLPO.

6) Pengelolaan obat program kesehatan.

7) Manajemen umum (keuangan, administrasi) khusus Apoteker Penanggungjawab Instalasi Farmasi.

8) Komputer (spread sheet, word processor).

Pelayanan kefarmasian di puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik (Kemenkes RI, 2014).

Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat dan bahan medis habis pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan (Kemenkes, 2014). Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia dan sarana dan prasarana. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis

pakai menurut Kemenkes RI (2014) adalah proses kegiatan seleksi obat dan bahan

medis habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan puskesmas. Menurut Kemenkes RI (2014) tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan :

1) Perkiraan jenis dan jumlah obat dan bahan medis habis pakai yang mendekati kebutuhan.

2) Meningkatkan penggunaan obat secara rasional. 3) Meningkatkan efisiensi penggunaan obat.

Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh ruang farmasi di puskesmas. Proses perencanaan kebutuhan obat per tahun dilakukan secara berjenjang (bottom-up). Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian obat dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat puskesmas di wilayah kerjanya, menyesuaikan pada anggaran yang tersedia dan memperhitungkan waktu kekosongan obat, buffer stock, serta menghindari stok berlebih.

Perencanaan kebutuhan obat merupakan kegiatan utama sebelum melakukan proses pengadaan obat. Langkah-langkah yang diperlukan dalam kegiatan perencanaan kebutuhan obat antara lain (Kemenkes RI, 2008):

Dokumen terkait