KATA PENGANTAR
Seiring dengan semangat reformasi birokrasi Departeman Keuangan, BPPK telah menggulirkan beberapa kebijakan tahunan yang dijadikan tema program kerja.
Dimulai pada tahun 2007 dengan Back to Basic yang menekankan pada compliance sebagai lembaga pendidikan dan sebagai unit kerja pada Departeman Keuangan.
Langkah ini diarahkan pada pencitraan BPPK yang lebih baik. Dilanjutkan pada tahun 2008 dengan tema Revitalisasi yang berupaya menajamkan fungsi – fungsi pada seluruh satuan kerja BPPK sebagai langkah optimalisasi pencapaiaan kinerja organisasi. Pada tahun 2009 ini, BPPK mengusung tema Leap to Lead.
Tema Leap to Lead merupakan usaha untuk mewujudkan BPPK sebagai rujukan utama pengelola diklat di bidang Keuangan Negara dan Akuntansi Pemerintahan melalui kebijakan kajian akademik yang berkesinambungan. Dua topik kajian yang menjadi tonggak pelaksanaan tema Leap to Lead adalah Performance- based Budgeting d a n Accrual Basis Accounting. Kedua riset tersebut, yang dilaksanakan oleh tim riset yang beranggotakan para Widyaiswara, merupakan hasil karya BPPK sebagai lompatan untuk dapat menjadi yang terdepan dalam pengkajian materi kediklatan.
Melalui kebijakan di atas, tema sentral 2010 yang mensyaratkan diklat berbasis kompetensi dengan memanfaatkan teknologi informasi akan menjadi hal yang lebih mudah untuk dicapai. Fungsi diklat sebagai solusi kesenjangan kompetensi SDM Departemen Keuangan dan seluruh stakeholders BPPK dapat diwujudkan.
Dengan perancangan kurikulum berdasarkan kajian akan kebutuhan unit, pengembangan materi berdasarkan kajian akademik, dan penetapan metode
bertransformasi menjadi ‘pusat pembelajaran’ dan bukan hanya sebatas sebagai
‘lembaga pendidikan dan pelatihan’.
Kepada tim riset khususnya, dan seluruh pihak terkait, saya menyampaikan apresiasi yang setinggi – tinginya atas kinerja Saudara sekalian. Semoga semangat ketulusan Saudara dapat mejadi inspirasi bagi kemunculan karya – karya berikutnya.
Terima kasih.
Jakarta, Januari 2009
Kepala BPPK
DAFTAR ISI
Halaman Kata Pengantar...
Daftar Isi...
BAB I PENDAHULUAN...
1.1. Latar Belakang...
1.2. Perumusan Masalah...
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian...
1.4. Metode Penelitian...
1.5. Kerangka Penulisan...
BAB II TEORI ANGGARAN BERBASIS KINERJA...
2.1. Pengertian Anggaran Berbasis Kinerja...
2.2. Prinsip-prinsip Anggaran Berbasis Kinerja...
2.2.1. Prinsip Value For Money...
2.2.2. Prinsip Good Corporate Governance...
2.3. Elemen-elemen Anggaran Berbasis Kinerja...
2.4. Unsur-unsur Pendukung Anggaran Berbasis Kinerja………...
2.4.1. Pengukuran Kinerja...
2.4.2. Ganjaran dan Hukuman (Reward and Punishment)………..
2.4.3. Kontrak atas Kinerja………..
2.4.4. Kontrol Internal dan Esternal………
2.4.5. Akuntabilitas Manajemen……….
2.5. Prakondisi Anggaran Berbasis Kinerja Menurut Allen Shick………..
2.6. Keuntungan Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja...
i iii 1 1 2 3 3 4 5 5 6 7 8 10 14 15 17 18 18 19 19 22
BAB III PENGALAMAN NEGARA LAIN DALAM PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA...
3.1. Perubahan Budaya Manajemen dengan New Public Management...
3.1.1. Manajemen Kontrak………
3.1.2. Orientasi pada Hasil Kerja (Output)………...
3.1.3. Controlling……….
3.1.4. Orientasi pada Masyarakat/Pelanggan………...
3.1.5. Personalia………...
3.1.6. Teknik Informasi………
3.1.7. Manajemen Mutu………...
3.2. Membangun Sistem Pemantauan dan Evaluasi………
3.2.1. Kontribusi Sistem Pemantauan dan Evaluasi………
3.2.2. Pengalaman Negara-negara terhadap Penggunaan Sistem Pemantauan dan Evaluasi………
3.2.2.1. Australia………..
3.2.2.2. Inggris……….
3.2.2.3. Amerika Serikat...………...
3.2.2.4. Chile………
3.2.2.5. Kolumbia……….
3.3. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja……...………
3.3.1. Australia……….
3.3.2. Inggris………
24 24 26 27 27 28 29 29 30 30 30
32 33 34 35 36 39 39 42 46
BAB IV IMPLEMENTASI SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DI INDONESIA……...
4.1. Persiapan Penganggaran Berbasis Kinerja...
4.1.1. Penuangan dalam Peraturan Perundangan sebagai Landasan Hukum...
4.1.2. Cascading Perencanaan Kinerja...
4.1.2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)...
4.1.2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)...
4.1.2.3. Rencana Kerja Pemerintah...
4.1.2.4. Visi dan Misi Kementerian Negara/Lembaga...
4.1.2.5. Renstra Kementerian Negara/Lembaga...
4.1.2.6. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga...
4.1.2.7. Klasifikasi Anggaran...
4.1.3. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Sesuai Dengan Konsep New Public Management...
4.1.4. Penerapan Good Corporate Governance...
4.2. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja………
4.2.1. Evaluasi atas Sistem Pengukuran Kinerja………
4.2.1.1. Indikator Kinerja dan Pengukurannya...
4.2.1.2. Standar Pelayanan Minimal (SPM)...
4.2.1.3. Analisis Standar Biaya (ASB)...
4.2.2. Evaluasi atas Pemberian Ganjaran dan Hukuman...
4.2.3. Evaluasi atas Pelaksanaan Kontrak Kinerja...
4.2.4. Evaluasi atas Pengendalian Internal dan Eksternal...
4.2.5. Evaluasi atas Cascading Perencanaan Kinerja (BPPK sebagai Ilustrasi)...
47 47 47 54 54 57 58 59 60 62 63 67 67 71 73 73 73 78 78 81 81 82 84
4.2.7. Evaluasi atas Pembahasan Anggaran...
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...
5.1. Kesimpulan...
5.2. Saran...
Daftar Pustaka...
96 97 97 100 102
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dengan berlakunya paket undang-undang di bidang Pengelolaan Keuangan Negara yaitu Undang-undang N omor 1 7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang- Undang N o mor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara telah mengubah secara drastis sistem penganggaran di Indonesia. Paket undang-undang tersebut merupakan fondasi bagi pelaksanaan reformasi di bidang keuangan. Reformasi terkait dengan berlakunya paket undang- undang di bidang keuangan negara tersebut adalah:
1) Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting),
2) Penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Me n e n g a h (Medium Term Expenditure Framework/MTEF),
3) Penerapan Anggaran terpadu (Unified Budget).
Pada prinsipnya ketiga hal tersebut adalah jawaban atas semakin meningkatnya tuntutan untuk terciptanya tranparansi, akuntabilitas dan profesionalitas dalam pengelolaan APBN. Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan prinsip yang harus dapat diterapkan dengan baik untuk menjawab harapan publik terhadap anggaran pemerintah.
Dalam pelaksanaan sistem penganggaran di Indonesia dinyatakan ketiga pendekatan tersebut telah diadopsi dan telah dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui berbagai macam kendala yang masih sangat sulit untuk dipecahkan. Penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah telah diadopsi dalam
masih belum sempurna begitu juga penerapan unified budget (penyatuan anggaran rutin dengan anggaran pembangunan) juga telah diterapkan dan senantiasa terus dipertegas dan dipertajam. Penerapan prinsip anggaran berbasis kinerja merupakan hal yang paling sulit untuk diimplementasikan meskipun secara formal telah dinyatakan berlaku namun semua pihak masih mengakui bahwa penerapan prinsip tesebut masih jauh dari yang diharapkan.
Pengalaman negara-negara lain memerlukan waktu yang panjang untuk menerapkan prinsip penganggaran berbasis kinerja, sehingga selalu menjadi dasar permakluman apabila Indonesia sampai saat sekarang belum mampu melaksanakan prinsip tersebut secara utuh. Research paper ini berusaha meninjau sejauh mana prinsip tersebut telah diterapkan di Indonesia dan kendala apa yang dihadapi serta saran dan usulan untuk mendukung pelaksanaan prinsip penganggaran berbasis kinerja di Indonesia sehingga harapan terciptanya anggaran publik yang akuntabel, transparan, profesional sesuai dengan best practice internasional dapat tercapai.
Secara teoritis ada tahapan-tahapan yang harus dilalui ketika suatu negara akan melaksanakan penganggaran berbasis kinerja. Prakondisi yang tercipta sebelum pelaksanaan pengganggaran berbasis kinerja akan menentukan keberhasilan pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja tersebut. Untuk itu kajian singkat ini juga akan menilai sejauh mana pemerintah Indonesia telah menciptakan prasyarat- prasyarat bagi terlaksananya penganggaran berbasis kinerja secara optimal.
I.2. Perumusan Masalah
Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di Indonesia secara formal telah diterapkan sejak Tahun 2002, namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan adanya
negara di dunia dengan penerapan penganggaran berbasis kinerja di Indonesia. Dari kondisi tersebut dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Sejauh mana Indonesia telah mempersiapkan pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja;
2. Sejauh mana pencapaian Indonesia dalam pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja.
I.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Melakukan kajian secara umum terhadap penganggaran berbasis kinerja di Indonesia dibandingkan dengan teorinya;
2) Mengidentifikasi persiapan dan pelaksanaan yang telah dilakukan Indonesia.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah:
1) Mendapatkan gambaran atas capaian persiapan dan pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja di Indonesia;
2) Menjadi dasar bagi penelitian lebih lanjut atas hal-hal yang belum dapat dicapai atas persiapan dan pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja di Indonesia.
1.4. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara riset kepustakaan dan mengambil data-data sekunder dari BPPK, berupa renstra, renja dan RKA-KL sebagai ilustrasi untuk evaluasi atas perencanaan kinerja dan penuangannya dalam anggaran.
1.5. Kerangka penulisan
Kerangka penulisan dari laporan penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan, b erisi l a tar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan kerangka penulisan.
Bab II Teori Sistem Penganggaran Berbasis Kinerja, berisi pengertian anggaran berbasis kinerja, proses penyusunan anggaran berbasis kinerja, prasyarat anggaran berbasis kinerja.
Bab III Pengalaman Negara Lain dalam Persiapan dan Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja, berisi New Public Management, Sistem Pemantauan dan Evaluasi dan penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di beberapa negara.
Bab IV Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja di Indonesia, berisi pembahasan persiapan dan perkembangan pelaksanaan ABK di Indonesia, evaluasi atas prasyarat pelaksanaan ABK, evaluasi atas perencanaan kinerja, evaluasi atas penyusunan anggaran dan evaluasi atas pembahasan anggaran.
Bab V Kesimpulan dan Saran.
BAB II
TEORI SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
2.1. Pengertian Anggaran Berbasis Kinerja
Seiring dengan semakin tingginya tuntutan masyarakat terhadap transparansi penganggaran belanja publik, maka diperkenalkanlah sistem penganggaran yang berbasis kinerja ( Performance Based Budgeting) sebagai pengganti sistem penganggaran lama dengan sistem Line Item Budgeting. Dalam sistem Line Item Budgeting penekanan utama adalah terhadap input, di mana perubahan terletak pada jumlah anggaran yang meningkat dibanding tahun sebelumnya dengan kurang menekankan pada output yang hendak dicapai dan kurang mempertimbangkan prioritas dan kebijakan yang ditetapkan secara nasional.
Secara teori, prinsip anggaran berbasis kinerja adalah anggaran yang menghubungkan anggaran negara (pengeluaran negara) dengan hasil yang diinginkan (output d a n outcome) s e h i n g g a s e t i a p ru p i a h yang dikeluarkan d a p a t dipertanggungjawabkan kemanfaatannya. Performance based budgeting dirancang untuk menciptakan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatan anggaran belanja publik dengan output dan outcome yang jelas sesuai dengan prioritas nasional sehingga semua anggaran yang dikeluarkan dapat dipertangungjawabkan secara transparan kepada masyarakat luas. Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja juga akan meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memperkuat dampak dari peningkatan pelayanan kepada publik. Untuk mencapai semua tujuan tersebut, kementerian negara/lembaga diberikan keleluasaan yang lebih besar (let’s the manager manage) untuk mengelola program dan kegiatan didukung
dengan adanya tingkat kepastian yang lebih tinggi atas pembiayaan untuk program dan kegiatan yang akan dilaksanakan.
Performance Based Budgetingmemperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut sehingga prinsip-prinsip transparansi, efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas dapat dicapai. Kunci pokok untuk memahami Performance Based Budgeting adalah pada kata “Performance atau Kinerja”. Untuk mendukung sistem penganggaran berbasis kinerja yang menetapkan kinerja sebagai tujuan utamanya maka diperlukan alat ukur kinerja yang jelas dan transparan berupa indikator kinerja (performance indicators). Selain indikator kinerja juga diperlukan adanya sasaran (targets) yang jelas agar kinerja dapat diukur dan diperbandingkan sehingga selanjutnya dapat dinilai efisiensi dan efektivitas dari pekerjaan yang dilaksanakan serta dana yang telah dikeluarkan untuk mencapai output/kinerja yang telah ditetapkan. Perbedaan antara Line Item Budgeting dengan Performance Based Budgeting dapat digambarkan pada Tabel 2.1.
2.2. Prinsip-Prinsip Anggaran Berbasis Kinerja
Secara umum prinsip-prinsip anggaran berbasis kinerja didasarkan pada konsep value for money (ekonomis, efisiensi dan efektivitas) dan prinsip good corporate governance, termasuk adanya pertanggungjawaban para pengambil keputusan atas penggunaan uang yang dianggarkan untuk mencapai tujuan, sasaran, dan indikator yang telah ditetapkan.
Tabel 2.1
Perbedaan Line Item Budgeting Dengan Performance Base Budgeting
2.2.1. Prinsip Value for Money
Dalam kaitan dengan penganggaran prinsip ini digunakan untuk menilai apakah negara telah mendapatkan manfaat maksimal dari belanja yang dilakukan serta pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Beberapa hal memang sulit untuk diukur, tidak berwujud dan bersifat subyektif sehingga sering disalah artikan karena itu dibutuhkan pertimbangan yang matang dalam menentukan apakah prinsip value for money telah diterapkan dan dicapai dengan baik. Value for money tidak semata mengukur biaya barang dan jasa melainkan juga memasukkan gabungan dari unsur kualitas, biaya, sumber daya yang digunakan, ketepatan penggunaan, batasan waktu dan kemudahan dalam menilai apakah secara bersamaan kesemua unsur tersebut membentuk “value” (nilai) yang baik.
No Uraian Line Item Budgeting PerformanceBase Budgeting 1 Sistem Anggaran Berimbang,inkremental Tidak harus berimbang,
incremental b e r d a s a r k a n kinerja tahun sebelumnya 2 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Pendapatan,Belanja dan
Pembiayaan
3 Belanja Rutin dan Pembangunan Unified budgeting (anggaran operasional dan anggaran modal
4 Pinjaman (loan) Bagian dari pendapatam Bagian d a r i s u m b e r pembiayaan
5 Tolok ukur kinerja (Performance measure)
Tidak dapat diterapkan Berfokus pada hasil, manfaat dan dampak
6 Pengorganisasian Cenderung terpusat Desentralisasi dan focus pada pelayanan publik 7 Laporan Laporan keuangan Laporan keuangan, laporan
kinerja dan pelayanan
Pencapaian value for money sering digambarkan dalam bentuk tiga E, yaitu:
1. Ekonomis, yaitu meminimalkan biaya sumber daya untuk suatu kegiatan (mengerjakan sesuatu dengan biaya rendah);
2. Efisien, yaitu melaksanakan tugas dengan usaha yang optimal (melakukan sesuatu dengan benar);
3. Efektif, yaitu sejauh mana sasaran dicapai (melakukan hal yang benar).
2.2.2. Prinsip Good Corporate Governance
Prinsip good corporate governance telah diadopsi oleh hampir semua pemerintahan yang mengaku menjalakan administrasi publik yang modern.
Good governance antara lain dipahami sebagai suatu kondisi yang mempunyai delapan karakteristik utama yaitu partisipasi, rule of law, transparansi, responsiveness, consensus orientation, equity and inclusiveness, effectiveness and efficiency dan accountability. Selanjutnya diyakini ke delapan karakteristik utama tersebut akan mampu menjamin terciptanya pemerintahan yang bebas dari KKN, melindungi kaum minoritas dan suara masyarakat didengar dalam rangka pengambilan keputusan.
Masing-masing prinsip utama tersebut selanjutnya secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Participation, adanya partisipasi dari semua pihak, masyarakat luas termasuk adanya jaminan kebebasan berserikat dan berekspresi dalam proses penganggaran termasuk adanya pengawasan terhadap belanja publik oleh masyarakat luas;
b. Rule of law, dalam kaitan dengan sistem penganggaran prinsip ini merupakan pusat dari proses penyusunan anggaran. APBN ditetapkan dengan Undang- Undang begitu juga aturan-aturan pelaksanaan semua harus mengacu pada
c. Transparency, prinsip ini berlaku di berbagai fungsi dan tanggungjawab pengelolaan keuangan pemerintah, termasuk dalam proses perencanaan, kebijakan keuangan, pencatatan, audit keuangan dan pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan keuangan.
d. Responsiveness, sistem penganggaran harus mampu menampung semua kebutuhan publik dalam waktu yang masuk akal.
e. Consensus orientation, penganggaran harus mengakomodir segala kepentingan yang ada pada masyarakat luas atau juga dikenal dengan istilah anggaran partisipatif. Penganggaran partisipatif didasarkan pada pemikiran partisipasi masyarakat yang intensif dalam proses pengambilan keputusan anggaran. Hal ini juga terkait dengan perspektif jangka panjang dalam rangka terciptanya pembangunan sumber daya manusia dan bagaimana mencapai tujuan pembangunan.
f. Equity and inclusiveness, kesamaan dan pengikutsertaan jika diterapkan dalam sistem penganggaran maka semua keputusan dalam bidang keuangan dibuat demi kepentingan seluruh masyarakat bukan hanya sebagian golongan. Sehingga seluruh masyarakat merasakan bagian dari kebijakan penganggaran dan tidak merasa seolah-olah anggaran yang dibuat oleh pemerintah hanyalah untuk kepentingan pemerintah.
g. Effectiveness and efficiency, anggaran berbasis kinerja merupakan cerminan kedua prinsip tersebut. Efektivitas adalah melakukan hal yang benar dan efisiensi adalah melakukan sesuatu dengan benar. Keputusan anggaran harus memilih hal- hal yang benar untuk dibiayai oleh dana masyarakat dan mengelola pengeluaran dana-dana dan sumber daya tersebut untuk memastikan bahwa hal tersebut
h. Accountability, akuntabilitas merupakan inti dari proses anggaran. Akuntabilitas m e m b u a t p e j a b a t y a n g m e n d a p a t t u g a s m e l a k s a n a k a n d a n mempertangggungjawabkan anggaran harus dapat mengungkapkan bagaimana dana masyarakat akan digunakan. Audit program dan keuangan akan dapat menentukan apakah pejabat bersangkutan akuntabel dalam pelaksanaan anggaran yang menjadi tanggungjawabnya.
2.3. Elemen-Elemen Penganggaran Berbasis Kinerja
Dalam rangka penerapan Anggaran Berbasis Kinerja terdapat elemen-elemen utama yang harus harus ditetapkan terlebih dahulu yaitu:
1. Visi dan Misi yang hendak dicapai. Visi mengacu kepada hal yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam jangka panjang sedangkan misi adalah kerangka yang menggambarkan bagaimana visi akan dicapai.
2. Tujuan. Tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi dan misi. Tujuan tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yan g menunjukkan tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam rangka mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Tujuan harus menggambarkan arah yang jelas serta tantangan yang realisitis. Tujuan yang baik bercirikan, antara lain memberikan gambaran pelayanan utama yang akan disediakan, secara jelas menggambarkan arah organisasi dan program-programnya, menantang namun realistis, mengidentifikasikan obyek yang akan dilayani serta apa yang hendak dicapai.
3. Sasaran. Sasaran menggambarkan langkah-langkah yang spesifik dan terukur untuk mencapai tujuan. Sasaran akan membantu penyusun anggaran untuk
sasaran yang baik adalah dilakukan dengan menggunakan kriteria spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan ada batasan waktu (specific, measurable, achievable, relevant, timely/SMART) dan yang tidak kalah penting bahwa sasaran tersebut harus mendukung tujuan (support goal).
4. Program. Program adalah sekumpulan kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai bagian dari usaha untuk mencapai serangkaian tujuan dan sasaran.
Program dibagi menjadi kegiatan dan harus disertai dengan target sasaran output dan outcome. Program yang baik harus mempunyai keterkaitan dengan tujuan dan sasaran serta masuk akal dan dapat dicapai.
5. Kegiatan. Kegiatan adalah serangkaian pelayanan yang mempunyai maksud menghasilkan output dan hasil yang penting untuk pencapaian program.
Kegiatan yang baik kriterianya adalah harus dapat mendukung pencapaian program.
Dalam menyusun anggaran berdasarkan kinerja, organisasi ataupun unit organisasi tidak hanya diwajibkan menyusun anggaran atas dasar fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja tetapi juga menetapkan kinerja yang ingin dicapai. Kinerja tersebut antara lain dalam bentuk keluaran (outpu t ) dari kegiatan yang akan dilaksanakan dan hasil (outcome) dari program yang telah ditetapkan. Apabila telah ditetapkan prestasi (kinerja) yang hendak dicapai, baru kemudian dihitung pendanaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan keluaran atau hasil yang ditargetkan sesuai rencana kinerja.
R e n c a n a k e r j a Kementerian Negara/Lembaga ditetapkan berdasarkan rencana strategis (renstra) yang telah disusun sebelumnya. Rencana strategis berisi visi, misi, tujuan, kebijakan, program, dan kegiatan. Dalam rencana strategis juga
dapat menghalangi pencapaian tujuan serta struktur dari organisasi yang disusun untuk mendukung perencanaan strategis dimaksud.Dari rencana strategis selanjutnya diturunkan/disusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang bersifat operasional dan penjabaran lebih lanjut dari rencana RKP tersebut maka dapat ditentukan kinerja yang harus dicapai oleh masing-masing unit organisasi.
Dalam rencana kerja dapat ditemukan beberapa informasi tambahan yang belum terlihat dalam perencanaan strategis, seperti indikator hasil/indikator keluaran yang diharapkan, perkiraan sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan, serta penanggung jawab dan pelaksana program prioritas yang telah ditetapkan.
Program sebagai turunan dari rencana strategis adalah penjabaran kebijakan Kementerian Negara/Lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi Kementerian Negara/Lembaga.
Masing-masing Kementerian Negara/Lembaga harus menyusun dan menetapkan program berdasarkan prioritas. Beberapa kriteria yang dapat membantu dalam penentuan skala prioritas suatu program, antara lain adalah program yang direncanakan untuk mendukung pencapaian platform presiden terpilih, program yang mendukung pencapaian misi Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan, program yang cukup sensi tif s e c a r a p o l i t i s d a n m e n d a p a t p e r h a t i a n d a r i masyarakat dan pengguna. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pentingnya menyusun target sasaran program prioritas yang jelas agar dapat dinilai kinerja pelaksanaannya.
Selanjutnya juga harus ditetapkan sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu program dan kegiatan yang terdiri dari: (i) anggaran yang
jumlah pegawai maupun jumlah jam kerja, (iii) aset pendukung seperti bangunan, kendaraan dan aset-aset lainnya.
Suatu program diukur tingkat keberhasilannya atas pencapaian hasil (outcomes) yang telah ditargetkan. Outcome merupakan sasaran pencapaian untuk jangka menengah atau jangka panjang sebagai tanggung jawab politis dari Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai pengguna anggaran. Sedangkan keberhasilan suatu kegiatan diukur dari tingkat pencapaian kinerja berupa keluaran (output) yang diproduksi baik berupa barang maupun jasa. Keluaran merupakan keseimbangan antara komponen harga (anggaran), kuantitas, dan kualitas. Keberhasilan dari kegiatan yang menghasilkan berbagai keluaran merupakan tanggung jawab dari pimpinan satuan kerja sebagai tanggung jawab operasional.
Untuk penilaian keberhasilan suatu kinerja harus disusun indikator kinerja.
Dalam penetapan kinerja harus ditetapkan lebih dari satu indikator kinerja dengan menekankan pada indikator kunci (key performance indicators) sehingga terhindar dari indikator yang bersifat main-main atau asal-asalan. Penetapan indikator kinerja umumnya terkait dengan kuantitas dan kualitas. Di samping itu dalam penyusunan indikator harus jelas (clear), relevan (relevant) atau sejalan dengan pencapaian tujuan organisasi, dapat tersedia dengan biaya yang ada (economic), mempunyai dasar yang cukup untuk ditetapkan (adequate), dan dapat dimonitor keberhasilannya (monitorable).
Dalam penetapan anggaran yang akan digunakan untuk mendukung suatu kegiatan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam penerapan penganggaran harus ditentukan metode perhitungan biaya untuk masing-masing unit keluaran. Kedua, perlu memperhitungkan biaya bersama (common cost) yaitu biaya
beberapa keluaran. Dengan demikian dibutuhkan suatu standar akuntansi biaya untuk sektor pemerintahan dalam menentukan standar biaya dimaksud.
Untuk mendukung siklus pengelolaan kinerja yang baik diperlukan suatu sistem informasi yang dapat mendukung penilaian dan pengelolaan kinerja (performance management) secara keseluruhan. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendukung sistem informasi dimaksud, antara lain dengan:
a) penyusunan survey kepuasan pelanggan (client survey) yang ditujukan untuk mengukur indikator kualitas yang telah ditetapkan.
b) pelaksanaan perbandingan (benchmarking) yang ditujukan untuk membandingkan seluruh kinerja yang dicapai dengan pencapaian kinerja penyedia barang/jasa tertentu. Dalam menyusun perbandingan ini perlu menetapkan lembaga pembanding yang seimbang dan memiliki kompetensi. Perbandingan dilakukan tidak hanya dengan lembaga lain, tetapi juga dengan target kinerja, pencapaian tahun yang lalu, dan standar kinerja di sektor swasta.
c) penentuan peringkat pencapaian kinerja antar instansi pemerintah yang menyediakan barang dan jasa sejenis. Dengan membuat peringkat ini, masing-masing instansi pemerintah berusaha untuk mencapai kinerja sesuai dengan standar rata-rata, sehingga diharapkan ada keinginan untuk terus memperbaiki tingkat pelayanan kegiatan dimaksud.
2.4. Unsur-unsur Pendukung Anggaran Berbasis Kinerja
Dalam rangka penerapan anggaran berbasis kinerja terdapat unsur-unsur yang harus dipahami dengan baik oleh semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja. Unsur-unsur pokok yang harus dipahami tersebut adalah
pengukuran kinerja, penghargaan dan hukuman, kontrak kinerja, kontrol eksternal dan internal, akuntabilitas manajemen, serta prakondisi yang harus dipenuhi.
2.4.1. Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja adalah suatu proses yang obyektif dan sistematis dalam mengumpulkan, menganalisis dan menggunakan informasi untuk menentukan seberapa efektif dan efisien pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Konsekuensi Anggaran Berbasis Kinerja y a n g menghubungkan perencanaan strategis (tertuang dalam program) dengan penganggaran (tertuang dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan) untuk mencapai tujuan strategis adalah harus menentukan program dan kegiatan dengan jelas. Pembiayaan dari masing-masing program, kegiatan dan keluaran juga harus tergambar dengan jelas. Struktur pembiayaan yang jelas akan muncul apabila sistem akuntansi yang dipakai berdasarkan akrual.
Dalam rangka pengukuran kinerja yang baik diperlukan adanya sistem informasi yang mampu menghasilkan informasi yang memadai untuk menilai pencapaian kinerja dari masing-masing lembaga/unit kerja yang bertanggung jawab atas suatu kegiatan. Tingkat informasi dasar yang harus dikembangkan meliputi:
a) Ekonomis, sejauh mana masukan yang ada digunakan dengan sebaik-baiknya;
b) Efisiensi, sejauh mana perbandingan antara tingkat keluaran suatu kegiatan dengan masukan yang digunakan;
c) Efektivitas, sejauh mana keluaran yang dihasilkan mendukung pencapaian hasil yang ditetapkan.
Informasi yang dihasilkan juga harus dapat membandingkan kinerja yang
masing-masing lembaga/unit kerja yang selanjutnya dikontrol mutunya serta diverifikasi oleh instansi pusat serta lembaga audit. Agar tercapai penilaian yang fair diperlukan peran dari pihak eksternal dalam mengukur kinerja secara lebih independen. Pendekatan dalam mengukur kinerja akan bervariasi antar lembaga/unit kerja, bergantung pada bentuk keluaran yang dihasilkan. Beberapa teknik dan sumber informasi yang relevan yang digunakan antara lain:
a) Pengembangan biaya per unit: di mana kuantitas dan biaya dari keluaran merupakan sesuatu yang menjadi pertimbangan;
b) Pembandingan (benchmarking) atas biaya dan standar pelayanan, baik itu antar lembaga, antara wilayah, maupun antar negara;
c) Penentuan peringkat atas kinerja masing-masing lembaga:
d) Survey atas pengguna (client survey): dimana kualitas dan ketepatan waktu dari pelayanan publik dinilai.
Pimpinan harus diyakinkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat yang sangat berguna untuk meningkatkan kinerja lembaga secara keseluruhan.
Dengan adanya pengukuran kinerja yang baik diharapkan terdapat peningkatan keinginan dan kebutuhan untuk selalu memperbaiki kinerja lembaga, lebih dari sekedar pengukuran secara formal dan pelaporan kinerja.
Pengukuran kinerja harus dilakukan secara efisien dan efektif dengan membandingkan biaya dan manfaat atas sistem yang dibangun. Jadi harus dipertimbangkan cost b e n e f i t dari sistem pengukuran kinerja yang akan dikembangkan. Suatu sistem pengukuran kinerja sebaiknya hanya mengukur kinerja yang strategis (key performance indicators), bukan menekankan tingkat komprehensif dan birokratis atas kinerja yang disusun. (catatan: kinerja tidak diukur berdasarkan
jumlah surat masuk/keluar jumlah laporan yang dibuat/jumlah surat yang ditandatangani) karena pengkuran seperti ini dapat menyesatkan.
2.4.2. Ganjaran dan Hukuman (Reward and Punishment)
Pelaksanaan penganggaran berdasarkan kinerja sulit dicapai dengan optimal tanpa ditunjang dengan penerapan insentif atas kinerja yang dicapai dan hukuman atas kegagalannya. Penerapan insentif di sektor publik bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan karena penerapan sistem insentif perlu didukung oleh mekanisme non keuangan, terutama keinginan dan kebutuhan atas pencapaian kinerja. Hal ini dapat tumbuh misalnya jika ada aturan bahwa lembaga/unit kerja yang mencapai kinerja dengan baik dapat memperoleh prioritas atas anggaran berikutnya walaupun alokasi anggaran telah ditentukan oleh prioritas kebijakan dan program.
Hal lain yang bisa menjadi insentif bagi pencapaian kinerja adalah bertambahnya fleksibilitas bagi pihak manajer dalam mengelola keuangan publik dan kepastian atas pendanaan suatu program dan kegiatan.
Pendekatan lain dalam pemberian insentif adalah berdasarkan kapasitas yang dimiliki oleh suatu lembaga dalam mencapai suatu target kinerja. Apabila suatu lembaga dapat mencapai target yang ditetapkan, dapat diberikan keleluasaan yang lebih dalam mengelola anggaran yang dialokasikan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Hal ini memungkinkan setiap lembaga untuk maju dan berkembang secara konsisten dengan kapasitas yang mereka miliki.
Bentuk lain untuk peningkatan kinerja melalui insentif atau disinsentif yaitu penerapan efisiensi (savings). Hal ini dapat dilakukan untuk program dan kegiatan yang bersifat pelayanan publik. Alokasi anggaran untuk setiap program dan kegiatan
atas pelayanan yang diberikan. Selain itu dapat juga diterapkan penahanan atas penerimaan yang diperoleh oleh suatu lembaga, hal ini dapat dilaksanakan dengan suatu bentuk perjanjian antara lembaga pusat (central agency) dengan lembaga bersangkutan dalam pembagian atas hasil yang diterima.
2.4.3. Kontrak atas Kinerja
Jika penganggaran berdasarkan kinerja telah dapat berkembang dengan baik, kontrak atas kinerja dapat mulai diterapkan. Atas nama pemerintah, Departemen Keuangan dapat melaksanakan kontrak atas pencapaian suatu kinerja dengan kementerian negara/lembaga teknis lainnya, begitu juga antara menteri dengan unit organisasi di bawahnya. Walaupun demikian, suatu sistem kontrak kinerja harus didukung oleh definisi yang jelas terhadap pelayanan yang dikontrakkan dan kewenangan yang ada bagi pihak kementerian negara/lembaga untuk mengelola sumber daya yang ada. Kriteria tersebut dapat terlaksana apabila reformasi bidang pengelolaan keuangan negara dapat menciptakan kondisi yang dapat meningkatkan keinginan dan kebutuhan atas pencapaian kinerja.
2.4.4. Kontrol Eksternal dan Internal
Sistem kontrol eksternal terhadap penggunaan anggaran harus dilakukan oleh badan di luar pengguna anggaran. Pengguna anggaran harus mendapat persetujuan sebelum menggunakan anggaran mereka. Kontrol diarahkan pada kontrol input suatu kegiatan, serta apa dan bagaimana pencapaian output. Untuk menciptakan kontrol yang efektif harus memenuhi persyaratan:
(1) adanya pemisahan antara lembaga kontrol dan lembaga pengguna anggaran;
(3) kontrol dilakukan sebelum dan sesudah anggaran digunakan.
2.4.5. Akuntabilitas Manajemen
Bila sistem penganggaran yang lama menekankan pada kontrol terhadap input, maka di dalam sistem penganggaran berbasis kinerja difokuskan pada output.
Dalam sistem ini manajer pengguna anggaran memperoleh kewenangan penuh dalam merencanakan dan mengelola anggaran mereka. Belum banyak negara yang melaksanakan sistem ini. Negara yang telah menerapkan sistem ini adalah Inggris, Australia, New Zealand, Swedia. Prinsip dasar di dalam sistem ini adalah manajer pengguna anggaran harus diberi kebebasan penuh bila akuntabilitas atas pencapaian output yang ingin dicapai. Agar akuntabilitas dapat diwujudkan, maka sistem ini didesain mengandung dua karakteristik dasar. Pertama, kontrol dilakukan pada output. Hal ini menyebabkan manajer bertanggung jawab terhadap output baik volume, waktu pengerjaan maupun kualitasnya. Kedua, dengan adanya kebebasan bagi manajer, maka manajer dapat melakukan dan mengekspresikan profesionalitas mereka dengan optimal.
2.5. Prakondisi Anggaran Berbasis Kinerja Menurut Allen Schick
Dalam memutuskan bentuk kontrol dan besaran pelimpahan kewenangan kepada pengguna anggaran, Allen Schick mengingatkan bahwa terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan dan dipenuhi (prakondisi) sebelum memberi kewenangan sepenuhnya kepada pengguna anggaran. Menurut Allen Schick konsep tersebut tidak bisa diterapkan secara sekaligus bila prakondisinya tidak memenuhi. Prakondisi ini merupakan prasyarat untuk melakukan reformasi belanja negara secara komprehensif.
Dalam working-paper-nya Allen Schick menyebutnya dengan istilah "the basics right". Kondisi tersebut adalah:
a) Sebelum penganggaran berbasis kinerja diterapkan sebaiknya telah tercipta sebuah lingkungan atau kondisi yang mendukung dan telah berorientasi pada kinerja.
b) Sebelum melakukan perubahan kepada kontrol terhadap output sebaiknya telah terbentuk sistem kontrol terhadap input yang kuat.
c) Sebelum merubah sistem akuntansi menjadi sistem akrual, sebaiknya telah berjalan sistem account for cash yang baik.
d) Sebelum merubah mekanisme kontrol menjadi sistem kontrol internal sebaiknya telah terbentuk sistem eksternal kontrol yang baik dan untuk bergeser menjadi mekanisme akuntabilitas manajerial (managerial accountability) diperlukan sistem internal kontrol yang baik.
e) Telah beroperasinya sistem akuntansi yang handal sebelum diterapkannya sistem keuangan yang terintegrasi (intregated financial management system).
f) Telah terbentuk sebuah mekanisme pengalokasian yang berorientasi pada output sebelum difokuskan pada outcome.
g) Telah berjalannya mekanisme kontrak (formal contract) dengan baik di pasar (perekonomian) sebelum diterapkannya mekanisme kontrak kinerja (performance contracts).
h) Telah berjalannya sistem audit keuangan yang efektif sebelum audit kinerja (performance audit) dilakukan.
i) Adanya budget negara yang realistis dan predictable sebelum menuntut para manajer untuk bertindak efisien dan efektif dalam menggunakan anggarannya.
Oleh karena itu, pemberian kewenangan kepada pengguna anggaran menurutnya perlu dilakukan secara bertahap. Penerapan harus dimulai terlebih dahulu dari kontrol eksternal, kontrol internal, baru kemudian bergeser pada akuntabilitas manajemen. Perpindahan dari satu sistem ke sistem lainnya sebaiknya dilakukan jika sebuah sistem telah berjalan dengan baik.
a) Kontrol eksternal diharapkan telah memberikan landasan peraturan yang kuat.
Disamping itu para manajer pengguna anggaran telah terbiasa men gikuti peraturan tersebut.
b) Jika hal ini telah berjalan dengan baik maka kontrol internal dapat dilakukan.
Kontrol internal merupakan sistem transisi di antara kontrol eksternal dan akuntabilitas manajemen. Pemerintah harus memiliki mekanisme kontrol eksternal yang baik sebelum dialihkan pada kontrol internal.
c) Jika kedua sistem sebelumnya belum berjalan baik maka akuntabilitas manajemen akan sulit untuk berjalan dengan baik.
Budaya masyarakat, utamanya adalah aparatur negara, untuk taat pada aturan juga sangat penting dalam penerapan akuntabilitas manajemen ini. Tanpa adanya faktor tersebut sistem ini akan menjadi riskan di tengah fleksibilitas manajer untuk melakukan dan merumuskan aturan sendiri. Dari pengalaman empiris, salah satu negara yang sukses menerapkan akuntabilitas manajemen dalam desentralisasi kewenangan pengguna anggaran adalah New Zealand. Menurut Schick, terdapat dua faktor sukses dari sistem ini di New Zealand yaitu adanya pasar yang kuat (robust market sector) serta adanya aturan/kepastian yang jelas atas sebuah kontrak (enforcing contracts).
2.6. Keuntungan Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja
Penerapan anggaran berbasis kinerja akan memberikan manfaat dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan dalam rangka penyelenggaraa n t u g a s kepemerintahan, sebagai berikut:
a. Anggaran Berbasis Kinerja memungkinkan pengalokasian sumber daya yang terbatas untuk membiayai kegiatan prioritas pemerintah sehingga tujuan pemerintah dapat tercapai dengan efisien dan efektif. Dengan melihat anggaran yang telah disusun dengan berdasarkan prinsip-prinsip berbasis kinerja akan dengan mudah diketahui program-program yang diprioritaskan dan memudahkan penerapannya dengan melihat jumlah alokasi anggaran pada masing-masing program.
b. Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja adalah hal penting untuk menuju pelaksanaan kegiatan pemerintah yang transparan. Dengan anggaran yang jelas, dan juga output yang jelas, serta adanya hubungan yang jelas antara pengeluaran dan output yang hendak dicapai maka akan tercipta transparansi. Karena dengan adanya kejelasan hubungan semua pihak terkait dan juga masyarakat dengan mudah akan turut mengawasi kinerja pemerintah;
c. Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja mengubah fokus pengeluaran pemerintah keluar dari sistem line item menuju pendanaan program pemerintah dengan tujuan khusus terkait dengan kebijakan prioritas pemerintah. Dengan penerapan Anggaran Berbasis Kinerja maka setiap departemen dipaksa untuk fokus pada tujuan pokok yang hendak dicapai dengan keberadaan departemen yang bersangkutan. Selanjutnya penganggaran yang dialokasikan untuk masing-masing departemen akan dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
d. Organisasi pembuat kebijakan seperti kabinet dan parlemen, berada pada posisi yang lebih baik untuk menentukan prioritas kegiatan pemerintah yang rasional ketika pendekatan Anggaran Berbasis Kinerja. Parlemen dan lembaga perencana serta departemen keuangan akan lebih mudah untuk menetapkan kebijakan, menentukan alokasi anggaran untuk masing-masing departemen karena adanya kejelasan dalam prioritas pembangunan, output yang hendak dicapai dan jumlah penganggaran yang diusulkan dan dialokasikan oleh masing-masing departemen.
e. Meskipun terdapat perubahan kebijakan yang terbatas dalam jangka menengah, kementerian tetap bisa lebih fokus kepada prioritas untuk mencapai tujuan departemen meskipun hanya dengan sumber daya yang terbatas. Dengan penetapan prioritas pekerjaan yang telah ditetapkan, pimpinan akan tetap fokus untuk mencapai tujuan departemen yang dipimpin tidak perlu terganggu oleh keterbatasan sumber daya.
f. Anggaran memungkinkan untuk peningkatan efisiensi administrasi. Dengan adanya fokus anggaran pada output d a n outcome maka diharapkan tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pekerjaan. Hal ini sangat jauh berbeda apabila dibandingkan dengan ketika fokus penganggaran tertuju pada input.
BAB III
PENGALAMAN NEGARA LAIN DALAM PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
3.1. Perubahan Budaya Manajemen Dengan New Public Management
Reformasi menuju penganggaran yang berorientasi kepada hasil sudah menjadi tren perkembangan di banyak negara sejalan dengan perkembangan budaya pemerintahan yaitu budaya manajemen publik baru (the new public management) atau mewirausahakan pemerintah (reinventing government) yang berorientasi kepada hasil, pelayanan publik, dan akuntabilitas.
New Public Management merupakan sistem manajemen administrasi publik yang paling aktual di seluruh dunia dan sedang direalisasikan di hampir seluruh negara. Sistem ini dikembangkan di wilayah anglo Amerika sejak Tahun 1980-an dan telah mencapai status sangat tinggi di Selandia Baru. Perusahaan-perusahaan umum diprivatisasi, pasar tenaga umum dan swasta diregulasi, dan dilakukan pemisahan yang jelas antara penetapan strategis wewenang negara oleh lembaga-lembaga politik (apa yang dilakukan negara) dan pelaksanaan operasional wewenang oleh administrasi (pemerintah) dan oleh penanggungjawab independen (swasta) terkait b a g a i m a n a w e w e n a n g t e r s e b u t d i l a k s a n a k a n . A d m i n i s t r a s i d a n b a d a n penanggungjawab melaksanakan tugas yang diserahkan negara atas dasar perumusan
“order” secara kuantitatif dan kualitatif, lalu disepakatilah anggaran biaya untuk pelaksanaan order tersebut.
Tujuan New Public Management adalah untuk mengubah administrasi yang sedemikian rupa sehingga administasi publik sebagai penyedia jasa bagi masyarakat
namun tidak berorientasi kepada laba. Beberapa negara seperti Swedia, Belanda, Selandia Baru, Amerika Serikat, Britania Raya, Amerika Latin dan beberapa negara lainnya beberapa tahun lalu merasa harus melakukn reformasi terhadap kinerja administrasi publik di negara mereka.
Penyusunan administrasi negara yang efisien di negara-negara Amerika Latin merupakan prasyarat bagi peningkatan demokratisasi, pengembangan ekonomi dan pengalokasian dana secara adil. Dalam kaitan ini reformasi manajemen memiliki peran yang sangat penting guna memperbaiki efisensi penyelenggaraan pemerintahan.
Sebelumnya, jawatan publik di Amerika Latin sebagian besar tidak memiliki administrasi yang profesional. Akses terhadap jawatan publik dan juga praktik kenaikan pangkat (promosi) sangat dipolitisasi dan biasanya tidak berdasarkan prestasi kerja dan kualifikasi. Ini terjadi baik di tingkat pimpinan maupun pada sebagian besar karyawan di dinas pemerintahan. Jabatan dalam pemerintahan selalu menjadi wadah bagi yang berkuasa untuk menciptakan lapangan kerja bagi aktivis partai. Oleh karena itu, sangat mungkin setelah dilakukan analisis terhadap kebutuhan pegawai untuk layanan-layanan yang dihasilkan, angkanya jauh di bawah angka riil daripada jumlah pegawai yang saat itu ada. Menghadapi hal tersebut hanya ada dua opsi, yaitu mengurangi jumlah personil jabatan publik sesuai kebutuhan yang ada yang berarti akan terjadi PHK masal di mana hal ini secara politis tidak akan berhasil, atau memperbanyak cakupan layanan sehingga pegawai yang ada menjadi produktif, yang berarti harus mengeluarkan biaya untuk meningkatkan pendidikan dan peningkatan kualifikasi pegawai.
Hambatan dalam pelaksanaan new public management di Amerika Latin adalah terlalu banyaknya regulasi yang tidak jelas dan pelaksanaan yang semena-mena.
layanan kepada masyarakat. Administrasi publik Amerika Latin cenderung mengatur tata kehidupan warganya tapi tidak melayani masyarakat. Sedangkan New Public Management menganggap segala bentuk kegiatan dalam administrasi publik yang tidak memberikan kemanfaatan dan pelayanan terhadap masyarakat justru merupakan tindakan pemborosan. Untuk itulah, dipandang sangat penting dan mendesak untuk membenahi Amerika Latin dengan reformasi pemerintahan dengan memperbaiki birokrasi untuk administrasi publik.
Langkah untuk menerapkan New Public Management bisa dilakukan dengan syarat didukung oleh birokrat, politisi dan masyarakat. Adapun perangkat-perangkat dari New Public Management adalah beberapa hal berikut ini.
3.1.1. Manajemen Kontrak
Y a n g d i m a k s u d d e n g a n m a n ajemen kontrak adalah penyelenggaraan administrasi melalui kesepakatan-kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai.
Kesepakatan ini mencakup mulai dari tujuan yang hendak diraih sampai dengan pengawasan terhadap proses pencapaian tujuan tersebut. Landasan manajemen kontrak adalah kontrak atau perjanjian antara pihak politisi (Parlemen atau DPR) dengan pihak yang akan memberikan layanan atau pemerintah sebagai pelaksana.
Kontrak ini menyangkut kesepakatan tujuan yang bersifat mengikat tentang jangka waktu yang telah ditetapkan, yang mengandung unsur-unsur, yaitu ditetapkannya produk atau kinerja yang harus dilakukan berdasarkan kuantitas dan kualitas serta anggaran yang dibutuhkan. Si pemberi order menjelaskan produk yang diinginkan, tetapi tidak menentukan bagaimana proses kerja tersebut dilakukan. Artinya, bagaimana pihak pelaksana mengerjakan produk yang diinginkan oleh pemberi order
sendiri cara untuk menghasilkan produk yang diminta. Unsur lainnya yang mendukung berfungsinya manajemen kontrak adalah penerapan sistem pelaporan yang menyediakan seluruh informasi mengenai pelaksanaan kinerja kepada pihak pemberi order dengan mendokumentasikan kemajuan kinerja sedemikian rupa sehingga di dalam pembahasan didukung oleh data-data kinerja untuk kepentingan evaluasi.
3.1.2. Orientasi pada Hasil Kerja (Output)
Administrasi hanya dapat dikendalikan secara efisien apabila titik tolak di dalam penyelenggaraannya berorientasi pada hasil (output) kerja. Namun sampai dengan hari ini masih banyak negara yang pengendalian administrasi publiknya masih dilakukan melalui input, artinya melalui penjatahan sumber daya secara sentral.
Rancangan anggaran belanja mengatur berapa banyak uang yang boleh dikeluarkan oleh administrasi dan bagaimana mereka harus menggunakan uang itu, namun tidak ada bagian penjelasan atau keterangan dalam anggaran itu yang menyatakan dengan jelas kinerja atau produk apa yang akan dihasilkan dengan uang itu dan apa yang benar-benar diharapkan pemerintah dari anggaran tersebut.
3.1.3. Controlling
Controlling diartikan sebagai satu konsep terpadu guna mengendalikan administrasi secara efisien dan ekonomis dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh politik . U n t u k b i s a berfungsi, pengawasan harus menyediakan informasi yang dibutuhkan pada saat yang tepat dengan tujuan mengendalikan proses.
Controlling sebagai pendukung manajemen sangat tergantung pada, pertama,
merupakan beban yang berat dalam adminstrasi publik karena itu dibutuhkan perombakan cara berpikir karena instrumen ini merupakan satu persyaratan untuk mencapai efisiensi. Kalkulasi biaya administrasi memberikan data mengenai seberapa jauh produksi yang hendak dilakukan dalam administrasi publik dan bidang apa saja yang bisa diserahkan pada pihak swasta untuk dikerjakan, untuk dapat menekan biaya.
Kedua, adanya pelaporan. Keleluasaan yang muncul dengan adanya desentralisasi dan pendelegasian wewenang harus dihubungkan oleh kewajiban membuat laporan oleh pihak yang diberikan keleluasaan dan wewenang kepada si pemberi order mengenai apa yang telah mereka lakukan dengan dana yang telah dipercayakan kepada mereka dan apakah mereka telah mencapai tujuan dan standar mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga adalah penganggaran. Penganggaran dalam konteks new public management berangkat dari metode arus balik, di mana politik atau parlemen menetapkan kerangka acuan bagi administrasi (pemerintah) u n t u k menentukan anggarannya. Patokan anggaran yang ditetapkan secara top-down ini diperbandingkan dengan anggaran departemen yang dibuat secara bottom-up dan akhirnya baru dirundingkan suatu anggaran yang akan ditetapkan.
3.1.4. Orientasi pada Masyarakat/Pelanggan
Prinsip new public management menekankan bahwa “segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagi warga adalah pemborosan.” Kalimat ini mengandung makna bahwa administrasi bukanlah tujuan akhir, mempunyai satu tugas yaitu memberikan layanan kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Di beberapa negara pernah dikembangkan apa yang disebut “citizen charta” (piagam warga) yang merangkum hak-hak apa saja yang dimiliki warga sebagai warga pembayar pajak kepada negara.
karena pajak yang dibayarkannya, mempunyai hak atas layanan dalam jumlah dan kuantitas tertentu. Jadi, negara dilihat sebagai suatu perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tetapi di lain pihak, dalam bidang- bidang tertentu memonopoli layanan jasa, dengan memberikan layanan dengan kualitas maksimal sejalan dengan benchmarking dan administrasi-administrasi publik lainnya. Tugas admistrasi (pemerintah) adalah menciptakan transparansi dan tercapainya layanan, memberdayakan personil dalam melayani masyarakat, serta menciptakan kondisi yang berorientasi pada pelayanan.
3.1.5. Personalia
Personalia merupakan faktor kunci bagi suksesnya sebuah proses modernisasi.
Modernisasi administrasi publik hanya akan berhasil apabila potensi sumber daya manusia dimanfaatkan secara maksimal dan memperbaiki jika ada kekurangan.
Dalam proses modernisasi penting sekali melibatkan karyawan dengan menentukan tujuan-tujuan yang jelas dan menunjukkan keuntungan apa saja yang mereka miliki dengan tujuan yang jelas tersebut, meningkatkan kompetensi dan kualitas pegawai, di mana proses untuk menjadi karyawan dalam kantor publik harus berdasarkan kualifikasi dan reliabilitas.
3.1.6. Teknik Informasi
Prinsip-prinsip manajemen yang telah diuraikan di atas serta berbagai bentuk pengendaliannya membutuhkan suatu sistem informasi yang sempurna.
Penggabungan informasi dan komunikasi yang cepat, pemadatan data untuk pengendalian dan kemungkinan mengakses kumpulan data guna memenuhi keinginan
pelanggan, membutuhkan jaringan alat pengolahan data sehingga pekerjaan bisa dilakukan dengan cepat, akurat dan dapat dipercaya.
3.1.7. Manajemen Mutu
Manajemen mutu di sini adalah bahwa ‘administrasi’ melakukan segala sesuatu dalam rangka mengorganisir proses-proses produksi, standar dan sumber daya bersama para pegawai. Tujuannya adalah merespon kebutuhan pelanggan (dalam hal ini adalah masyarakat).
3.2. Membangun Sistem Pemantauan dan Evaluasi
Untuk dapat memperbaiki kinerja, beberapa negara menciptakan sistem pemantauan dan evaluasi untuk mengukur dan membantu mereka dalam memahami kinerja mereka. Sistem pemantauan dan evaluasi digunakan untuk mengukur kuantitas, kualitas dan penargetan barang dan jasa (outputs) yang disediakan negara dan mengukur dampak dari output tersebut. Sistem ini juga membantu pemerintah memahami sebab-sebab bagi kinerja yang baik dan kinerja yang buruk. Pemantauan dan evaluasi dapat memberikan informasi tentang kinerja kebijakan, program dan proyek pemerintah. Pemantauan dan evaluasi dapat mengidentifikasi apa yang dapat berfungsi, apa yang tidak, dan mengapa. Pemantauan dan evaluasi juga menyediakan informasi tentang kinerja pemerintah, kinerja masing-masing kementerian dan lembaga pemerintah, serta kinerja manajer dan staf mereka.
3.2.1. Kontribusi Sistem Pemantauan dan Evaluasi
Kontribusi Sistem Pemantauan dan Evaluasi u n t u k m e w u j u d k a n t a t a
a. Untuk mendukung pembuatan kebijakan terutama pembuatan keputusan di bidang anggaran, yaitu penyusunan anggaran berbasis kinerja dan perencanaan nasional.
Proses ini berfokus pada prioritas pemerintah di antara tuntutan-tuntutan warga negara dan kelompok-kelpompok dalam masyarakat. Informasi pemantauan dn evaluasi dapat mendukung pembahasan pemerintah dengan menyediakan bukti menyangkut kegiatan pemerintah yang paling efektif dari segi biaya, seperti berbagai macam program penyediaan lapangan kerja, intervensi di bidang kesehatan atau bantuan tunai bersyarat.
b. Untuk membantu kementerian-kementerian pemerintah dalam mengembangkan kebijakan dan analisis kebijakan serta pengembangan program.
c. Untuk membantu kementerian dan badan pemerintah dalam mengelola kegiatan- kegiatan pada tingkat sektor, program dan proyek. Hal ini mencakup penyediaan layanan pemerintah dan staf, di mana pemantauan dan evaluasi mengidentifikasi penggunaan paling efisien atas sumber daya yang tersedia. Pemantauan dan evaluasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan. Indikator kinerja dapat digunakan untuk membuat perbandingan biaya dan kinerja, pembuatan tolok ukur kinerja di tingkat satuan kerja, wilayah dan distrik pemerintahan yang berbeda.
d. Untuk meningkatkan transparansi dan mendukung hubungan akuntabilitas dengan memperlihatkan sejauhmana pemerintah telah mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan. Pemantauan dan evaluasi menyediakan bukti yang mendasar guna menopang hubungan akuntabilitas, seperti hubungan akuntabilitas antara pemerintah dengan parlemen atau kongres, dengan masyarakat sipil dan lembaga donor.
3.2.2. Pengalaman negara-negara terhadap Penggunaan Sistem Pemantauan dan Evaluasi
Kebanyakan pemerintah yang tergabung dalam OECD memberikan penekanan besar pada empat cara penggunaan informasi pemantauan dan evaluasi, yaitu mendukung pembuatan kebijakan berbasis-bukti (khususnya penyusunan anggaran berbasis-kinerja), pengembangan kebijakan, manajemen, dan akuntabilitas.
Pemerintah-pemerintah anggota OECD secara kolektif memiliki banyak sekali pengalaman menyangkut topik ini, d i mana ada pemahaman umum bahwa agar pemerintah dapat memperbaiki kinerjanya sendiri, maka pemerintah perlu memberikan perhatian lebih pada upaya untuk mengukur kinerjanya. Sekretariat OECD dan pihak-pihak lainnya telah menerbitkan berbagai survei dan analisis atas kerja negara-negara anggota untuk memperkuat orientasi kinerja mereka. Hal ini mencakup tinjauan yang ekstensif atas praktik-praktik dan pelajaran-pelajaran dari evaluasi pemerintah, baik menyangkut pembangunan kapasitas dan pemanfaatan evaluasi serta tinjauan atas praktik-praktik dan pelajaran-pelajaran dari penyusunan anggaran berbasis kinerja.
Kekeliruan pemahaman yang umum terjadi adalah bukti mengenai kinerja yang buruk menyebabkan pengurangan atau penghapusan sama sekali sebuah program.
Meskipun hal ini mungkin saja terjadi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang memiliki prioritas rendah, namun sering kali lebih banyak dana yang harus dikucurkan untuk suatu program yang dinilai berkinerja buruk dalam rangka memperbaiki program tersebut, setidaknya dalam jangka waktu dekat. Misalnya, temuan evaluasi bahwa pengeluaran untuk pendidikan dasar atau rumah sakit umum sangat tidak efisien, hendaknya tidak membawa pada kesimpulan bahwa program-
Sebaliknya, penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kinerja buruk dari program-program tersebut di mana hal ini harus diungkap melalui sebuah evaluasi, dan harus segera ditangani.
3.2.2.1.Australia
Pada 1980-an pemerintah Australia menciptakan sistem evaluasi pemerintah secara keseluruhan (whole-of-government evaluation system), yang dikelola oleh Departemen Keuangan. Seluruh kementerian diharuskan mengevaluasi setiap program mereka setiap tiga hingga lima tahun. Mereka juga diharuskan untuk mempersiapkan rencana evaluasi portofolio (portfolio evaluation plans). Rencana tersebut menguraikan secara terperinci evaluasi yang direncanakan untuk tiga tahun berikutnya dan menunjukkan program-program yang akan dievaluasi, isu-isu yang akan dibahas dalam setiap evaluasi, dan metode evaluasi yang akan digunakan.
Evaluasi tersebut dilakukan oleh kementerian lini, namun evaluasi itu ditinjau oleh Departemen Keuangan dan departemen-departemen pusat lainnya. Sebagai hasilnya, jumlah evaluasi yang dilakukan meningkat dengan pesat, dan hingga pertengahan 1990-an sekitar 160 evaluasi tengah dikerjakan. Penggunaan utama hasil-hasil evaluasi tersebut adalah dalam proses anggaran tahunan. Setiap proposal pengeluaran baru oleh kementerian lini harus secara jelas menerangkan sasaran dari proposal tersebut dan harus menyajikan temuan-temuan evaluasi yang ada mengenai keadaan sesungguhnya atau perkiraan kinerja dari kegiatan pemerintah. Serupa pula, opsi-opsi penghematan, yakni usulan untuk memangkas pengeluaran pemerintah, yang disiapkan baik oleh Departemen Keuangan maupun kementerian-kementerian lini, diharuskan melaporkan setiap temuan evaluasi yang ada. Departemen Keuangan
baru didasarkan atas temuan-temuan evaluasi, biasanya hingga tingkat yang cukup signifikan. Sekitar dua pertiga dari opsi-opsi penghematan juga didasarkan atas temuan-temuan evaluasi. Para pejabat Departemen Keuangan, yang menghadiri pertemuan kabinet dalam rangka membahas proposal-proposal anggaran tersebut, menilai bahwa informasi hasil evaluasi tersebut sangat mempengaruhi pembuatan keputusan anggaran oleh kabinet. Kantor Audit Nasional Australia menemukan bahwa departemen-departemen lini juga menggunakan informasi ini secara intensif, terutama untuk membantu mereka dalam meningkatkan efisiensi operasional.
3.2.2.2.Inggris
Pada 1998 pemerintah Inggris menciptakan sebuah sistem target kinerja, yang terkandung dalam Kesepakatan Sektor Publik (Public Sector Agreements) antara kantor Bendahara dan masing-masing dari 18 departemen utama. Di dalam Kesepakatan Sektor Publik itu dituangkan tujuan keseluruhan departemen bersangkutan, sasaran prioritas dan target-target utama kinerja. Kini ada 110 target bagi pemerintah secara keseluruhan, dan target-target itu terutama difokuskan pada area-area yang menjadi prioritas, yakni pendidikan, kesehatan, transportasi dan pengadilan kriminal. Target-target itu terutama dinyatakan dalam kerangka hasil (bukan keluaran) yang akan dicapai. Sebanyak dua kali dalam setahun departemen- departemen melaporkan secara terbuka jumlah evaluasi, sebagai bahan masukan bagi pembuatan keputusan anggaran. Prioritas pengeluaran, pagu pengeluaran dan target kinerja terkait ditetapkan dalam suatu sistem peninjauan terhadap pengeluaran tiga tahunan. Kantor Audit Nasional Inggris melaporkan bahwa departemen-departemen juga mengggunakan informasi kinerja dari Kesepakatan Sektor Publik untuk
kepentingan perencanaan internal dan akuntabilitas mereka; namun, informasi ini kurang dimanfaatkan untuk kepentingan manajemen yang berkelanjutan.
3.2.2.3. Amerika Serikat
Pada 2002 pemerintah AS menciptakan Alat Pemeringkat Penilaian Program (Program Assesment Rating Tool, PART), yang didasarkan pada upaya-upaya terdahulu untuk mengukur kinerja pemerintah. Seluruh 1.000 program pemerintah diberi peringkat dengan menggunakan metodologi PART, yang difokuskan pada empat aspek kinerja program: (1) kejelasan sasaran dan rancangan program; (2) kualitas perencanaan strategis dan jangkauan fokus pada target program; (3) keefektifan manajemen program; dan (4) hasil-hasil aktual program yang dicapai.
Kriteria terakhir ini memiliki nilai bobot sebesar 50 persen dari pemeringkatan PART bagi setiap program. Keempat kriteria di atas memberikan penekanan besar pada perlu adanya bukti yang kuat mengenai kinerja program, yang didasarkan atas informasi hasil pemantauan dan temuan temuan evaluasi.
Pemeringkatan disiapkan oleh Kantor Manajemen dan Anggaran (Office of Management and Budget, OMB) yang merupakan departemen keuangan pada pemerintah AS, bersama-sama dengan departemen-departemen dan badan-badan pemerintah; namun, keputusan akhir pemeringkatan tersebut terletak di tangan OMB.
Pada tahun fiskal 2004, 44 persen program diberi peringkat “efektif” atau “cukup efektif”; 24 persen program diberi peringkat “hasil yang tidak terbukti” karena informasi Pemantauan & Evaluasi yang tidak memadai (angka ini turun tajam dari tahun fiskal 2002, di mana 50 persen program diberi peringkat “hasil yang tidak terbukti”). Pemeringkatan PART diharuskan untuk digunakan oleh departemen-
kepada OMB. Permintaan tersebut harus menyoroti pemeringkatan PART, saran- saran untuk perbaikan kinerja program, dan target kinerja. Pada gilirannya OMB juga menggunakan pemeringkatan PART sebagai satu masukan ketika menyiapkan permintaan pendanaan anggaran kepada Kongres. Selain itu, OMB juga menggunakan pemeringkatan PART untuk menyetujui atau memberlakukan syarat-syarat perbaikan kinerja pada departemen-departemen. Kantor Akuntabilitas Pemerintah (Government Accountability Office, GAO) AS menyimpulkan bahwa PART telah membantu OMB untuk menganalisis informasi tentang kinerja program sebagai bagian dari tugas analisis anggarannya. PART juga telah merangsang minat departemen-departemen terhadap informasi kinerja anggaran. Namun, GAO menyimpulkan bahwa pihak Kongres terus menggunakan pendekatan tradisional dalam pembahasan anggaran, dengan hanya sedikit memberi penekanan pada informasi evaluasi.
3.2.2.4. Chile
Pengembangan sistem pemantauan dan evaluasi di Chile dipengaruhi oleh tekanan-tekanan fiskal dan kebutuhan membatasi pengeluaran pemerintah secara keseluruhan. Pengaruh lainnya adalah perubahan lanskap akibat reformasi sektor publik. Sistem ini memiliki 6 komponen utama. Komponen pertama yang telah berlangsung lama adalah analisis biaya-manfaat terhadap seluruh proyek investasi.
Komponen ini pertama kali diperkenalkan pada 1974, dan menjadi tugas Kementerian Perencanaan. Seluruh komponen lain sistem pemerintah dipusatkan di Kementerian Keuangan. Chile memiliki Kementerian Keuangan yang berperngaruh dan mumpuni.
Kementerian ini memainkan peranan yang dominan dalam proses anggaran dan dalam sistem pemantauan dan evaluasi. Kementerian ini jauh lebih berpengaruh daripada
adalah indikator kinerja, yang pertama kali dirintis pada 1994. Kementerian Keuangan kini menghimpun sekitar 1.550 indikator kinerja untuk seluruh sektor. Komponen ketiga, laporan manajemen komprehensif diperkenalkan pada 1996. Laporan ini disiapkan setiap tahun oleh tiap-tiap kementerian dan badan, yang berisi laporan tentang sasaran, pengeluaran dan kinerja mereka. Komponen keempat adalah evaluasi terhadap program-program pemerintah, yang dimulai pada 1996. Evaluasi ini mengikuti suatu format yang telah distandarkan dan berupa tinjauan cepat (rapid reviews), yang meliputi analisis kerangka-kerja logis (logframe analysis) atas sebuah program, tinjauan terhadap data sekunder (desk reivew), dan analisis terhadap data yang sudah ada. Evaluasi dampak yang cermat (rigorous impact evaluation) merupakan komponen yang kelima. Komponen ini diperkenalkan pada 2001, yang mencakup pengumpulan dan analisis data primer yang biasanya didasarkan teknik- teknik statistik yang canggih. Komponen keenam yang baru diperkenalkan pada 2002 adalah tinjauan pengeluaran yang bersifat menyeluruh (comprehensive spending review). Tinjauan ini menganalisis seluruh program dalam wilayah fungsional tertentu dan membahas isu seperti inefisiensi dan duplikasi program.
Di Chile S istem Pemantauan & Evaluasi, yang merupakan tanggung jawab Kementerian Keuangan, dikelola oleh divisi kendali manajemen kementerian tersebut.
Divisi ini bekerja sama erat dengan direktur anggaran, yang kepadanya divisi itu melapor—dan yang memiliki kedudukan setara dengan kementerian serta merupakan anggota Kabinet—dan juga dengan seksi-seksi anggaran yang bertanggung jawab mengawasi keuangan dan kinerja seluruh kementerian sektor dan badan-badan pemerintah. Indikasi-indikasi mengenai kinerja program yang buruk digunakan di Chile sebagai satu pemicu untuk memberi pembenaran untuk dilakukannya
sebuah evaluasi formal: baik melalui evaluasi cepat ataupun evaluasi dampak yang canggih. Direktorat anggaran Kementerian Keuangan memainkan peranan penting dalam mengidentifikasi program program pemerintah yang perlu dievaluasi. Dalam menyiapkan agenda evaluasi ini, Kementerian Keuangan berupaya mengantisipasi kebutuhan informasi untuk anggaran mendatang. Agenda ini juga dibahas bersama dengan kementerian di bawah Presiden dan Kementerian Perencanaan—bahkan ketiga kementerian utama ini menjadi anggota dari komite antarkementerian yang mengawasi seluruh evaluasi—dan dengan Kongres. Namun, jelas bahwa pemain utamanya adalah Kementerian Keuangan. Kepala-kepala seksi anggaran di Kementerian Keuangan juga diharuskan memberikan komentar terperinci mengenai laporan evaluasi terkait dengan lembaga-lembaga yang menjadi tanggung jawab mereka untuk awasi, dan evaluasi itu kemudian dibahas bersama dengan
direktur anggaran Kementerian Keuangan. Keputusan mengenai alokasi anggaran mungkin diambil pada tahap ini. Selama proses anggaran, direktur anggaran bertemu dengan para staf dari divisi kendali manajemen dan seksi-seksi anggaran untuk membahas proposal anggaran masing-masing lembaga dan kinerja keseluruhan lembaga bersangkutan. Laporan ini membahas laporan manajemen komprehensif yang harus disediakan oleh masing-masing lembaga1 Laporan itu mencakup sasaran lembaga, informasi keuangan dan kinerja, temuan-temuan evaluasi, dan kemajuan yang dicapai dibandingkan dengan target-target kinerja yang ditetapkan pada saat periode anggaran sebelumnya. Informasi Pemantauan dan Evaluasi tersebut menjadi suatu masukan penting bagi pembuatan keputusan anggaran, namun itu hanya merupakan salah satu di antara masukan-masukan lainnya. Meskipun demikian jarang sekali terdapat hubungan yang bersifat otomatis dan langsung antara kinerja
kasus, kinerja buruk sebuah lembaga boleh jadi berakibat pada pengurangan anggaran, atau penghentian sama sekali sebuah program. Namun, dalam sebagian kasus yang lain, kinerja buruk sebuah program yang dianggap sebagai prioritas pemerintah dapat saja mengharuskan peningkatan pembiayaan anggaran untuk jangka pendek guna memperbaiki masalah-masalah yang telah diidentifikasi.
3.2.2.5.Kolumbia
Sistem Pemantauan dan Evaluasi pemerintah Kolumbia, SINERGIA, dikelola oleh Departemen Perencanaan Nasional. Salah satu komponen utama sistem tersebut adalah database informasi kinerja, yang berisi sekitar 500 indikator kinerja untuk menelusuri kinerja pemerintah, dibandingkan dengan 320 tujuan yang ditetapkan oleh presiden. Untuk tiap-tiap indikator kinerja, database yang tersedia untuk publik itu merekam sasaran, strategi untuk mencapai sasaran tersebut, kinerja awal (baseline performance), target tahunan, dan jumlah dana yang dibelanjakan oleh pemerintah.
Ketika target kinerja tidak tercapai, manajer yang bertanggung jawab untuk memenuhi target ini diharuskan menyiapkan sebuah pernyataan yang menjelaskan tentang mengapa target kinerja tersebut tidak tercapai. Presiden menggunakan informasi ini dalam pertemuan kontrol manajemen setiap bulan dengan masing- masing menteri dan dalam pertemuan mingguan di balai kota di kota-kota di seluruh negara tersebut.
3.3. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja
Mayoritas pemerintah anggota OECD telah berupaya mengalihkan penekanan penyusunan anggaran dan manajemen dari masukan (inputs) kepada fokus pada hasil
Sementara isi, tempo dan metode implementasi pembaruan ini bervariasi antarnegara dan di sepanjang waktu, seluruh pembaruan itu memiliki fokus baru yang sama, yaitu pada hasil yang dapat diukur. Di mayoritas negara anggota OECD, upaya-upaya untuk menilai kinerja program dan kementerian kini dipandang sebagai bagian lazim dari pemerintah. Negara-negara menempuh metode yang berbeda-beda untuk menilai kinerja, termasuk dalam hal ukuran kinerja, evaluasi dan penolok-ukuran.
Penerapan penganggaran kinerja (Trisacti Wahyuni, 2006) dimulai dari Australia dan New Zealand pada akhir tahun 1980-an, diikuti oleh Canada, Denmark, Finlandia, Perancis, Belanda, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat pada awal sampai pertengahan tahun 1990-an. Selanjutnya pada akhir tahun 1990-an sampai dengan awal tahun 2000-an diterapkan di Austria, Jerman, dan Switzerland. Cara yang digunakan dalam penganggaran kinerja di antara negara-negara tersebut ternyata berbeda-beda. Amerika Serikat dan beberapa negara mengembangkan perencanaan stratejik dan perencanaan kinerja yang berisi target-target kinerja. Negara lain seperti Canada dan Inggris menggunakan kontrak kinerja (performance contract) antara menteri dengan instansi di bawahnya. Dalam upaya mengaitkan kinerja dengan anggaran, Australia mengintegrasikan data kinerja dalam dokumen utama anggarannya. Perancis menyajikan informasi pemetaan kinerja dan keterkaitan outcome dengan output sebagai lampiran dokumen utama anggaran. Sementara Canada, Inggris, dan Amerika menggunakan dokumen kinerja yang terpisah dengan dokumen anggaran.
Meskipun sebagian besar negara-negara tersebut telah memasukkan informasi non keuangan dalam dokumen anggarannya, kenyataannya hanya sedikit yang benar- benar melaksanakan anggaran kinerja dalam arti mengaitkan pengeluaran dengan
kinerja untuk pengambilan keputusan alokasi anggaran pada masa mendatang, seperti Australia dan New Zealand. Beberapa negara masih menghadapi kendala dalam mengintegrasikan kinerja dalam dokumen anggaran, seperti Canada, Inggris, dan Amerika. Perubahan menuju penganggaran kinerja memang merupakan proses yang kompleks karena berkaitan dengan perubahan yang fundamental baik dalam sistem, manajemen maupun pe rilaku manusianya. Selain itu, penganggaran kinerja membutuhkan dukungan sistem manajemen kinerja, sistem akuntansi pemerintahan, dan perhitungan biaya.
Penyusunan anggaran berbasis-kinerja melibatkan pemanfaatan informasi pemantauan dan temuan-temuan evaluasi. Ada tiga pendekatan utama untuk penyusunan anggaran berbasis-kinerja. Pertama adalah yang dikenal sebagai penyusunan anggaran berbasis kinerja y a n g b e r s i f a t l a n g s u n g (direct performance budgeting). Dalam pendekatan ini terdapat hubungan yang bersifat langsung, dan sering kali didasarkan atas suatu formula, sehingga alokasi anggaran untuk sebuah program didasarkan atas kinerja program tersebut yang diukur dari hasil yang dicapainya (yakni, keluaran [outputs] atau hasil [outcomes]). Contohnya adalah pendanaan universitas yang didasarkan atas jumlah lulusan dari setiap bidang keilmuan, seperti kedokteran atau kesenian.
Pendekatan kedua adalah penyusunan anggaran berbasis-kinerja yang bersifat tidak langsung (indirect performance budgeting). Ini merupakan bentuk umum dari penyusunan anggaran berbasis-kinerja. Informasi pemantauan dan temuan-temuan evaluasi tentang hasil-hasil program menjadi masukan, tetapi hanya merupakan salah satu masukan, bagi keputusan alokasi anggaran bagi sebuah program. Informasi lainnya, serta prioritas kebijakan pemerintah (termasuk pertimbangan menyangkut