• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perendaman dengan hasil air fermentasi rebung bambu Apus

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Perlakuan Pendahuluan Benih

4.2.3 Perlakuan pematahan Dormansi

4.2.3.1 Perendaman dengan hasil air fermentasi rebung bambu Apus

Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dengan keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.

Air hasil fermentasi rebung bambu Apus dilakukan dengan cara mengambil air sari dari rebung yang didiamkan selama 3 hari. Menurut Widjaja et al. (1994) komponen utama rebung mentah adalah air yang dapat mencapai sekitar 91%. Selain itu rebung mengandung protein, 12 asam amino esensial, karbohidrat, lemak, vitamin A, tiamin, riboflavin, asam askorbat, serta unsur-unsur mineral seperti kalsium, fosfor, besi, dan kalium dalam jumlah yang kecil.

Hasil uji lanjut Duncan dengan menggunakan hasil air fermentasi rebung bambu Apus terhadap daya berkecambah yaitu sebesar 25,33%.

Hilangnya kemampuan benih untuk berkecambah berhubungan langsung dengan kegiatan enzim. Mundurnya daya berkecambah benih terjadi karena kekurangan enzim amilase dalam benih. Enzim ini berfungsi sebagai katalisator dalam hidrolisa amilum yang tersimpan, sehingga kekurangan enzim ini mempengaruhi pengiriman glukosa ke embrio (Sadjad et al. 1975).

Pengaruh perendaman dengan hasil air fermentasi rebung bambu Apus pada waktu yang cukup lama dapat mengatasi dormansi mekanik yang terjadi pada benih meningkat sebesar 25,33% dibandingkan dengan kontrol (20,33%). Hal ini salah satunya dapat disebabkan rebung bambu Apus yang memiliki hormon giberelin. Giberelin dapat mengembalikan virgor benih yang telah menurun. Giberelin merupakan zat pengatur tumbuh yang mempunyai pengaruh dalam perkecambahan benih yaitu bersifat mendorong perkecambahan dan pembelahan sel. Giberelin mengaktifkan enzim-enzim perkecambahan terutama enzim hidrolisis seperti amilase, protease, fostafase, ribonuklease, dan beberapa enzim lainnya.

Giberelin disintesiskan dari asam mevelonat (MVA) di jaringan muda di pucuk dan pada biji yang berkembang. GA3 ini terdapat pada berbagai organ dan jaringan tumbuhan seperti akar, tunas, mata tunas, daun, bunga, bintil akar, buah dan jaringan halus.

Menurut Fatimah (2006), perlakuan pematahan dormansi jati dengan giberelin 10 ppm memiliki perkecambahan tertinggi 40% yang menyebabkan batang menjadi lebih tinggi, daun yang terbentuk lebih banyak, serta lebih panjang dan lebih lebar dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan yang lainnya (perendaman dengan H2SO4 pekat selama 20 menit, KNO3 2% selama 24 jam, perlakuan fisik 2 tingkat yaitu biji direndam dalam air panas (40°C) selama 42 jam dan biji direndam dalam air selama 24 jam, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 14 hari, penirisan kulit buah 1 tingkat, serta perlakuan kombinasi antara giberelin dengan perlakuan fisik atau kimia (4x5 tingkat)). Hal ini disebabkan giberelin merupakan hormon tumbuh yang mampu mengatasi dormansi biji pada berbagai spesies dan berlaku sebagai pengganti suhu rendah, hari yang

mendorong pemanjangan sel sehingga radikula dapat menembus endosperm kulit biji atau kulit buah yang membatasi pertumbuhan (Sallisbury & Ross 1995) diacu dalam Fatimah (2006)

Nilai perkecambahan merupakan cerminan ukuran beberapa jumah kecambah normal yang dapat tumbuh menjadi tanaman normal di lapangan. Pematahan dormansi dengan perlakuan perendaman air hasil fermentasi rebung bambu Apus memiliki nilai perkecambahan yaitu sebesar 0,48 (%/hari)2 atau sekitar 1 kecambah setiap hari atau jarang ada yang tumbuh setiap hari selama hari pengamatan. Hal ini disebabkan oleh cadangan makanan dalam benih kurang yang digunakan untuk proses metabolisme. Disamping itu, kondisi fisik dan fisiologi juga semakin menurun termasuk kandungan air, sehingga kemampuan perkecambahannya menurun.

Kemampuan perkecambahan benih Angsana juga dipengaruhi oleh parameter kecepatan tumbuh. Kecepatan tumbuh merupakan gambaran virgor benih. Pematahan dormansi dengan perendaman hasil air fermentasi rebung bambu Apus selama 12 jam memiliki kecepatan tumbuh rendah yaitu sebesar 0,91 (%/hari) atau 1 kecambah setiap hari selama pengamatan. Sutopo (2004) menyatakan bahwa hilangnya kekuatan dan kecepatan tumbuh karena respirasi yang cukup mempergunakan energi makanan yang ada dalam sel-sel, tetapi tidak mengandung air yang cukup untuk memindahkan jaringan makanan ke sel-sel yang sedang melangsungkan respirasi sehingga terjadi kelaparan lokal pada sel-sel yang sedang berespirasi. Selain itu kondisi fisik dan fisiologis benih juga semakin menurun termasuk kandungan airnya sehingga kemampuan perkecambahan juga akan menurun yang diindikasikan dengan kecepatan tumbuh yang semakin menurun.

Laju perkecambahan merupakan salah satu parameter menghitung kekuatan tumbuh (virgor) benih yang tujuannya untuk mengetahui jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikel atau plamula. Laju perkecambahan pada perlakuan perendaman dengan hasil air fermentasi rebung bambu Apus yakni 20,72 hari atau sekitar 21 hari. Menurut Sutopo (2004) mengatakan bahwa laju perkecambahan mencerminkan kekuatan

tumbuhnya. Semakin rendah laju perkecambahan akan menunjukkan semakin cepat benih berkecambah dan semakin kuat pertumbuhan kecambah.

Tinggi dan diameter bibit sapihan Angsana pada perendaman dengan hasil air fermentasi rebung bambu Apus selama 12 jam yaitu masing-masing sebesar 1,39 cm dan 0,48 mm. Hal ini disebabkan oleh faktor internal bibit sapihan salah satunya hormon. Menurut Gardner et al. (1991) pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pembelahan dan pembesaran sel akibat adanya interaksi antara berbagai faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain laju fotosintesis, respirasi, pembagian hasil asimilasi dan nitrogen, tipe letak meristem, kapasitas penyimpanan cadangan makanan, diferensiasi, aktivitas enzim dan lain-lain. Hormon termasuk faktor internal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, antara lain auksin, sitokinin, dan giberelin. Hormon auksin merupakan hormon yang diproduksi dipucuk untuk menstimulasi pertumbuhan akar, hormon sitokinin diproduksi di akar untuk menstimulasi pertumbuhan pucuk, sedangkan giberelin untuk diferensiasi sel. Pada pertumbuhan bibit sapihan hormon auksin akan lebih berperan dibandingkan hormon sitokinin dan giberelin. Hormon auksin juga akan menyebabkan terjadinya dominasi apikal, yaitu penghambatan kuncup oleh apeks (ujung) yang aktif pada kuncup yang memanjang.

4.2.3.2 Perendaman dengan asam sulfat (H2SO4)

Pematahan dormansi dengan perendaman larutan H2SO4 1% selama 10 menit merupakan pematahan dormansi yang memiliki daya berkecambah yaitu 100% meningkat 391,88% dibandingkan dengan kontrol hal ini dapat disebabkan oleh adanya aktivitas asam sulfat (H2SO4) yang membuat kulit benih menjadi lunak dan benih akan kehilangan lapisan yang permeabilitas terhadap gas dan air, sehingga metabolisme dapat berjalan dengan baik. Peningkatan permeabilitas yang disebabkan oleh larutnya sebagian komponen lignin oleh kulit benih. Dengan kata lain air akan lebih mudah masuk ke dalam benih tersebut yang diperlukan untuk merangsang

adalah sifat benih yaitu tingkat kemasakan benih, ukuran benih, dan dormansi, sedangkan faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan benih terdiri dari air, temperatur, oksigen, cahaya, dan media.

Pematahan dormansi perendaman dalam H2SO4 1% selama 10 menit dapat meningkatkan daya kecambah, akan tetapi apabila terlalu berlebihan dalam hal konsentrasi dan lama waktu pematahan dormansi tersebut akan meyebabkan rusaknya embrio dan menyebabkan benih tersebut akan rusak atau tidak dapat tumbuh. Seperti halnya pada pematahan dormansi perendaman dalan H2SO4 1% selama 15 menit yang memiliki daya berkecambah hanya sebesar 38,67%. Tingginya konsentrasi H2SO4 hanya dibutuhkan lama perendaman yang singkat untuk mematahkan dormansi. Lamanya perendaman lebih dari 10 menit akan mengakibatkan kerusakan pada benih (over treatment), sehingga menyebabkan daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan memiliki nilai yang rendah.

Umumnya dormansi mekanik terjadi pada benih-benih yang berkulit keras seperti halnya pada benih Angsana. Kandungan lignin yang tinggi pada benih diduga dominan dalam kulit benih sehingga menyebabkan kulit Angsana menjadi keras. Hal ini sesuai dengan fungsi lignin pada awal pembentuan sel, yaitu menambah kekuatan struktural sel dan berperan sebagai pelindung polisakarida dari hidrolisis enzim selulase (Fahn 1992 diacu dalam Puspitarini 2003). Umumnya lignin adalah bahan pertama yang muncul di bahan intraseluler dan dinding primer, kemudian bahan tersebut akan tersebar ke arah pusat menembus dinding sekunder.

Penelitian Puspitarini (2003) stuktur benih pada benih Panggal Buaya

(Zanthoxylum rhetsa (Roxb) D.C) mengalami perubahan setelah

Sumber : Puspitarini 2003

Keterangan : Lm : Lamela Lb: Lubang

Gambar 16 Struktur mikrokopis permukaan kulit benih Panggal Buaya A1 (kontrol), A2 (setelah perlakuan perendaman asam sulfat selama 30 menit), B1 (kontrol potongan arah longitudinal), B2 (setelah perendaman asam sulfat 95% selama 30 menit potongan arah longitudinal), C1 (Kontrol potongan arah transversal), C2 (setelah perendaman asam sulfat 95% selama 30 menit potongan arah transversal).

B1 Lm Lm Lm Lb Lb Lb B2 C2 A2 C1 A1

Gambar 16 menunjukkan sel-sel kulit benih Panggal Buaya yang sebelumnya padat dan kompak dengan dinding sel yang tebal (A1, B1, dan C1) kemudian menjadi longgar karena adanya lobang antar sel akibat lamela tengah yang terlarut dalam asam sulfat dan dinding sel yang menipis (A2, B2 dan C2). Kondisi ini memungkinkan bagi radikula untuk menembus kulit benih karena kulit benih relatif menjadi lebih lunak.

Menurut Yuniarti (1997) perlakuan pendahuluan pada benih Merbau (Instia bijunga) dengan perendaman dalam H2SO4 pekat (100%) selama 1-2 jam menunjukkan daya berkecambah yang cukup baik. Daya berkecambah akan menurun apabila waktu perendaman semakin lama. Keadaan ini disebabkan karena konsentrasi H2SO4 yang pekat dan keras dapat membakar kulit benih sehingga menyebabkan kerusakan benih.

Kerusakan pada kulit menyebabkan zat asam dapat masuk ke dalam benih dan merusak jaringan embrio. Hasil penelitian Muharni (2002) tentang pematahan dormansi dengan menggunakan H2SO4 20 N menghasilkan persentase kematian pada benih tertinggi. Hal ini terjadi karena banyaknya benih yang pecah karena H2SO4. Jenis asam keras seperti H2SO4, dapat merusak kulit benih atau jaringan embrio sehingga terjadinya kemunduran metabolisme sehingga menyebabkan kematian benih. Pengaruh lama perendaman dalam larutan H2SO4 dapat juga menyebabkan kerusakan kulit benih dan jaringan embrio.

Pada pematahan dormansi dengan perlakuan perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit memiliki nilai perkecambahan terbesar yaitu sebesar 1,13 (%/hari)2 atau sekitar 2 kecambah setiap hari selama pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa pematahan dormansi perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit paling efektif dalam mematahkan dormansi benih Angsana, yaitu dengan melunakkan kulit benih, sehingga air dapat dengan mudah masuk ke dalam benih. Namun, apabila berlebihan dalam hal konsentrasi dan lama waktu pematahan dormansi dapat menyebabkan kerusakan kulit benih atau jaringan embrio seperti halnya nilai perkecambahan pada pematahan dormansi

perendaman H2SO4 1% selama 15 menit yaitu hanya sebesar 0,55 (%/hari) atau sekitar 1 kecambah setiap hari selama pengamatan.

Struktur kecambah penting yang diperlukan kecambah untuk tumbuh adalah sistem perakaran, tunas aksial, kotiledon, dan kuncup terminal. Kecambah normal adalah kecambah yang memiliki semua struktur kecambah yang penting berkembang baik. Panjang kecambah harus paling tidak dua kali panjang benih, dan kecambah harus dalam keadaan sehat, sedangkan kecambah abnormal adalah kecambah yang tidak memperlihatkan potensi untuk berkembang menjadi kecambah normal (Sutopo 2004).

Kecepatan tumbuh merupakan cerminan jumlah benih normal yang berkecambah setiap hari. Kecepatan tumbuh merupakan gambaran virgor benih. Pematahan dormansi dengan perendaman larutan H2SO4 1% selama 10 menit pada bak kecambah memiliki kecepatan tumbuh sebesar 1,41 (%/hari) atau sekitar 2 kecambah setiap hari selama pengamatan. Benih yang memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi menunjukkan bahwa benih tersebut memiliki virgor atau kekuatan tumbuh yang tinggi pula. Sadjad et al. (1975) menyatakan bahwa benih yang lebih cepat tumbuh menjadi kecambah normal mampu menghadapi kondisi lapang yang sub optimum.

Laju perkecambahan yang diukur dengan menghitung rata-rata hari berkecambah menunjukkan kecepatan benih untuk dapat berkecambah, dalam hal ini adalah kecambah normal. Lama laju perkecambahan benih Angsana hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pematahan dormansi dengan perendaman larutan H2SO4 1% selama 15 menit yaitu 26,56 hari atau sekitar 27 hari. Hal ini disebabkan oleh denaturasi protein yang dapat mengakibatkan terhambatnya reaksi biokimia benih dan mempercepat kemunduran benih. Gejala kemunduran benih dapat berupa perubahan laju respirasi, aktivitas enzim dan permeabilitas membran, sedangkan gejala fisiologis benih yang mengalami kemunduran dapat berupa perubahan warna benih,

kondisi yang kurang baik, pertumbuhan benih lemah dan semakin meningkatnya jumlah benih yang abnormal (Copeland diacu dalam Murti 2000).

Benih yang bervirgor rendah akan menghasilkan kecambah yang tidak normal yang ditunjukan oleh batang yang bengkok, kotiledon yang relatif lama membuka sehingga daun menjadi kecil dan keriting dan perakaran yang pendek. Perendaman dengan larutan H2SO4 1% selama 10 menit memiliki waktu yang cepat untuk mencapai batas 80% dibandingkan dengan H2SO4 1% selama 15 menit yaitu selama 25 hari. Batas 80% perkecambahan benih menunjukkan bahwa benih-benih yang berkecambah hingga batas 80% umumnya memiliki virgor yang baik, sedangkan benih-benih yang berkecambah setelah periode tersebut biasanya pertumbuhan semai yang kurang baik, kerdil bahkan mati.

Kemunduran benih berlangsung terus dengan semakin lamanya benih dikecambahkan secara bertahap dan berakumulasi sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam benih. Kemunduran benih dapat digolongkan atas kemunduran kronologis yang berkaitan dengan waktu dan kemunduran fisiologis yang berkaitan dengan faktor lingkungan. Akhir dari kemunduran benih adalah habisnya daya kecambah dari benih yang bersangkutan (Sadjad et al. 1975)

Salah satu hambatan dalam perkecambahan benih Angsana adalah adanya dormansi mekanik yang disebabkan oleh kulit biji yang keras, sehingga tidak bisa ditembus akar. Selain itu udara dan air yang berperan dalam proses perkecambahan terhambat untuk masuk ke dalam benih. Hal tersebut menyebabkan turunnya kecepatan tumbuh dari benih Angsana. Dengan diberi perendaman terlebih dahulu pada benih Angsana sebelum ditabur dapat mempercepat perkecambahan benih Angsana karena perendaman tersebut dapat melunakan benih, sehingga dapat memacu kegiatan sel-sel dan enzim serta naiknya respirasi. Dengan demikian proses perombakan bahan makanan dapat berlangsung, sehingga menghasilkan energi yang dapat diuraikan ke titik-titik tumbuh dan benih dapat berkecambah. Perendaman benih

Angsana dengan larutan H2SO4 1% selama 10 menit menyebabkan kulit rusak dan memudahkan air masuk ke dalam benih.

Tingginya nilai tinggi dan diameter bibit sapihan pada pematahan dormansi dengan perlakuan perendaman H2SO4 1% selama 10 menit yaitu masing-masing sebesar 1,53 cm dan 1,06 mm. Hal ini disebabkan oleh perkembangan embrio yang baik, sehingga memiliki kemampunan yang tinggi dalam mengumpulkan cadangan makanan sebagai energi. Semakin besar energi yang dimiliki maka pertumbuhan makanan lebih besar dan semakin optimal. Benih yang besar akan mensuplai lebih banyak makanan untuk pertumbuhan sehingga akan menghasilkan bibit sapihan yang lebih besar pula (Sutopo 2004). Selain itu, tanaman Angsana merupakan tanaman legum yang memiliki rhizobium (bintil akar). Menurut Trubus (2006), rhizobium merupakan kelompok bakteri berkemampuan sebagai penyedia hara bagi tanaman. Bila bersimbiosis dengan tanaman legum, kelompok bakteri ini menginfeksi akar tanaman dan membentuk bintil akar. Bintil akar berfungsi mengambil nitrogen di atmosfer dan menyalurkannya sebagai unsur hara yang diperlukan tanaman. Pigmen merah leghemoglobin yang berperan dalam mengambil N di atmosfer. Pigmen ini dijumpai dalam bintil akar antara bakteroid dan selubung membran yang mengelilinginya. Jumlah leghemoglobin di dalam bintil akar memiliki hubungan langsung dengan jumlah nitrogen yang difiksasi. Korelasinya positif, semakin banyak jumlah pigmen, semakin besar nitrogen yang diikat. Rhizobium mampu menghasilkan hormon pertumbuhan berupa IAA dan giberellin yang dapat memacu pertumbuhan rambut akar, percabangan akar yang memperluas jangkauan akar. Akhirnya, tanaman berpeluang besar menyerap hara lebih banyak yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman

4.2.3.4 Perendaman dengan potassium nitrat(KNO3)

Kalium nitrat (KNO3) mengandung dua unsur penting yang dibutuhkan oleh tanaman yaitu kalium dan nitrogen. Nitrogen berperan

pengatur metabolisme. Kalium merupakan pengaktif dari sejumlah besar enzim yang penting untuk fotosintesis dan respirasi. Kalium juga mengaktifkan enzim yang diperlukan untuk pembentukan pati dan nitrogen.

Hasil uji lanjut Duncan pematahan dormansi terhadap daya berkecambah pematahan dormansi perendaman dengan KNO3 1% selama 12 jam memiliki daya berkecambah yaitu sebesar 80,33% yang lebih kecil dibandingkan dengan pematahan dormansi perendaman dengan KNO3 1% selama 24 jam yaitu sebesar 100%. Hal ini disebabkan oleh perubahan pada struktur protein, berkurangnya cadangan makanan, pembentukan asam lemak, aktifitas enzim, perubahan kromosom dan kerusakan membran (Justice dan Bass 1990 diacu dalam Sajedhi 2002).

Perendaman benih Angsana dengan KNO3 1% selama 24 jam dapat meningkatkan daya berkecambah benih Angsana sebesar 391,88% dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan KNO3 sebagai pengganti fungsi cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan benih akan O2 (Kartasapoetra 2003). Selain itu dengan penambahan N dapat memasakan benih terutama benih yang belum masak secara fisiologis.

Menurut Satyanti (2003) diacu dalam Athiyah (2008), mengaplikasikan KNO3 dengan konsentrasi 1%, 2,5%, dan 5% dalam usaha pematahan dormansi benih Kenanga. Persentase perkecambahan benih dengan perlakuan KNO3 1% selama 30 menit yaitu sebesar 36,67%, sedangkan 60 menit adalah 63,33%. Perlakuan KNO3 2,5% selama 30 menit yaitu sebesar 70%, sedangkan 60 menit adalah 60%, dan perlakuan KNO3 5% selama 30 menit adalah 70%, sedangkan 60 menit adalah 76,67%. Bewle dan Black (1943) diacu dalam Athiyah (2008) menyebutkan bahwa pematahan dormansi dengan KNO3 diduga berhubungan dengan aktifitas lintasan pentosa fosfat, ketersediaan O2

yang terbatas mengakibatkan lintasan pentosa fospat menjadi non aktif, karena O2 digunakan untuk aktifitas respirasi melalui lintasan lain. Perlakuan benih dengan aseptor hidrogen seperti nitrat, nitrit dan

methylene blue diduga dapat membantu proses reoksidasi NADPH sehingga mengaktifkan kembali lintasan pentosa fospat. NADH dan NADPH merupakan koenzim yang penting untuk beberapa lintasan metabolisme yang diperlukan untuk perkecambahan benih, perkembangan bibit dan organ penyimpanan. Koenzim tersebut diantaranya berperan dalam proses respirasi, reaksi kimia, sintesis deoxynukleotida dan katabolisme asam lemak.

Nilai perkecambahan sebagai indikator virgor benih merupakan nilai yang menunjukkan kecepatan dan kesempurnaan benih berkecambah nilai yang menunjukkan persentase benih yang dapat tumbuh saat ditanam dilapangan. Pada pematahan dormansi dengan perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 12 jam memiliki nilai perkecambahan yaitu sebesar 0,93 (%/hari)2 atau sekitar 1 kecambah setiap hari, sedangkan dengan pematahan dormansi perendaman dengan KNO3 1% selama 24 jam yaitu sebesar 1,05 (%/hari)2 atau sekitar 2 kecambah setiap hari selama pengamatan. Nilai perkecambahan yang tinggi menunjukkan perkecambahan yang sempurna dan cepat sebagai indikator bahwa benih masih bagus sehingga mampu menghadapi kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan.

Sutopo (2004) mengatakan bahwa energi untuk perkecambahan merupakan hasil asimilasi dari bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak dan protein, yang kemudian ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh sehingga terjadi perkecambahan dan pertumbuhan. Sementara itu daun belum dapat berfungsi sebagai organ untuk fotosintesis, maka pertumbuhan kecambah sangat tergantung pada persediaan makanan yang ada dalam benih. Oleh karena itu, benih ada yang cepat berkecambah tetapi strukturnya tidak sempurna, sehingga pertumbuhan kecambah selanjutnya terhambat.

Benih yang lebih cepat tumbuh menjadi kecambah normal lebih mampu menghadapi kondisi lapangan yang sub optimum (Sadjad et al.

tinggi yaitu sebesar 1,14 (%/hari) atau sekitar 2 kecambah setiap hari selama pengamatan. Benih yang memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi menunjukkan bahwa benih tersebut memiliki virgor kekuatan tumbuh yang tinggi.

Laju perkecambahan perlakuan perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 12 jam dan 24 jam yaitu masing-masing 18,47 hari dan 18,59 hari atau sekitar 19 hari. Menurut Sadjad et al. (1975) mengatakan bahwa makin kecil laju perkecambahan maka makin tinggi kualitas dan kemampuan perkecambahan benih.

Tingginya nilai tinggi dan diameter bibit sapihan pada pematahan dormansi dengan perlakuan perendaman dengan KNO3 1% selama 24 jam yaitu sebesar masing-masing 1,53 cm dan 1,1 mm. Hal ini disebabkan benih mengandung bahan makanan antara lain karbohidrat, protein, lemak dan mineral yang tersimpan dalam jaringan makanan (Sutopo 2004). Komponen-komponen tersebut merupakan cadangan energi benih untuk pertumbuhannya, semakin besar energi yang dimiliki akan mendukung pertumbuhan tanaman yang lebih optimal. Menurut Wocker dan Ruckman (1968) diacu dalam Sutopo (2004), ukuran benih menunjukan korelasi positif terhadap kandungan protein. Semakin berat atau besar ukuran benih maka kandungan proteinnya semakin meningkat pula. Pada umumnya benih yang besar memungkinkan pemunculan dan pertumbuhan bibit sapihan yang lebih baik serta memiliki potensi fotosintesis yang lebih besar, karena memiliki suplai makanan yang lebih banyak untuk pertumbuhan.

BAB V

Dokumen terkait