• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pemantauan

Dalam dokumen YLBHI Keadilan Restoratif bagi Anak yang (Halaman 31-41)

Kinerja penanganan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) bersifat multi-stakeholder karena akan terkait dengan banyak pihak secara sistemik mulai dari perencanaan kebijakan, implementasi kebijakan, dan upaya-upaya pemantauan. Bab ini akan mendeskripsikan kinerja penanganan ABH, baik di level perencanaan, pelaksanaan, maupun pemantauannya.

Pada level perencanaan akan diungkapkan bagaimana proses perumusan kebijakan terkait penanganan ABH baik di level nasional oleh Komisi IX DPR maupun di level lokal oleh DPRD di empat daerah. Pada level pelaksanaan, yaitu pada ranah eksekutif akan dideskripsikan kinerja program departemen terkait, terutama Departemen Hukum dan HAM, Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan, dan Departemen Sosial, baik di level nasional maupun pada level dinas di bawahnya.

Sementara di level pemantauan akan dideskripsikan peran lembaga semi-negara, baik di level nasional oleh KPAI dan di level lokal oleh KPAID dan lembaga sejenis lainnya serta lembaga-lembaga lain yang turut serta dalam upaya pemantauan kasus ABH. Dinamika yang terjadi di level perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pada berbagai ranah itu selanjutnya akan dideskripsikan lebih lanjut pada sub-bab berikut. 4.1. Kinerja Perencanaan Kebijakan

Usulan pemerintah untuk membahas RUU Sistem Peradilan Pidana Anak disambut baik oleh 9 Fraksi di Komisi III. Keputusan ini diambil dalam rapat kerja dengan 4 menteri terkait mewakili Presiden yaitu, Menkumham, Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Menpan dan Reformasi Birokrasi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, 28 Maret 2011. Pasalnya menurut Benny K. Harman UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang, baik dari aspek yuridis, filosofis maupun sosiologis.

DPR menjanjikan bahwa RUU Sistem Peradilan Pidana Anak akan mengacu pada Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia pada 25 Agustus 1990. “Konsepnya bukan penjara hitam putih tetapi pembinaan, ibarat mengarahkan orang yang tersesat jalan” ujar Benny. Hal senada juga diungkapkan oleh anggota Komisi III dari FPDIP, Eva Kusuma Sundari. Menurut Eva, perubahan yang mendasar dari RUU ini antara lain adanya semangat untuk mengutamakan restorative justice sebagai dasar dari pelaksanaan peradilan anak. Dengan demikian tindakan dan sanksi pidana yang diberikan harus lepas dari filosofi pembalasan, tetapi lebih ditekankan untuk pencegahan. “Tindakan atau sanksi yang diberikan pada anak harus semata-mata untuk melakukan perubahan sikap anak,” ujar Eva dalam pandangan mini FPDI-P. Pandangan mini Fraksi PKS pun nyaris senada, sebagaimana dipaparkan Nasir Jamil. Menurutnya, saat ini anak yang berhadapan dengan hukum kerap diperlakukan sama dengan orang dewasa. “Ini tentu tidak sesuai dengan psikologis dan karakteristik anak, karenanya pemidanaan mestinya harus merupakan pilihan terakhir,” tandasnya.

Fraksi PKS juga memberi penekanan pada upaya diversi yaitu penempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana yang menjadi pilihan dalam undang-undang ini nantinya. Meski hal ini menurut Nasir akan mengundang banyak pertanyaan. Apakah semua jenis tindak pidana yang dilakukan anak harus diupayakan diversi? Berapa batas ancaman tindak pidana yang dapat dikenakan diversi? Bagaimana pengawasan terhadap penegak hukum yang berwenang melakukan diversi? “Perlu pengawasan yang ketat terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus anak, agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan kewenangan,” sebut Nasir dalam pandangan mini fraksinya.

Dalam RUU, Sistem Peradilan Pidana Anak didefinisikan sebagai keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Rapat Panja RUU SPPA kemudian menekankan pentingya sistem peradilan anak dilakukan dengan didasarkan atas asas ultimum remedium, yakni sebagai upaya terakhir dalam rangka memberikan pendidikan terhadap anak, bukan menghukum anak. Selain itu, hampir seluruh fraksi sepakatperlunya memberikan batasan yang jelas berkaitan dengan usia Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah orang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun yang disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana.

Namun anggota Komisi III DPR, Ahmad Baskara mengharapkan Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak hanya menjangkau proses pengadilan anak di atas 12 sampai 18 tahun. Ia menunjuk bahwa realitas sosial yang kini banyak terjadi dimana anak-anak sering menjadi semacam ’komoditas ekonomi’. Contohnya, anak-anak dijadikan umpan kejahatan oleh mafia preman, misalnya. “Anak-anak dimanfaatkan menjadi pengamen atau lainnya yang kurang terpuji, itu pasti ada mafianya,” kata Baskara Baskara mengkhawatirkan jika ada pasal yang mengatur bahwa ada pemberian jaminan anak dibawah 12 tahun tidak akan dihukum atas tindak kejahatan pidana yang dilakukan. “Dikhawatirkan ada mafia yang mengkoordinir anak di bawah 12 tahun untuk dididik melakukan kejahatan yang dikehendakinya. Seperti pencopetan, pencurian. Karena apabila tertangkap dengan mempergunakan dalih atas nama UU, mereka bisa dibebaskan kembali dan selanjutnya mengulangi tindakan tercela tersebut,” keluhnya.86

Secara umum, pembahasan RUU SPPA di DPR tidak terlalu menampakkan perdebatan yang krusial. Hal ini setidaknya dapat disimak dari hasil Panitia Kerja (Panja) hingga februari 2012. Beberapa isu yang mencuat dalam pembahasan itu antara lain soal diversi, ketentuan penahanan, hakim pengadilan anak, serta pendamping anak dalam persidangan. Wacana ini setidaknya dapat terrekam dalam risalah hasil Panja per Februari 2012 serta dalam DIM Naskah RUU SPPA dan Usulan DPR.87 Selebihnya, Panja DPR tampak lebih “akomodatif” terhadap rancangan yang diajukan pemerintah dan berbagai masukan dari kelompok masyarakat sipil.

86 http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi3/2011/okt/05/3194/komisi-iii-inginkan-perlindingan-anak-dalam-penanganan-hukum.

Fenomena ini setidaknya mengindikasikan tiga kemungkinan. Pertama, adanya kesepahaman antara DPR sebagai legislator di satu pihak dengan pemerintah sebagai pengusul awal RUU SPPA. Kedua, sikap akomodatif kalangan DPR atas beragam masukan, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat luas, terutama dari koalisi LSM yang banyak memberi masukan sehubungan RUU SPPA.88Ketiga, sikap apriori dan keterbatasan pemahaman yang dimiliki anggota dewan sehingga pembahasan RUU SPPA terkesan lamban dan kurang dinamis.

Namun tampaknya, ketiga kemungkinan itu bisa jadi benar adanya, terutama untuk kemungkinan yang ketiga. Ini terbukti, bukan saja dari dinamika pembahasan yang lemah, tapi juga dari tenggat waktu pembahasan yang mulur berkepanjangan. Padahal, sejak tahun lalu Komisi III DPR sudah sesumbar untuk menuntaskan RUU SPPA, tapi hingga kini pembahasan RUU SPPA belum juga tuntas. “Tahun ini juga pembahasan RUU ini akan tuntas. Kita akan langsung tancap gas, tak perlu studi banding ke luar negeri segala. Pokoknya, prinsipnya kita tidak ingin membuang-buang waktu untuk membahas persoalan penting ini,“ ujar salah seorang anggota Komisi III DPR, Nudirman Munir.89

Namun kenyataannya, hingga kini pembahasan RUU SPPA belum juga tuntas. Kinerja anggota DPR, terutama dalam hal legislasi kini memang banyak menjadi sorotan. Koordinator Forum Masyarakat Peduli Palemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, menilai bahwa kinerja legislasi anggota dewan kian melorot. Menurut Sebastian, Target program legislasi nasional tahun 2011 belum satu pun Rancangan Undang-Undang disahkan oleh DPR. “Target legislasi 2011 terdiri dari 70 Prolegnas dan 23 RUU luncuran tahun 2010. Tapi tidak ada satupun target Prolegnas 2011 yang disahkan jadi UU di tahun 2011 ini," ujar Sebastian Salang dalam jumpa pers menyangkut evaluasi tahun kedua DPR 2009-2014.

Menurut Sebastian, kemerosotan kinerja DPR ini utamanya disebabkan oleh ketidakmampuan DPR RI menghasilkan kinerja maksimal guna memenuhi kepentingan publik. Fenomena ketidakmampuan DPR RI memenuhi target Prolegnas 2011 tersebut mengindikasikan tidak adanya sinergi antara rencana pembangunan pemerintah dengan pembangunan legislasi yang dibuat oleh DPR. Pengamat politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit menilai anggota DPR terlalu sibuk menjalankan fungsi anggaran dan pengawasan daripada fungsi legislasi. Inilah yang mengakibatkan kinerja mereka di bidang legislasi kedodoran. "Mereka terlalu sibuk membahas anggaran, mengawas kasus Century. Lalu mereka lupa membahas undang-undang," ujar Arbi Sanit.90

Rendahnya kinerja legislasi para legislator tidak saja terjadi di DPR pusat. Hal yang sama juga terjadi pada para legislator di daerah. Lebih-lebih kinerja kebijakan dalam hal soal anak yang bukan merupakan isu seksi sehingga wacananya banyak terabaikan. Ini terbukti, dari 4 daerah lokus riset hanya di Surabaya dan Jakarta saja yang ada Perda perlindungan anak. Itu pun belum secara spesifik mengatur soal ABH. Karena itu, dari sisi kinerja kebijakan, isu anak, terutama mengenai ABH masih merupakan isu marginal.

88 Simak antara lain masukan dari KPAI dan Konsorsium Reformasi Sistem Perlindungan Anak yang disampaikan Apong Herlina (Lampiran-5).

89 Wawancara dengan Nudirman Munir, Jakarta: 11 Oktober 2011.

4.2. Kinerja Pelaksanaan Program

Masalah anak yang seringkali dipandang sebagai sesuatu yang simpel dan sepele ternyata memiliki kompleksitas tersendiri. Karenanya penanganan masalah anak memerlukan perhatian tersendiri, termasuk dan terutama anak yang masuk kategori bermasalah dengan hukum (ABH). Menyadari bahwa penanganan ABH belum menunjukkan kemajuan yang signifikan maka dalam implementasi program pada ranah eksekutif dan yudikatif telah dibuat suatu kesepakatan bersama secara lintas departemen. Kesepakatan bersama tentang penanganan ABH tertuang dalam Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Menteri Sosial.

Secara normatif, Keputusan Bersama dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan dalam upaya penyelesaian perkara penanganan ABH secara terkordinasi oleh aparat penegak hukum dan semua pihak terkait. Keputusan Bersama ini mengatur tentang penanganan ABH meliputi penanganan di tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan, pembimbingan, pendampingan, pelayanan, dan pembinaan pemasyarakatan serta penanganan selanjutnya setelah putusan pengadilan.

Secara lebih rinci, Keputusan Bersama ini telah mengatur tugas dan kewenangan masing-masing instansi dalam hubungannya dengan penanganan ABH. Koordinasi terutama dalam hal tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta kewenangan dalam pengembangan panduan atau pedoman Standard Operational Procedur (SOP). Pola koordinasi dalam melakukan sosialisasi internal, tupoksi masing-masing lembaga dapat disimplifikasi pada tabel berikut.

Tabel-4: Tupoksi institusi dalam penanganan ABH

No Institusi Tugas dan wewenang

1 Mahkamah Agung Pemeriksaan pengadilan

2 Kejaksaan Penuntutan

3 Kepolisian Penyidikan

4 Depkum HAM Perlindungan dan pembinaan pemasyarakatan 5 Depsos Pelayanan dan pembimbingan

6 Kementerian PPPA Pendampingan, advokasi, dan pemantauan

Dalam konteks pemeriksaan pengadilan ABH, Mahkamah Agung didorong untuk mampu menyiapkan hakim dan panitera yang profesional di bidang anak serta memfasilitasi persidangan ramah anak. Sementara dalam penuntutan kasus ABH, kejaksaan diharapkan dapat melakukan penuntutan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi ABH. Karenanya, Keputusan Bersama ini mengamanatkan agar kejaksaan menyiapkan jaksa dan tenaga pendukungnya yang professional di bidang anak, termasuk menyediakan ruang pemeriksaan khusus bagi anak pada setiap kantor kejaksaan. Adapun di tingkat kepolisian, penyiapan penyidik yang professional di bidang anak, penyiapan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak serta ruang pemeriksaan khusus bagi anak merupakan keniscayaan.

Di level eksekutif, kinerja pelaksanaan program penanganan ABH dapat dilihat di tiga departemen, yaitu Departemen Hukum dan HAM, Departemen Sosial, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dalam konteks penanganan ABH, Departemen Hukum dan HAM antara lain memiliki tugas untuk meningkatkan pelayanan litmas, pembimbingan, pengawasan, serta pendampingan ABH. Sementara Departemen Sosial bertugas memfasilitasi penyediaan panti sosial bagi ABH. Adapun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bertugas melakukan kordinasi, sosialisasi, advokasi, fasilitasi, serta mendorong peran serta masyarakat dalam penanganan ABH.

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Linda Gumelar mengaku kementerian di bawah pimpinannya telah banyak menginisiasi program dalam rangka penanganan ABH. Namun demikian ia juga mengakui belum optimalnya koordinasi kelembagaan dalam kaitannya dengan penanganan kasus ABH, baik di internal Kementerian PPPA maupun dengan instansi lainnya. “Banyak program yang sudah kita upayakan, meski memang harus diakui koordinasinya masih lemah, terutama kordinasi antar-departemen dalam penanganan ABH,” ujarnya.91 Selain masalah koordinasi, hal lain yang menjadi hambatan adalah persoalan sosialisasi. Mantan Ketua LAPA yang kini menjadi anggota KPAI, Apong Herlina, menuturkan bahwa sejak disyahkannya SKB pada Desember 2009 sampai saat ini masih miskin sosialisasi. Padahal sosialisasi itu penting dan bahkan dalam SKB tersebut sangat ditekankan pentingnya koordinasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Kurangnya sosialisasi tentu berimplikasi terhadap wawasan dan pemahaman aparat terhadap wacana keadilan restoratif. Apong juga menilai bahwa penanganan anak, terutama ABH saat ini masih bersifat sektoral. Misalnya, ketika ABH ditahan di LAPAS maka masalah pendidikan dan pembinaan dipegang semua oleh LAPAS tanpa ada pelibatan dari instansi pendidikan.92

Sekretaris Lembaga Pemantauan Anak (LPA) Jawa Timur, Priyono Adi menilai secara konseptual Keputusan Bersama mengenai Penanganan ABH merupakan suatu konsep yang ideal. Persoalannya, idealitas konseptual itu masih tampak sulit terimplementasi dalam tataran program riil di level eksekutif. Menurut Priyono, bukan saja dalam pelaksanaan program, tapi bahkan wacana penanganan ABH-nya sendiri di kalangan para pelaksana program di tiap departemen terkait masih belum dipahami secara seragam. “Karena itu masih menjadi kendala untuk membangun sinergi program penanganan ABH antar-departemen,” ujarnya.93

Azis Muslim, staff Dinas Sosial Kota Surabaya mengakui lemahnya kordinasi kelembagaan terkait penanganan ABH, terutama di level daerah. Ia bahkan menyebutkan bahwa Dinas Sosial sama sekali tidak turut terlibat dalam penanganan ABH. ”Dinsos tidak menangani ABH, tapi menangani mantan ABH, terutama dari kasus nafza dan penyandang masalah sosial lainnya seperti gepeng, pengemis, pengamen, dan penyandang masalah sosial lainnya. Program Dinsos lebih untuk pendampingan anak dan pemulihan anak yang punya masalah sosial,” ujarnya.94

91 Simak antara lain dalam: http://www.jurnas.com/news/28220

92 Wawancara dengan Apong Herlina, Jakarta: 18 Oktober 2011.

93 Wawancara dengan Priyono Adi, Surabaya: 24 Oktober 2011.

94 Pernyataan Azis Muslim disampaikan dalam Focus Group Disscussion di LBH Surabaya, 14 Desember 2011.

Menurut Azis, dalam penanganan anak, Dinsos tidak bergelut di ranah hukumnya, tapi lebih pada program-program rehabilitasi dan pencegahan agar anak, terutama yang masuk kategori rentan seperti pengemis, pemulung, dan anak PKMS lainnya tidak terjerumus untuk bermasalah dengan hukum.

Masih di level pelaksanaan, penting juga untuk dicatat sejumlah terobosan, misalnya yang dilakukan oleh Bareskrim Polri yang mengeluarkan telegram khusus ke semua jajaran Polres di seluruh Indonesia dalam rangka promosi keadilan restoratif. Telegram bernomor: TR/1124/XI/2006 dan TR/395/VI/2008 tanggal 9 Juni 2008 berisi tentang pelaksanaan diskresi dan keadilan restoratif penanganan ABH sebagai pelaku, korban, dan saksi. Namun sayangnya, ”misi positif” ini tidak serta merta dapat dilaksanakan di semua daerah. Terbukti masih begitu banyaknya kasus ABH yang ditangani lewat pemidanaan ketimbang melalui pendekatan keadilan restoratif. Hal ini lagi-lagi menunjukkan lemahnya kordinasi kelembagaan dalam tataran pelaksanaan penanganan ABH.

Selain masalah koordinasi dan sinergi antar-departemen, hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam hubungannya dengan kinerja penanganan ABH adalah politik anggarannya. Peta alokasi penganggaran tentu saja akan menyiratkan sejauhmana apresiasi kelembagaan dalam program penanganan ABH. Secara spesifik memang tidak ditemukan pos anggaran untuk penanganan ABH. Namun demikian, bila disimak dari posting belanja pemerintah berbasiskan fungsi dan sub-fungsi, tampaknya anggaran penanganan ABH masuk dalam mata anggaran “Ketertiban dan Keamanan” dan “Perlindungan Sosial”. Secara umum, alokasi dalam dua fungsi dan sub-fungsi “Ketertiban dan Keamanan” dan “Perlindungan Sosial” dapat disimak dalam tabel berikut.

Tabel-5: Penganggaran ABH

Ketertiban dan Keamanan Perlindungan Sosial

Kode

Anggaran Sub-Fungsi (miliar) Jumlah Anggaran Kode Sub-Fungsi (miliar) Jumlah 03.01 Kepolisian 14.855.0 11.01 Perlindungan dan

pela-yanan sosial orang sakit 284.7

03.02 Penanggulangan bencana 637.8 11.02 Perlindungan dan

pela-yanan sosial lansia 138.0

03.03 Pembinaan hukum 2.409.0 11.03 Perlindungan dan pela-yanan sosial keluarga pahlawan dan pejuang kemerdekaan

-

03.04 Peradilan 4.918.9 11.04 Perlindungan dan

pela-yanan sosial anak-anak 481.2

03.05 Lembaga

pemasyarakatan - 11.05 Pemberdayaan perempuan 136.3

03.06 Litbang Tibman 9.6 11.06 Penyuluhan dan bimsos -

03.07 Tibman lainnya 1.992.5 11.07 Bantuan perumahan -

11.08 Bantuan dan jaminan sosial 31.2

11.09 Litbang Linsos 215.7

11.90 Perlindungan sosial lain 3.722. 6

Pada pos anggaran perlindungan sosial, anggaran untuk perlindungan dan pelayanan sosial anak memang cukup besar, yakni 481.2 miliar. Bahkan paling besar dalam fungsi “Perlindungan Sosial” setelah sub-fungsi Litbang. Namun ini tentu masih bersifat umum. Belum dapat dipastikan seberapa besar dari jumlah total itu diperuntukan secara spesifik untuk penanganan ABH. Hal yang mengejutkan dan sekaligus menyimpan tanda tanya besar justru pada pos anggaran untuk Lembaga Pemasyarakatan yang memang tidak tersedia anggarannya (?) Padahal, upaya penanganan ABH saat ini masih masuk dalam lingkup sub-fungsional Lembaga Pemasyarakatan.

Potret anggaran tersebut setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, ‘kosongnya’ anggaran Lembaga Pemasyarakatan boleh jadi menjadi kabar baik karena penanganan ABH tidak lagi menjadi rezim Lembaga Pemasyarakatan, tapi justru berada dalam wilayah “Pelayanan dan Perlindungan” anak. Namun kemungkinannya bisa juga sebaliknya, karena kenyataannya kasus ABH masih tetap banyak berada di lingkup Lembaga Pemasyarakatan, maka ‘kosongnya’ anggaran Lembaga Pemasyarakatan dapat menjadi penanda bahwa apresiasi terhadap penanganan ABH masih jauh panggang dari api sehingga karenanya harus dipertanyakan.

4.3. Kinerja Pemantauan

Perlindungan atas hak-hak anak sejatinya telah diakui konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28B Ayat (2) menyebutkan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain dalam UUD 1945, “titah” legal formal terkait perlindungan anak masih dapat dijumpai dalam peraturan perundangan di bawahnya. Sebut saja misalnya, UU No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan, UU No.39 Tentang Hak Asasi Manusia, serta UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang kini tengah direvisi melalui RUU SPPA. Karena itu, sehubungan dengan hal ini, pengawalan dan pemantauan RUU SPPA menjadi salah satu agenda penting dalam upaya pemajuan dan perlindungan hak anak, terutama ABH.

Dalam implementasinya, upaya perlindungan anak, terutama ABH, sebenarnya telah menjadi tanggung jawab banyak departemen. Setidaknya, ada enam institusi terkait yang secara legal-formal menaungi tanggung jawab ini, yakni: Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung, Kepolisian, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun justru karena banyaknya institusi yang memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan, maka titik krusialnya terdapat dalam hal koordinasi kelembagaan antardepartemen terkait. Karena itu, kehadiran KPAI sebagai lembaga resmi negara yang memiliki tugas spesifik untuk melakukan perlindungan dan pemantauan hak anak menjadi penting sebagai simpul koordinasi.

Kehadiran KPAI yang memiliki mandat dalam ranah perlindungan anak di Indonesia sangatlah dibutuhkan masyarakat. Meskipun dari sisi usia masih teramat muda, setidaknya bila dibanding dengan Komisi Negara lain seperti : Komnas HAM dan Komnas Perempuan, tugas dan tantangan yang diembannya tidaklah kecil. Kelahiran KPAI merupakan mandat dari Undang-Undang yang antara lain memiliki tupoksi untuk melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI juga memiliki

tanggung jawab untuk menyusun laporan kerjanya sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam rangka perlindungan anak.95

Sebagai lembaga resmi ”semi-negara” (state auxilary body) yang punya mandat untuk melakukan pemajuan dan perlindungan hak anak, KPAI tentu tidak bisa jalan sendiri. Terlebih bila mengingat kompleksitas persoalan anak yang demikian banyak. Karena itu, koordinasi KPAI dengan banyak pihak menjadi kata kunci yang penting. Dalam hal pemantauan hak anak, kinerja KPAI tentu akan banyak terbantu dengan hadirnya lembaga sosial seperti LSM yang sama-sama punya konsen terhadap upaya pemajuan dan perlindungan hak anak.

Meskipun jumlah LSM kian hari makin bertambah banyak, namun yang punya konsen khusus terhadap pemantauan hak anak nampaknya masih terbatas. Ini setidaknya tergambar dari partisipan konsorsium reformasi sistem perlindungan anak yang sejatinya kebanyakan bukan lembaga spesifik yang mengurusi masalah anak. Sebagai contoh, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menjadi salah satu motor konsorsium ini. Meskipun YLBHI bukan lembaga spesifik yang mengurusi persoalan anak, namun punya komitmen dan konsen untuk melakukan advokasi untuk pemajuan dan perlindungan hak-hak anak.

Meskipun dari sisi jumlah tidak terlalu banyak, namun peran lembaga pemantau tampaknya cukup strategis dan signifikan. Ini setidaknya tergambar, misalnya dalam proses penyusunan RUU SPPA dimana usul-usul yang disampaikan konsorsium pemantau banyak diakomodasi, baik oleh Komisi III DPR dalam proses legislasi maupun oleh pemerintah dalam mengimplementasikan program terkait pemajuan hak-hak anak.

Dalam kaitannya dengan proses pembahasan RUU SPPA, misalnya, setidaknya ada sepuluh point yang menjadi catatan konsorsium. Catatan paling penting adalah

Dalam dokumen YLBHI Keadilan Restoratif bagi Anak yang (Halaman 31-41)

Dokumen terkait