Instansi :
Tahun : Formulir PS-2
Rencana Strategis Instansi ... Tahun ...
(tahun ke-2/3/4/5 dari 5 tahun)
Cara Mencapai Tujuan/Sasaran
4.1.2.6. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL)
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disebut RKA-KL adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan suatu kementerian negara/lembaga yang merupakan penjabaran dari rencana kerja pemerintah dan rencana strategis kementerian negara/lembaga yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya. Penyusunan rencana kerja dan pendanaannya menggunakan Renja-KL sebagai bahan masukan. Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga (Renja-KL) adalah dokumen perencanaan kementerian negara/lembaga untuk untuk periode 1 (satu) tahun.
Kementerian negara/lembaga menyusun RKA-KL berpedoman kepada rencana kerja pemerintah. RKA-KL terdiri dari rencana kerja kementerian negara/lembaga dan anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut. Di dalam rencana kerja diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang diharapkan, kegiatan, keluaran yang diharapkan. Di dalam anggaran yang diperlukan tersebut diuraikan biaya untuk masing-masing program dan kegiatan untuk tahun anggaran yang direncanakan yang dirinci menurut jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya, serta sumber dan sasaran pendapatan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. RKA-KL meliputi seluruh kegiatan satuan kerja di lingku ngan kementerian negara/lembaga termasuk kegiatan dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Penyusunan RKA-KL pada suatu satker pada dasarnya adalah penyusunan informasi berupa: 1) Rencana kegiatan dan rincian belanjanya, 2) pendapatan yang diterima satker, dan 3) rencana penarikan alokasi anggarannya. Form-form dalam
1. Form Rincian (Form 1)
a. Rincian Kegiatan dan Keluaran (Form 1.1)
b. Rincian Anggaran Belanja per Kegiatan (Form 1.2) c. Rincian Anggaran Belanja per Jenis Belanja (Form 1.3)
d. Rincian Anggaran Pendapatan per Akun Pendapatan (Form 1.4) e. Rincian Perhitungan Biaya per Kegiatan (Form 1.5)
2. Form Uraian (Form 2)
a. Uraian Kegiatan dan Keluaran (Form 2.1)
b. Uraian Anggaran Belanja per Kegiatan (Form 2.2) c. Uraian Anggaran Belanja per Jenis Belanja (Form 2.3)
d. Uraian Anggaran Pendapatan per Akun Pendapatan (Form 2.4) 3. Form Ringkasan (Form 3)
a. Ringkasan Kegiatan dan Keluaran (Form 3.1)
b. Ringkasan Anggaran Belanja per Kegiatan (Form 3.2) c. Ringkasan Anggaran Belanja per Jenis Belanja (Form 3.3)
d. Ringkasan Anggaran Pendapatan per Akun Pendapatan (Form 3.4)
4.1.2.7. Klasifikasi Anggaran
Klasifikasi anggaran dibuat dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan dalam upaya mempermudah evaluasi dan pengukuran kinerja. Klasifikasi terdiri dari 3 kelompok yaitu :
a. Klasifikasi Fungsi.
Klasifikasi fungsi mengelompokkan anggaran ke dalam 11 (sebelas) fungsi, kemudian dijabarkan dalam 79 (tujuh puluh sembilan) sub fungsi, selanjutnya
menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.
b. Klasifikasi Ekonomi
Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
c. Klasifikasi Organisasi
Dalam klasifikasi ini, anggaran belanja dikl asifikasi menurut organisasi k e m e n t e r i a n / l e m b a g a s e b a g a i p e m e g a n g b a g i a n a n g g a r a n / p e n g g u n a anggaran/pengguna barang. Selanjutnya dirinci ke dalam beberapa unit organisasi sebagai kuasa pengguna anggaran/pengguna barang. Anggaran unit organisasi dirinci lebih lanjut ke dalam anggaran satuan kerja.
d. Satuan Kerja
Satuan kerja (Satker) adalah bagian dari suatu unit organisasi kementerian negara/lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program.
Satker merupakan unit terkecil dari klasifikasi organisasi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan satu atau lebih kegiatan dalam mencapai keluaran (output). Satker yang dapat ditetapkan menjadi Kuasa Pengguna Anggaran dikelompokkan menjadi : 1) Satker Pusat
Satker Pusat adalah satker yang melakukan kegiatan pengelolaan anggaran yang kewenangan dan tanggung jawabnya berada di kantor pusat kementerian negara/lembaga sedangkan lokasinya dapat berada di pusat atau di daerah. Satker Pusat terdiri dari unit eselon I dan eselon II yang langsung berada di bawah struktur
melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dan mengelola anggaran kantor pusat unit organisasi Kementerian Negara/Lembaga.
Satker Pusat pada dasarnya adalah unit Eselon I, dalam hal tertentu Eselon II dapat menjadi satker pusat dengan memenuhi alat kelengkapan sebuah satker (mempunyai bagian yang menangani keuangan, akuntansi, dan pelaporan).
2) Satker Vertikal/Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Negara/Lembaga Satker Vertikal/UPT adalah satker di daerah yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dan mengelola anggaran Kementerian Negara/Lembaga untuk mencapai keluaran/output dalam rangka menunjang sasaran program Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan. Contoh : Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebagai instansi vertikal DJPBN.
3) Satker Khusus
Satker Khusus adalah satker yang ditetapkan untuk melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dan mengelola dana yang bersumber dari Bagian Anggaran (BA) di luar anggaran Kementerian Negara/Lembaga atau Bagian Anggaran pembiayaan Perhitungan, antara lain BA 69.
4) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
SKPD adalah satker yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dan mengelola anggaran Kementerian Negara/Lembaga dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Kegiatan-kegiatan yang pelaksanaanya melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. SKPD penerima dana dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan bertanggung jawab atas pelaporan kegiatan dekonsentrasi/tugas pembantuan dan selanjutnya laporan dimaksud
laporan keuangan K/L yang bersangkutan. Sedangkan bagi Kementerian Negara/Lembaga yang mendelegasikan kegiatannya melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada SKPD agar mempertimbangkan ketaatan dalam menyampaikan laporan keuangan tahun anggaran sebelumnya.
5) Satuan Kerja Sementara (SKS)
Dalam hal Kementerian Negara/Lembaga tidak dapat memanfaatkan satker sebagaimana tersebut diatas maka dapat menggunakan satker sementara.
6) Satker Badan Layanan Umum (BLU)
Satker BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
e. Struktur Organisasi dalam Pengelolaan Keuangan
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.
Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementrian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operasional Officer (COO) untuk suatu
1) Menteri Keuangan selaku CFO
Unit organisasi yang terlibat dalam mengurus proses penganggaran adalah : b) Direktorat Jenderal Anggaran dalam hal penyusunan RKA-KL.
c) Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam hal pelaksanaan anggaran yaitu untuk pengesahan dokumen anggaran (DIPA).
2) Menteri Teknis/Pimpinan Lembaga selaku COO
Struktur pengelola administrasi keuangan pada Kementerian/Lembaga adalah:
a) Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai Pengguna Anggaran.
b) Unit Eselon I/Satker sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.
c) Pejabat Pembuat Komitmen.
d) Pejabat Penguji Tagihan/Penerbit Surat Perintah Membayar (SPM).
e) Bendahara Pengeluaran.
4.1.3. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Sesuai Dengan Konsep New Public Management
Demokrasi telah membuka pintu kebebasan dan akses masyarakat terhadap lembaga publik dan entitas politik di negeri kita. Kesetaraan kedudukan rakyat secara politis di hadapan negara sudah menjadi tuntutan bagi semu a orang. Hal itu diwujudkan melalui terbukanya akses rakyat kepada lembaga negara. Salah satu wujud kebebasan akses rakyat kepada lembaga negara adalah proses pemilihan langsung seorang kepala negara/kepala daerah secara demokratis. Memang tidak sepenuhnya proses tersebut dapat berjalan sesuai konsep ideal sebuah negara demokratis. Tuntutan publik atau masyarakat tentang perbaikan pengelolaan dan pelayanan publik merupakan fenomena global di semua negara, terutama negara yang
sumber penyelewengan atau yang lebih populer dengan KKN, serta rendahnya performa pengelolaan sumber daya masyarakat yang cenderung boros, tidak efisien dan efektif. Keberadaan lembaga publik mempunyai peran yang sangat vital dalam masyarakat dan berpengaruh sangat kuat terhadap sektor privat. Kesalahan manajemen publik akan mempengaruhi kinerja sektor privat. Dalam konteks ilmu ekonomi gejala ini akan menimbulkan high cost economy sehingga menurunkan tingkat daya dukung terhadap iklim investasi dan usaha, sehingga menurunkan keunggulan dalam kompetisi.
Tuntutan global terhadap pengelolaan lembaga publik diakomodasi oleh lembaga dunia dan berbagai pihak yang concern. Output yang dihasilkan adalah paradigma baru pengelolaan lembaga publik yang disebut sebagai good governance.
Karakteristiknya terdiri dari partisipasi publik dalam pembuatan keputusan yang berkaitan dengan kepentingannya, penerapan r u l e o f l a w secara konsisten, transparansi informasi berkaitan dengan penyelenggaraan kepentingan publik, kepekaan dalam pemberian pelayanan kepada publik, orientasi program yang mengacu kepada kepentingan publik, equity atau keadilan yang diwujudkan dengan adanya kesempatan sosial yang sama dalam mendapatkan pelayanan, efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan sumber daya yang diamanahkan, akuntabilitas atas aktivitas yang dilakukan dan visi strategis dalam penyelenggaraan kegiatan.
New Public Management memberi perhatian lebih besar terhadap pencapaian kinerja dan akuntabilitas, dengan mengadopsi teknik pengelolaan sektor swasta ke dalam sektor publik. Penerapan New Public Management dipandang sebagai suatu bentuk reformasi manajemen, depolitisasi kekuasaan, atau desentralisasi wewenang yang mendorong demokrasi. Perubahan dimulai dari proses rethinking government
terutama dalam hal hubungan pemerintah dengan masyarakat. Perubahan teoritis, misalnya dari administrasi publik ke arah manajemen publik, pemangkasan birokrasi pemerintah, dan penggunaan sistem kontrak telah meluas di seluruh dunia meskipun secara rinci reformasinya bervariasi. Tren di hampir setiap negara mengarah pada penggunaan anggaran berbasis kinerja, manajemen berbasis outcome (hasil), dan pengunaan akuntansi accrual meskipun tidak terjadi dalam waktu bersamaan menyatakan bahwa New Public Management merupakan fenomena global, akan tetapi penerapannya dapat berbeda-beda tergantung faktor localized contingencies.
Walaupun penerapan New Public Management bervariasi, namun mempunyai tujuan yang sama yaitu memperbaiki efisiensi dan efektivitas, meningkatkan responsivitas, dan memperbaiki akuntabilitas manajerial.
Penerapan New Public Management di Indonesia diawali dengan reformasi di bidang keuangan dengan lahirnya tiga paket undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung J awab Keuangan Negara telah mengubah secara drastis sistem penganggaran di Indonesia. Paket undang-undang tersebut merupakan fondasi bagi pelaksanaan reformasi di bidang Keuangan. Dalam undang-undang tersebut dimuat prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang mengubah paradigma lama, antara lain mengubah sistem penganggaran ”dual budgeting” yang potensi terjadinya tumpang tindih (DIK dan DIP) ke sistem penganggaran terpadu (unified budget), dengan alasan:
1. Duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, khususnya
proyek-proyek non-fisik. Dengan demikian, kinerja sulit diukur karena alokasi dana yang ada tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya.
2. Penggunaan “dual budgeting” mendorong dualisme dalam penyusunan daftar perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan untuk belanja pembangunan.
3. Analisis belanja dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi pada pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak dibatasi pada pengeluaran untuk investasi.
4. Proyek yang menerima anggaran pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai entitas akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara.
Jika proyek sudah selesai atau dihentikan tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban terhadap asset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut.
H a l i n i s e l ain menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan p e m e r i n t a h a n , j u g a m e n y e b a b k a n k e t i d a k j e l a s a n k e t e r k a i t a n a n t a r a output/outcome yang dicapai dengan penganggaran organisasi.
Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh UU No.17 Tahun 2003, maka sistem penganggaran mengacu pada praktek-praktek yang berlaku secara internasional.
Sistem penganggaran belanja negara secara implisit menggunakan sistem unified budget, di mana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan, sehingga klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya.
Dalam hal ini, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dikelompokkan ke dalam (1) kompensasi untuk pegawai; (2) penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi dari modal tetap berkaitan dengan biaya produksi yang dilaksanakan sendiri oleh unit
(social benefits); dan (8) pengeluaran-pengeluaran lain dalam rangka transfer dalam bentuk uang atau barang, dan pembelian barang dan jasa dari pihak ketiga untuk dikirim kepada unit lainnya.
Sejalan dengan amanat UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara akan pula diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, agar pengguna anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya bagi masyarakat. Jelas ada keinginan yang kuat dari pemerintah bahwa pengelompokan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan tidak boleh dipergunakan lagi, karena telah menimbulkan peluang terjadinya duplikas i, penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sejalan dengan rencana jangka menengah sebagai penunjang penerapan perubahan format baru dan anggaran berbasis kinerja, beberapa langkah penting yang akan ditempuh, yakni penyempurnaan mekanisme penyusunan dan format anggaran. Jelas, pemerintah saat ini sedang giat-giatnya melakukan reformasi yang siginifikan di bidang keuangan negara dalam upaya untuk memberantas KKN, dan dimulai dari rumah tangganya sendiri. Upaya inilah yang menunjukkan perubahan paradigma pengelolaan publik untuk menciptakan pemerintah yang bersih dan transparan.
4.1.4. Penerapan Good Corporate Governance
Dalam tiga paket undang-undang ditegaskan pula keharusan untuk melaksanaan tata kelola yang baik (good governance) untuk menuju pelaksanaan penyelenggaraan kepemerintahan yang berorientasi kepada pelanggan/masyarakat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik buruknya tata pemerintahan dijalankan mempunyai hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil pembangunan. Bagi Indonesia,
‘bad/poor governance’ sebagai faktor penyebab utama negara ini menjadi yang kondisi sosial ekonominya paling buruk di antara sekian banyak negara Asia yang terkena krisis moneter 1997.
Good corporate governance mengarah pada tujuan pokok yaitu best value adalah memodernisasi penilaian pengelolaan pemerintahan sehingga unit kerja yang berwenang menyediakan layanan yang baik dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga layanan yang disediakan bukan berdasarkan dana yang tersedia (pelayanan merupakan fungsi pendapatan), tetapi lebih pada apa yang dibutuhkan masyarakat (pelayanan merupakan fungsi kebutuhan). Setiap unit kerja menentukan target dan tujuan serta merefleksikannya ke dalam suatu performance plan yang memberikan informasi mengenai jenis layanan yang disediakan, cara menyediakan layanan, obyek pemakai layanan, kualitas layanan yang diharapkan, dan tindakan yang diperlukan dalam menyediakan layanan. Best value menitikberatkan pada pembangunan yang berkelanjutan, keseimbangan kualitas layanan yang disediakan dengan biaya yang dikeluarkan, dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam menyediakan layanan publik. Dengan demikian, best value dapat dikatakan sebagai konsep pengelolaan yang berfokus pada pelanggan dan kinerja.
Tata kelola yang baik menuntut lebih dari sekedar kapasitas pemerintah yang memadai, akan tetapi juga mencakup kaidah aturan yang menciptakan suatu legitimasi, kerangka kerja yang efektif dan efisien dalam melaksanakan kebijakan publik. Tata kelola yang baik berimplikasi pada pengelolaan urusan masyarakat dengan cara yang transparan, akuntabel, partisipatif dan berkesetaraan. Tata kelola yang baik juga mencakup partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik yang efektif, penegakan hukum dan sistem peradilan yang independen, checks and balances
lembaga pengawas yang efektif. Oleh karenanya, dorongan utama aktivitas-aktivitas yang berbasis tata kelola adalah hadirnya manajemen birokrasi pemerintahan, pengelolaan keuangan negara, modernisasi administrasi publik, dan privatisasi BUMN yang baik dan sesuai dengan rule of the law. Pergeseran konsep tata kelola menjadi tata kelola yang baik juga mencakup suatu dimensi normatif mengenai kualitas tata kelola.
Secara legitimasi, keharusan melaksanakan tata kelola yang baik sudah dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Namun perwujudan tata kelola yang baik perlu dukungan sistem yang memadai dan sumber daya manusia yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan sistem yang mendukung terwujudnya tata kelola tersebut. Masih banyak layanan yang dilakukan oleh pemerintah yang perlu ditata ulang agar mampu menghasilkan nilai baik (best value) dari masyarakat sebagai pelanggan. Agaknya perhatian terhadap pengelolaan dan peningkatan kompetensi para pegawai menjadi prioritas terkait dengan pencapaian good governance.
Pemerintah perlu menciptakan mekanisme pengelolaan SDM yang memberikan kejelasan terkait dengan kompetensi yang dibutuhkan, kinerja yang diharapkan serta sistem reward dan punishment yang jelas bagi para pegawai. Ketidakjelasan sistem inilah yang memicu kelemahan SDM karena pegawai kurang bisa melihat hubungan antara prestasi kinerja dengan imbalan atau penghargaan yang diberikan. Tentu saja ini mendorong terjadinya inefisiensi karena produktivitas pegawai yang rendah.
4.2. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja 4.2.1. Evaluasi atas Sistem Pengukuran Kinerja 4.2.1.1. Indikator Kinerja dan Pengukurannya
Pengukuran Kinerja merupakan hasil dari suatu penilaian yang sistematik dan didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak. Penilaian tersebut tidak terlepas dari proses yang merupakan kegiatan mengolah masukan menjadi keluaran atau penilaian dalam proses penyusunan kebijakan/program/kegiatan yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap pencapaian sasaran dan tujuan. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi.
Format dokumen penyusunan anggaran di Indonesia baru terfokus pada penjabaran nama program, kegiatan dan sub kegiatan dalam dokumen anggaran, tetapi substansi ukuran kinerjanya belum diformulasikan dalam indikator kinerja yang memadai. Padahal, dalam pengukuran kinerja perlu ditetapkan terlebih dahulu kerangka pengukuran kinerja di mana pengukuran kinerja dilakukan dengan menggunakan indikator kinerja kegiatan yang dilakukan dengan memanfaatkan data kinerja yang diperoleh baik melalui data internal yang ditetapkan oleh instansi maupun data eksternal yang berasal dari luar instansi. Pengukuran kinerja akan menjadi masalah apabila indikator kinerja yang ditetapkan belum mencerminkan sepenuhnya kinerja ideal yang sangat mungkin dicapai dalam kinerja aktual, apalagi kalau disusun tanpa menggunakan data kinerja sebagai benchmarking. Ini yang masih terjadi dalam penentuan indikator dalam penyusunan RKA-KL yaitu belum memadainya indikator kinerja output, apalagi outcome.
Pengumpulan data kinerja dilakukan untuk memperoleh data yang akurat, lengkap, tepat waktu, dan konsisten, yang berguna dalam pengambilan keputusan.
terdiri dari indikator-indikator masukan, keluaran, dan hasil, dilakukan secara terencana dan sistematis setiap tahun untuk mengukur kehematan, efektivitas, efisiensi, dan kualitas pencapaian sasaran. Sedangkan pengumpulan data kinerja untuk indikator manfaat dan dampak dapat diukur pada akhir periode selesainya suatu program atau dalam rangka mengukur pencapaian tujuan-tujuan instansi pemerintah.
Pengukuran kinerja mencakup kinerja kegiatan yang merupakan tingkat pencapaian target (rencana tingkat capaian) dari masing-masing kelompok indikator kinerja kegiatan dan tingkat pencapaian sasaran instansi pemerintah yang merupakan tingkat pencapaian target (rencana tingkat capaian) dan masing-masing indikator sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana kerja. Pengukuran tingkat pencapaian sasaran didasarkan pada data hasil pengukuran kinerja kegiatan. Hal-hal inilah yang belum secara nyata dilakukan oleh Kementerian Negara/Lembaga di dalam pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam anggaran sehingga pencantuman indikator kinerja dalam anggaran tidak didasarkan pada hasil analisis atas data kinerja.
Selain itu, Sistem Pengukuran Kinerja belum sepenuhnya terealisasi karena belum adanya kegiatan evaluasi untuk melakukan pengukuran terhadap hasil kinerja yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil-hasil perhitungan pengukuran kinerja kegiatan, seharusnya dilakukan evaluasi terhadap pencapaian setiap indikator kinerja kegiatan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hal-hal yang mendukung keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu kegiatan. Evaluasi bertujuan agar diketahui pencapaian realisasi, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam rangka pencapaian misi, agar dapat dinilai dan dipelajari guna perbaikan pelaksanaan program/kegiatan di masa yang akan datang. Evaluasi kinerja dilakukan terhadap analisis efisiensi dengan cara membandingkan antara output dengan input baik untuk
efektivitas yang menggambarkan tingkat kesesuaian antara tujuan dengan hasil, manfaat, atau dampak. Evaluasi juga dilakukan terhadap setiap perbedaan kinerja yang terjadi, baik terhadap penyebab terjadinya kendala maupun strategi pemecahan masalah yang telah dan akan dilaksanakan. Dalam melakukan evaluasi kinerja, perlu juga digunakan pembandingan-pembandingan antara lain:
a. Kinerja nyata dengan kinerja yang direncanakan.
b. Kinerja nyata dengan kinerja tahun-tahun sebelumnya.
c. Kinerja suatu instansi dengan kinerja instansi lain yang unggul di bidangnya ataupun dengan kinerja sektor swasta.
d. Kinerja nyata dengan kinerja di negara-negara lain atau dengan standar internasional.
Terkait dengan analisis atas akuntabilitas kinerja dalam Sistem Pengukuran Kinerja, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, ditetapkan bahwa setiap entitas pelaporan wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dan laporan kinerja, di mana hal ini menunjukkan telah adanya dukungan legalitas terhadap Sistem Pengukuran Kinerja. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) tersebut dipandang perlu untuk mengetahui kemampuan setiap instansi dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Pada praktiknya, LAKIP menggantikan Laporan Tahunan yang harus diterbitkan oleh instansi pemerintah. Dalam Penjelasan PP ini disebutkan bahwa UU 17/2003 merupakan langkah maju di mana mengharuskan pencantuman informasi tambahan tentang kinerja pengguna anggaran dalam laporan keuangannya. Pencantuman atau penambahan tersebut sejalan dengan
Terkait dengan analisis atas akuntabilitas kinerja dalam Sistem Pengukuran Kinerja, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, ditetapkan bahwa setiap entitas pelaporan wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dan laporan kinerja, di mana hal ini menunjukkan telah adanya dukungan legalitas terhadap Sistem Pengukuran Kinerja. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) tersebut dipandang perlu untuk mengetahui kemampuan setiap instansi dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Pada praktiknya, LAKIP menggantikan Laporan Tahunan yang harus diterbitkan oleh instansi pemerintah. Dalam Penjelasan PP ini disebutkan bahwa UU 17/2003 merupakan langkah maju di mana mengharuskan pencantuman informasi tambahan tentang kinerja pengguna anggaran dalam laporan keuangannya. Pencantuman atau penambahan tersebut sejalan dengan