• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pematahan Dormansi Terhadap Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus Indicus Will)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pematahan Dormansi Terhadap Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus Indicus Will)"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP

KEMAMPUAN PERKECAMBAHAN BENIH ANGSANA

(

Pterocarpus indicus

Will)

DELFY LENSARI

(2)

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP

KEMAMPUAN PERKECAMBAHAN BENIH ANGSANA

(

Pterocarpus indicus

Will)

DELFY LENSARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Delfy Lensari (E14204024) Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will). Dibawah bimbingan Dr. Ir. Supriyanto.

RINGKASAN

Permasalahan pokok yang dihadapi dalam pembiakan Angsana adalah daya berkecambah benih yang rendah. Hal ini disebabkan oleh benih Angsana memiliki sifat dormansi kulit benih yang keras. Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan perlakuan pematahan dormansi untuk menghilangkan faktor penghambat perkecambahan dan mengaktifkan kembali sel-sel benih yang dorman. Bahan yang digunakan dalam pematahan dormansi ini diantaranya H2SO4 1%, KNO3 1%, dan air hasil fermentasi

rebung bambu Apus (Gigantochloa apus Kurz). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kemampuan perkecambahan benih Angsana (Pterocarpus indicus Will).

Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, mulai tanggal 30 Juni sampai 28 Agustus 2008. Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari benih Angsana, air panas, H2SO4 1%, KNO3

1%, air hasilfermentasi rebung bambu Apus, arang sekam padi, tanah, bak tabur, tabung

perendaman, alat penyiram (gembor/embrat), oven, timbangan analitik, alat tulis, alat ukur tinggi, kaliper dan kamera.

Rangkaian metode penelitian terdiri dari beberapa tahap yaitu seleksi dan ekstraksi benih, pengukuran kadar air, perlakuan pematahan dormansi, perkecambahan, pemeliharaan, pengamatan dan analisis data. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 6 perlakuan perendaman B0 (perendaman dengan air panas 30 menit kemudian air dingin selama 12 jam), B1 (perendaman dengan air hasil fermentasi rebung bambu Apus selama 12 jam), B2 (perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit), B3 (perendaman dengan H2SO4 1%

selama 15 menit), B4 (perendaman dengan KNO3 1% selama 12 jam) dan B5

(perendaman dengan KNO3 1% selama 24 jam) . Setiap perendaman terdiri dari 3 ulangan

dan setiap ulangan terdiri dari 100 benih Angsana.

(4)

Daya berkecambah tertinggi yaitu pada perlakuan B2 dan B5 (100%), sedangkan daya berkecambah terendah pada perlakuan B0 (20,33%). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 mampu mengatasi faktor yang mempengaruhi perkecambahan sehingga benih Angsana tumbuh dan berkembang menjadi kecambah normal.

Nilai perkecambahan merupakan indeks yang menyatakan kecepatan berkecambah benih. Semakin tinggi nilai perkecambahan menunjukkan semakin sempurna proses perkecambahan benih. Nilai perkecambahan tertinggi yaitu pada B2 dan B5 (1,13 (%/hari)2 dan 1,05 (%/hari)2), sedangkan nilai perkecambahan terkecil pada perlakuan B0 (0,40 (%/hari)2). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan B2 dan B5 mampu berkecambah normal yang dapat tumbuh menjadi tanaman normal di lapangan.

Kecepatan tumbuh merupakan cerminan jumlah benih normal yang tumbuh setiap hari. Kecepatan tumbuh tertinggi pada perlakuan B2 dan B5 (1,41%/hari), sedangkan kecepatan tumbuh terkecil pada perlakuan B0 (0,77%/hari). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 berpengaruh nyata terhadap virgor benih Angsana.

Laju perkecambahan dapat diukur dengan menghitung jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikula dan plamula. Laju perkecambahan paling cepat yaitu pada perlakuan B4 (18,47 hari), sedangkan respon laju perkecambahan paling lama diperoleh pada perlakuan B3 (26,56 hari). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan B3 memiliki virgor yang rendah.

Batas 80% berkecambah menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana dengan perlakuan B2 dan B5 mencapai batas 80% berkecambah yang paling cepat (25 hari), sedangkan batas 80% berkecambah yang paling lama yaitu pada perlakuan B3 (36 hari). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 memiliki daya tumbuh atau virgor benih yang baik.

Tinggi rata-rata bibit sapihan paling kecil pada perlakuan B0 (1,33 cm), sedangkan respon tinggi rata-rata bibit sapihan terbesar pada perlakuan B2 dan B5 (1,53 cm). Respon diameter rata-rata bibit sapihan paling kecil pada perlakuan B1 (0,48 mm), sedangkan respon diameter bibit sapihan terbesar pada perlakuan B5 (1,10 mm). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 mempengaruhi pertumbuhan awal bibit Angsana.

Perlakuan pematahan dormansi dengan perendaman H2SO4 1% selama 10 menit

dan KNO3 1% selama 24 jam mampu mengatasi permasalahan perkecambahan benih

(5)

EFFECT OF BREAKING DORMANCY TO GERMINATION CAPACITY OF

ANGSANA SEEDS (Pterocarpus indicus Will).

By

Delfy Lensari and Supriyanto

INTRODUCTION. So far, Seedling production of Angsana (Pterocarpus indicus Will) is done by stem cutting. Seedling propagation by seeds is not done widely, as well as its silvicultural system is still not known yet. Seed germination percentage is affected strongly by seed quality (physic, genetic and physiology). The main problem of seed germination of Angsana seeds is seed coat dormancy; therefore it is important to study the breaking dormancy techniques of Angsana seeds. The aim of this research was to study the effects of breaking dormancy treatment to the germination capacity of Angsana seeds.

MATERIAL AND METHOD. This research was done from 30 June to 28 Agust 2008 at Green House, the Laboratory of Silviculture, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. The material and equipment used in this experiment consisted of Angsana seeds, hot water, H2SO4, KNO3, water from fermented bamboo shoots (Gigantochloa

apus Kurz), rice hull charcoal, subsoil, germination boxes, soaking bath, watering

equipment, analytical balance, stationary, ruler, calliper, and digital camera.

The research procedures consisted of several steps; those were seed extraction and selection, seed water content measurement, breaking dormancy treatments, germination, maintenance, observation, and data collection and analysis. The experimental design in this research was completely randomised design which consisted of 6 soaking treatments, those were soaking in hot water for 30 minutes followed by soaking in cold water for 12 hours (B0), soaking in the fermented bamboo shoot liquid for 12 hours (B1), soaking in H2SO4 1% for 10 minutes (B2), soaking in H2SO4 1 % for 15 minutes (B3), soaking in

KNO3 1 % for 12 hours (B4) and soaking in KNO3 for 24 hours (B5). Each experiment

unit was replicated in three replicates. The observed parameters consisted of germination capacity, germination value, speed of germination, germination rate, germination time at 80%, high and diameter of transplanted seedlings. The collected data was analysed using F test followed by Duncan Multiple Range Test (DMRT).

RESULTS AND CONCLUSSION. Angsana seeds had embryonic and seed coat dormancies. Based the results of F test and Duncan test showed that soaking in H2SO4 1%

for 10 minutes and in KNO3 1 % for 24 hours could break those dormancies. It was

indicated by it high germination percentage (100 %), and other values such as germination value (1,13% to 1.05% normal germinants/day2), germination speed (1, 41 %/day), germination rate (19,32 – 18,59 day), germination time at 80% (25 day), seedlings height (1,53 cm) , and diameter growth (1,06 mm to 1,1 mm) respectively.

(6)

Judul Skripsi : Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will)

Nama Mahasiswa : Delfy Lensari

NRP : E14204024

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Dr.Ir. Supriyanto NIP. 132 008 552

Mengetahui Dekan Fakultas Kehutanan

Dr. Ir. Hendrayanto, MAgr NIP. 131 578 788

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’laikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW berserta para sahabat dan keluarganya serta para pengikutnya.

Penulis menulis skripsi berjudul “Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana

(Pterocarpus indicus Will)” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dibawah bimbingan Dr.Ir. Supriyanto. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk perkembangan Silvikultur di Indonesia. Amin.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Bogor, Januari 2009

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Liwa, Lampung Barat pada tanggal 18 Mei 1985, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sudarman dan Ibu Rosada Mursalin.

Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri I Sukau pada tahun 1992/1997 dan dilanjutkan ke Sekolah Dasar Sebarus pada tahun 1997/1998 dan lulus pada tahun 1998/1999. Pada tahun 1998/1999 penulis masuk ke MTsN I Liwa dan lulus pada tahun 2001/2002. Selanjutnya penulis melanjutkan ke SMUN I Liwa pada tahun 2001/2002 dan berhasil lulus pada tahun 2004/2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004/2005 lewat jalur USMI di Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Instititut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan, penulis pernah mengikuti praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H), dan Pengenalan Hutan pada jalur Cilacap-Baturaden, Jawa Tengah dan Pengelolaan Hutan di Getas, Jawa Timur pada tahun 2007, penulis juga pernah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Tahura Wan Abdul Rachman, Lampung Selatan pada tahun 2008, penulis pernah menjadi Asisten praktikum mata kuliah Silvikultur pada tahun 2008, penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan seperti DKM (Dewan Keluarga Musholla) Ibadurraahmaan, dan ikut berperan aktif dalam beberapa kepanitiaan yang ada di Departemen maupun Fakultas.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap

Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will) di

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB. 2. Bapak Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc Selaku Kepala Departemen

Fakultas Kehutanan IPB.

3. Bapak Dr. Ir. Supriyanto. Terimakasih atas bimbingan, bantuannya sehingga skripsi ini selesai. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal jahiriyah yang pahalanya akan terus mengalir. Amin

4. Ibu Arinana, S. Hut, M. Si dan Bapak Ir. Rachmad Hermawan, M. Sc selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

5. Pegawai Laboratorium Silvikultur khususnya Ibu Dr. Ir Arum Wulandari, M. Si, Bapak Atang, dan Kang Dedi. Terimakasih atas bantuannya selama penelitian. Semoga Allah SWT membalas dengan sesuatu yang lebih baik. Amin

6. KPAP silvikultur atas bantuan dan kesabarannya.

7. Spesial kepersembahkan skripsi ini untuk Bapak, Ibu , Wo Eky, Dek Anggi, Udo Topik, ponakanku Royyan, dan keluarga semuanya di Liwa dan Banyumas. Semoga bisa menambah kebahagiaan dan kebanggaan, walaupun belum seberapa dibanding apa yang telah berikan. Mohon do’a agar selalu diberi keistiqomahan, untuk selalu bisa memberikan arti bagi kehidupan seperti yang diharapkan. Terus tumbuh walau di tengah keterbatasan. Semoga dengan karya ini, bisa kupersembahkan surga untuk semuanya. Amin

(10)

9. Teman-teman sebimbingan Haris Rifa’i, Kaka Enindita Prakasa, Mba Mutia, Kak Dea dan dek Fidri. Kesabaran adalah suatu nikmat Allah SWT yang terindah jika diiringi dengan keikhlasan.

10.Saudara-saudaraku seperjuangan Tuti, Albi, Ai, Selvi, Yolanda, Nailul, Rendra, Rio, Oki, Okta, Fahmi, Fitroh, Fatah, Ari, Topan, Khalifah, dan semuanya. Terimakasih atas ukhuwah selama ini. Semoga Allah SWT mempertemukan kita di surga FirdausNya. Amin

11.BDH’ers angkatan 41 khususnya Tri Bekti Winarni, Ai Rosah Aisah, Nur Qalbi, Sri Hastuti Anggarawati, Prabu Setiawan, Jesica Meliala, Diana Septiningrum, Dani Rochimi, Tohirin, Mustian, Agus Gumiwa, Yandri Petra, Alfia Rahma, Anna Husnaini. Terimakasih atas bantuan dan kemudahannya. Semoga dibalas Allah SWT dengan sesuatu yang lebih baik. Amin

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

(11)

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP

KEMAMPUAN PERKECAMBAHAN BENIH ANGSANA

(

Pterocarpus indicus

Will)

DELFY LENSARI

(12)

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP

KEMAMPUAN PERKECAMBAHAN BENIH ANGSANA

(

Pterocarpus indicus

Will)

DELFY LENSARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

Delfy Lensari (E14204024) Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will). Dibawah bimbingan Dr. Ir. Supriyanto.

RINGKASAN

Permasalahan pokok yang dihadapi dalam pembiakan Angsana adalah daya berkecambah benih yang rendah. Hal ini disebabkan oleh benih Angsana memiliki sifat dormansi kulit benih yang keras. Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan perlakuan pematahan dormansi untuk menghilangkan faktor penghambat perkecambahan dan mengaktifkan kembali sel-sel benih yang dorman. Bahan yang digunakan dalam pematahan dormansi ini diantaranya H2SO4 1%, KNO3 1%, dan air hasil fermentasi

rebung bambu Apus (Gigantochloa apus Kurz). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kemampuan perkecambahan benih Angsana (Pterocarpus indicus Will).

Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, mulai tanggal 30 Juni sampai 28 Agustus 2008. Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari benih Angsana, air panas, H2SO4 1%, KNO3

1%, air hasilfermentasi rebung bambu Apus, arang sekam padi, tanah, bak tabur, tabung

perendaman, alat penyiram (gembor/embrat), oven, timbangan analitik, alat tulis, alat ukur tinggi, kaliper dan kamera.

Rangkaian metode penelitian terdiri dari beberapa tahap yaitu seleksi dan ekstraksi benih, pengukuran kadar air, perlakuan pematahan dormansi, perkecambahan, pemeliharaan, pengamatan dan analisis data. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 6 perlakuan perendaman B0 (perendaman dengan air panas 30 menit kemudian air dingin selama 12 jam), B1 (perendaman dengan air hasil fermentasi rebung bambu Apus selama 12 jam), B2 (perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit), B3 (perendaman dengan H2SO4 1%

selama 15 menit), B4 (perendaman dengan KNO3 1% selama 12 jam) dan B5

(perendaman dengan KNO3 1% selama 24 jam) . Setiap perendaman terdiri dari 3 ulangan

dan setiap ulangan terdiri dari 100 benih Angsana.

(14)

Daya berkecambah tertinggi yaitu pada perlakuan B2 dan B5 (100%), sedangkan daya berkecambah terendah pada perlakuan B0 (20,33%). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 mampu mengatasi faktor yang mempengaruhi perkecambahan sehingga benih Angsana tumbuh dan berkembang menjadi kecambah normal.

Nilai perkecambahan merupakan indeks yang menyatakan kecepatan berkecambah benih. Semakin tinggi nilai perkecambahan menunjukkan semakin sempurna proses perkecambahan benih. Nilai perkecambahan tertinggi yaitu pada B2 dan B5 (1,13 (%/hari)2 dan 1,05 (%/hari)2), sedangkan nilai perkecambahan terkecil pada perlakuan B0 (0,40 (%/hari)2). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan B2 dan B5 mampu berkecambah normal yang dapat tumbuh menjadi tanaman normal di lapangan.

Kecepatan tumbuh merupakan cerminan jumlah benih normal yang tumbuh setiap hari. Kecepatan tumbuh tertinggi pada perlakuan B2 dan B5 (1,41%/hari), sedangkan kecepatan tumbuh terkecil pada perlakuan B0 (0,77%/hari). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 berpengaruh nyata terhadap virgor benih Angsana.

Laju perkecambahan dapat diukur dengan menghitung jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikula dan plamula. Laju perkecambahan paling cepat yaitu pada perlakuan B4 (18,47 hari), sedangkan respon laju perkecambahan paling lama diperoleh pada perlakuan B3 (26,56 hari). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan B3 memiliki virgor yang rendah.

Batas 80% berkecambah menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana dengan perlakuan B2 dan B5 mencapai batas 80% berkecambah yang paling cepat (25 hari), sedangkan batas 80% berkecambah yang paling lama yaitu pada perlakuan B3 (36 hari). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 memiliki daya tumbuh atau virgor benih yang baik.

Tinggi rata-rata bibit sapihan paling kecil pada perlakuan B0 (1,33 cm), sedangkan respon tinggi rata-rata bibit sapihan terbesar pada perlakuan B2 dan B5 (1,53 cm). Respon diameter rata-rata bibit sapihan paling kecil pada perlakuan B1 (0,48 mm), sedangkan respon diameter bibit sapihan terbesar pada perlakuan B5 (1,10 mm). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 mempengaruhi pertumbuhan awal bibit Angsana.

Perlakuan pematahan dormansi dengan perendaman H2SO4 1% selama 10 menit

dan KNO3 1% selama 24 jam mampu mengatasi permasalahan perkecambahan benih

(15)

EFFECT OF BREAKING DORMANCY TO GERMINATION CAPACITY OF

ANGSANA SEEDS (Pterocarpus indicus Will).

By

Delfy Lensari and Supriyanto

INTRODUCTION. So far, Seedling production of Angsana (Pterocarpus indicus Will) is done by stem cutting. Seedling propagation by seeds is not done widely, as well as its silvicultural system is still not known yet. Seed germination percentage is affected strongly by seed quality (physic, genetic and physiology). The main problem of seed germination of Angsana seeds is seed coat dormancy; therefore it is important to study the breaking dormancy techniques of Angsana seeds. The aim of this research was to study the effects of breaking dormancy treatment to the germination capacity of Angsana seeds.

MATERIAL AND METHOD. This research was done from 30 June to 28 Agust 2008 at Green House, the Laboratory of Silviculture, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. The material and equipment used in this experiment consisted of Angsana seeds, hot water, H2SO4, KNO3, water from fermented bamboo shoots (Gigantochloa

apus Kurz), rice hull charcoal, subsoil, germination boxes, soaking bath, watering

equipment, analytical balance, stationary, ruler, calliper, and digital camera.

The research procedures consisted of several steps; those were seed extraction and selection, seed water content measurement, breaking dormancy treatments, germination, maintenance, observation, and data collection and analysis. The experimental design in this research was completely randomised design which consisted of 6 soaking treatments, those were soaking in hot water for 30 minutes followed by soaking in cold water for 12 hours (B0), soaking in the fermented bamboo shoot liquid for 12 hours (B1), soaking in H2SO4 1% for 10 minutes (B2), soaking in H2SO4 1 % for 15 minutes (B3), soaking in

KNO3 1 % for 12 hours (B4) and soaking in KNO3 for 24 hours (B5). Each experiment

unit was replicated in three replicates. The observed parameters consisted of germination capacity, germination value, speed of germination, germination rate, germination time at 80%, high and diameter of transplanted seedlings. The collected data was analysed using F test followed by Duncan Multiple Range Test (DMRT).

RESULTS AND CONCLUSSION. Angsana seeds had embryonic and seed coat dormancies. Based the results of F test and Duncan test showed that soaking in H2SO4 1%

for 10 minutes and in KNO3 1 % for 24 hours could break those dormancies. It was

indicated by it high germination percentage (100 %), and other values such as germination value (1,13% to 1.05% normal germinants/day2), germination speed (1, 41 %/day), germination rate (19,32 – 18,59 day), germination time at 80% (25 day), seedlings height (1,53 cm) , and diameter growth (1,06 mm to 1,1 mm) respectively.

(16)

Judul Skripsi : Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will)

Nama Mahasiswa : Delfy Lensari

NRP : E14204024

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Dr.Ir. Supriyanto NIP. 132 008 552

Mengetahui Dekan Fakultas Kehutanan

Dr. Ir. Hendrayanto, MAgr NIP. 131 578 788

(17)

KATA PENGANTAR

Assalamu’laikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW berserta para sahabat dan keluarganya serta para pengikutnya.

Penulis menulis skripsi berjudul “Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana

(Pterocarpus indicus Will)” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dibawah bimbingan Dr.Ir. Supriyanto. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk perkembangan Silvikultur di Indonesia. Amin.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Bogor, Januari 2009

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Liwa, Lampung Barat pada tanggal 18 Mei 1985, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sudarman dan Ibu Rosada Mursalin.

Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri I Sukau pada tahun 1992/1997 dan dilanjutkan ke Sekolah Dasar Sebarus pada tahun 1997/1998 dan lulus pada tahun 1998/1999. Pada tahun 1998/1999 penulis masuk ke MTsN I Liwa dan lulus pada tahun 2001/2002. Selanjutnya penulis melanjutkan ke SMUN I Liwa pada tahun 2001/2002 dan berhasil lulus pada tahun 2004/2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004/2005 lewat jalur USMI di Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Instititut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan, penulis pernah mengikuti praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H), dan Pengenalan Hutan pada jalur Cilacap-Baturaden, Jawa Tengah dan Pengelolaan Hutan di Getas, Jawa Timur pada tahun 2007, penulis juga pernah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Tahura Wan Abdul Rachman, Lampung Selatan pada tahun 2008, penulis pernah menjadi Asisten praktikum mata kuliah Silvikultur pada tahun 2008, penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan seperti DKM (Dewan Keluarga Musholla) Ibadurraahmaan, dan ikut berperan aktif dalam beberapa kepanitiaan yang ada di Departemen maupun Fakultas.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap

Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will) di

(19)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB. 2. Bapak Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc Selaku Kepala Departemen

Fakultas Kehutanan IPB.

3. Bapak Dr. Ir. Supriyanto. Terimakasih atas bimbingan, bantuannya sehingga skripsi ini selesai. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal jahiriyah yang pahalanya akan terus mengalir. Amin

4. Ibu Arinana, S. Hut, M. Si dan Bapak Ir. Rachmad Hermawan, M. Sc selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

5. Pegawai Laboratorium Silvikultur khususnya Ibu Dr. Ir Arum Wulandari, M. Si, Bapak Atang, dan Kang Dedi. Terimakasih atas bantuannya selama penelitian. Semoga Allah SWT membalas dengan sesuatu yang lebih baik. Amin

6. KPAP silvikultur atas bantuan dan kesabarannya.

7. Spesial kepersembahkan skripsi ini untuk Bapak, Ibu , Wo Eky, Dek Anggi, Udo Topik, ponakanku Royyan, dan keluarga semuanya di Liwa dan Banyumas. Semoga bisa menambah kebahagiaan dan kebanggaan, walaupun belum seberapa dibanding apa yang telah berikan. Mohon do’a agar selalu diberi keistiqomahan, untuk selalu bisa memberikan arti bagi kehidupan seperti yang diharapkan. Terus tumbuh walau di tengah keterbatasan. Semoga dengan karya ini, bisa kupersembahkan surga untuk semuanya. Amin

(20)

9. Teman-teman sebimbingan Haris Rifa’i, Kaka Enindita Prakasa, Mba Mutia, Kak Dea dan dek Fidri. Kesabaran adalah suatu nikmat Allah SWT yang terindah jika diiringi dengan keikhlasan.

10.Saudara-saudaraku seperjuangan Tuti, Albi, Ai, Selvi, Yolanda, Nailul, Rendra, Rio, Oki, Okta, Fahmi, Fitroh, Fatah, Ari, Topan, Khalifah, dan semuanya. Terimakasih atas ukhuwah selama ini. Semoga Allah SWT mempertemukan kita di surga FirdausNya. Amin

11.BDH’ers angkatan 41 khususnya Tri Bekti Winarni, Ai Rosah Aisah, Nur Qalbi, Sri Hastuti Anggarawati, Prabu Setiawan, Jesica Meliala, Diana Septiningrum, Dani Rochimi, Tohirin, Mustian, Agus Gumiwa, Yandri Petra, Alfia Rahma, Anna Husnaini. Terimakasih atas bantuan dan kemudahannya. Semoga dibalas Allah SWT dengan sesuatu yang lebih baik. Amin

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

RINGKASAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Angsana (Pterocarpus indicus Will) ... 3

2.1.1 Taksonomi Angsana ... 3

2.1.2 Sifat botanis ... 3

2.1.3 Sifat benih ... 5

2.1.4 Penyebaran dan habitat ... 5

2.1.5 Kegunaan ... 5

2.2 Kadar Air Benih ... 6

2.3 Viabilitas Benih ... 8

2.4 Dormansi Benih ... 10

2.5 Perlakuan Pendahuluan Benih ... 12

2.5.1 Pengeringan benih ... 13

2.5.2 Perendaman benih ... 14

2.5.3 Perkecambahan benih ... 17

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

3.2 Bahan dan Alat ... 19

3.3 Prosedur Penelitian... 19

3.4 Rancangan Percobaan ... 24

(22)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil ... 26 4.1.1 Kadar air benih Angsana (Pterocarpus indicus Will)... 26 4.1.2 Proses perkecambahan benih Angsana ... ... 27 4.1.3 Daya kecambah benih Angsana ... ... 29 4.1.4 Nilai kecambah benih Angsana... ... 32 4.1.5 Kecepatan tumbuh benih Angsana... ... 34 4.1.6 Laju perkecambahan benih Angsana ... ... 36 4.1.7 Batas 80% berkecambah benih Angsana ... ... 37 4.1.8 Tinggi dan diameter bibit sapihan Angsana ... ... 39 4.2 Pembahasan ... 44 4.2.1 Kadar air benih Angsana ... 44 4.2.2 Proses perkecambahan benih Angsana ... 45 4.2.3 Perlakuan pematahan dormansi ... 47

4.2.3.1 Perendaman dengan hasil air ferrmentasi

rebung bambu Apus ... .... 50 4.2.3.2 Perendaman dengan asam sulfat (H2SO4) ... .... 53

4.2.3.3 Perendaman dengan potassium nitrat (KNO3) .. .... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 63

5.1 Kesimpulan ... .... 63 5.2 Saran ... .... 63

DAFTAR PUSTAKA ... ... 64

(23)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Persentase kadar air benih Angsana ... 27

2. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap

daya berkecambah benih Angsana ... 31 3. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perendaman terhadap

daya berkecambah benih Angsana ... 31 4. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap

nilai perkecambahan benih Angsana ... 33 5. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap

nilai perkecambahan benih Angsana... 33 6. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap

kecepatan tumbuh benih Angsana ... 35 7. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap

kecepatan tumbuh benih Angsana... 35 8. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap

laju perkecambahan benih Angsana... 37 9. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap

laju perkecambahan benih Angsana... 37 10. Pengaruh pematahan dormansi terhadap batas 80% berkecambah

benih Angsana ... 38

11. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap

tinggi bibit sapihan Angsana ... 40 12. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap

tinggi bibit sapihan Angsana ... 41 13. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi

terhadap diamater bibit sapihan Angsana ... 43 14. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap

(24)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Bagian organ tanaman Angsana ... 3 2. Struktur selulosa kayu ... 6 3. Tahapan kegiatan penelitian ... 19 4. Buah bersayap, buah tidak bersayap, dan benih Angsana

yang digunakan dalam penelitian ... 26 5. Proses perkecambahan benih Angsana ... 28 6. Kecambah benih Angsana dan kecambah benih

Angsana yang menggantung ... 29 7. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya berkecambah

benih Angsana ... 30 8. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya berkecambah

pada perlakuan B0, B2 dan B5 ... 32 9. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap

nilai perkecambahan benih Angsana ... 32 10.Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kecepatan tumbuh

benih Angsana ... 34 11.Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap laju perkecambahan benih Angsana ... 36 12.Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap batas 80%

berkecambah benih Angsana ... 39 13.Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap tinggi bibit sapihan

Angsana ... 40 14.Pengaruh pematahan dormansi terhadap tinggi bibit sapihan Angsana

pada perlakuan B0, B1, B2, B3, B4, dan B5... 41 15. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap diameter bibit sapihan Angsana ... 42 16. Struktur mikrokopis permukaan kulit benih Panggal Buaya

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Rekapitulasi data harian perkecambahan benih Angsana ... 67 2. Rekapitulasi data setiap parameter yang diamati sebelum ditransformasi ke Arc % √x ... 68 3. Rekapitulasi data setiap parameter yang diamati setelah ditransformasi

(26)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Hutan di Indonesia termasuk hutan hujan tropis yang didominasi oleh jenis Dipterocarpaceae. Manfaat hutan Indonesia antara lain dapat untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan hasil hutan baik untuk industri pertukangan, pulp dan kertas, kayu bakar dan hasil hutan bukan kayu seperti getah, rotan, bambu, serlak dan sebagainya. Seiring dengan perkembangan jumlah penduduk yang setiap tahun mengalami peningkatan hidup, terjadi peningkatan permintaan dalam pemenuhan kebutuhan hidup, utamanya kebutuhan akan pangan. Hal ini kemudian mendorong semakin meningkatnya laju degradasi hutan akibat konversi dari hutan menjadi lahan pertanian dan eksploitasi hutan yang semakin meningkat.

Untuk mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, berdaya saing, dan yang dikelola secara efektif dan efisien, sehingga terwujud kelestarian hutan yang dinamis, Departemen Kehutanan telah menunjuk beberapa pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH) sebagai model pembangunan sistem silvikultur intensif yang disesuaikan dengan karakteristik setiap lokasi. Untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan, maka diperlukan pengembangan jenis unggul yang baru untuk menambah keragaman spesies yang bernilai komersial, terutama kelompok jenis yang belum dikenal. Keunggulan dapat berupa produksi akhir yang dicerminkan dari volume dan mampu tumbuh dengan baik di lapangan. Salah satu spesies tersebut yang dapat dikembangkan adalah Angsana (Pterocarpus indicus Will)

(27)

perbenihan, pembibitan dan pertumbuhan benih hasil pembiakan generatif (benih).

Hasil perkecambahan benih sangat dipengaruhi oleh mutu benih (fisik, fisiologis, dan genetik). Mutu fisik dan fisiologis benih sangat ditentukan oleh proses teknologi benih yang disiapkan mulai dari pengunduhan, ekstraksi, seleksi, pengemasan, dan penyimpanan. Masalah utama perkecambahan benih Angsana adalah dormansi kulit benih, untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang teknik pematahan dormansi benih Angsana.

1.2Tujuan

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjaun Umum Angsana (Pterocarpus indicus Will.)

2.1.1 Taksonomi Angsana.

Angsana (Pterocarpus indicus Will) memiliki nama lain yaitu Pterocarpus

wallichii Wight & Arn; P zollingeri Miq.; P papuanus F. V. Mueller, P

Vidalinus Rolfe. termasuk kedalam famili Fabaceae (Papilionoideae). Beberapa

nama lain untuk tanaman Cendana Merah, Sonokembang, Angsana (Jawa Tengah, Malaysia, Singapura), Pradoo (Thailand.), Narra (Filipina), Asan (Aceh), Sena (Batak Karo), Hasona (Batak Toba), Sena (Gayo), Sana (Lampung), Sanakembang (Sunda), Sana (Madura), Ingi (Seram), Lala (Ambon), Lana (Bum), Lina (Halmahera), Ligua (Ternate), Sana (Sasak), Nara (Bima), Ai Kenawa (Sumba), Kenaha (Solor), Kalai (Alor), Tonala (Gorontalo), Yonoba (Buol), Patene (Makasar), dan Candana (Bugis).

Berdasarkan taksonominya, Angsana digolongkan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae/tumbuhan

Divisio : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Ordo : Resales

Famili : Fabaceae

Genus : Pterocarpus

Species : Pterocarpus indicus Will (Direktorat Perbenihan Tanaman Kehutanan 2002)

2.1.2 Sifat botanis

Gambar 1 Bagian organ tanaman Angsana

(29)

Biasanya Angsana merupakan pohon meranggas, tinggi pohon Angsana dapat mencapai 30–40 m, diameter batang 2 m, biasanya bentuk pohon jelek, pendek, terpuntir, beralur dalam, dan berbanir. Kayu pohon Angsana mengeluarkan eksudat merah gelap yang disebut ”kino” atau darah naga. Daun majemuk dengan 5–11 anak daun, berbulu, duduk bergantian. Bunga malai, panjang 6–13 cm diujung atau ketiak daun. Bunga pohon Angsana berkelamin ganda, berwarna kuning cerah dan harum. Polong tidak merekah terbungkus sayap besar (samara). Berbentuk bulat, coklat muda, diameter 4–6 cm, dengan sayap besar berukuran 1–2,5 cm yang mengelilingi tempat biji berdiameter 2–3 cm dan tebal 5–8 mm. Permukaan tempat biji bervariasi dari yang halus pada forma indicus sampai yang tertutup oleh bulu lebat pada forma echinatus.

Pohon berbunga dan berbuah umumnya setiap tahun, namun ada beberapa pohon dalam suatu populasi yang tidak berbunga atau berbunga sangat sedikit. Bunga muncul sebelum tumbuh daun baru, namun akan terus bermunculan setelah daun-daun baru berlimpah. Bunga hanya akan mekar penuh selama satu hari. Mekarnya bunga dipicu dengan adanya air, dan setiap bunga biasanya mekar sehari setelah hujan lebat. Penyerbukan dilakukan lebah dan serangga lain. Biasanya hanya 1–3 bunga dari setiap malai yang menjadi buah. Perkembangan buah membutuhkan 3–4 bulan. Lebar buah sekitar 5 cm. Di dalam buah Angsana yang menonjol terdapat bijinya. Tidak seperti kebanyakan Famili Leguminosae, buah Angsana tidak terbelah dan dapat diterbangkan oleh angin bahkan bisa mengambang dan dapat disebarkan melalui air.

(30)

2.1.3 Sifat benih

Buah Angsana masak dalam waktu 4 bulan, berbentuk cakram datar dengan tepi bersayap. Masing-masing buah terdiri atas 1-3 benih yang sulit dihancurkan. Benih tersebut berkecambah dalam kulit buah. Sehingga setiap buah berfungsi seperti biji yang menghasilkan sampai tiga kecambah. Benih Angsana ini memiliki panjang 6–8 mm, berbentuk seperti buncis dengan testa berwarna coklat kertas. Benih Angsana merupakan benih ortodoks, dapat disimpan pada suhu dan kadar air rendah selama beberapa tahun (Anonim 2002).

2.1.4 Penyebaran dan habitat

Penyebaran alami di Asia Tenggara–Pasifik, mulai Birma Selatan menuju Asia Tenggara sampai Filipina dan kepulauan Pasifik, dibudidayakan luas di daerah tropis. Sebaran pohon yang luas ditemukan di hutan primer dan beberapa hutan sekunder dataran rendah, umumnya di sepanjang sungai pasang surut dan pantai berbatu.

Pohon Angsana merupakan pohon jenis pionir yang tumbuh baik di daerah terbuka. Tumbuh pada berbagai macam tipe tanah, dari yang subur ke tanah berbatu. Biasanya ditemukan sampai ketinggian 600 m dpl, namun masih bertahan hidup sampai 1.300 m dpl. Angsana sering menjadi tanaman hias di taman dan sepanjang jalan. Populasinya berkurang akibat eksploitasi berlebihan, kadangkala penebangan liar menyebabkan hilangnya habitat. Di Vietnam, populasi jenis ini telah punah selama 300 tahun. Survei ekstensif di Sri Lanka gagal menemukan jenis ini dan populasi di India, Indonesia dan Filipina menunjukkan bahwa jenis ini telah terancam. Eksploitasi atas tegakan di Semenanjung Malaysia, mungkin menyebabkan punahnya jenis ini dan yang diyakini merupakan populasi terbesar yang tersisa yaitu di New Guinea ternyata telah dieksploitasi.

2.1.5 Kegunaan

(31)

mebel halus, ukiran, kayu lapis, meja, badan kapal, lantai, lemari dan alat musik. Selain itu getah Angsana dapat digunakan sebagai cat ayaman dan cat kayu. Soerianegara dan Lemmens (1994) mengatakan bahwa kayu pohon Angsana mengandung selulosa sebanyak 49% (Gambar2), 24% lignin, 11% pentosan, dan 0,3% silika sehingga kayu Angsana dapat digunakan sebagai bahan baku pulp, tanaman Angsana merupakan jenis pengikat nitrogen.

Gambar 2 Struktur Selulosa

Pohon Angsana ini direkomendasikan sebagai salah satu tanaman yang dapat digunakan dalam sistem agroforestry, yang dapat digunakan sebagai penaung kopi dan tanaman lain. Selain itu kulit batang Angsana ini berkhasiat sebagai obat sariawan, obat mencret dan obat bisul sedangan daun Angsana dapat digunakan sebagai obat infeksi kulit akibat jamur.

2.2 Kadar Air Benih

(32)

Apabila kadar air benih lebih tinggi dari 45–60%, maka perkecambahan akan berlangsung. Tetapi pada kisaran kadar air tersebut ke bawah sampai 18- 20% respirasi terjadi dalam kadar yang lebih tinggi, baik respirasi benih maupun respirasi mikroorganisme. Menurut Byrd (1968), besarnya kadar air benih mempengaruhi beberapa proses antara lain:

- kadar air benih >45-60% : perkecambahan berlangsung - kadar air benih >18-20% : pemanasan dapat terjadi

- kadar air benih 12-14% : Jamur tumbuh pada permukaan dan dalam benih

- kadar air benih 8 - 9% : sedikit atau tidak ada aktivitas insekta - kadar air benih 4 - 8% : penyimpangan tertutup dapat aman

Menurut Byrd (1968), kadar air benih merupakan suatu fungsi dari kelembaban nisbi udara sekitarnya. Kelembaban nisbi merupakan suatu pernyataan mengenai jumlah uap air sesungguhnya yang ada di udara yang dihubungkan dengan jumlah seluruh uap air yang dapat dipegang oleh udara. Apabila temperatur meningkat, udara dapat memegang lebih banyak uap air, sehingga apabila udara panas tanpa mengubah kadar airnya maka persentase kelembaban nisbi akan menurun. Kadar air suatu benih tertentu bergantung pada kelembaban nisbi, sedangkan suhu memberikan pengaruh yang kecil. Apabila kelembaban nisbi udara sekeliling benih meningkat, maka kadar air benih akan meningkat. Pada prinsipnya, metode yang digunakan untuk mengukur kadar air benih ada 2 macam yaitu (Sutopo 2004):

1) Metode praktis : metode ini mudah dilaksanakan tetapi hasilnya kurang teliti, sehingga perlu dikalibrasikan terlebih dahulu. Metode praktis ini terdiri dari metode Calcium carbide, metode Electric moisture meter dan lain-lain. Dengan metode ini akan diperoleh data langsung dari alat yang digunakan.

(33)

benih melalui metode dasar meliputi metode oven, metode destilasi, metode Karl Fisher dan lain-lain.

Metode yang digunakan untuk menguji kadar air benih dapat secara langsung maupun tidak langsung. Pada dasarnya metode langsung yaitu menguji kadar air dengan pengeringan (oven). Dalam hal ini, perbedaan berat antara benih sebelum di oven dengan setelah di oven merupakan air yang hilang (kadar air), sedangkan metode tidak langsung lebih menduga kadar air dengan daya penghantar listrik (Sutopo 2004). Kadar air dari benih akan mempengaruhi viabilitas benih.

2.3 Viabilitas Benih

Sejak tahun 1901 telah dilaporkan banyak penelitian mengenai uji cepat viabilitas yang menggunakan prinsip bahwa benih hidup dan benih mati mengadakan reaksi yang berbeda bila dialiri arus listrik. Uji viabilitas mempunyai beberapa kegunaan penting antara lain penilaian terhadap pembekuan, fumigasi, kerusakan mekanik oleh penyakit dan insekta, penentuan potensi vigor kecambah dan untuk menolong membuat keputusan sehubungan dengan pencurahan, pencampuran benih dan sebagainya (Byrd 1968).

Menurut Sutopo (2004), pada uji viabilitas benih baik uji daya berkecambah atau uji kekuatan tumbuh benih, penilaian dilakukan dengan membandingkan kecambah satu dengan yang lain dalam satu substrat. Umumnya sebagai parameter untuk viabilitas benih digunakan persentase perkecambahan, ditunjukan dengan perkecambahan harus cepat, pertumbuhan kecambahnya kuat dan mencerminkan kekuatan tumbuh yang dapat dinyatakan dengan laju perkecambahan.

Beberapa metode uji cepat viabilitas yang dikembangkan oleh (Byrd 1968) antara lain:

1) Metode fisika kimia

(34)

Benih-cukup teliti untuk menduga viabilitas benih, akan tetapi memerlukan keterampilan khusus. Selain itu, metode ini hanya dapat digunakan untuk mengukur reaksi sejumlah benih dan tidak dapat digunakan untuk mengukur setiap individu benih.

2) Pewarnaan vital

Pewarnaan vital merupakan pewarnaan yang terbatas pada jaringan-jaringan yang terpilih. Hingga saat ini pewarnaan vital hanya dilakukan pada benih yang mati atau bagian benih yang telah mati. Pewarna yang digunakan adalah asam sulfat dan zat warna tarum merah tua. Asam sulfat mewarnai jaringan hidup dan jaringan mati secara berbeda, tetapi tidak cukup teliti apabila digunakan untuk keperluan pengujian benih. Zat warna merah tua lebih teliti dalam hal penentuan viabilitas benih. Apabila benih-benih yang dibelah atau embrio yang dilepaskan direndam dalam larutan tarum merah yang encer, maka zat warna segera memasuki jaringan mati tetapi tidak memasuki jaringan hidup. Kemudian setiap benih atau embrionya diuji dan digolongkan sebagai hidup atau mati berdasarkan pada proporsi embrio yang tetap tidak terwarnai.

3) Metode langsung

Metode langsung adalah suatu cara pengujian yang benihnya betul-betul dikecambahkan. Kelebihan metode langsung ini dibandingkan metode sebelumnya, yaitu viabilitas benih tidak hanya berdasarkan pendugaan karena dilakukan pengukuran secara langsung. Metode langsung dilakukan dengan prinsip mempercepat perkecambahan biji. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mempercepat perkecambahan yaitu dengan meningkatkan temperatur di atas optimum. Metode lain untuk mempercepat perkecambahan adalah dengan jalan meningkatkan laju imbibisi air. Hal ini dikerjakan dengan merendam biji dalam air sebelum benih dikerjakan.

4) Metode yang berdasarkan aktivitas enzim

(35)

kekurangan metode ini yaitu enzim tersebut dapat saja ada tetapi karena sesuatu hal dalam sistem metabolisme enzim tersebut menjadi rusak sehingga menggambarkan benih tersebut tidak mampu untuk berkecambah. Pengujian mencakup pengukuran enzim dehidrogenase. Enzim dehidrogenase terlihat dalam aktivitas respirasi dari sistem biologi karena memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan di dalam benih. Beberapa zat warna telah digunakan untuk mengukur adanya enzim dehidrogenase dalam benih diantaranya zat warna metilen biru dan zat malasit hijau, garam-garam kimia selenium, telurium serta tetrazolium.

2.4 Dormansi Benih

Dormansi benih dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan benih hidup untuk berkecambah pada suatu kisaran keadaan yang luas yang dianggap menguntungkan untuk benih tersebut. Dormansi dapat disebabkan karena tidak mampunya benih secara total untuk berkecambah atau hanya karena bertambahnya kebutuhan yang khusus untuk perkecambahnnya (Byrd 1968). Menurut Schmidth (2002), dormansi benih menunjukkan suatu keadaan benih-benih sehat (viable) gagal berkecambah ketika berada dalam kondisi yang secara normal baik untuk perkecambahan, seperti kelembaban yang cukup, suhu dan cahaya yang sesuai.

Gardner et al. (1991) mengemukakan bahwa tekanan seleksi selama ribuan tahun pembudidayaan sebenarnya menghilangkan dormansi pada tanaman budidaya. Kebanyakan biji tanaman budidaya cepat berkecambah setelah pemasakan dan pengeringan, atau pengawetan dengan pengeringan. Tanaman budidaya yang lama belum dibudidayakan seringkali menunjukkan dormansi sampai tingkat tertentu dan memerlukan kondisi khusus atau waktu penyimpanan yang lebih panjang sebelum berkecambah. Tekanan seleksi alam selama evolusi telah menghasilkan tanaman dengan biji dorman dan/atau kuncup dorman sebagai adaptasi terhadap periode saat lingkungan tidak menguntungkan seperti yang dijumpai pada daerah beriklim sedang.

(36)

1) Embrio yang belum berkembang

Benih dengan pertumbuhan embrio yang belum berkembang pada saat penyebaran tidak akan dapat berkecambah pada kondisi perkecambahan normal dan karenanya tergolong kategori dorman. Fenomena ini seringkali dimasukkan ke dalam kategori dormansi fisiologis, dengan memperhatikan kondisi morfologis embrio yang belum matang.

2) Dormansi mekanis

Dormansi mekanis dapat terlihat ketika pertumbuhan embrio secara fisik dihalangi struktur kulit benih yang keras. Imbibisi dapat terjadi tetapi radicle tidak dapat membelah atau menembus kulitnya. Pada dasarnya hampir semua benih yang mempunyai dormansi mekanis mengalami keterbatasan dalam penyerapan air.

3) Dormansi fisik

Dormansi fisik disebabkan oleh kulit buah yang keras dan

impermeable atau penutup buah yang menghalangi imbibisi dan pertukaran

gas. Fenomena ini sering disebut sebagai benih keras, meskipun istilah ini sering digunakan untuk benih legum yang kedap air.

4) Zat-zat penghambat

Beberapa jenis benih mengandung zat-zat penghambat dalam buah atau benih yang mencegah perkecambahan, misalnya dengan menghalangi proses metabolisme yang diperlukan untuk perkecambahan. Zat-zat penghambat yang paling sering dijumpai ditemukan dalam daging buah. Gula, coumarin dan zat-zat lain dalam buah berdaging mencegah perkecambahan karena tekanan osmose yang menghalangi penyerapan.

5) Dormansi cahaya

(37)

6) Dormansi suhu

Istilah dormansi suhu digunakan secara luas mencakup semua tipe dormansi, suhu berperan dalam perkembangan atau pelepasan dari dormansi. Benih dengan dormansi suhu seringkali memerlukan suhu yang berbeda dari yang diperlukan untuk proses perkecambahan. Dormansi suhu rendah ditemui pada kebanyakan jenis beriklim sedang.

7) Dormansi gabungan

Apabila dua atau lebih tipe dormansi ada dalam jenis yang sama, dormansi harus dipatahkan baik melalui metode beruntun yang bekerja pada tipe dormansi yang berbeda, atau melalui metode dengan pengaruh ganda.

Dormansi benih dapat menguntungkan atau merugikan dalam penanganan benih. Keuntungannya adalah bahwa dormansi mencegah benih dari perkecambahan selama penyimpanan dan prosedur penanganan lain. Disatu sisi, apabila dormansi sangat kompleks dan benih membutuhkan perlakuan awal yang khusus. Kegagalan untuk mengatasi masalah dormansi akan berakibat pada kegagalan perkecambahan pada benih (Schmidth 2002).

2.5 Perlakuan Pendahuluan Benih

(38)

2.5.1 Pengeringan benih

Dalam hal pengeringan, terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu proses penurunan kadar air benih yang sudah masak dan peningkatan pemasakan buah untuk buah tua yang belum masak. Oleh karena itu untuk benih yang diunduh tetapi belum masak, harus dilakukan pemeraman terlebih dahulu (Sutopo 2004). Mugnisjah dan Setiawan (1990), mengemukakan bahwa kadar air yang terlalu tinggi pada benih dapat menyebabkan memanas karena respirasi dan berbagai cendawan dapat tumbuh. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjamin agar benih yang dipanen memiliki kadar air yang aman sebelum disimpan.

Pengeringan benih mencakup dua proses yaitu pengalihan kelembaban dari permukaan benih ke udara sekeliling benih dan pemindahan air dari bagian dalam benih ke permukaan benih. Pengalihan air dari permukaan benih ke udara sekitarnya semata-mata merupakan suatu fungsi dari perbedaan tekanan uap antara permukaan benih dan udara sekelilingnya. Dengan kata lain makin basah permukaan benih dan makin kering udara sekeliling, makin cepat pergerakan air dari permukaan benih ke udara sekelilingnya (Byrd 1968).

Menurut Mugnisjah dan Setiawan (1990), pengeringan benih biasanya dilakukan sebelum pembersihan benih. Pengeringan dengan panas buatan, baik yang menggunakan elemen listrik baik yang menggunakan minyak tanah dapat menggantikan panas matahari. Pengeringan sampai kadar air yang aman bagi penyimpanan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah benih dipanen. Pengeringan hendaknya tidak terlalu cepat karena dapat menyebabkan selaput benih mengeras dan memerangkap kelembaban di dalam benih, oleh karena itu suhu hendaknya dikendalikan dengan seksama.

(39)

bahwa teknik yang direkomendasikan adalah dengan menjemur di bawah sinar matahari, dikeringudarakan (diangin-anginkan) atau dengan cara pengkondisian pada suhu tertentu di suatu ruangan.

2.5.2 Perendaman benih

2.5.2.1 Perendaman dengan air

Menurut Sutopo (2004) mengatakan bahwa beberapa jenis benih terkadang diberi perlakuan perendaman dalam air dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih. Dengan demikian kulit benih yang menghalangi penyerapan air menjadi lisis dan melemah. Selain itu juga digunakan untuk pencucian benih sehingga benih terbebas dari patogen yang menghambat perkecambahan benih.

Menurut Schmidth (2002), air panas mematahkan dormansi fisik pada Leguminoseae melalui tegangan yang menyebabkan pecahnya lapisan macrosclereid atau merusak tutup strophiolar. Metode ini paling efektif apabila benih direndam dalam air panas bukan dimasak dengan air panas. Pencelupan sesaat juga lebih baik dilakukan untuk mencegah kerusakan embrio. Cara yang umum dilakukan adalah dengan menuangkan benih dalam air yang mendidih dan membiarkannya untuk mendingin dan menyerap air selama 12-24 jam.

Pada beberapa jenis Akasia dari Australia lebih baik bila diberi perlakuan di bawah titik didih, perlakuan selama 1 menit dalam air 90ºC disarankan untuk jenis-jenis Acacia coriaceae, A pachicarpa dan A pendula

(ATSC 1995 diacu dalam Schmidth 2002). Umumnya benih kering yang yang masak atau yang kulit bijinya relatif tebal, toleran terhadap perendaman sesaat dalam air mendidih.

2.5.2.2 Perendaman dengan H2SO4

(40)

tergantung jenis benih yang diperlakukan, sehingga kulit biji menjadi lunak. Disamping itu pula larutan kimia yang digunakan dapat pula membunuh cendawan atau bakteri yang dapat membuat benih dorman. Sadjad et al.

(1975) menyatakan bahwa perlakuan kimia (biasanya asam kuat) yang digunakan dapat membebaskan koloid hidrofil sehingga tekanan imbibisi meningkat dan akan meningkatkan metabolisme benih. Sagala (1991) diacu dalam Rozi (2003) mengatakan bahwa perlakuan dengan menggunakan H2SO4 pada benih biasanya bertujuan untuk merusak kulit benih, akan tetapi

apabila terlalu berlebihan dalam hal konsentrasi atau lama waktu perlakuan dapat menyebabkan kerusakan pada embrio. Dalam hal ini benih tersebut akan rusak dan tidak dapat tumbuh.

Menurut Sadjad et al. (1975) perlakuan kimia seperti H2SO4 pada

prinsipnya adalah membuang lapisan lignin pada kulit biji yang keras dan tebal sehingga biji kehilangan lapisan yang permiabel terhadap gas dan air sehingga metabolisme dapat berjalan dengan baik. Achmad et al. (1992) mengatakan bahwa perlakuan pendahuluan untuk benih Cendana (Satalum

album) adalah dengan perendaman dalam larutan H2SO4 pekat selama 50-60

menit. Muharni (2002) dalam Rozi (2003) dalam penelitiannya mengatakan bahwa larutan H2SO4 memberikan pengaruh yang paling baik terhadap

benih dan pertumbuhan semai Kayu Kuku.

Hasil penelitian tentang penggunaan larutan H2SO4 untuk pematahan

dormansi kulit dapat digambarkan pada Jati (Tectona grandis Linn. F.). Penelitian Rinto Hidayat (2005) tentang pematahan dormansi Jati dengan perendaman dalam larutan Accu Zurr 10% selama 0, 5, 6, 7, 8, dan 9 menit. Perendaman dalam larutan Accu Zurr selama 9 menit memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap daya kecambah, nilai perkecamahan, dan kecepatan tumbuh benih jati.

2.5.2.3 Perendaman dengan KNO3

Potassium Nitrat (KNO3) merupakan salah satu perangsang

perkecambahan yang sering digunakan. KNO3 digunakan baik dalam

(41)

(1997) diacu dalam Schmidth (2002), peran fisiologis dari KNO3 tidak jelas.

KNO3 mempunyai pengaruh yang kuat terhadap persentase perkecambahan

dan vigor pada perlakuan pendahuluan asam benih Acacia nilotica (Palani et al. 1995 diacu dalam Schmidth 2002). Pada konsentrasi 1% perkecambahan meningkat dari 37% (kontrol) menjadi 79% dan pada konsentrasi 2% meningkat menjadi 85%. Pada Casuariana equiaetifolia perkecambahan meningkat dari 46% dalam kontrol menjadi 65% setelah perendaman dalam 1,5% KNO3 selama 36 jam. Pada percobaan ini, konsentrasi tertinggi dan

terendah dan lamanya waktu perendaman yang sangat singkat memperlihatkan perkecambahan yang sangat rendah (Maideen et al. 1990 diacu dalam Schmidth 2002).

2.5.2.4 Perendaman dengan air dari hasil fermentasi rebung

Rebung adalah tunas muda dari tanaman bambu yang tumbuh dari akar tanaman bambu. Bambu yang mempunyai nama lain seperti Buluh, Aur, atau Eru merupakan tanaman famili Poaceae jenis rumput-rumputan yang mempunyai batang berongga dan beruas-ruas yang memiliki banyak jenis dan memberikan manfaat pada penduduk di Indonesia maupun di Asia. Selain itu saat ini Rebung sudah dapat diolah untuk berbagai bahan makanan awetan. Dengan teknologi telah berhasil membuat makanan olahan berbahan dasar Rebung salah satunya Cuka Rebung. Rebung memiliki kandungan, Karbohidrat, Protein dan 12 Asam Amino Esensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Dengan mengkonsumsi Rebung secara teratur merupakan satu tindakan preventif untuk menghambat berbagai jenis penyakit termasuk kanker (Anonim 2008).

(42)

enzim pengangkutan cadangan makanan. Selanjutnya dikemukakan bahwa teknik yang direkomendasikan dalam menghasilkan air hasil fermentasi Rebung adalah dengan mengambil air sari dari Rebung yang didiamkan selama 3 hari.

2.5.3 Perkecambahan benih

Perkecambahan didefinisikan sebagai mekar dan berkembangnya struktur-struktur penting dari embrio benih yang menunjukkan kemampuannya untuk menghasilkan tanaman normal pada keadaan yang menguntungkan. Adapun fase-fase perkecambahan (Byrd 1968) :

1) Imbibisi

Kandungan air benih minimum pada saat perkecambahan berlangsung disebut taraf kandungan air kritik. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju penyerapan air yaitu: permeabilitas dari kulit benih terhadap air, temperatur, luas permukaan benih yang berhubungan dengan air, jenis benih, kemasakan benih, umur benih dan susunan kimia.

2) Perombakan

Hampir seluruh simpanan bahan makanan yang terdapat dalam benih yang kering ada dalam bentuk yang tidak larut dan tidak mobil. Agar simpanan makanan ini dapat dialihkan ke titik tumbuh dari poros embrio, maka harus diuraikan menjadi bentuk yang larut dan mobil melalui suatu proses yang disebut perombakan.

3) Mobilitas dan pengangkutan zat makanan

Mobilitas dan pengangkutan zat makanan merupakan suatu proses pengangkutan cadangan makanan yang sudah dirombak, dari sel-sel penyimpanan ke titik tumbuh pada poros embrio.

4) Asimilasi

(43)

sebelum zat itu dapat digunakan dalam proses pertumbuhan. Transformasi ini disebut asimilasi.

5) Respirasi

Dalam proses ini sel mengambil oksigen dari udara atau air dan mempergunakannya dalam oksidasi sehingga dihasilkan energi dalam bentuk panas. Dalam benih yang sedang berkecambah karbohidrat atau substrat lain dioksidasi untuk produksi energi. Jumlah oksigen yang diperlukan untuk respirasi bergantung pada macam substrat yang sedang dioksidasi.

6) Pertumbuhan

(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Kadar air benih Angsana (Pterocarpus indicus Will)

Untuk memulai proses perkecambahan, benih harus mencapai suatu kadar air minimum. Air dalam proses perkecambahan dipergunakan dalam banyak reaksi biokimia. Salah satu proses biokimia yang terjadi adalah proses perombakan simpanan bahan makanan yang terdapat dalam benih. Air diperlukan untuk mengaktifkan enzim-enzim yang berperan dalam proses perombakan, seperti enzim amilase untuk merombak karbohidrat menjadi glukosa, enzim lipase untuk merombak lemak menjadi asam lemak dan gliserol, serta enzim protase untuk merombak protein menjadi asam amino (Byrd 1968).

Benih Angsana yang digunakan adalah benih yang memiliki mutu fisik yang baik dengan kriteria berwarna coklat tua, ukuran relatif sama, tidak rusak/cacat, tidak terdapat gerowong, dan tidak terserang hama penyakit (Gambar 4).

Gambar 4 Buah bersayap (a), buah tidak bersayap (b), benih (c) Angsana yang digunakan dalam penelitian

Kadar air merupakan salah satu indeks mutu benih yang penting, oleh karena itu sangat diperlukan penguasaan teknik dan metode penentuan kadar air benih. Penentuan kadar air benih pada prinsipnya merupakan penguapan air bebas dari contoh benih, sehingga mengakibatkan berkurangnya berat awal contoh benih yang mencerminkan berat air yang dikandung oleh benih tersebut setelah benih dikeringkan dalam oven bersuhu 103±2 0C selama 17± 1 jam. Adapun perhitungan kadar air (Tabel 1).

(45)

Tabel 1 Persentase kadar air benih Angsana

Ulangan BB (gr) BK (gr) KA (%)

1 10 8,90 11,05

2 10 8,88 11,16

3 10 8,91 10,88

Rata-rata 10 8,90 11,03

Keterangan : BB : Berat basah BK : Berat kering KA : Kadar air

Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar air (KA) rata-rata benih Angsana yaitu sebesar 11,03%, sehingga benih Angsana digolongkan ke dalam benih Ortodoks. Benih Ortodoks mempunyai sifat dapat di simpan dalam waktu yang relatif lama dengan kadar air rendah. Benih ini tahan kekeringan sampai kadar air 5%. Ciri-ciri benih Ortodoks adalah kulit keras, ukurannya relatif kecil, setelah matang dan jatuh dari pohonnya tidak segera berkecambah tetapi butuh waktu yang cukup lama untuk berkecambah.

4.1.2 Proses perkecambahan benih Angsana

(46)

Gambar 5 Proses perkecambahan benih Angsana

Proses perkecambahan benih Angsana melewati tiga fase yaitu fase imbibisi, fase perkecambahan dan fase pertumbuhan yang diawali dengan munculnya radikula (Sutopo 2004), sedangkan menurut Kozlowski dan Kldier proses perkecambahan benih meliputi tujuh tahap yaitu penyerapan air secara imbibisi, peningkatan pernapasan, peningkatan aktifitas enzim β dan α amilase oleh GA3 digerakan oleh H2O, pembelahan sel, degradasi

(47)

Buah Angsana umumnya terdiri 1-2 benih yang sulit dihancurkan. Benih tersebut berkecambah dalam kulit buah. Sehingga setiap buah berfungsi seperti biji yang menghasilkan satu sampai dua kecambah (Gambar 6).

Gambar 6 Kecambah benih Angsana (a) dan kecambah benih Angsana yang menggantung (b)

Gambar 6 menunjukkan bahwa dalam 1 buah terdapat 2 benih Angsana yang berkecambah dalam selang waktu berbeda ± 1-2 hari. Kedua kecambah tersebut bertahan hidup ± 1-3 hari, pada hari ke 4 benih yang berkecambah kedua mati dan akhirnya yang bertahan menjadi kecambah normal hanya 1 kecambah yaitu benih yang berkecambah awal. Hal ini disebabkan pertumbuhan radikula kecambah ke dua tidak secepat kecambah yang pertama sehingga semakin jauh dari tanah dan radikula mengalami kelayuan, kering dan akhirnya mati, sedangkan kecambah yang pertama pertumbuhannya semakin tinggi

4.1.3 Daya berkecambah benih Angsana

Daya berkecambah adalah jumlah kecambah normal yang dapat dihasilkan oleh benih murni pada kondisi lingkungan tertentu dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Hasil pengamatan daya berkecambah benih

(48)

berkecambah lebih banyak lagi pada hari-hari berikutnya. Hasil daya berkecambah benih Angsana yang ditanam di bak tabur pada akhir pengamatan (Gambar 7).

20.3 3

25.

33 38.

67

80. 33

100 100

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

B0 B1 B2 B3 B4 B5

Perlakuan pematahan dormansi Daya

berkecambah (%)

Gambar 7 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya berkecambah benih Angsana

Gambar 7 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)

dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 selama 24 jam) menghasilkan

daya berkecambah yang paling tinggi yaitu masing-masing sebesar 100%, sedangkan daya berkecambah yang paling kecil diperoleh pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 20,33%.

(49)

Tabel 2 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya berkecambah benih Angsana

Sumber Keragaman DF J K KT F hitung Sig

Perlakuan (B) 5 20520,44 4104,09 173,01 **

0,00

Galat 12 284,67 23,72

Total 17 20805,11

Keterangan ** Berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh sangat nyata terhadap daya berkecambah benih Angsana pada selang kepercayaan 99%. Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya berkecambah benih Angsana

Perlakuan Daya berkecambah (%) Peningkatan daya berkecambah (%)

B0 20.33a ** 0

B1 25.33a 24,59

B2 100d 391,88

B3 38.67b 90,21

B4 80.33c 295,13

B5 100d 391,88

Keterangan :** Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01.

Tabel 3 menunjukkan bahwa respon daya berkecambah paling kecil pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 20,33%, sedangkan daya berkecambah tertinggi diperoleh pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2SO4 1% selama 10 menit) dan B5

(perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) yaitu masing-masing

(50)

Gambar 8 Pengaruh pematahan dormansi terhadap daya berkecambah pada perlakuan B0, B2 dan B5

4. 1. 4 Nilai perkecambahan benih Angsana

Nilai perkecambahan merupakan indeks yang menyatakan kecepatan perkecambahan benih. Makin tinggi nilai perkecambahan, berarti semakin sempurna proses perkecambahan benih.

Pengaruh perlakuan pematahan dormansi benih Angsana memberikan respon nilai perkecambahan yang berbeda-beda (Gambar 9).

1.05 d

Gambar 9 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap nilai perkecambahan benih Angsana

Gambar 9 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)

menghasilkan nilai perkecambahan benih Angsana yang paling tinggi yaitu sebesar 1,13 (%/hari)2, sedangkan pengaruh yang paling kecil diperoleh pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit

(51)

kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 0,40 (%/hari)2.

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap nilai perkecambahan benih Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 4).

Tabel 4 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap nilai perkecambahan benih Angsana.

Sumber Keragaman DF JK KT F hitung Sig

Perlakuan (B) 5 1,51 0,302 82,48** 0,00

Galat 12 0,04 0,003

Total 17 1,55

Keterangan ** Berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh sangat nyata terhadap nilai perkecambahan benih Angsana. Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan (Tabel 5).

Tabel 5 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap nilai perkecambahan benih Angsana.

Perlakuan Nilai perkecambahan (%/hari)2

Peningkatan nilai perkecambahan (%)

B0 0,40 a ** 0

B1 0,48 ab 20

B2 1,13 d 182,5

B3 0,55 b 37,5

B4 0,93c 132,5

B5 1,05 d 162,5

Keterangan:** Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01.

(52)

diperoleh pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2SO4 1% selama

10 menit) yaitu sebesar 1,13 (%/hari)2 atau meningkat 182,5% dibandingkan dengan B0 (kontrol). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan B2 mampu berkecambah normal yang dapat tumbuh menjadi tanaman normal dilapangan.

4.1.5 Kecepatan tumbuh benih Angsana

Kecepatan tumbuh merupakan cerminan jumlah benih normal yang tumbuh setiap hari. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan respon kecepatan tumbuh benih Angsana yang berbeda-beda (Gambar 10).

1.4

Gambar 10 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana

Gambar 10 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)

dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam)

menghasilkan kecepatan tumbuh yang paling tinggi yaitu masing-masing sebesar 1,41 (%/hari), sedangkan pengaruh yang paling kecil diperoleh pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 0,77 (%/hari).

(53)

Tabel 6 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana.

Sumber Keragaman DF JK KT F hitung Sig

Perlakuan (B) 5 1,21 0,24 200,27** 0,00

Galat 12 0,01 0,001

Total 17 1,22

Keterangan ** Berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 6 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh sangat nyata terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana. Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan (Tabel 7).

Tabel 7 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana.

Perlakuan Kecepatan tumbuh

(%/hari)

Peningkatan kecepatan tumbuh (%)

B0 0,77 a** 0

B1 0,91b 18,18

B2 1,41 d 83,12

B3 1,06 c 37,66

B4 1,39 d 80,52

B5 1,41d 83,12

Keterangan: ** Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01

Tabel 7 menunjukkan bahwa respon kecepatan tumbuh paling kecil diperoleh pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 0,77 (%/hari), sedangkan kecepatan tumbuh tertinggi diperoleh pada perlakuan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) dan B2

(perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit) yaitu masing-masing

(54)

4.1.6 Laju perkecambahan benih Angsana

Laju perkecambahan dapat diukur dengan menghitung jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikula dan plamula. Jumlah rata-rata hari berkecambah benih digunakan untuk mengetahui respon dari perlakuan terhadap benih untuk berkecambah maksimal sampai dengan akhir pengamatan. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan respon laju perkecambahan (Gambar 11).

18.59

Gambar 11 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap laju perkecambahan benih Angsana

Gambar 11 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana pada perlakuan B3 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 15 menit)

menghasilkan laju perkecambahan benih Angsana yang paling lama yaitu selama 26,56 hari atau 27 hari, sedangkan laju perkecambahan yang paling cepat yaitu pada B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam)

yaitu selama 18,29 hari atau 19 hari.

Gambar

Gambar 2  Struktur Selulosa
Gambar 4  Buah bersayap (a), buah tidak bersayap (b), benih (c) Angsana yang  digunakan dalam penelitian
Tabel 1  Persentase kadar air benih Angsana
Gambar 5  Proses perkecambahan benih Angsana
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Dibolehkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan uzur sama sekali. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama mazhab Zaidiyah, sebagian mazhab Hanafi, dan sebagian

Berdasarkan data wawancara dan observasi yang peneliti lakukan dapat kami simpulkan bahwa multimedia interaktif dapat mengatasi kesulitan belajar siswa

Rendahnya nilai indeks dominasi pada stasiun 1 bulan September yaitu dengan rata-rata 0,343 dan pada stasiun 2 bulan November yaitu dengan rata- rata 0,302

(2) Pengelolaan sistem jaringan di lingkungan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Selatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikembangkan untuk menghubungkan

Perusahaan saat ini mempunyai 5 lini dan memproduksi 1 unit body caliper tipe 2PH setiap 19,86 detik.Hasil identifikasi bottleneck diketahui bahwa stasiun 1 merupakan stasiun

Penyelenggaraan Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 342) sebagaimana telah

“Alhamdulillah …… agustus agustus 2012 SMK Negeri 1 2012 SMK Negeri 1 Logas Tanah Darat tel Logas Tanah Darat telah memiliki ah memiliki laboratorium computer