• Tidak ada hasil yang ditemukan

YLBHI Keadilan Restoratif bagi Anak yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "YLBHI Keadilan Restoratif bagi Anak yang"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

Keadilan Restoratif

bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)

(Kasus Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Medan)

Peneliti Utama: Sofian Munawar Asgart Peneliti: Syamsul Munir, Rizky Zulkarnain (Jakarta)

Abdul Fatah, Ade Istigfar (Surabaya) Sugianta Made (Denpasar) Syah Rizal Munthe (Medan)

(2)

Bab I

Pendahuluan

Kamis 22 Juli 2010, ratusan anak yang merupakan perwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia tumpah ruah dalam kemeriahan acara Kongres Anak Indonesia IX 2010 di Pangkal Pinang. Namun sayang, kemeriahan acara Kongres itu segera diikuti ‘konser tangisan’ berjamaah dari para delegasi anak itu ... Pasalnya, naskah “Suara Anak Indonesia 2010” yang mestinya dikumandangkan di depan Presiden SBY, mendadak gagal dibacakan. “Waktunya tidak cukup ...,” ujar salah seorang panitia saat itu memberikan alasan.

Hal serupa juga terjadi pada peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 23 Juli 2011. Suara anak yang sudah disiapkan sejak lama akhirnya gagal didengar presiden, karena Presiden SBY tidak bisa hadir pada acara HAN. Kepala Negara saat itu malah memilih menghadiri acara Rapat Koordinasi Nasional Partai Demokrat di Sentul, Bogor. Namun ternyata, bukan suara anak itu saja yang ditolak dan diabaikan negara. Lebih dari itu, hak-hak anak umumnya masih terus terpinggirkan. Pun apalagi anak-anak ‘bermasalah’ yang masuk kategori anak-anak yang berkonflik dengan hukum (ABH). Mereka seolah mengalami marginalisasi berkali-kali dan bahkan dijauhkan dari rasa keadilan. Contoh paling konkret, misalnya, kasus “sandal jepit” yang belum lama bergulir1. Ini menjadi bukti betapa keadilan restoratif bagi ABH masih merupakan sesuatu yang mahal.

1.1. Arti Penting Studi

Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) menunjukkan tingginya angka kriminalitas pada kelompok usia 8-18 tahun.2 Tingginya angka pelaku kejahatan pada kelompok usia ini membawa dampak bagi semakin besarnya jumlah anak yang akan masuk dalam proses peradilan yang selanjutnya akan menjalani beragam hukuman yang seringkali tidak sesuai dengan perkembangan psiko-sosial anak dan bahkan mengabaikan hak-hak anak.

Di sisi lain, beragam tindak kejahatan yang dilakukan anak dipandang bukan suatu ”kejahatan murni” karena perbuatan yang dilakukan oleh anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu secara mandiri. Dalam banyak kasus, tampak jelas bahwa anak sebagai pelaku kejahatan seringkali juga sekaligus sebagai korban. Anak yang menjadi pelaku kejahatan seringkali menjadi korban lingkungannya, korban ketidakberdayaan, dan korban dari sebuah sistem yang mengabaikannya. Karena itu, pengadilan bukanlah jalan satu-satunya untuk menangani persoalan anak yang sedang berkonflik atau ”Anak yang Berhadapan dengan Hukum” (selanjutnya disebut ABH).

1 Simak “Kejamnya Keadilan ‘Sandal Jepit’ “ dalam Kompas: Jakarta, 6 Januari 2012.

2 Jumlah anak yang menjadi narapidana dan tahanan LAPAS di seluruh Indonesia sampai dengan bulan

(3)

Dalam konteks ini, penanganan ABH melalui pendekatan keadilan restoratif dapat menjadi alternatif. Hal ini sejalan dengan prinsip yang termuat dalam Konvensi Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) yang telah diratifikasi melalui Keppres No.36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak dan kemudian dikukuhkan lagi dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam kedua peraturan itu tampak jelas adanya upaya untuk melindungi ABH, khususnya menyangkut prinsip “The Best Interest of The Child” dimana pemidanaan anak sebaiknya diposisikan sebagai opsi terakhir atau“The Last Resort”.

Prinsip keadilan restoratif kini memang sedang banyak didorong untuk penanganan kasus ABH. RUU Peradilan Anak yang kini sedang dirancang pemerintah dan DPR juga tampaknya akan banyak mengakomodasi prinsip ini. Di level eksekutif bahkan telah ada kesepakatan bersama antara Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia untuk mendorong upaya ini.3 Persoalannya kemudian yang masih menyisakan tanda tanya adalah pada level implementasinya, terutama menyangkut sosialisasi pemahaman bersama dan koordinasi kelembagaan dengan pihak-pihak terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), BAPAS, terutama pada tingkat yang lebih implementatif di level daerah.

Berdasarkan latar belakang itulah penelitian ini akan mencoba memotret efektifitas model keadilan restoratif sebagai sebuah tawaran alternatif dalam penanganan kasus ABH dengan mengambil sampel di empat daerah: Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Medan.

1.2. Landasan Konseptual

Sistem peradilan anak yang kini cenderung didominasi pendekatan retributif dan restitutif kini mulai didorong untuk dikomplementasikan dengan pendekatan model restoratif. Pendekatan keadilan restoratif dalam paradigma peradilan sejatinya bukan suatu pendekatan baru. Bazemore dan Schiff (2005) menyebutkan bahwa pendekatan restoratif dalam peradilan, terutama dalam peradilan anak sudah mulai mengglobal. Menurutnya, pendekatan ini sudah mulai banyak dipilih karena terbukti mampu menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif.4

Pavlich (2002) menyebutkan bahwa keadilan restoratif pada dasarnya bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.5 Sementara Wright (1992) menjelaskan bahwa konsep keadilan restoratif pada dasarnya sederhana. Menurut Wright, ukuran keadilan tidak lagi dilekatkan pada soal “balasan setimpal’ dari korban kepada pelaku, baik secara fisik, psikis atau hukuman, namun perbuatan

3 Simak: “Keputusan Bersama Tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Jakarta:

22 Desember 2009.

4 Bazemore, G & Schiff, M (2005). Juvenile Justice and Restorative Justice: Building Theory and Policy from Practice, Willan Publishing, Oregon.

(4)

yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab.6

Dalam konteks Indonesia, prinsip keadilan restoratif dalam pidana ABH seringkali merefer pada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dalam SKB tersebut dinyatakan bahwa “keadilan restoratif merupakan suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait suatu tindak pidana secara bersama-sama dengan menekankan pada upaya pemulihan kembali pada keadaan semula”.7

Bagir Manan (2008) menyebutkan bahwa keadilan restoratif mensyaratkan sejumlah substansi yang berisi beberapa prinsip-prinsip, antara lain: partisipasi bersama antara pelaku dan korban, dan masyarakat; menempatkan pelaku dan korban sebagai ‘stakeholders’ dalam upaya pencarian penyelesaian yang adil bagi semua pihak ( win-win solution), dan adanya kesepakatan diantara mereka untuk memilih jalur informal dan personal. Menurut Bagir Manan, konsep dan prinsip ini sebenarnya telah lama dipraktekan oleh sejumlah masyarakat adat di Indonesia8. Karena itu, upaya untuk menjadikan pendekatan ini sebagai model alternatif dalam penanganan persoalan ABH sangat prospektif, artinya tinggal memodifikasi dari praktik-praktik yang secara konvensional sudah ada dan berkembang di sejumlah tempat di Indonesia.

1.3. Hipotesis

Secara legal formal, jaminan perlindungan anak secara umum memang telah tertuang dalam beberapa perundangan.9 Demikian halnya mengenai pidana anak, telah ada payung hukumnya secara spesifik, meskipun hingga kini masih dinilai problematik.10 Bahkan, SKB “Ramah Anak” yang ditandatangani enam kementerian terkait penanganan ABH sudah dikeluarkan sejak 2009. Namun demikian, bukan berarti persoalan ABH sudah tertangani secara tuntas. Dalam level implementasi, jaminan perlindungan anak, khususnya dalam konteks persoalan ABH kini masih menjadi blunder. Ini antara lain, misalnya, diakui sendiri oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar. “SKB Ramah Anak belum efektif, karena prakteknya di lapangan masih banyak ditemukan dimana anak masih dipidanakan,” ujarnya.11

6 Wright, M (1992). Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender

Mediation-International Research Perspectives. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht.

7 Simak: “Keputusan Bersama Tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Jakarta:

22 Desember 2009.

8 Manan, Bagir (2008). “Restorative Justice (Suatu Perkenalan)” dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara-RI, Jakarta.

9 Antara lain dan terutama Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945, KUUHP, Keppres

No.36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

10 Payung hukum untuk ABH kini masih menggunakan UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak. Banyak pihak menilai undang-undang ini memiliki sejumlah kelemahan sehingga perlu direvisi.Sejak 2006 telah dilakukan upaya revisi undang-undang ini dan saat ini draft RUU Pengadilan Anak telah diserahkan pemerintah ke DPR, diharapkan pada 2011 RUU Pengadilan Anak akan diundangkan sebagai revisi terhadap UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

(5)

Berbagai pelanggaran dan pengabaian hak anak, terutama dalam kaitannya dengan penanganan ABH tentu akan lebih mudah lagi kita temukan di level daerah dimana para pihak seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lapas, Bapas, dan para pihak lainnya yang semestinya proaktif mengupayakan pendekatan restoratif namun tidak berupaya secara optimal. Fenomena ini tercermin dalam sejumlah pemberitaan akhir-akhir ini dimana kasus pemidanaan anak dan kasus ABH umumnya masih banyak kita saksikan.12

Sejumlah fenomena itu setidaknya telah mengantarkan pada hipotesis penelitian ini. Pertama, masih adanya perbedaan pemahaman diantara stakeholders mengenai hukum pidana anak dalam konteks ABH. Kedua, masih kurangnya sosialisasi dan lemahnya koordinasi kelembagaan terkait model keadilan restoratif sebagai alternatif model penanganan kasus ABH. Ketiga, perlunya dukungan publik yang luas untuk mendorong upaya-upaya restoratif dalam penanganan persoalan ABH. Tiga elemen pokok ini yang kemudian akan dikembangkan menjadi pertanyaan penelitian secara lebih rinci.13

1.4. Target Capaian

Secara garis besar, rangkaian penelitian ini diorientasikan untuk: Pertama, menggali informasi atas praktik-praktik pemidanaan anak yang berkonflik dengan hukum di empat daerah: Jakarta, Surabaya, Medan, dan Denpasar. Kedua, melakukan pemetaan dan dokumentasi masalah dalam penanganan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum di tingkat perencanaan kebijakan dan implementasinya di level pelaksanaan, baik di tingkat Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lapas dan Bapas. Ketiga, merumuskan rekomendasi berupa strategi dan model-model penanganan kasus anak yang berhadapan dengan hukum dengan berlandaskan pada prinsip keadilan restoratif. Adapun target capaiannya, sebagai berikut:

 Tergalinya informasi atas praktik-praktik pemidanaan anak yang berkonflik dengan hukum di empat daerah: Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bali.

 Terpetakan dan terdokumentasikannya masalah dalam penanganan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum di tingkat Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lapas, dan Bapas.

 Adanya rumusan rekomendasi berupa strategi dan model-model penanganan kasus ABH sebagai bahan untuk advokasi kebijakan dan kampanye publik untuk mempromosikan perlindungan anak, khususnya anak-anak yang berhadapan dengan hukum.

1.5. Definisi Operasional

Ada tiga hal yang akan dideskripsikan dalam bagian ini, yaitu keadilan restoratif, pengadilan anak, dan ABH. Ketiga hal ini akan dilihat dalam tiga dimensi, yaitu wacana, proses, dan kinerja. Namun demikian, ketiga hal ini memiliki misi tunggal yaitu sebagai landasan untuk menjelaskan keterkaitan diantara ketiganya sesuai

12 Berita seputar ini antara lain dapat disimak dalam: Kompas, Jakarta, Edisi: Senin, 16 Maret 2009, http://www.kbr68h.com/feature/saga/6500-mari-hapuskan-penjara-anak

(6)

dengan tujuan penelitian yang diharapkan. Kerangka pikirnya dapat divisualisasikan dalam bagan berikut.

Bagan-1: Kerangka Pikir

1.5.1. Keadilan Restoratif

Keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang digunakan sebagai alternatif penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Musakkir (2009) menyebutkan keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.14

John Braithwaite (1989) mendefiniskan keadilan restoratif sebagai “On (the prosedural) view, restorative justice is a process that brings keadilantogether all stakeholder affected by some harm. That has been done… These stakehorlders meet in a circle to discuss how they have been affected by the harm and come to some agreement as to what should be done to right any wrongs suffered. …Restorative justice is about healing (restorative) than hurting.”15 Sementara Howard Zehr (1990) menyebutkan “Viewed through a restorative justice lens, "crime is a violation of people and relationships. It creates obligations to make things right. Justice involves the victim, the offender, and the community in a search for solutions which promote repair, reconciliation, and reassurance."16

Sementara Burt Galaway dan Joe Hudson (1996) menyebutkan definisi keadilan restoratif sebagai "first, crime is viewed primarily as a conflict between individuals that results in injuries to victims, communities, and the offenders themselves; second, the aim of the criminal justice process should be to create peace in communities by reconciling the parties and repairing the injuries caused by the

14 Musakkir, Prof, SH, MH., (2009). “Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif Terhadap Penyelesaian

Perkara Pidana dalam Perspektif Sosiologi Hukum”. dalam Orasi Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Sosiologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar: 12 Juli 2009.

(7)

dispute; third, the criminal justice process should facilitate active participation by the victims, offenders, and their communities in order to find solutions to the conflict."17 Memang tidak mudah memberikan definisi bagi pendekatan keadilan restoratif ini, mengingat banyaknya variasi model dan bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Karenanya banyak terminologi yang digunakan untuk menggambarkan beragam aliran keadilan restoratif ini. Namun secara umum, pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana saat ini.

PBB, misalnya, melalui basic principles (prinsip-prinsip dasar dasar) menyatakan bahwa secara umum prinsip-prinsip keadilan restoratif antara lain; membuat pelanggar bertanggungjawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya. Memberikan kesempatan kepada pelanggar membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif. Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan teman sebaya. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.18

1.5.2. Peradilan Anak

Dalam kajian kriminologis dikenal adanya tiga model peradilan anak, yaitu (a) model retributif (retributive model), (b) model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model), dan (c) model restoratif (restorative model) yang masing-masing menunjukkan karakteristiknya sendiri-sendiri.19 Peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuesi anak tak efektif tanpa adanya kerjasama dan keterlibatan dari korban, pelaku, dan masyarakat. Menurut Paulus (2006) prinsip yang menjadi dasar dalam sistem peradilan ini adalah bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem paradilan anak. Mengacu pada ketentuan Komite Hak Anak (Commite on Right of the Child), sistem peradilan anak harus dipisahkan secara khusus (sui generis) sehingga anak dapat menikmati perlindungan hukum (due process) dan menikmati hak-hak yang melekat padanya ketika mereka berhadapan dengan sistem peradilan. Beberapa prinsip yang pelu mendapat perhatian adalah: (a) penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus konsisten dengan upaya mewujudkan kehormatan dan harga diri anak (b) penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus menegakkan penghormatan terhadap hak anak dan kebebasan dasar lainnya (c) penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus memperhitungkan usia anak dan memajukan upaya reintegrasi dan mengasumsikan anak memiliki peran yang konstruktif dalam

17 Gallaway, Burt & Joe Hudson (eds.) (1996). Restorative Justice: International Perspective, Kluger

Publication, Amsterdam.

18 United Nations, 1993. “United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile

Justice Adobted by General Assemblay Resolution 40/33 of 29 November 1983”, A Compilation of International Instruments, Volume I Universal Instuments UN, New York.

(8)

masyarakat (d) penghormatan terhadap martabat anak mensyaratkan bahwa semua bentuk kekerasan dalam memperlakukan anak yang berhadapan dengan hukum harus dilarang dan dicegah.20

Selain itu, sistem peradilan anak juga harus berorientasi bagi terciptanya sistem peradilan yang adil dan ramah anak (fair and humane) dengan mendasarkan pada beberapa karakteristik, seperti: (a) berlandaskan hak anak (b) menerapkan prinsip keadilan restoratif (c) menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai acuan pertama dan utama (d) fokus pada pencegahan sebagai tujuan utama (e) menjadikan sanksi penahan sebagai alternatif terakhir, (f) prinsip proporsionalitas (g) menekankan rehabilitasi dan reintegrasi (h) melakukan intervensi secara layak dan tepat (i) prosedur khusus untuk memberikan perlindungan terhadap anak.21

Beberapa karakteristik penting tersebut perlu ditelisik dan diperbandingkan keberadaannya dalam Undang Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kini sedang dalam tahap pembahasan di DPR.

1.5.3. Anak yang bermasalah dengan Hukum

Anak yang bermasalah dengan hukum (children in conflict with the law) secara konseptual pengertiannya seringkali mengacu pada “seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan tindak pidana”.22

Dalam konteks peradilan anak di Indonesia, berbagai klausul seputar anak yang berhadapan dengan hukum diatur secara rinci dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Sayangnya, hampir dalam keseluruhan konstruksi hukum formal itu paradigma anak yang berhadapan dengan hokum masih seolah dikriminalisasi dengan istilah “anak nakal”.23 Hal ini pula yang menjadi salah satu argumen digagasnya Rancangan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kini sedang dalam proses pembahasan dan diharpkan dapat menjadi pedoman sistem peradilan pidana anak yang lebih ramah kepentingan anak sesuai penghormatan hak-hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak.

Karena itu pula istilah anak yang berhadapan dengan hukum tidak hanya dilihat dari Undang-Undang Pengadilan Anak, tapi juga harus memperhatikan Undang Undang Perlindungan Anak, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 yang sudah “disemangati” Convention on The Rights of The Child/Konvensi Hak Anak (KHA). Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan beberapa hal, seperti:

o Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak,

o Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini,

20 Lihat paragraph 13 CRC/C/CC/10.25 April 2007.

21 Hangama Anwari (TT). Justice for The Children: the Situation for Children in Conflict with The Law in Afganistan, UNICEF and AIHRC.

(9)

o Penyediaan sarana dan prasarana khusus,

o Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak,

o Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum,

o Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga, dan

o Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

Sementara itu, masih dalam kaitannya dengan penanganan anak yang bermasalah dengan hokum, ayat berikutnya menyebutkan “Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dilaksanakan melalui:

o Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, o Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa

dan untuk menghindari labelisasi,

o Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial, dan

o Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Beberapa hal ini antara lain yang harus menjadi pedoman dan menjadi rujukan dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum, selain klausul-klausul hokum formal yang termuat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak maupun undang-undang penggantinya yang kelak diharapkan lebih baik dan lebih ramah anak.

1.6. Metodologi

Pada dasarnya, sebuah penelitian pasti bertujuan dan berorientasi untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu, diperlukan cara tertentu atau metode yang dipergunakan dalam proses pencapaiannya sehingga diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hassan dan Koentjaraningrat (1977) menyatakan bahwa metode berarti cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu tertentu. Metodologi dipilih dengan memertimbangkan kesesuaian dengan objek studi. Pada prinsipnya, metodologi adalah cara kerja untuk memahami objek suatu penelitian.24 Secara umum, ada tiga elemen utama yang akan dideskripsikan dalam metodologi penelitian ini, yaitu: metode pengumpulan data, metode pengolahan data, dan metode analisis data.

1.6.1. Metode pengumpulan data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama lebih bersifat studi literatur (desk study) dengan mengumpulkan informasi awal seputar keadilan restoratif bagi ABH. Upaya ini ditempuh dengan dua cara, yaitu melalui riset dokumen dan survey berita media. Dalam hal riset dokumen, langkah-langkah yang dilakukan antara lain, melakukan review terhadap dokumen

(10)

resmi pemerintah, terutama peraturan perundangan mengenai hak anak dan perlindungan anak dalam konteks peradilan anak, baik dalam bentuk konvensi internasional, peraturan nasional, Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Walikota (Perwal) maupun peraturan pelaksanaannya serta dokumen-dokumen lainnya yang relevan, seperti angka-angka statistik mengenai hak anak dan perlindungan anak dalam konteks peradilan anak.

Adapun survey media dilakukan terutama dengan cara memperhatikan berita seputar isu hak anak dan perlindungan anak dalam konteks peradilan anak dalam media mainstream baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal yang ada di tiga kota: Jakarta, Medan, dan Bali, baik media cetak maupun media elektronik—terutama internet.

Pada tahap kedua, pengumpulan data diupayakan melalui penelitian lapangan (field research) dengan cara melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan penelitian. Wawancara mendalam dilakukan dengan sejumlah informan terpilih yang memiliki keterkaitan, ketertarikan (interest) dan “mengalami” proses dan dinamika dalam hubungannya dengan peradilan anak. Teknik pengambilan informan dilakukan berdasarkan tujuan (purposive) dalam penelitian ini. Dengan teknik ini, informan diambil dari variasi yang berkembang dalam objek kajian, bukan saja untuk menangkap masalah mendasar, melainkan menangkap variasi-variasi besar yang berkembang. Selain itu diperkuat dengan teknik bola salju (snow ball) dengan mengambil informan kunci, kemudian ditambahkan dan diluaskan menurut informasi informan sebelumnya dan seterusnya.25

Secara umum ada tiga kategori informan yang diwawancarai. Pertama, kelompok pengambil kebijakan yang secara langsung bersinggungan dengan proses pengambilan kebijakan peradilan anak, seperti: Komisi Hukum DPR/DPRD serta jajaran eksekutif dan yudikatif yang menjadi stakeholders dalam kaitannya dengan masalah peradilan dan perlindungan hak anak dalam konteks peradilan anak di Jakarta, Medan Bali dalam berbagai tingkatan: Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas dan Bapas). Kedua, kelompok kepentingan yang mempunyai pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), serta organisasi sosial kemasyarakatan yang konsen dalam advokasi hak anak dan peradilan anak. Ketiga, kelompok yang secara langsung menjadi korban-pelaku terutama ABH dan keluarganya serta kelompok masyarakat terdekatnya.26

1.6.2. Metode pengolahan data

Dari metode pengumpulan data di atas, tampak bahwa secara umum ada dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan dalam bentuk transkripsi hasil wawancara mendalam dengan para informan dan dokumen kebijakan pemerintah dalam bidang peradilan, terutama peradilan anak. Sementara data sekunder diperoleh dari survey baik berupa hasil riset dokumen, terutama dari pemberitaan media maupun data sekunder lainnya dari arsip-arsip, kepustakaan dan dokumentasi lainnya yang relevan. Dua jenis data ini kemudian akan diolah dengan dua cara yaitu dengan

(11)

rekategorisasi data melalui koding dan dengan mengkomparasikan antara keduanya. Neuman (2000) menyebutkan beberapa prasyarat, antara lain: merumuskan isu secara spesifik, menetapkan jenis dokumen yang akan direview, dan melakukan rekategorisasi atau kuantifikasi atas data dan informasi yang didapat.27

1.6.3. Metode analisis data

Untuk menganalisis data yang sudah ada, digunakan analisis “kualitatif-komparatif” dengan mengidentifikasi dan mengkomparasikan data-data primer hasil wawancara dari para informan berbagai kategori dengan data sekunder hasil survey dan riset dokumen.

Menurut Wahab, pola seperti ini sesuai dengan langkah-langkah penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan Ibnu Khaldun, yakni: pertama, memperoleh sumber melalui observasi (seleksi sumber), kedua, telaah khusus terhadap sumber-sumber yang ada (interpretasi), ketiga, pengujian terhadap sumber melalui analisis, dan keempat, perumusan hasil penelitian (konklusi).28

Menurut Bohm (1983) dan Dey (1993), secara teknis, analisis data adalah “proses menguraikan data menjadi komponen-komponen yang membentuknya, untuk mengungkapkan struktur dan unsur khasnya”.29 Tujuannya untuk menguraikan makna yang dinyatakan oleh penjelasan informan/responden dengan cara memerikan, menafsirkan, menjelaskan, memahami, meramalkan, dan bahkan mengubahnya. Dalam keseluruhan rangkaian proses analisis itu ada baiknya meminjam teoretisasi yang dikemukakan Dey (1993) mengenai analisis yang bersifat kualitatif.30 Menurut Dey, analisis kualitatif dapat dilakukan mengikuti “proses melingkar” melalui tiga tahap: memerikan, menggolongkan, dan menghubungankan sehingga melahirkan suatu konklusi yang logis.

Bagan-2: Proses melingkar analisis kualitatif

Memerikan

Menghubungkan Menggolongkan

Langkah “memerikan” dalam proses melingkar ini mencakup laporan yang tuntas dan komprehensif mengenai konteks, proses, dan dinamikanya. Langkah “menggolongkan” dalam siklus ini adalah proses konseptual yang dipakai untuk

27 Neuman, W. Lawrence (2000). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches Allyn and Bacon, London.

28 Wahab, Ali Abdul (1985). Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya, Grafiti Press, Jakarta.

29 Dey, I. (1993). Qualitative Data Analysis: A User-Friendly Guide for Social Scientiest. Routledge,

London and New York.

30 Ibid.

(12)

menilai karakteristik data dan kemudian memasukkannya ke dalam suatu golongan/kategori untuk meletakan dasar dalam rangka membuat hubungan baru antara berbagai data. Model analisis ini selanjutnya akan dipergunakan dalam memahami, memerikan, menghubungkan serta menggolongkan temuan data penelitian di empat daerah untuk kemudian dikomparasikan satu-sama lain sekaligus diupayakan generalisasi dan refleksi untuk keperluan replikasi di daerah lainnya.

1.7. Lingkup Penelitian

Studi ini diorientasikan sebagai “riset aksi” sehingga rangkaian penelitian diupayakan kesinambungannya dengan advokasi hasil-hasilnya pada level rekomendasi kebijakan. Dari sisi isu, meskipun penelitian ini berfokus pada “keadilan restoratif bagi ABH”, namun tidak menutup kemungkinan pada level advokasi kebijakannya melampaui fokus riset itu sendiri, terutama dalam konteks yang lebih makro sebagai upaya pemajuan dan promosi atas perlindungan hak anak secara lebih komprehensif.

Demikian halnya dari sisi lokusnya. Lingkup penelitian ini memang hanya dilakukan secara terbatas di empat daerah, yaitu Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Medan. Namun demikian, proyeksi penelitian ini diharapkan dapat melahirkan suatu generalisasi yang dapat direplikasi di level nasional dan dijadikan inspirasi model alternatif di daerah-daerah lainnya.

(13)

Bab II

Keadilan Restoratif ABH:

Dari Wacana ke Wacana

Bagian ini akan mendeskripsikan peta wacana keadilan restoratif bagi anak yang bermasalah dengan hukum (ABH). Bagaimana keadilan restoratif dipromosikan mulai dari level konseptual, terutama di kalangan akademisi, pakar dan praktisi hukum, hingga diinisiasi di level kebijakan oleh para legislator dan dipahami pada level eksekutif sebagai implementor kebijakan serta para aktivis yang bekerja untuk advokasi anak maupun pada level masyarakat secara lebih luas.

Paling tidak, ada dua sub pokok bahasan dalam bab ini. Pertama, mendeskripsikan gradasi pemahaman mengenai wacana keadilan restoratif bagi ABH dari berbagai level. Kedua, mengelaborasi upaya-upaya untuk mendorong wacana keadilan restoratif bagi ABH ke level praksisnya. Deskripsi ini diharapkan dapat mengantarkan pemahaman dan kesadaran kita untuk melihat dan mencermati proses yang terjadi dalam upaya mengimplementasikan keadilan restoratif bagi ABH pada pembahasan berikutnya.

2.1. Kencang di Atas, Lemah di Bawah

Tersangka kasus narkoba, MNP (16 tahun) terlihat amat bingung menghadapi masalah yang menimpanya tiga bulan belakangan ini. Kebiasaan buruknya mengkonsumsi sabu-sabu selama tiga tahun terakhir ini, terkuak. Agustus 2011 lalu, ia bersama pacarnya digeladah dan diciduk Tim Mabes Polri di Cawang, Jakarta Timur. Ia lalu dibawa ke markas Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk diinterogasi. Ia pun kemudian dijebloskan ke Rutan Pondok Bambu sebagai tersangka kasus narkoba. Pelajar kelas 1 sebuah SMA di Jakarta Barat ini hanya bisa pasrah dengan nasib buruk yang menimpanya, tidak tahu apa yang mesti diperbuatnya karena tidak ada pengacara yang mendampinginya. Bahkan, seluruh keluarganya seakan tak peduli dengan apa yang terjadi pada dirinya. ”Keluarga, ibu-bapak belum ada yang menengok ke sini,” ujarnya lirih.31

Bukan itu saja, nasib pendidikan MNP pun tentu terhambat. Selama tiga bulan proses menunggu persidangan Agustus-Oktober 2011 praktis ia harus bolos dari sekolahnya sehingga ia tertinggal mengikuti pelajaran sekolah. Tampaknya, tidak ada koordinasi antara pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dengan sekolah dalam rangka keberlajutan studi tersangka yang sejatinya lebih sebagai korban itu. Padahal dalam MOU No.20/PRS-2/Kep/200532 jelas disebutkan bahwa proses peradilan anak harus berupaya untuk memberi yang terbaik untuk kepentingan anak dengan titik berat pada keadilan restoratif. Demikian pula dalam draft final RUU Sistem Peradilan Anak, pendekatan restoratif menjadi tumpuan untuk penanganan ABH. Namun demikian, situasi di lapangan sepertinya belum mendukung wacana itu. Bahkan, kenyataanya kini banyak ABH yang memiliki nasib serupa dengan MNP.

31 Wawancara dengan MNP, Jakarta: 12 Oktober 2011.

32 MOU ini merupakan kesepakatan antara DitBinRehSos Departemen Sosial RI dan DitPas

(14)

Wacana mengenai keadilan restoratif bagi ABH memang terus menggelinding ibarat bola salju. Dalam dunia akademik di Indonesia, wacana mengenai keadilan restoratif dalam level konseptual bahkan sudah lama dipromosikan. Musakkir (2009) menyebutkan keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.33 Sementara Hadisuprapto (2006) menegaskan keyakinannya bahwa peradilan restoratif merupakan model peradilan anak yang ideal di masa depan.34

Senada dengan itu, Wessy Trisna, SH, MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Medan Area menyebutkan bahwa keadilan restoratif merupakan suatu proses penyelesaian yang melibatkan para pihak terkait upaya-upaya untuk bersama-sama mencari sebuah penyelesaian terhadap suatu tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Hal ini diupayakan agar anak yang melakukan tindak pidana ringan tidak perlu sampai ke jeruji besi, karena hal ini akan merusak mental dan kepribadian anak tersebut. Menurut Wessy, penerapan keadilan restoratif ini sangat baik diterapkan dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. “Dengan penerapan keadilan restoratif diharapkan dapat meminimalisir efek dari perbuatan dari anak itu,” tambahnya.35

Selain di dunia akademik, wacana mengenai keadilan restoratif bagi ABH juga menjadi perbincangan hangat di kalangan pakar dan praktisi hukum. Bagir Manan (2008), misalnya, menyebutkan bahwa keadilan restoratif sebagai suatu konsep dan prinsip bahkan sebenarnya telah lama dipraktekan oleh sejumlah masyarakat adat di Indonesia36. Faiq Assidiqi, seorang advokat publik di Jawa Timur juga bertutur soal wacana keadilan restoratif yang menurutnya sudah sering diperbincangkan. Menurut Faiq, di kalangan advokat, terutama advokat publik, perbincangan mengenai keadilan restoratif bagi ABH cukup kencang. “Wacananya sudah kencang meski implementasinya memang masih banyak kendala,” ucapnya.37

Hal serupa juga disampaikan Muslim Harahap, Ketua Pokja Pengaduan dan Fasilitasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara. Menurut Harahap keadilan restoratif secara filosofis adalah peradilan yang ramah bagi anak karena tidak menciderai atau merampas hak-hak anak ketika berkonflik atau berhadapan dengan hukum. Namun menurutnya, masih banyak kendala dalam penerapannya, terutama di daerah. “Belum adanya aturan yang jelas serta standarisasi yang jelas terhadap penanganan ABH sehingga menimbulkan ketidakseragaman aparat penegak hukum

33 Musakkir, Prof, SH, MH., (2009). “Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif Terhadap Penyelesaian

Perkara Pidana dalam Perspektif Sosiologi Hukum”. dalam Orasi Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Sosiologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar: 12 Juli 2009.

34 Hadisuprapto, Paulus (2006). “Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang”

dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Kriminologi, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang.

35 Wawancara dengan Wessy Trisna, Medan: 28 Oktober 2011.

36 Manan, Bagir (2008). “Restorative Justice (Suatu Perkenalan)” dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara-RI, Jakarta.

(15)

dalam menangani ABH, termasuk dalam mengimplementasikan keadilan restoratif bagi ABH,” ujarnya.38

Di level kebijakan, wacana mengenai keadilan restoratif bagi ABH sudah lama menjadi perdebatan. Meski hingga kini Rancangan Undang Undang mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak belum disyahkan, namun perdebatannya sudah cukup progresif. Ketua Komisi III DPR RI Benny K. Harman menjelaskan bahwa sikap legislatif, terutama dalam Komisi III menginginkan agar muatan “perlindungan” ditonjolkan dalam penanganan ABH sebagaimana diatur dalam Rancangan Undang Undang mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak.39 Nudirman Munir, salah seorang anggota Komisi III DPR RI bahkan menjanjikan bahwa RUU itu akan mendapat prioritas untuk pembahasan. “Kita targetkan dalam masa sidang satu bulan ke depan RUU ini harus selesai kita bahas. Tidak perlu studi banding ke luar negeri untuk itu. Pokoknya, prinsipnya kita tidak ingin membuang-buang waktu untuk membahas persoalan penting ini,” ujarnya.40

Di level eksekutif, terutama di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM serta di lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, wacana mengenai keadilan restoratif bagi ABH tentu bukan hal yang asing. Sejak 2009, bahkan telah ada Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dalam SKB tersebut dinyatakan bahwa “ ... keadilan restoratif merupakan suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait suatu tindak pidana secara bersama-sama dengan menekankan pada upaya pemulihan”.41

Demikian juga di lingkungan kerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan di lingkup KPAI daerah. Wacana mengenai keadilan restoratif bagi ABH sudah menjadi “menu wajib” obrolan harian mereka. Apong Herlina, Komisioner KPAI menjelaskan bahwa keadilan restoratif bagi ABH penting diwacanakan. Menurut Apong, tujuan dari keadilan restoratif utamanya adalah mengembalikan hubungan yang tadinya retak antara korban dan pelaku menjadi baik dan harmonis kembali. Bagaimana mengembalikan hubungan untuk menjadi baik lagi dan itu yang menjadi tujuan atau paradigma dari keadilan restoratif, bukan sekadar proses hukumnya. “Upaya untuk terus mewacanakan pentingnya keadilan restoratif tentu penting karena hal ini belum tersosialisasi sampai bawah,” ujar Apong Herlina.42

Para pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun tak ketinggalan mewacanakan keadilan restoratif bagi ABH. Wacana mengenai keadilan restoratif bagi ABH terutama dipromosikan oleh LSM yang punya konsen terhadap pemajuan hak anak.43

38 Wawancara dengan Muslim Harahap, Medan: 19 September 2011.

39 Pernyataan Benny K. Harman disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Menkuh HAM dan Menteri

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Simak: Buletin Parlementaria ,Edisi Oktober 2011.

40 Wawancara dengan Nudirman Munir, Jakarta: 11 Oktober 2011.

41 Simak: “Keputusan Bersama Tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Jakarta:

22 Desember 2009.

42 Wawancara dengan Apong Herlina, Jakarta: 18 Oktober 2011.

43 Saat ini bahkan ada konsorsium yang melakukan advokasi khusus untuk pemantauan RUU Sistem

(16)

Artinya, dari sisi wacana keadilan restoratif bagi ABH sudah cukup populer, bukan saja di kalangan akademisi, pegiat dan praktisi hukum serta para perumus kebijakan baik di level legislatif maupun eksekutif. Di kalangan pegiat LSM, wacana keadilan restoratif bagi ABH sudah menjadi current issue yang hangat diperbincangkan. Aktifis Lembaga Advokasi Pemberdayaan Pekerja Anak (LAPPA), Lies Maharani menilai promosi keadilan restoratif bagi ABH perlu terus didorong dan diwacanakan. Hal ini menurutnya penting, terutama bagi pelaku dan korban agar mereka dapat memahami persoalan ini secara benar dan proporsional. “Ini penting untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman yang benar, terutama bagi korban dan pelaku,” ujarnya.44

Namun ironisnya justru di level masyarakat umum dan terutama di kalangan pelaku maupun korban ABH, wacana mengenai keadilan restoratif belum banyak dikenal. Tak heran jika tersangka seperti MNP bingung menghadapi persoalan yang menimpa dirinya sebagai tersangka. Agaknya, MNP bukanlah sendirian. Hampir semua tahanan anak, entah yang berstatus tersangka maupun yang sudah terpidana nyaris punya persoalan dan kebingungan yang sama dengan MNP. Mereka bukan saja tidak mengetahui persoalan keadilan restoratif, namun juga sebagian besar dari mereka tidak mengetahui hak-haknya, baik dalam konteks korban maupun pelaku di hadapan hukum. Ironisnya lagi, banyak diantara mereka tidak ditemani penasihat hukum dalam proses-proses hukum yang dijalaninya.

DL (14 tahun), misalnya, sempat ditahan hingga 21 hari di Rutan Pondok Bambu dengan tuduhan mencuri voucer seharga 10 ribu. Selama masa penahanan itu ia merasa tertekan dan seolah terombang-ambing ketidakpastian. Sementara orang tuanya, SK (41 tahun) juga tidak dapat berbuat apa-apa karena ia juga sama sekali buta hukum. “Saya ngak ngerti apa-apa, yaa hanya bisa pasrah, terserah ... anak saya mau diapakan juga, tapi kalau bisa anak saya dibebaskan, karena dia cuman diftnah saja,” kata SK menuturkan.45 Hal serupa juga menimpa EN, korban pelecehan seksual di Medan. Sebagai korban, ia harus rugi bertubi-tubi, karena selain mengalami trauma psikologis akibat pelecehan yang dialaminya, ia juga harus mengikuti rangkaian pemeriksaan di kepolisian setempat sehingga waktu belajarnya terganggu. Baik EN maupun orang tuanya tidak paham bagaimana seharusnya menghadapi persoalan itu sehingga cenderung pasrah menerima keadaan yang menghimpitnya. Pengalaman serupa juga dirasakan DH (16 tahun) pelaku yang dituduh membawa lari anak di bawah umur. Kasus yang terjadi di Denpasar Selatan ini menggerakkan hati Daniar Trisasongko, advokat publik yang menyediakan waktunya sebagai penasihat hukum ANT. Menurut Daniar, setelah DH ditetapkan sebagai tersangka DH tidak didampingi kuasa hukum atau siapapun. “ANT sendirian dalam ruangan interogasi, bahkan keluarga ANT pun tidak diberi kesempatan untuk menemani,” ujar Daniar.46 Sebaliknya, Segeryanto (62 tahun) orang tua LIN (11 tahun) yang menjadi korban dalam perkara itu, juga mengalami kesulitan yang sama. “Saya sudah melapor kepada polisi, tapi tidak ditanggapi, laporan saya didiamkan saja,” ujar Segeryanto.47

Perempuan, Plan Indonesia, YKAI, Sahabat Sekerja, Sanggar Anak Akar, CDECS, Yayasan Rumah Kita, dan lainnya.

44 Wawancara dengan Lies Maharani, Jakarta: 4 November 2011. 45 Wawancara dengan DL, Jakarta: 26 September 2011.

(17)

Mereka semua terperangkap kebingungan karena bukan saja tidak paham mengenai keadilan restoratif tapi memang buta hukum sehingga tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan.

Dari deskripsi di atas, tampak jelas adanya gradasi pemahaman terkait wacana keadilan restoratif. Bagi kalangan terdidik seperti akademisi, pakar dan praktisi hukum, wacana keadilan restoratif merupakan “bacaan harian”. Pun demikian halnya di kalangan para pegiat LSM dan para pengambil kebijakan, mereka cenderung familier dengan wacana itu. Sementara kalangan Aparat Penegak Hukum masih ada yang kurang paham mengenai hal ini, meski sebagaian besar sudah mengetahuinya. Gradasi paling bawah justru pada level masyarakat umum, termasuk kalangan korban dan pelaku atau ABH yang umumnya justru tidak paham wacana keadilan restoratif. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ada gradasi pemahaman atas wacana keadilan restoratif. Gradasinya tampak “kencang di atas dan lemah di bawah”. Secara illustratif, gradasi pemahaman atas wacana keadilan restoratif dapat divisualisasikan sebagai berikut.

Bagan-3: Gradasi pemahaman atas wacana keadilan restoratif

2.2. Mendorong Wacana ke Level Praksis

Di level nasional, wacana keadilan restoratif bagi ABH memang sudah cukup kuat. Banyak pihak turut mempromosikan wacana ini. Kalangan akademisi, praktisi hukum dan para pengambil kebijakan di legislatif maupun di eksekutif turut mempromosikan wacana ini sesuai gugus tugas masing-masing. Kalangan masyarakat sipil, terutama LSM dan media massa tak kalah gencar turut mewacanakan hal ini. Nyaris semua media massa pernah menulis pemberitaan seputar keadilan restoratif bagi ABH, meskipun tidak terlalu massif.48 Sementara di kalangan LSM bahkan kini ada semacam koalisi untuk melakukan advokasi bersama, terutama untuk monitoring RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang kini masih sedang dibahas Komisi III DPR.

Demikian pula di empat daerah yang menjadi lokus riset ini, yaitu di Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Medan. Wacana keadilan restoratif bagi ABH sudah relatif

48 Pemberitaan seputar ini terutama dapat disimak menjelang dan bertepan dengan Hari Anak Nasional,

(18)

kuat, meski ada gradasi tertentu satu sama lain secara variatif. Namun demikian, wacana yang kuat tidak serta merta diikuti promosi yang memadai dan tidak serta merta kuat pula implementasinya dalam level praksis. Yang sering terjadi justru sebaliknya, dimana level implementasi sering menyuguhkan ragam kendala. Hal ini diakui sendiri oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar. Menurut Linda, selama ini masih ada persoalan di level bawah sehingga aparat hukum di level bawah banyak yang belum memahami aturan-aturan terkait keadilan restoratif bagi ABH.49 Padahal, idealnya, .antara wacana, promosi dan implementasi berjalan linier secara seiring-sejalan. Bahwa wacana yang kuat itu harus terus didorong dan senantiasa diikuti komitmen semua pihak untuk meng-implementasikannya secara konsisten. Idealisasi ini, secara illustratif dapat divisualisasikan pada bagan berikut.

Bagan-4: Idealisasi wacana, promosi, dan implementasi keadilan restoratif

Namun kenyataannya, daerah-daerah yang memiliki apresiasi untuk mempromosikan keadilan restoratif bagi ABH ternyata masih minoritas. Bahkan, diantara empat daerah yang menjadi lokus riset ini, baru dua daerah saja, yaitu Surabaya dan Jakarta yang memperlihatkan gradasi yang baik mulai dari wacana, promosi, dan implementasi. Kondisi ini pun tentu masih ”dengan catatan” bahwa yang dimaksud implementasi di sini masih terbatas pada adanya akomodasi dan inisiasi peraturan daerah yang relevan, belum sampai pada tataran kualitas implementasi dari Perda atau Raperda itu sendiri.

Tabel-1: Wacana, promosi, dan implementasi keadilan restoratif di empat daerah

(19)

Untuk kasus Jakarta, misalnya, selain wacana keadilan restoratif bagi ABH ini relatif kuat, promosi dari berbagai stakeholder juga sangat banyak mendukung. Kondisi ini yang kemudian mendorong munculnya Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Sebagai sebuah rancangan Perda, ini tentu belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun demikian, secara moral dan psikologis, prosesi lahirnya Raperda ini telah menumbuhkan milieu yang kondusif untuk mendorong promosi keadilan restoratif bagi ABH di wilayah Jakarta. Bukan saja di level wacana dan level promosi, tapi juga dalam praksis penanganan ABH dalam sejumlah kasus.

Kasie Penanganan Anak Bapas Jakarta Pusat, Erry Sumiyati menuturkan bahwa keadilan restoratif tidak hanya menjadi wacana, tapi sudah menjadi rujukan bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menangani ABH. Menurut Sumiyati, di kalangan Bapas Jakarta Pusat, misalnya, sudah ada kesadaran bersama terkait keadilan restoratif. ”Prinsipnya kita menyakini bahwa keadilan restoratif penting, karena itu hukum pidana bagi anak kita posisikan sebagai opsi terakhir,” ujarnya.50 Senada dengan itu, Harsini, Jaksa Anak Kesaksaan Jakarta Pusat menyebutkan bahwa dari segi fasilitas maupun aspek keterbukaannya, ABH telah mendapat perhatian yang baik dalam proses penanganan dan ini menurutnya bukan sekadar wacana. ”Fasilitas sidang anak sudah cukup. Ada ruang sendiri untuk anak secara tertutup, namun saat pembacaan putusan prosesnya sangat transparan dan dapat disaksikan secara terbuka,” ujar Harsini.51

Demikian halnya fenomena di Surabaya. Wacana dan promosi keadilan restoratif bagi ABH sudah relatif kuat karena banyak elemen masyarakat dan negara yang mendorongnya. Ini antara lain terbukti bahwa sejak 2005 Jawa Timur telah memiliki Perda yang apresiatif dan akomodatif terhadap kepentingan anak, yaitu Perda No.9 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Meskipun Perda ini tidak secara spesifik mengatur soal keadilan restoratif bagi ABH, tapi sejumlah klausul dalam pasal-pasalnya sangat kondusif bagi upaya pemajuan dan penghormatan hak-hak anak.

Perda tersebut bahkan mengamanatkan pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) sebagai model penyelenggaraan perlindungan anak secara terpadu, meliputi pelayanan medis, medicolegal, psikososial, dan pelayanan hukum.52 Dosen Fakultas Hukum UNAIR, Tilly A. Hutapea menilai Perda itu masih berbicara perlindungan anak secara umum. “Itu belum menyentuh ke soal restorative justice karena belum menyentuh anak yang berkonflik dengan hukum di dalamnya,” ujarnya.53 Namun demikian, menurut aktivis Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (KPPD), Silvia Kurnia Dewi hal itu setidaknya dapat menjadi embrio yang menunjukkan bahwa komitmen pemerintah itu ada. “Kasus Tawon di Surabaya, misalnya, menunjukkan bahwa perlindungan anak dalam bingkai keadilan restoratif sudah diterapkan,” ujar Silvia. Sementara di dua daerah lainnya, yaitu Denpasar dan Medan, kuatnya wacana keadilan restoratif tidak diikuti promosi yang memadai. Karena itu pula, implementasi

50 Wawancara dengan Erry Sumiyati, Jakarta: 20 Oktober 2011. 51 Wawancara dengan Harsini, Jakarta: 3 November 2011.

(20)

di level praksisnya menjadi kendala tersendiri. Fenomena yang terjadi di Denpasar, misalnya, menunjukkan bahwa sejumlah kasus ABH lebih banyak dibawa ke ranah pidana. Dengan perkataan lain, para pelaku atau ABH lebih banyak dipidanakan dari pada memakai alternatif keadilan restoratif.

Menurut Kabag Humas Pengadilan Negeri Denpasar, Amser Simanjuntak, selama ini penanganan kasus ABH di Pengadilan Negeri Denpasar masih didominasi putusan pidana. Menurut Amser, putusan ini terpaksa diambil dengan pertimbangan bahwa ABH tidak memiliki orang tua ataupun wali yang bertanggung jawab melakukan pembinaan. Putusannya memang beragam tergantung kasusnya. Sebagian besar ABH mendapat putusan pidana ringan. Namun, bagi ABH residivis, hukumannya meningkat untuk memberi efek jera. Secara jujur, Amser juga mengakui bahwa peradilan kasus ABH belum bisa mengacu pada restorative justice. “Kendalanya beragam, misalnya jika dikembalikan kepada orang tuanya, orang tua tak ada di sini atau pun orang tuanya tidak mampu secara ekonomi. Akhirnya, hakim menjatuhkann hukuman pidana,” ujar Amser menambahkan.54

Demikian pula fenomena yang terjadi di Medan. Lemahnya promosi keadilan restoratif telah memicu berbagai kasus ABH berakir di pengadilan. Ketua Pokja Pengaduan dan Fasilitasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara, Muslim Harahap, menyebutkan bahwa pelaksanaan keadilan restoratif anak khususnya kategori Anak yang berhadapan/berkonflik dengan Hukum (ABH) di Kota Medan sendiri masih terjadi pemerkosaan terhadap hak-hak anak. “Kita belum menemukan satu langkah strategis baik dari Pemerintah maupun dari pihak-pihak terkait dalam hal ini para penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana mengenai bagaimana standarisasi tentang peradilan yang ramah anak,” Ujar Harahap.55 Lebih detil Harahap menuturkan bahwa peradilan kasus ABH hanya bermain dalam konteks struktural. Misalnya di Kepolisian, masalah ABH hanya ditangani di unit PPA, pihak unit PPA tidak ada koordinasi dengan jaksa. Sementara jaksa juga tidak melakukan koordinasi dengan hakim. Demikian pula stakeholder lainnya seperti tokoh agama maupun tokoh masyarakat setempat seperti tidak dilibatkan. Padahal, menurut Harahap, kalau mengacu pada amanat UU No. 3 Tahun 1997 tentang UU Pengadilan Anak jelas mengharuskan adanya koordinasi dalam penanganan ABH.

Promosi keadilan restoratif yang lemah yang memicu berbagai kasus ABH berakhir di pengadilan bisa juga disebabkan karena pemahaman masyarakat yang sangat kurang mengenai keadilan restoratif. Dalam banyak kasus, masyarakat yang menjadi korban dengan beragam alasan lebih banyak yang tidak bersedia memakai jalur restoratif. Kasus “pencabulan” yang dilakukan AS di Medan, misalnya, dapat menjadi contoh. Meskipun menurut pengakuan AS kasus itu dilakukan secara “suka sama suka” tapi ia tetap dipidanakan. Demikian pula ketika kasus ini dibawa ke ranah mediasi, keluaga korban menolak untuk berdamai.“Keluarga saya telah berulangkali meminta berdamai dengan keluarga korban, namun karena keluarga korban meminta tebusan yang banyak sehingga keluarga kami tidak sanggup untuk memenuhinya,” ujarnya.56

(21)

Meskipun model restorative justice sudah banyak didorong untuk dijadikan alternatif dalam penanganan kasus ABH, namun nyatanya model ini belum banyak dipilih dalam tataran implementasinya. Hal ini dapat dilihat dari keseluruhan penanganan kasus ABH di sejumlah tempat yang menunjukkan bahwa jalur restorative justice masih menjadi pilihan minoritas. Sebagai contoh, di Surabaya, dari 68 kasus ABH yang terjadi pada 2010 hanya 6 kasus saja yang ditangani melalui proses restorative justice, selebihnya masih ditempuh melalui proses pemidanaan.57 Demikian juga di tingkat nasional, data Polri menunjukkan bahwa kasus ABH lebih banyak dibawa ke ranah pidana daripada melalui proses restorative justice. Status kasus ABH tahun 2011 dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-2: Status kasus ABH tahun 2011

No Status Kasus Jumlah

1 Damai-Cabut-SP3 256 2 JPU Tahap I-II 56

3 P21 200

4 Sidik 394

5 Lidik 59

Jumlah 967

Sumber: Polri

Namun demikian, berbeda dengan data Polri, KPAI menyebutkan bahwa lebih dari 7.000 kasus ABH setiap tahunnya masuk proses peradilan. Pada Juli 2010, misalnya terdapat 6.273 anak yang berada di tahanan dan lapas di seluruh Indonesia.58 Hal ini menunjukkan kondisi yang ironis. Di tengah gencarnya promosi keadilan restoratif yang antara lain ditunjukkan dalam proses pembahasan RUU Sistem Peradilan Anak dan beragam agenda advokasi atasnya. Sementara di sisi lain praktik-praktik implementasi kebijakan itu masih sangat kontraproduktif.

Fenomena tersebut menunjukkan adanya paradoks antara wacana dan implementasi keadilan restoratif sekaligus mengisyaratkan adanya kebutuhan untuk memperkuat gerakan yang mampu memunculkan promosi keadilan restoratif sehingga keadilan restoratif bagi ABH tidak hanya menjadi wacana elitis. Karena itu wacana keadilan restoratif bagi ABH yang tampak sudah relatif kuat itu perlu terus didorong dengan sejumlah agenda promosi dan secara konsisten perlu komitmen bersama untuk mengimplementasikannya, bukan sekadar dari wacana ke wacana ...

(22)

Bab III

Proses Hukum ABH,

Prosedur yang Timpang?

Digagasnya Rancangan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU-SPPA) antara lain berangkat dari suatu kenyataan bahwa Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).59 Jika dibandingkan dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1997, penekanan RUU-SPPA ini terutama lebih mengedepankan ”peradilan” ketimbang ”pengadilan” bagi proses hukum yang akan dijalani ABH.

Sistem Peradilan Pidana Anak menurut ketentuan umum RUU-SPPA adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Salah satu model alternatif peradilan anak yang ditawarkan dalam RUU-SPPA tersebut lebih mengacu pada keadilan restoratif (restorative justice).60 Meskipun RUU-SPPA hingga kini belum juga disyahkan, namun semangat restorative justice yang termuat di dalamnya sebenarnya sudah lama didengungkan. Lantas, bagaimana semangat ini berimplikasi pada proses hukum penanganan ABH dewasa ini? Bagaimana pula semangat restorative justice mampu menginspirasi para Aparat Penegak Hukum (APH): polisi, hakim, jaksa, dan para implementor peradilan lainnya di level praksis seperti Bapas dan Lapas?

Bab ini akan mendeskripsikan proses hukum yang dijalani ABH, terutama dalam kaitannya dengan semangat untuk menerapkan model keadilan restoratif sebagaimana diamanatkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri61 dan telah dirancang dalam RUU-SPPA. Dalam konteks ini, akan dikaji bagaimana rangkaian proses yang dilakukan oleh APH, mulai dari jajaran Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman dalam melakukan penanganan hukum terhadap ABH di empat kota: Denpasar, Jakarta, Medan, dan Surabaya. Pertanyaan pokok yang diajukan untuk menggali proses hukum ABH dalam konteks fungsi dan peran APH berfokus pada tiga hal. Pertama, bagaimana pandangan dan sikap APH dalam mempromosikan keadilan restoratif sebagai salah satu alternatif dalam penanganan ABH. Kedua, penilaian para pihak seperti pelaku, korban, pendamping hukum dan para pihak lainnya seperti kalangan akademisi, jurnalis, pekerja sosial dan LSM atas proses hukum yang dilakukan APH dalam menangani kasus ABH. Ketiga, mengungkap kendala dan hambatan yang dihadapi APH dalam melakukan proses hukum kasus ABH terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk mempromosikan keadilan restoratif sebagai salah satu model alternatif penanganan ABH.

59 Simak point-c klausul “Menimbang” Rancangan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. 60 Lebih rinci mengenai hal ini dapat disimak dalam Pasal 1 ayat (5) RUU-SPPA.

(23)

3.1. Polisi: Penegakan Hukum Minus Pengayoman dan Perlindungan

Supriyadi telah menyiapkan uang sebesar satu juta rupiah sebagai ucapan terima kasih kepada polisi penyidik, namun penyidik meminta uangnya ditambah. Tiga hari kemudian Supriyadi berhasil mengumpulkan tambahan uang meski dari hasil pinjaman. Kini jumlah uang yang ia berikan kepada penyidik menjadi dua juta lima ratus rupiah. Ia pun kemudian menghadap Kanit Reskrim untuk memohon kebijakan agar kasus yang menimpa adiknya cukup sampai di situ. Sebab pihak keluarga pelapor juga telah mencabut laporannya. Namun ternyata, uang sebesar dua juta lima ratus rupiah yang disiapkan Supriyadi sebagai ucapan terima kasih mungkin masih dianggap kurang oleh polisi. Hingga akhirnya polisi penyidik itu mengatakan bahwa kasus adiknya akan dilanjutkan sampai pengadilan.

Demikian kira-kira pengakuan Supriyadi Wirawan, kakak kandung DH (16 tahun) pelaku yang dituduh membawa lari anak di bawah umur. Supriyadi mendampingi DH, adiknya, sejak ditahan oleh penyidik Kepolisian Sektor Denpasar Selatan. Awalnya ia merasa yakin dapat membawa pulang adiknya karena pihak keluarga pelapor telah membuat kesepakatan damai dan menandatangani berita acara pencabutan laporan di hadapan penyidik. Pada malam itu juga, usai menandatangani kesepakatan damai, Supriyadi bermaksud membawa pulang adiknya. Ia menanggap urusan adiknya sudah selesai sampai di situ. Namun ia mengaku amat terkejut mendengar ucapan polisi penyidik “Jangan pulang dulu. Siapkan uang pengganti kertas,” ucap Supriyadi menirukan ucapan penyidik polisi itu.62

Dalam proses penyidikan kasus, cerita miring seputar kinerja aparat kepolisian seperti itu memang seringkali santer terdengar, meskipun mungkin belum tentu sepenuhnya benar. AKP Sentike Bossayor, Kapala Unit Penyidik Perkara Anak (PPA) Polres Jakarta Pusat menuturkan bahwa selama ini ada kecenderungan dalam masyarakat dimana semua kasus ABH menuntut jalur restorative justice dalam penanganannya. Ketika tuntutan itu tidak dikabulkan maka polisi sering dituding dan menjadi sasaran tembak banyak pihak dengan tuduhan sebagai aparat yang tidak mendukung restorative justice.

Padahal, menurut Sentike, tidak semua kasus ABH bisa diperlakukan secara seragam. Menurutnya, perlu penilaian cermat untuk menetapkan tingkat kesalahan ABH dan jangan ada kesan seolah memberikan pembenaran terhadap pelaku kasus ABH. Kita tentu tidak ingin mengabaikan kepentingan dan keinginan pelaku, tapi juga tidak boleh mengesampingkan kepentingan korban. Bahkan, kepentingan korban bagaimana pun harus menjadi prioritas. “Karena itu, apabila korban tidak bersedia melakukan restorative justice dan diversi, kita harus menghormati itu sehingga akan tetap melanjutkan kasus ke pengadilan,” ujarnya.63 Namun menurut Sentike, ketegasan polisi memproteksi korban dengan tetap membawa kasus ABH ke pengadilan seringkali disalahartikan sebagai bentuk penolakan kepolisian terhadap upaya restorative justice. Bahkan seringkali polisi dituduh malakukan rekayasa kasus dalam rangka “meminta uang tebusan” kepada pelaku.

Sentike memang mengakui bahwa praktek semacam itu ada. Namun ia berharap kasus seperti itu tidak digeneralisir, apalagi menjadi stereotype buruk bagi polisi. Menurut

(24)

Sentike, dalam hal penyidikan kasus ABH, prinsipnya tidak ada hubungannya dengan “uang terima kasih” atau uang “ini-itu”. Penyidikan dilakukan justru untuk memastikan model penanganan apa yang cocok untuk suatu kasus. “Jenis perkara yang dilakukan ABH akan menentukan apakah penyidik akan mempidanakan ABH atau membawanya ke jalur restorative justice,”. Tambah Sentike.64

Senada dengan itu, AIPTU Sularno, penyidik dan Kasubnit III Polsek Menteng menuturkan bahwa model penanganan kasus ABH sangat tergantung bagaimana jenis perkaranya. Menurut Sularno, kalau semisal keributan antar remaja, polisi cukup memanggil dan mempertemukan keluarga dari kedua belah pihak. Namun untuk pelaku yang masuk kategori meresahkan masyarakat karena telah melakukan kejahatan berulang-ulang maka tetap dilakukan pemidanaan meskipun pelaku masih masuk kategori anak. “Untuk kasus besar yang meresahkan umum dan telah dilakukan berulang-ulang, tidak bisa tidak, harus dilakukan pemidanaan,” ujar Sularno.65 Bagan berikut memberikan illustrasi bahwa penanganan ABH di tingkat penyidikan mengarah pada dua model, yaitu melalui jalur restorative justice dan pemidanaan. Pilihan ini ditempuh dengan mempertimbangkan jenis perkara yang dilakukan ABH.

Bagan-5: Restorative justice versus pemidanaan ABH

Namun demikian, di mata Sukini, polisi itu lebih banyak mengedepankan unsur pemidanaan ketimbang memilih jalur restorative justice. Menurut Sukini, dalam perkara yang menimpa anaknya, DL (14 tahun) polisi tampak begitu bernafsu untuk mempidanakan anaknya, meskipun perkaranya masih sumir. Menurut Sukini, DL dituduh telah mencuri vocer seharga 10 ribu dari salah satu konter hape yang berada di lokasi tawuran. Padahal, keadaan konter yang berada di pemukiman padat penduduk itu kondisinya sudah tercongkel pada saat terjadi tawuran. Lebih rinci, Sukini mengambarkan beberapa hal tentang kasus yang menimpa anaknya, bahwa pada hari itu DL sepulang sekolah ikut teman-temannya yang tahu bahwa ada tawuran yang tak jauh dari lokasi sekolah dan rumah mereka. Ketika terjadi tawuran tersebut, DL bersama dua temannya mengambil vocer yang sudah tergeletak di tanah dekat dengan konter. Namun justru saat itu polisi yang bertugas melerai tawuran itu meneriaki maling kepada DL. Meskipun DL kemudian membuang vocer yang dipungutnya itu, namun polisi tetap menangkap DL. “Anak saya belum jelas bersalah, kok asal main tangkap saja,” ujar Sukini.66

64 Wawancara dengan Sentike Bossayor, Jakarta: 3 November 2011. 65 Wawancara dengan Sularno, Jakarta: 19 Oktober 2011.

(25)

Sementara di Denpasar, Daniar Trisasongko, Penasehat Hukum yang mendampingi DH di Polsek Denpasar menilai pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian belum memperhatikan asas peradilan anak. Menurut Daniar, pada saat dilakukan introgasi, DH tidak didampingi oleh kuasa hukum atau siapa pun. Saat itu DH sendirian dalam satu ruang introgasi. Padahal, dalam ruangan terdapat tiga orang petugas. Keluarga DH pun tidak diberi kesempatan untuk mendampingi. Demikian juga soal masa penahanan, menurut Danier, masa penahanan polisi 30 hari memang menjadi kewenangan polisi sesuai hukum acara pidana. Namun menurutnya, pelaku anak seharusnya bisa diproses lebih cepat. “Tidak lantaran harus menghabiskan seluruh masa penahanan, namun justru mengesampingkan kepentingan dan hak-hak anak,” ujarnya.67

Hal lain yang disesalkan Daniar selaku Kuasa Hukum adalah penahanan DH yang dilakukan di LP Kerobokan yang jelas-jelas bukan kategori LP Anak. Daniar telah mengajukan permohonan kepada jaksa agar DH tidak ditahan di LP Krobokan, tetapi dititipkan kembali di aula Polsek Denpasar Selatan. Di LP Kerobokan DH dicampur dengan tahanan dewasa. Keadaan demikian membuat DH menjadi ketakutan. Karena jaksa tidak merespon permohonan tersebut dalam waktu cepat, Daniar telah melakukan upaya non-litigasi untuk menyelamatkan DH dari proses hukum yang tak mengindahkan asas peradilan anak tersebut. Ia mengirimkan surat pengaduan ke Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia – Pusat dengan tembusan ke berbagai instansi terkait, yaitu: UNICEF perwakilan Indonesia; Komnas HAM; KONTRAS; YLBHI; Kepala Kejaksaan Agung; Kapolda Bali; Kepala Kanwil. Hukum dan HAM Provinsi Bali; Ketua DPRD Bali; Kepala Kejaksaan Tinggi Bali; dan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar.

Muslim Harahap, Ketua Pokja Pengaduan dan Fasilitasi KPAID Sumatera Utara menyatakan bahwa peran penyidikan yang dilakukan kepolisian dalam mendorong keadilan restoratif bagi ABH masih sangat lemah. Harahap menilai bahwa di lingkup kepolisian, penanganan soal ABH kini hanya ditangani oleh unit PPA dan itu pun kurang koordinasi dengan stakeholder yang seharusnya, seperti kejaksaan. Demikian halnya peran polisi dalam penyidikan, menurut Harahap, polisi masih banyak melakukan pemidanaan kasus anak dengan mengedepankan KUHAP ketimbang mempertimbangkan keadilan restoratif. “Pemahaman aparat kepolisian terhadap model keadilan restoratif masih lemah,” tambahnya.68

Padahal, sebagai aparat penegak hukum, tugas pokok kepolisian bukan saja pada upaya untuk “menegakkan hukum” semata, namun sekaligus juga memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Penekanan mengenai hal ini dapat disimak dalam Undang-undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.69 Bahkan kalau menyimak ratio legis kelahiran Undang-undang Kepolisian tersebut, tampak bahwa perlindungan dan pengayoman serta hak asasi manusia dikemukakan dalam klausul “Menimbang” secara eksplisit. Hal ini tentu saja menandaskan bahwa perlindungan dan pengayoman serta prinsip HAM harus menjadi perhatian tersendiri, termasuk dalam penanganan ABH dimana semangat keadilan restoratif harus lebih dikedepankan sebagai salah satu bentuk pengayoman, perlindungan, serta penghormatan HAM, termasuk dan terutama hak anak.

67 Wawancara dengan Daniar Trisasongko, Denpasar: 25 Agustus 2011. 68 Wawancara dengan Muslim Harahap, Medan: 19 September 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Rekapitulasi Nilai Perdagangan Saham Berdasarkan Tipe Investor

Hasil penelitian menunjukkan pengelolaan sampah 3R ( reduce, reuse, recycle ) pada pembelajaran IPS untuk menumbuhkan karakter peduli lingkungan dapat dilakukan,

Latar belakang penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penilaian prestasi kerja yang terdiri dari aspek-aspek yang dinilai, penilai, metode penilaian dan umpan

Uji yang dilakukan di labotatorium adalah uji Mekanika Tanah dengan mengambil sampel tanah di lokasi saluran, uji yang dilakukan adalah uji sifat fisik tanah dan uji kuat

[r]

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana upaya yang dilakukan oleh Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah terhadap penerapan hak cipta yang ada pada koleksi

Kebudayaan yang berasal dari kata budayaadalah: hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi manusia), seperti kepercayaan, keseniaan, dan adat istiadat. Pusat Kebudayaan

Negara, dalam hal ini, Pemerintah Daerah belum memiliki kekuatan tata kelola zakat yang baik karena belum terbentuknya Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) kabupaten