BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Perencanaan
Perencanaan terjadi di semua tipe kegiatan. Perencanaan adalah proses dasar
dimana manajemen memutuskan tujuan dan cara mencapainya. Perencanaan
merupakan salah satu fungsi yang sangat penting dalam manajemen, karena dengan
adanya perencanaan akan menentukan fungsi manajemen lainnya terutama
pengambilan keputusan. Fungsi perencanaan merupakan landasan dasar dari fungsi
menajemen secara keseluruhan. Tanpa adanya perencanaan, pelaksanaan kegiatan
tidak akan berjalan dengan baik. Kebutuhan akan perencanaan ada di semua tingkatan
dan pada kenyataannya meningkat dimana tingkatan tersebut mempunyai dampak
terbesar untuk suksesnya sebuah organisasi. Dengan demikian perencanaan
merupakan suatu pedoman atau tuntunan terhadap proses kegiatan untuk mencapai
tujuan secara efektif dan efisien.
2.1.1. Pengertian Perencanaan
Para ahli di bidang manajemen telah mengemukakan definisi atau pengertian
tentang perencanaan, namun setiap pengertian perencanaan senantiasa memiliki
batasan yang berbeda tergantung ahli manajemen yang mengemukakan.
Perencanaan di bidang kesehatan pada dasarnya merupakan suatu proses untuk
merumuskan masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat, menentukan
pokok dan menyusun langkah-langkah praktis untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. Dari batasan tersebut, perencanaan akan menjadi efektif jika sebelumnya
dilakukan perumusan masalah berdasarkan fakta (Hartono, 2007).
Menurut (Azwar, 2010) perencanaan menurut ilmu administrasi kesehatan
terdapat 3 aspek pokok yang harus diperhatikan meliputi :
1. Hasil kerja perencanaan (outcome of planning).
2. Perangkat perencanaan (mechanic of planning).
3. Proses perencanaan (proces of planning).
Menurut Handoko (2009) perencanaan adalah suatu proses yang tidak
berakhir bila rencana telah ditetapkan, rencana harus diimplementasikan. Setiap saat
selama proses implementasi dan pengawasan, rencana mungkin memerlukan
modifikasi agar tetap berguna.
Febriawati (2013) mengemukakan bahwa perencanaan adalah proses untuk
merumuskan sasaran dan menentukan langkah langkah yang harus dilaksanakan
dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Handoko (2009) mengungkapkan
bahwa salah satu aspek penting perencanaan adalah pembuatan keputusan (decision
making), proses pengembangan dan penyeleksian sekumpulan kegiatan untuk
mememecahkan suatu masalah tertentu.
Perencanaan adalah pekerjaan mental untuk memilih sasaran, kebijakan,
prosedur dan program yang diperlukan untuk mencapai apa yang diinginkan pada
masa yang akan datang. Sedangkan rencana adalah sejumlah keputusan mengenai
itu. Jadi setiap rencana mengandung unsur tujuan dan pedoman. (Hasibuan, 2011).
Anshari (2009) mengungkapkan bahwa perencanaan adalah penentuan serangkaian
tindakan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan.
Perencanaan pada dasarnya merupakan sutu proses untuk menetapkan diawal
berbagai hasil akhir (end result) yang ingin dicapai perusahaan di masa yang akan
datang. Antara kegiatan perencanaan dengan hasil akhir yang ingin dicapai
diasumsikan terdapat jeda waktu (time lag), dimana semakin panjang rencana yang
dibuat maka jeda waktu antara perencanaan dengan hasil akhir yang ingin dicapai
semakin besar dan derajat kepastian pencapaian hasil tersebut juga semakin
meningkat. Sebaliknya, semakin pendek jeda waktu antara perencanaan yang dibuat
dengan target hasil yang ingin dicapai maka derajat kepastian pencapaian hasil akan
menurun (Solihin, 2009).
2.1.2 Tahapan Perencanaan
Perencanaan pada dasarnya memiliki tahapan. Tahapan perencanaan menurut
Handoko (2009) yaitu :
1. Menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan. Perencanaan dimulai dengan
keputusan keputusan tentang keinginan atau kebutuhan organisasi atau kelompok
kerja. Tanpa rumusan kerja yang jelas organisasi akan menggunakan sumber daya
sumber dayanya secara tidak efektif.
2. Merumuskan keadaan saat ini. Pemahaman akan posisi perusahaan sekarang dari
pencapaian tujuan, adalah sangat penting, karena tujuan dan rencana menyangkut
waktu yang akan datang.
3. Mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan. Segala kekuatan dan
kelemahan serta kemudahan dan hambatan perlu diidentifikasikan untuk mengukur
kemampuan organisasi dalam mencapai tujuan. Oleh karena itu perlu diketahui
faktor faktor lingkungan itern dan ekstern yang dapat membantu organisasi
mencapai tujuannya, atau yang menimbulkan masalah.
4. Mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan pencapaian tujuan. Tahap
terakhir dalam proses perencanaan meliputi pengembangan berbagai alternatif
kegiatan untuk pencapaian tujuan, penilaian alternatif alternatif tersebut dan
pemilihan alternatif terbaik (paling memuaskan) diantara berbagai alternatif yang
ada.
Muninjaya (2004) berpendapat ada lima langkah yang perlu dilakukan pada
proses penyusunan sebuah perencanaan kesehatan yaitu :
1. Analisis situasi.
Analisis situasi adalah langkah pertama proses penyusunan perencanaan. Langkah
ini dilakukan dengan analisis data laporan yang dimiliki oleh organisasi (data
primer) atau mengkaji laporan lembaga lain (data sekunder) yang datanya
dibutuhkan, observasi dan wawancara.
2. Mengidentifikasi masalah dan prioritasnya.
Melalui analisis situasi akan dihasilkan berbagai macam data. Data dianalisis lebih
tentang distribusinya disuatu wilayah. Setelah masalah kesehatan masyarakat
ditetapkan menjadi prioritas di suatu wilayah, selanjutnya ditetapkan tujuan
programnya.
3. Menentukan tujuan program.
Setelah masalah kesehatan ditetapkan, manajer program menetapkan tujuan
program. Perumusan sebuah tujuan operasional program kesehatan harus bersifat
SMART (specific, measurable, appropriate, realistic, time bound).
4. Mengkaji hambatan dan kelemahan program.
Langkah keempat proses penyusunan adalah mengkaji kembali hambatan dan
kelemahan program yang pernah dilaksankan. Tujuannya adalah untuk mencegah
atau mewaspadai timbulnya hambatan serupa. Selain mengkaji hambatan yang
pernah dialami, juga dibahas prediksi kendala dan hambatan yang mungkin akan
terjadi dilapangan pada saat program dilakukan.
5. Menyusun rencana kerja operasional (RKO).
Pada saat memasuki fase ini tim perencana sudah menetapkan tujuan dan target
2.1.3. Maksud Perencanaan (Purpose of Planning)
Salah satu maksud utama perencanaan adalah melihat bahwa program-
program dan penemuan sekarang dapat dipergunakan untuk meningkatkan
kemungkinan pencapaian tujuan tujuan di waktu yang akan datang yaitu
meningkatkan pembuatan keputusan yang lebih baik. (Handoko, 2009). Hasibuan
(2011) mengungkapkan bahwa maksud dari suatu perencanaan antara lain adalah :
1. Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajer yang meliputi seleksi atas
alternatif alternatif tujuan, kebijaksanaan, prosedur dan program.
2. Perencanaan, sebagian merupakan usaha membuat hal-hal terjadi sebagaimana
yang dikehendaki.
3. Perencanaan adalah suatu proses pemikiran, penentuan tindakan tindakan secara
sadar berdasarkan keputusan menyangkut tujuan, fakta dan ramalan.
4. Perencanaan adalah usaha menghindari kekosongan tugas, tumpang tindih dan
meningkatkan efektivitas potensi yang dimiliki. Perencanaan organisasi harus
aktif, dinamis, berkesinambungan dan kreatif.
2.1.4.Tujuan Perencanaan (Objective of Planning)
Menurut Handoko (2009) ada dua alasan dasar perlunya perencanaan yaitu :
1. Protective benefits yang dihasilkan dari pengurangan kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam pembuatan keputusan.
2. Positive benefits dalam bentuk meningkatnya sukses pencapaian tujuan
Tujuan dari perencanaan secara objektif di kemukakan oleh Hasibuan (2011)
antara lain :
1. Perencanaan bertujuan untuk menentukan tujuan, seleksi atas alternatif alternatif
tujuan, kebijakan kebijakan, prosedur dan program serta memberikan pedoman
cara-cara pelaksanaan yang efektif dalam mencapai tujuan.
2. Perencanaan adalah suatu usaha untuk memperkecil resiko yang dihadapi pada
masa yang akan datang.
3. Perencanaan menyebabkan kegiatan-kegiatan dilakukan secara teratur dan
bertujuan.
4. Perencanaan memberikan gambaran yang jelas dan lengkap tentang seluruh
pekerjaan.
5. Perencanaan membantu penggunaan suatu alat pengukuran hasil kerja
6. Perencanaan membantu peningkatan daya guna dan hasil guna organisasi.
2.1.5. Manfaat perencanaan (Purpose of Planning)
Manfaat perencanaan akan lebih terencana, terarah, efektif dan efisien karena
dapat mengurangi suatu pekerjaan yang tidak pelu. Suatu perencanaan yang baik juga
memerlukan dana mulai dari dana survey awal, pengumpulan data hingga
pelaksanaan.(Hartono, 2007).
Menurut Muninjaya (2004) mengungkapkan bahwa perencanaan terdapat
manfaat, keuntungan dan kerugian yang dapat diperoleh suatu organisasi. Manfaat
perencanaan adalah diketahui tujuan yang ingin dicapai, cara mencapainya, jenis,
Perencanaan mempunyai banyak manfaat antara lain membantu manajemen
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan perubahan lingkungan, membantu dalam
kristalisasi persesuaian pada masalah masalah utama, memungkinkan manajer
memahami keseluruhan gambaran operasi lebih jelas, membantu penempatan
tanggung jawab lebih tepat, memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi,
memudahkan dalam melakukan koordinasi diantara berbagai bagian dalam
organisasi, membuat tujuan lebih khusus, terperinci dan mudah dipahami,
meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti, menghemat waktu usaha dan dana.
(Handoko, 2009).
Muninjaya (2004) mengungkapkan beberapa keuntungan yang yang dapat
diperoleh dari perencanaan antara lain:
1. Perencanaan memberikan landasan pokok fungi manajemen terutama
pengawasan.
2. Perencanaan akan mengurangi atau menghilangkan jenis pekerjaan yang tidak
produktif.
3. Perencanaan dapat dipakai untuk mengukur hasil kegiatan yang telah dicapai,
karena dalam perencanaan ditetapkan berbagai standar.
4. Perencanaan dapat menyebabkan berbagai macam aktivitas organisasi untuk
Sebaliknya, perencanaan juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu antara
lain : (Muninjaya, 2004).
1. Perencanaan yang baik memerlukan sejumlah dana.
2. Perencanaan menghambat timbulnya inisiatif gagasan baru untuk mengadakan
perubahan harus ditunda sampai tahap perencanaan berikutnya.
3. Perencanaan mempunyai keterbatasan mengukur informasi dan fakta di masa
mendatang dengan tepat.
4. Perencanaan mempunyai hambatan psikologis bagi organisasi karena harus
menunggu dan melihat hasil yang akan dicapai.
5. Perencanaan juga akan menghambat tindakan baru yang harus diambil oleh
pelaksana.
Menurut Azwar (2010) untuk menilai keberhasilan dari sebuah rencana
dikelompokkan dalam tiga macam yaitu :
1. Kriteria keberhasilan unsur masukan yakni menunjuk pada terpenuhinya unsur
masukan, misalnya tersedianya tenaga, dana dan sarana sesuai dengan rencana.
2. Kriteria unsur proses yakni menunjuk pada terlaksananya unsur proses.
3. Kriteria keberhasilan unsur keluaran yakni menunjuk pada tercapainya tujuan yang
2.2 Obat
2.2.1 Pengertian Obat
Obat merupakan bahan atau zat yang dipergunakan oleh manusia untuk
mengobati suatu penyakit tertentu. Obat adalah racun atau zat kimia baik dari alam
maupun sintesis yang apabila salah dalam penggunaan atau tidak sesuai dosis takaran
dapat mengakibatkan hal hal yang tidak diinginkan tetapi dalam dosis tertentu dapat
menghilangkan, mengurangi atau mengobati penyakit.
Menurut pengertian umum obat dapat didefenisikan sebagai bahan yang
menyebabkan perubahan dalam fungsi biologis melalui proses kimia. Menurut Ansel
(2006), obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan. Defenisi yang lebih
lengkap, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Kemenkes RI, 2014).
2.2.2 Peran Obat
Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam
pelayanan kesehatan (Kemenkes RI ,2009a). Peran obat dalam pengobatan adalah
sebagai suatu yang digunakan seseorang untuk mengobati dirinya ketika sakit.
Seseorang yang sakit dan pergi kepelayanan kesehatan tidak akan merasa puas
sebelum diberi obat oleh petugas kesehatan yang melayaninya. Akses terhadap obat
pengelolaan yang baik, benar, efektif dan efisien secara berkesinambungan
(Kemenkes RI, 2010).
Peran obat secara umum adalah sebagai berikut (Chaerunissa dkk, 2009).
1. Penetapan diagnosa.
2. Untuk pencegahan penyakit.
3. Menyembuhkan penyakit.
4. Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan.
5. Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu.
6. Peningkatan kesehatan.
7. Mengurangi rasa sakit.
2.2.3 Penggolongan Obat
Pengolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan
penggunaan dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu (Kemenkes RI, 2009a):
1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter. Pada kemasan dan etiket obat bebas, tanda khusus berupa
lingkaran hijau ( TC 396) dengan garis tepi berwarna hitam.
2. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi
masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, namun
kemasan. Pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas terdapat tanda khusus
berupa lingkaran biru (TC 308) dengan garis tepi berwarna hitam. Cth CTM
3. Obat Keras dan Psikotropika
A.Obat Keras.
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep
Dokter. Obat keras mempunyai tanda khusus berupa lingkaran bulat merah
(TC 165) dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K ditengah yang
menyentuh garis tepi.
B. Psikotropika
Obat bukan golongan narkotik yang berkhasiat mempengaruhi susunan syaraf
pusat. Obat ini dapat menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Obat golongan ini hanya boleh dijual dengan resep dokter dan diberi
tanda huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh : Diazepam, Phenobarbital
4. Narkotika.
Obat yang berasal dari turunan tanaman atau bahan kmia yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan
ketergantungan. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dari dokter.
Chaerunisa, dkk, (2009) menggolongkan obat berdasarkan mekanisme
kerjanya ada lima jenis yaitu :
1. Obat yang bekerja terhadap penyebab penyakit, misalnya penyakit karena bakteri
atau mikroba, contoh: antibiotik.
2. Obat yang bekerja mencegah keadan patologis dari penyakit, contoh: serum,
vaksin.
3. Obat yang menghilangkan gejala penyakit = simptomatik, misal gejala penyakit
nyeri, contoh: analgetik, antipiretik.
4. Obat yang bekerja untuk mengganti atau menambah fungsi-fungsi zat yang
kurang, contoh: vitamin, hormon.
5. Pemberian placebo, adalah pemberian sediaan obat yang tanpa zat berkhasiat
untuk orang-orang yang sakit secara psikis, contoh: aqua proinjection. Selain itu,
obat dapat dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya misalkan anti hipertensi,
cardiaca, diuretic, hipnotik.
Dalam Widodo (2004), penamaan obat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Nama Kimia, yaitu nama asli senyawa kimia obat.
2. Nama Generik (unbranded name), yaitu nama yang lebih mudah yang disepakati
sebagai nama obat dari suatu nama kimia.
3. Nama Dagang atau Merek, yaitu nama yang diberikan oleh masing-masing
2.3 Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) Puskesmas
Puskesmas adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan yang amat penting di
indonesia. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama,
dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Kemenkes RI,
2014). Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya kecamatan sehat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.75 tahun 2014 Tentang
Puskesmas disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya puskesmas
menyelenggarakan dua fungsi yaitu :
1. Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat (UKM) tingkat pertama di wilayah
kerjanya puskesmas berwenang untuk:
1) Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan
masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan.
2) Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan.
3) Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat
dalam bidang kesehatan.
4) Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang
5) Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat.
6) Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia puskesmas.
7) Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan.
8) Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan
cakupan pelayanan kesehatan.
9) Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk
dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan
penyakit.
2. Penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan (UKP) tingkat pertama di wilayah
kerjanya. Puskesmas berwenang untuk:
1) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif,
berkesinambungan dan bermutu.
2) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan upaya promotif
dan preventif.
3) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat.
4) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan keamanan dan
keselamatan pasien, petugas dan pengunjung.
5) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja
sama inter dan antar profesi.
7) Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses
pelayanan kesehatan.
8) Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan.
9) Mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya.
10)Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem
rujukan.
Upaya pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas tercakup
dalam program kesehatan dasar atau program pokok. Program kesehatan dasar yang
di kembangkan di era disentralisasi menurut Muninjaya (2004) adalah:
1) Promosi kesehatan.
2) Kesehatan lingkungan.
3) Kesehatan Ibu dan anak teramasuk keluarga berencana.
4) Perbaikan gizi.
5) Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (Imunisasi).
6) Pengobatan dasar.
Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan dasar secara menyeluruh
kepada masayarakat, puskesmas menjalankan beberapa usaha pokok yang meliputi
program (Muninjaya, 2004).
1. Kesehatan ibu dan anak.
2. Keluarga berencana.
4. Kesehatan lingkungan.
5. Penyuluhan kesehatan masyarakat.
6. Laboratorium.
7. Kesehatan sekolah.
8. Perawatan kesehatan masyarakat.
9. Kesehatan jiwa.
10. Kesehatan gigi.
Semua kegiatan program pokok yang dilaksanakan di puskesmas
dikembangkan berdasarkan program pokok pelayanan kesehatan dasar seperti yang
dianjurkan oleh badan kesehatan dunia (WHO) yang dikenal dengan “basic Seven’’
WHO. Basic Seven tersebut terdiri dari MCHC (Maternal and Child Health Care),
MC (Medical Care), ES (Environmental Sanitation), HE (Health Education), Simple
Laboratory (Lab Sederhana), CDC (Communicable Disease Control), dan Simple
statistic (Pencatatan dan Pelaporan). (Muninjaya, 2004).
2.4 Dasar Kebijakan Umum Obat
Kebijakan pemerintah terhadap terhadap peningkatan akses obat telah
diselenggarakan dalam beberapa kebijakan. Salah satu kebijakan pemerintah tentang
obat adalah Kebijakan Obat Nasional (KONAS). KONAS dalam pengertian luas
dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat secara
berkelanjutan, untuk tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
tujuan yang hendak dicapai. Pemilihan obat esensial yang tepat dan pemusatan upaya
pada penyediaan obat esensial tersebut terbukti telah meningkatkan akses obat serta
penggunaan obat yang rasional. (Kemenkes RI, 2006).
Semua obat yang beredar harus dijamin keamanan, khasiat dan mutunya agar
betul betul memberikan manfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, dan
justru tidak merugikan kesehatan. Bersamaan dengan itu masyarakat harus dilindungi
dari salah penggunaan dan penyalahgunaan obat. Dengan demikian tujuan KONAS
adalah untuk menjamin: (Kemenkes RI, 2006).
1. Ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat esensial.
2. Keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta penggunaan obat yang
rasional.
3. Masyarakat terlindungi dari salah penggunaan dan penyalahgunaan obat.
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam
kerangka mewujudkan dalam kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam
Undang Undang Dasar tahun 1945 (Kemenkes RI, 2012). SKN memberikan
landasan, arah dan pedoman penyelenggaraan pembangunan kesehatan baik
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, maupun masyarakat dan dunia usaha
serta pihak lain yang terkait salah satu sub sistem dalam SKN 2012 adalah sub sistem
sediaan farrmasi, alat kesehatan, dan makanan. Sub sistem tersebut bertujuan
berkhasiat/bermanfaat dan bermutu, dan khusus untuk obat dijamin ketersediaan dan
keterjangkauannya guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi
tingginya (Kemenkes RI, 2012). Sub sistem tersebut menekankan pada ketersediaan
obat, pemerataan termasuk keterjangkauan dan jaminan keamanan, khasiat dan mutu
obat.
2.5 Manajemen Logistik Obat
Salah satu ruang lingkup manajemen pelayanan kesehatan adalah manajemen
logistik yaitu suatu bidang manajemen yang tugasnya khusus mengurusi logistik obat
dan peralatan kesehatan yang ada dalam pelayanan kesehatan. (Febriawati, 2013).
Menurut Sabarguna (2009) dalam Febriawati (2013) manajemen logistik adalah
menajemen dan pengendalian barang barang, layanan perlengkapan, mulai dari
akuisisi sampai disposisi dan dalam manajemen logistik ada elemen penting yaitu :
1. Strategi terpadu untuk menjamin bahwa bahan barang, jasa dan perlengkapan
dibeli dengan biaya total yang terendah.
2. Strategi terkait untuk menjamin bahwa persediaan dan biaya simpan di pantau dan
di kendalikan secara agresif.
Fungsi manajemen logistik obat menurut Tjandra Yoga Aditama (2003)
dalam Febriawati (2013) adalah :
1. Fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan.
Fungsi perencanaan mencakup aktivitas dalam menetapkan sasaran sasaran,
merupakan perincian (detailiring) dari fungsi perencanaan, bila mana perlu semua
faktor yang mempengaruhi penentuan kebutuhan harus diperhitungkan.
2. Fungsi pengganggaran.
Fungsi ini merupakan usaha usaha untuk merumuskan perincian penentuan
kebutuhan dalam satu skala standar yakni skala mata uang dan jumlah biaya
dengan memperhatikan pengarahan dan pembatasan yang berlaku terrhadapnya.
3. Fungsi pengadaan.
Fungsi ini merupakan usaha dan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan operasional
yang telah digariskan dalam fungsi perencanaan dan penentuan kepada instansi
instansi pelaksana.
4. Fungsi penyimpanan dan penyaluran.
Fungsi ini merupakan penerimaan, penyimpanan dan penyaluran perlengkapan
yang telah diadakan melalui fungsi fungsi terdahulu untuk kemudian disalurkan
kepada instansi instansi pelaksana.
5. Fungsi pemeliharaan.
Fungsi ini adalah usaha atau proses kegiatan untuk mempertahankan kondisi
teknis, daya guna, dan daya hasil barang inventaris.
6. Fungsi penghapusan.
Fungsi ini adalah berupa kegiatan dan usaha pembebasan barang dari pertanggung
jawaban yang berlaku. Dengan kata lain fungsi penghapusan adalah usaha untuk
dinyatakan sudah tua dari segi ekonomis maupun teknis, kelebihan, hilang, susut,
dan karena hal hal lain menurut peraturan perundang undangan yang berlaku.
7. Fungsi pengendalian.
Fungsi ini merupakan fungsi inti dari pengelolahan perlengkapan yang meliputi
usaha untuk memonitor dan mengamankan keseluruhan pengelolahan logistik.
Dalam fungsi ini diantaranya terdapat kegiatan pengendalian inventarisasi
(inventory control) yang merupakan unsur unsur utamanya.
2.7Kerasionalan Obat
Kerasionalan obat merupakan faktor yang sangat penting dalam perencanaan
kebutuhan obat. Penggunaan obat yang irasional (tidak rasional) dapat berpengaruh
negatif terhadap mutu pelayanan, dampak ekonomi dan efek samping pengguna obat.
Dengan kata lain keirasionalan penggunaan obat akan berefek perencanaan kebutuhan
obat tidak efektif dan tidak efisien.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pemakaian obat yang tidak
rasional antara lain (Kemenkes RI, 2010) :
1) Pembuat resep.
2) Pasien/masyarakat.
3) Sistim perencanaan dan pengelolaan obat.
4) Kebijaksanaan obat dan pelayanan kesehatan.
5) Informasi dan iklan obat, persaingan praktek dan pengobatan sesuai dengan
Dampak negatif pemakaian obat yang irasional secara singkat yaitu dampak
terhadap mutu pengobatan dan pelayanan, biaya pelayanan pengobatan, efek samping
obat dan dampak psikososial. Ciri pemakaian obat yang irasional yaitu : (Kemenkes
RI, 2010) :
1. Peresepan berlebihan (overprescribing), yaitu pemberian obat yang sebenarnya
tidak diperlukan.
2. Peresepan kurang, yaitu pemberian obat yang kurang dari seharusnya dibutuhkan
baik dari segi dosis dan lamanya pemberian.
3. Peresepan boros (extravagant), yakni peresepan obat-obat yang lebih mahal
padahal ada alternatif yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama
4. Peresepan yang salah (incorrect prescribing), mencakup pemakaian obat untuk
indikasi yang keliru, diagnosis tepat tetapi obatnya keliru, pemberian obat ke
pasien salah. Juga pemakaian obat tanpa memperhitungkan kondisi lain yang
diderita bersamaan.
5. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yakni pemakaian dua atau lebih
kombinasi obat padahal sebenarnya cukup hanya dengan obat tunggal saja.
Termasuk di sini adalah pengobatan terhadap semua gejala yang muncul tanpa
2.6 Perencanaan Kebutuhan Obat Publik
Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan salah satu fungsi yang
menentukan dalam proses pengadaan yang berdampak pada ketersediaan obat untuk
pelayanan publik. Menurut Kemenkes RI, tujuan dari perencanaan obat dan
perbekalan kesehatan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis serta jumlah obat dan
perbekalan kesehatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan di pelayanan kesehatan
dasar (Puskesmas) (Kemenkes RI, 2009b).
Pada prinsipnya perencanaan obat merupakan suatu proses kegiatan
menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pengadaan obat agar sesuai dengan
kebutuhan untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Adapun tujuan
perencanaan pengadaan obat antara lain adalah (Kemenkes RI, 2008):
1. Mengetahui jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai dengan kebutuhan.
2. Menghindari terjadinya kekosongan obat.
3. Meningkatkan penggunaan obat yang rasional.
4. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1121/MENKES/SK/XII/2008,
Proses perencanaan pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan diawali dari
data yang disampaikan puskesmas ke unit pengelola obat/gudang farmasi dinas
kesehatan kabupaten/kota yang selanjutnya dikompilasi menjadi rencana kebutuhan
obat publik dan perbekalan kesehatan kabupaten/kota yang dilengkapi dengan
Menurut Kemenkes RI (2008) bahwa perencanaan kebutuhan obat adalah
salah satu aspek penting dan menentukan dalam pengelolaan obat karena perencanaan
kebutuhan akan mempengaruhi pengadaan, pendistribusian dan penggunaan obat di
unit pelayanan kesehatan. Tujuan perencanaan kebutuhan obat adalah untuk
menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan
pelayanan kesehatan dasar termasuk program kesehatan yang telah ditetapkan.
Perencanaan kesehatan tidak bisa berjalan dengan baik jika tidak didukung
oleh data kuantitatif dan kualitatif yang memadai. Data data demografi, sosial
ekonomi, dan epidemiologi mempunyai peran sentral. Data adalah elemen penting
dalam perencanaan. Tetapi data akurat yang diperlukan dalam perencanaan umumnya
tidak tersedia. Ketiadaan data sebagai sumber informasi penting menyebabkan para
pengambil keputusan tidak dapat membaca situasi terkini dan melakukan
perencanaan dengan normal (Murti, dkk, 2006).
Menurut Kemenkes RI (2004) data yang diperlukan untuk mendukung proses
proses perencanaan obat antara lain :
1. Data populasi total disuatu wilayah dan rata-rata pertumbuhan penduduk per
tahun.
2. Data status kesehatan yang menyangkut angka penyakit terbanyak pada dewasa
dan anak.
3. Data yang berkaitan dengan obat, seperti jumlah penulis resep (prescriber), jumlah
biaya yang tersedia, jumlah farmasis dan asisten apoteker dan jumlah item obat
Anshari (2009) mengungkapkan beberapa tujuan dari perencanaan obat
yaitu:
1) Mendapat jenis dan jumlah obat tepat sesuai kebutuhan.
2) Menghindari kekosongan obat.
3) Meningkatkan penggunaan obat secara rasional.
4) Meningkatkan efisiensi penggunaan obat.
Manfaat perencanaan obat terpadu (Kemenkes RI, 2008) antara lain adalah :
1. Menghindari tumpang tindih penggunaan anggaran.
2. Keterpaduan dalam evaluasi, penggunaan dan perencanaan.
3. Kesamaan persepsi antara pemakai obat dan penyedia anggaran.
4. Estimasi kebutuhan obat lebih tepat.
5. Koordinasi antara penyedia anggaran dan pemakai obat.
6. Pemanfaatan dana pengadaan obat dapat lebih optimal.
Anshari (2009) mengemukakan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
untuk tujuan perencanaan obat yaitu :
1) Alokasi dana tersedia.
2) Struktur biaya persediaan.
1. Biaya per unit (item cost).
2. Biaya penyiapan pemesanan (ordering cost).
1) Biaya pembuatan perintah pembelian (purchasing order).
2) Biaya pengiriman pemesanan.
4) Biaya penerimaan (receiving cost)
5) Biaya penyiapan (set up cost) surat menyurat dan untuk menyiapkan
perlengkapan dan peralatan.
3. Biaya pengelolaan persediaan (carrying cost).
1) Biaya yang dinyatakan dan dihitung sebesar peluang yang hilang apabila
nilai persediaan digunakan untuk investasi (cost of capital).
2) Biaya yang meliputi biaya gudang, asuransi dan pajak (cost of storage).
Biaya ini berubah dengan nilai persediaan.
4. Biaya resiko kerusakan dan kehilangan (cost of obsolescence, deterioration and
loss).
5. Biaya akibat kehabisan persediaan (stockout cost).
3 Penentuan berapa besar dan kapan pemesanan harus dilakukan.
Menurut Febriawati (2013) hal hal yang perlu dipertimbangkan dalam
melakukan perencanaan obat yaitu :
1. Bottom up dari pemakai.
2. Pola penyakit yang ada.
3. Standart terapi untuk sebuah penyakit.
4. Sisa stok.
5. Formularium.
6. Lead time, waktu yang dibutuhkan untuk barang tersebut di proses sampai barang
tersebut datang.
8. Anggaran.
Untuk melaksanakan pengelolaan kebutuhan obat publik pihak yang
berkompeten adalah pemerintah dengan segenap aparatur dan jenjang birokrasi terkait
yang dimilikinya. Departemen Kesehatan dalam hal ini adalah merupakan organ
fugsional pemeritah pusat yang bertangggung jawab dalam pengelolaan obat publik.
Untuk itu adalah sangat perlu pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas atas
masing masing tingkat birokrat dari pusat sampai unit terkecil di daerah. Pembagian
peran dan tugas tersebut adalah: (Kemenkes RI, 2008).
1. Tingkat Pusat
Departemen Kesehatan RI
1) Menyiapkan, mengirimkan dan mensosialisasikan berbagai Keputusan Menteri
Kesehatan ke unit – unit terkait antara lain :
1. Daftar obat PKD, daftar dan harga obat program, daftar dan harga perbekkes
serta daftar harga obat generik.
2. Pedoman perencanaan pengadaan, pengelolaan, supervisi dan evaluasi obat
publik dan perbekalan kesehatan.
3. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).
4. Menyediakan obat buffer stok nasional berdasarkan “ sistem bottom up”.
5. Melakukan pelatihan petugas IF/IF propinsi dengan prioritas propinsi dan
kabupaten/kota bentukan baru.
6. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi ketersediaan obat
7. Menyediakan dan mensosialisasikan pedoman pengobatan dasar di
puskesmas.
8. Menyediakan fasilitator untuk pelatihan pengelola obat publik dan
perbekalan kesehatan.
9. Menyediakan pedoman advokasi penyediaan anggaran kepada pemerintah
provinsi/kabupaten/kota.
2. Tingkat Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi :
1) Menggandakan dan mensosialisasikan Kepmenkes serta informasi yang terkait
dengan obat dan perbekalan kesehatan.
2) Mengelola obat buffer stock nasional di provinsi.
3) Menyediakan dan mengelola obat buffer stok dan obat program di provinsi
4) Melakukan pelatihan petugas IF dan pengelola obat publik dan Perbekalan
kesehatan puskesmas serta sub unitnya.
5) Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi ketersediaan obat publik
dan perbekalan kesehatan ke kabupaten/kota.
6) Menyediakan fasilitator untuk pelatihan pengelola obat publik dan perbekalan
kesehatan di kabupaten/kota maupun puskesmas.
7) Melaksanakan advokasi penyediaan anggaran kepada pemerintah provinsi
3. Tingkat kabupaten/kota.
1. Menggandakan dan mensosialisasikan Kepmenkes serta informasi lain tentang
2. Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun oleh tim
perencanaan obat terpadu berdasarkan system “bottom up”.
3. Perhitungan rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun dengan
menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi.
4. Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana,
agar jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak
tumpang tindih.
5. Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota mengajukan rencana kebutuhan obat
kepada pemerintah kabupaten/kota, pusat, provinsi dan sumber lainnya.
6. Melakukan pelatihan petugas pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan
untuk puskesmas dan sub unitnya.
7. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi ketersediaan obat publik
dan perbekalan kesehatan ke puskesmas dan sub unitnya.
8. Melaksanakan advokasi penyediaan anggaran kepada pemerintah
kabupaten/kota.
9. Dinas kesehatan kabupaten/kota bertanggungjawab terhadap pen-distribusian
obat kepada unit pelayanan kesehatan dasar.
10. Dinas kesehatan kab/kota bertanggungjawab terhadap penanganan obat dan
perbekalan kesehatan yang rusak, hilang dan kadaluwarsa.
11. Dinas kesehatan kab/kota bertanggungjawab terhadap jaminan mutu obat
4. Tingkat Puskesmas dan Sub Unit Pelayanan Kesehatan.
1) Menyediakan data dan informasi mutasi obat dan perbekalan kesehatan serta
kasus penyakit dengan baik dan akurat.
2) Setiap akhir bulan menyampaikan laporan pemakaian obat dan perbekalan
kesehatan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
3) Bersama Tim Perencanaan Obat Terpadu membahas rencana kebutuhan
Puskesmas.
4) Mengajukan permintaan obat dan perbekalan kesehatan kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan.
5) Melaporkan dan mengirim kembali semua jenis obat rusak/ kadaluwarsa kepada
dinas kesehatan kabupaten/kota.
6) Melaporkan kejadian obat dan perbekalan kesehatan yang hilang kepada kepala
dinas kesehatan kabupaten/kota.
Tim Perencanaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Terpadu di Kabupaten/
Kota dibentuk melalui Surat Keputusan Bupati/Walikota. Susunan Tim Teknis
Perencanaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Terpadu Kabupaten/Kota.
Tim Perencanaan Terpadu terdiri dari : (Kemenkes RI, 2010)
Ketua : Kepala Bidang yang membawahi program kefarmasian di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
Sekretaris : Kepala Unit Pengelola Obat Kabupaten/Kota atau Kepala Seksi Farmasi
Anggota :
Terdiri dari unsur-unsur unit terkait :
1) Unsur Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota.
2) Unsur Program yang terkait di Dinkes Kabupaten/Kota.
3) Unsur lainnya.
Tugas dan fungsi Tim Teknis Perencanaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
Terpadu (Kemenkes RI, 2008 ) :
1. Ketua mengkoordinasikan kegiatan Tim Teknis Perencanaan Obat dan Perbekalan
Kesehatan Terpadu.
2. Sekretaris mempersiapkan daftar perencanaan dan pengadaan kebutuhan obat dan
perbekalan kesehatan.
3. Unsur Sekretariat Daerah Kabupaten/kota menyediakan informasi ketersediaan
dana APBD yang dialokasikan untuk obat dan perbekalan kesehatan.
4. Unsur pelaksana Program Kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten/kota
memberikan informasi data atau target sasaran program kesehatan.
Berdasarkan peraturan pemerintah No 51 tahun 2009 bahwa dalam melakukan
pekerjaan kefarrmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian (instalasi farmasi rumah
sakit, puskesmas, klinik, toko obat, dan praktek bersama) adalah apoteker dibantu
Mendukung peraturan tersebut pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No
30 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Penyelengaraan pelayanan
kefarmasian di puskesmas minimal harus dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga
apoteker sebagai penanggung jawab, yang dapat dibantu oleh tenaga teknis
kefarmasian sesuai kebutuhan. Jumlah kebutuhan apoteker di puskesmas dihitung
berdasarkan rasio kunjungan pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan serta
memperhatikan pengembangan puskesmas. Rasio untuk menentukan jumlah apoteker
di puskesmas adalah 1 (satu) apoteker untuk 50 (lima puluh) pasien perhari
(Kemenkes RI, 2014).
Dalam melaksanakan pengelolaan obat publik tenaga famasi harus menerima
pelatihan agar dapat melaksanakan pengelolaan obat publik dengan baik. Adapun
pelatihan minimal yang sebaiknya diikuti oleh tenaga tersebut antara lain (Kemenkes
RI, 2007) : Untuk Apoteker/Sarjana Farmasi/D3 Farmasi atau Asisten Apoteker
sebaiknya mengikuti pelatihan berikut :
1) Pengelolaan obat publik dan perbekkes.
2) Perencanaan dan pengelolaan obat terpadu.
3) Pengelolaan obat di puskesmas.
4) Penggunaan obat rasional.
5) Pemanfaatan data LPLPO.
6) Pengelolaan obat program kesehatan.
7) Manajemen umum (keuangan, administrasi) khusus Apoteker Penanggungjawab
8) Komputer (spread sheet, word processor).
Pelayanan kefarmasian di puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan
yang bersifat manajerial berupa pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai dan
kegiatan pelayanan farmasi klinik (Kemenkes RI, 2014).
Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai merupakan salah satu kegiatan
pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan, permintaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta
pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan
ketersediaan dan keterjangkauan obat dan bahan medis habis pakai yang efisien,
efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian,
mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu
pelayanan (Kemenkes, 2014). Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya
manusia dan sarana dan prasarana. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis
pakai menurut Kemenkes RI (2014) adalah proses kegiatan seleksi obat dan bahan
medis habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan
kebutuhan puskesmas. Menurut Kemenkes RI (2014) tujuan perencanaan adalah
untuk mendapatkan :
1) Perkiraan jenis dan jumlah obat dan bahan medis habis pakai yang mendekati
kebutuhan.
2) Meningkatkan penggunaan obat secara rasional.
Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di puskesmas setiap
periode dilaksanakan oleh ruang farmasi di puskesmas. Proses perencanaan
kebutuhan obat per tahun dilakukan secara berjenjang (bottom-up). Puskesmas
diminta menyediakan data pemakaian obat dengan menggunakan Laporan Pemakaian
dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Selanjutnya Instalasi Farmasi
Kabupaten/Kota akan melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat
puskesmas di wilayah kerjanya, menyesuaikan pada anggaran yang tersedia dan
memperhitungkan waktu kekosongan obat, buffer stock, serta menghindari stok
berlebih.
Perencanaan kebutuhan obat merupakan kegiatan utama sebelum melakukan
proses pengadaan obat. Langkah-langkah yang diperlukan dalam kegiatan
perencanaan kebutuhan obat antara lain (Kemenkes RI, 2008):
1) Tahap Pemilihan Obat
Pemilihan obat harus disesuaikan secara nyata dibutuhkan dalam pelayanan
kesehatan di puskesmas. Pemilihan obat untuk puskesmas dilakukan berdasarkan
pada obat generik terutama yang tercantum dalam daftar obat pelayanan kesehatan
dasar (PKD) dan Daftar Obat Essensial Nasional (DOEN) yang masih berlaku dengan
patokan harga sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan tentang daftar harga obat
untuk obat pelayanan kesehatan dasar dan obat program kesehatan. Disamping itu
juga diperlukan pemilihan obat menjadi kelompok VEN (Vital, Esensial dan Non
Fungsi pemilihan obat adalah untuk menentukan apakah obat benar benar
diperlukan sesuai dengan pola penyakit yang ada. Untuk mendapatkan perencanaan
obat yang tepat, sebaiknya diawali dengan dasar dasar seleksi kebutuhan obat yang
meliputi: (Kemenkes RI, 2008).
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat (Kemenkes
RI, 2009b) antara lain :
1. Obat yang dipilih sesuai dengan standar mutu yang terjamin.
2. Dosis obat sesuai dengan kebutuhan terapi.
3. Obat mudah disimpan.
4. Obat mudah didisitribusikan.
5. Obat mudah didapatkan/diperoleh.
6. Biaya pengadaan dapat terjangkau.
7. Dampak administrasi mudah diatasi.
Anshari (2009) mengungkapkan bahwa sebagai dasar seleksi tiap item obat
adalah :
1. Obat dan perbekalan farmasi harus memiliki izin edar.
2. Berdasarkan seleksi ilmiah, medik, statistik bahwa obat yang dipilih memiliki
benefit rasio lebih baik.
3. Menghindari duplikasi dan kesamaan jenis.
4. Jika memiliki obat baru, harus ada bukti yang merujuk kepada keunggulan
5. Hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali memiliki keunggulan dibanding obat
tunggal.
6. Menekan/mencegah penggunaan branded dan suplemen.
7. Kartu stock menunjukkan jenis obat yang memang diperlukan.
Sebelum melakukan perencanaan obat ada beberapa kriteria yang perlu
diperhatikan yang dipergunakan sebagai dasar acuan dalam pemilihan obat yaitu
(Kemenkes RI, 2008):
1) Obat merupakan kebutuhan untuk sebagian besar populasi penyakit.
2) Obat memiliki keamanan dan khasiat yang didukung dengan bukti ilmiah.
3) Obat mempunyai mutu yang terjamin baik ditinjau dari segi stabilitas maupun
bioavaibilitasnya (ketersediaan hayati).
4) Biaya pengobatan mempunyai rasio antar manfaat dan biaya yang baik.
5) Bila pilihan lebih dari satu, dipilih yang paling baik, paling lengkap data ilmiahnya
dan farmakokinetiknya paling menguntungkan.
6) Mudah diperoleh dan harga terjangkau.
7) Obat sedapat mungkin sediaan tunggal.
Kriteria tersebut sesuai dengan kriteria WHO yang dikemukakan oleh Quick
dalam Hartono (2007). Kriteria untuk seleksi obat essensial yang sering diadopsi dan
dimodifikasi untuk persyaratan lokal antara lain :
1. Relevan dengan pola perkembangan penyakit.
2. Terjamin kemanjuran dan keamannya.
4. Kualitas cukup, termasuk ketersediaan hayati dan stabilitasnya.
5. Perbandingan antara harga dengan manfaat seimbang.
6. Pilihan obat yang telah diketahui secara umum, dengan memiliki farmakokinetik
baik dan memungkinkan diproduksi secara lokal.
7. Sediaan tunggal.
2. Tahap Kompilasi Pemakaian Obat
Kompilasi pemakaian obat adalah rekafitulasi data pemakaian unit obat di unit
pelayanan kesehatan, yang bersumber dari laporan pemakaian dan lembar permintaan
obat. (Kemenkes RI, 2008). Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui
pemakaian obat setiap bulan dari masing-masing jenis obat di unit pelayanan
kesehatan selama setahun serta menentukan stok optimum (stok optimum = stok kerja
+ stok pengaman). Data pemakaian obat di puskesmas diperoleh dari LPLPO.
Beberapa Informasi yang diperoleh dari kompilasi pemakaian obat adalah (Kemenkes
RI, 2008):
1. Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan kesehatan.
2. Persentase (%) pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh
unit pelayanan kesehatan.
3. Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat pada tingkat kabupaten/kota.
Manfaat informasi yang diperoleh dari kompilasi pemakaian obat diantaranya
adalah sebagai sumber data dalam menghitung kebutuhan obat untuk pemakaian
tahun mendatang dan menghitung stok/persediaan pengaman dalam rangka
3. Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat
Menentukan kebutuhan obat merupakan tantangan berat yang senantiasa
dihadapi oleh apoteker dan tenaga farmasi yang bekerja baik di tingkat PKD. Baik
kekosongan maupun kelebihan jenis obat tertentu dapat terjadi apabila perhitungan
hanya berdasarkan teoritis. Dengan koordinasi dan proses perencanaan untuk
pengadaan obat secara terpadu serta melalui beberapa tahapan seperti di atas, maka
diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat baik ditinjau dari jenis, jumlah
maupun waktu. Untuk menentukan kebutuhan obat dilakukan 2 (dua) pendekatan
yaitu : (Kemenkes RI, 2008).
1) Metode Konsumsi
Metode konsumsi adalah metode yang didasarkan atas analisa data konsumsi obat
tahun sebelumnya untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan
metode konsumsi perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
1) Pengumpulan dan pengolahan data.
2) Analisa data untuk informasi dan evaluasi.
3) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat.
Untuk memperoleh data kebutuhan obat yang mendekati ketepatan, perlu
dilakukan analisa trend pemakaian obat 3 (tiga) tahun sebelumnya atau lebih
(Kemenkes RI, 2008). Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan dengan
metode konsumsi adalah :
1) Daftar obat.
2) Stock awal.
3) Penerimaan.
4) Pengeluaran.
5) Sisa stok.
6) Obat hilang/rusak, kadaluarsa.
7) Kekosongan obat.
8) Pemakaian obat.
9) Pemakaian rata- rata/pergerakan obat pertahun.
10) Waktu tunggu.
11) Stok pengaman.
2) Pekembangan Pola Kunjungan Metode Morbiditas.
Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit.
faktor faktor yang perlu diperhatikan adalah perkembangan pola penyakit, waktu
Langkah langkah perhitungan metode morbiditas adalah (Kemenkes RI, 2008):
1. Menetapkan pola morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat bersarkan
pola penyakit bersarkan kelompok umur dan penyakit.
2. Menyiapkan data populasi penduduk. Komposisi demografi dari populasi
yang akan di klasifikasikan berdasarkan jenis kelamin untuk umur.
3. Menyediakan data masing masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi
pada kelompok umur yang ada.
4. Menghitung frekuensi kejadian masing masing penyakit pertahun untuk
seluruh populasi pada kelompok umur yang ada.
5. Menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama pemberian obat
menggunakan pedoman pengobatan yang ada.
6. Menghitung jumlah yang harus diadakan untuk tahun anggaran yang akan
datang.
Melengkapi data rencana pengadaan obat, unit pengelola obat kabupaten/kota
perlu mengumpulkan 10 besar penyakit dari unit terkait. Data ini bermanfaat untuk
menentukan skala prioritas dalam menyesuaikan rencana pengadaan obat dengan
dana yang tersedia (Kemenkes RI, 2010).
Dalam menentukan dan perhitungan kebutuhan logistik Febriawati (2013)
ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan yaitu:
1. Berdasarkan pemakaian lalu.
2. Perkiraan dengan menggunakan.
4. Rekomendasi dari komite medis – KFT.
5. Prioritas berdasarkan VEN (vital, esensial, normal non esensial).
4. Tahap Proyeksi Kebutuhan Obat
Proyeksi kebutuhan obat adalah perhitungan kebutuhan obat secara
komprehensif dengan mempertimbangkan data pemakaian obat dan jumlah stok pada
priode yang masih berjalan dari berbagai sumber anggaran. Kegiatan yang dilakukan
pada tahap ini adalah : (Kemenkes RI, 2008):
1. Menetapkan rancangan stok akhir periode yang akan datang. Rancangan stok akhir
diperkirakan sama dengan hasil perkalian antara waktu tunggu dengan estimasi
pemakaian rata-rata per bulan ditambah stok penyangga.
2. Menghitung rancangan pengadaan obat periode tahun yang akan datang.
Perencanaan pengadaan obat tahun yang akan datang dapat dirumuskan
sebagai berikut : a = b + c + d – e – f.
Dimana :
a = Rancangan pengadaan obat tahun yang akan datang.
b = Kebutuhan obat untuk sisa periode berjalan (sesuai dengan tahun anggaran
yang bersangkutan).
c = Kebutuhan obat untuk tahun yang akan datang.
d = Rancangan stok akhir tahun (lead time dan buffer stok).
e = Stok awal periode berjalan/stok per 31 Desember di Unit Pengelola
Obat/Gudang Farmasi Kabupaten/Kota.
Menghitung rancangan anggaran untuk total kebutuhan obat dengan cara
sebagai berikut ( Kemenkes RI, 2008 ):
1. Melakukan analisis ABC–VEN (vital, esensial, non esensial).
2. Menyusun prioritas kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan dengan anggaran yang
tersedia.
3. Menyusun prioritas kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan berdasarkan 10 besar
penyakit.
4. Pengalokasian kebutuhan obat per sumber anggaran dengan melakukan kegiatan :
1) Menetapkan kebutuhan anggaran untuk masing-masing obat per sumber
anggaran.
2) Menghitung persentase (%) belanja untuk masing-masing obat terhadap
masing-masing sumber anggaran.
3) Menghitung persentase (%) anggaran masing-masing obat terhadap total
anggaran dari semua sumber.
2.7 Tahap Penyesuaian Rencana Pengadaan Obat
Dengan melakasanakan penyesuaian rencana pengadaan obat dengan jumlah
dana yang tersedia, maka informasi yang diperoleh adalah adanya jumlah rencana
pengadaan obat, skala prioritas jenis obat dan jumlah kemasan untuk rencana
pengadaan obat pada tahun yang akan datang (Kemenkes RI, 2008). Sebagai contoh
berdasarkan dana yang tersedia adalah dengan cara analisa ABC dan analisa VEN
(Vital, Esensial, Non Esensial) (Kemenkes RI, 2010).
Analisa ABC merupakan pengelompokan item obat berdasarkan kebutuhan
dana dimana (Kemenkes RI, 2008) :
1. Kelompok A adalah kelompok jenis obat yang jumlah rencana pengadaannya
menunjukan penyerapan dana sekitar 70 % dari jumlah dana obat keseluruhan.
2. Kelompok B adalah kelompok jenis obat yang jumlah rencana pengadaannya
menunjukan penyerapan dana sekitar 20 % dari jumlah dana obat keseluruhan.
3. Kelompok C adalah kelompok jenis obat yang jumlah rencana pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 10 % dari jumlah dana obat keseluruhan.
Analisa VEN merupakan pengelompokan obat berdasarkan kepada dampak
tiap jenis obat terhadap kesehatan. Semua jenis obat yang direncanakan
dikelompokan ke dalam tiga kategori yakni (Kemenkes RI, 2010 ) :
1. Kelompok V adalah kelompok jenis obat yang sangat esensial (vital), yang
termasuk dalam kelompok ini antara lain : obat penyelamat (life saving drug),
obat-obatan untuk pelayanan kesehatan pokok dan obat-obatan untuk mengatasi
penyakit penyebab kematian terbesar.
2. Kelompok E adalah kelompok obat-obat yang bekerja pada sumber penyebab
penyakit (kausal).
3. Kelompok N merupakan kelompok jenis obat-obat penunjang yaitu obat yang
berkerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau
Perkiraan kebutuhan obat dalam suatu populasi harus ditetapkan dan ditelaah
secara rutin agar penyediaan obat sesuai dengan kebutuhan. Ada tiga metode untuk
memperkirakan kebutuhan obat dalam populasi (Hartono, 2007).
1. Berdasarkan prevalensi penyakit dalam populasi (population based). Population
based merupakan metode penghitungan kebutuhan obat berdasarkan prevalensi
penyakit dalam masyarakat dan menggunakan pedoman pengobatan yang baku
untuk memperkirakan jumlah obat yang diperlukan.
2. Berdasarkan jenis pelayanan kesehatan (service based) Service based merupakan
metode penghitungan kebutuhan obat berdasarkan jenis pelayanan kesehatan yang
teredia serta jenis penyakit yang pada umumnya ditangani oleh masing-masing
pusat pelayanan kesehatan.
3. Berdasarkan pemakaian obat tahun sebelumnya (consumption based).
Consumption based merupakan penghitungan kebutuhan obat berdasarkan pada
data pemakaian obat tahun sebelumnya. Perkiraan kebutuhan obat dengan metode
ini pada umumnya bermanfaat bila data penggunaan obat dari tahun ke tahun
tersedia secara lengkap dan konsumsi di unit pelayanan kesehatan bersifat konstan
atau tidak fluktuatif.
Setelah dilakukan penghitungan kebutuhan obat untuk tahun yang akan
datang, biasanya akan diperoleh jumlah angka yang sangat besar, bahkan biasanya
lebih besar daripada anggaran yang tersedia, apalagi bila penghitungan dengan
menggunakan metode konsumsi. Untuk itu setiap kali selesai penghitungan
Evaluasi dapat sekaligus dilakukan terhadap aspek medik/terapi (penggunaan
obat) dan aspek ekonomik (efisiensi dana). Dalam Hartono (2007) ada beberapa cara
yang dianjurkan untuk melakukan evaluasi dan efisiensi perencanaan kebutuhan obat
meliputi:
1. Analisa nilai ABC, untuk mengevaluasi aspek ekonomi Suatu jenis obat tertentu
dapat memakan anggaran besar karena pemakaiannya banyak atau harganya
mahal. Jenis-jenis obat tertentu dapat diidentifikasi kemudian dievaluasi lebih
lanjut. Evaluasi ini dengan mengecek kembali penggunaannya atau apakah ada
alternatif sediaan lain yang lebih cost-efficient (misalnya merek dagang lain,
bentuk sediaan lain). Evaluasi terhadap jenis-jenis obat yang memakan biaya
terbanyak juga lebih efektif dan terasa dampaknya dibanding dengan evaluasi
terhadap obat yang relatif memerlukan anggaran sedikit.
2. Pertimbangan kriteria VEN, untuk evaluasi aspek medik/terapi melakukan analisis
VEN artinya menentukan prioritas kebutuhan suatu jenis obat yang termasuk
kriteria vital (harus tersedia), esensial (perlu tersedia atau non-esensial (tidak ada
juga tidak apa-apa). Obat dikatakan vital apabila obat tersebut diperlukan untuk
menyelamatkan kehidupan (life saving drugs), apabila tidak tersedia akan dapat
meningkatkan risiko kematian. Obat dikategorikan esensial apabila obat tersebut
terbukti efektif untuk menyembuhkan penyakit atau mengurangi penderitaan. Obat
non-esensial meliputi keaneka ragam obat yang digunakan untuk penyakit yang
yang mahal namun tidak mempunyai kelebihan manfaat dibanding obat
sejenisnya.
3. Kombinasi ABC dan VEN pendekatan (approach) manakah yang paling
bermanfaat dalam efisiensi atau penyesuaian dana? ekonomi (ABC) atau
medik/terapi (VEN)? Logikanya jenis obat yang termasuk kategori A (dalam
analisis ABC) adalah benar-benar yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit
terbanyak dan obat tersebut statusnya harus E dan sebagaian V (dari analisa VEN).
Sebaliknya jensi obat dengan status N harusnya masuk dalam kategori C.
4. Revisi daftar obat apabila analisis ABC dan VEN terlalu sulit dilakukan sementara
diperlukan evaluasi cepat (rapid evaluation) dalam daftar perencanaan kebutuhan
obat, maka dapat dilakukan revisi daftar perencanaan obat. Namun sebelumnya
perlu dikembangkan terlebih dahulu kriterinya, obat atau nama dagang apa yang
dapat dikeluarkan dari daftar?. Manfaatnya tidak hanya dari aspek ekonomi dan
medik saja, tetapi dapat berdampak positif pada beban penanganan stok.
Menurut pendapat Quick (1992) dalam Hartono (2007) mengatakan bahwa
perencanaan kebutuhan obat dengan metode konsumsi yang menggunakan data
konsumsi pemakaian obat, dapat memberikan gambaran yang paling tepat terhadap
kebutuhan yang akan datang. Metode konsumsi cukup fleksibel untuk diterapkan
pada situasi dan jumlah penduduk atau pelayanan kesehatan dasar. Sedangkan metode
morbiditas meramalkan jumlah kebutuhan obat secara teoritis untuk keperluan
pengobatan terhadap penyakit tertentu/khusus. Metode morbiditas memerlukan data
petunjuk pengobatan yang standar untuk memperhitungkan kebutuhan obat. Metode
morbiditas merupakan metode yang sangat rumit, memerlukan waktu lama dan bisa
terjadi ketidak sesuaian antara proyeksi dengan pelaksanaan program berikutnya.
2.8 Pengadaan Obat
Pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, sehingga obat ini yang tersedia di
puskesmas. Berdasarkan Kemenkes RI (2010) obat yang tersedia di puskesmas adalah
obat esensial dimana jumlah dan jenisnya telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
merujuk pada DOEN. Tahun 2014 era Jaminan Kesehatan Nasional merujuk pada
E-catalog. Hal ini sesuai dengan kebijakan Menteri Kesehatan bahwa puskesmas selaku
PKD wajib menggunakan obat generik sebagai persediaan obat pada fasilitas
kesehatan.
Tujuan pengadaan obat adalah :
1) Tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan
pelayanan kesehatan.
2) Mutu obat terjamin.
Beberapa kriteria obat publik dan perbekalan kesehatan antara lain :
1. Obat termasuk dalam daftar obat publik, obat program kesehatan, obat generik
yang tercantum dalam DOEN yang masih berlaku atau sekarang yang berlaku
adalah Formularium Nasional.
2. Obat telah memiliki izin edar atau nomor regristrasi dari Departemen Kesehatan
RI.
3. Batas kedaluwarsa obat pada saat pengadaan minimal 2 tahun.
4. Obat memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor batch
masing-masing produk.
5. Obat diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB.
Siklus pengadaan obat meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
1. Meninjau atau memeriksa kembali tentang pemilihan obat (seleksi obat).
2. Menyesuaikan atau mencocokkan kebutuhan dan dana.
3. Memilih metode pengadaan.
4. Mengalokasikan dan memilih calon penyedia obat (supplier).
5. Menentukan syarat-syarat atau isi kontrak.
6. Memantau status pesanan.
7. Menerima dan mengecek obat.
8. Melakukan pembayaran.
9. Mendistribusikan obat.
Metode pengadaan obat yang dilaksanakan di puskesmas adalah (Kemenkes
RI, 2010) :
a. Menentukan jenis permintaan obat
1. Permintaan Rutin.
Dilakukan sesuai dengan jadwal yang disusun oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota untuk masing-masing puskesmas.
2. Permintaan Khusus.
Dilakukan di luar jadwal distribusi rutin apabila :
a. ¾ Kebutuhan meningkat.
b. ¾ Terjadi kekosongan.
c. ¾ Ada Kejadian Luar Biasa (KLB / Bencana).
b. Menentukan jumlah permintaan obat
Data yang diperlukan antara lain :
1) Data pemakaian obat periode sebelumnya.
2) Jumlah kunjungan resep.
3) Jadwal distribusi obat dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota.
Prosedur pengadaan sebelum dan sesudah E-catalog dapat dilihat pada
gambar 2.1 berikut ini.
Sebelum sistim E-catalog Setelah E-catalog
Gambar 2.1. Prosedur Pengadaan Obat Sebelum dan Setelah E-catalog Sumber Permenkes RI No 1121 tahun 2008 dan Permenkes RI No 63 tahun 2014
2.9 Landasan Teori
Sebagai landasan teori tentang perencanaan kebutuhan obat publik dalam
penelitian ini mengacu pada teori pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan
yaitu Permenkes RI No 1121/Menkes/SK/XII/2008 tentang Pedoman Teknis
Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Dasar.
2.9. Kerangka Pikir
Sistem pemenuhan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar
puskesmas sangat tergantung kepada perencanaan kebutuhan obat di Dinas Kesehatan
Kota Padangsidimpuan. Sebagai kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 2.2