PENGARUH PERLAKUAN PENDAHULUAN DAN BERAT
BENIH TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH
KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl.)
TRI BEKTI WINARNI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGARUH PERLAKUAN PENDAHULUAN DAN BERAT
BENIH TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH
KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl.)
TRI BEKTI WINARNI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan Budidaya Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
TRI BEKTI WINARNI. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dan Berat Benih terhadap Perkecambahan Benih Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.). Dibimbing oleh EDJE DJAMHURI dan ELIYA SUITA.
Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) merupakan jenis tanaman kehutanan yang termasuk dalam kelas biji berkeping dua dari famili Rhamnaceae. Jenis ini tumbuh tersebar secara alami di daerah tropika Afrika Timur, diintroduksi pertama kali di daerah Jawa Barat. Kayu Afrika termasuk jenis tanaman eksotik dan cepat tumbuh (fast growing species). Kayu Afrika mempunyai kegunaan yang luas, kegunaan utamanya adalah untuk konstruksi ringan, peti kemas, box dan bahkan sudah digunakan untuk ply wood. Dilihat dari potensi yang dimilikinya, Kayu Afrika mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman. Dalam rangka kegiatan penanaman jenis tersebut diperlukan benih yang bermutu tinggi dan memiliki daya berkecambah dan vigor yang tinggi.
Benih Kayu Afrika mempunyai sifat dormansi yang tinggi, karena memiliki kulit yang tebal dan keras. Untuk mematahkan dormansi tersebut diperlukan perlakuan pendahuluan tertentu. Penelitian tentang pengaruh berbagai perlakuan pendahuluan terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika sudah dilakukan antara lain oleh Muharni (2002) dan Rozi (2003). Perlakuan pematahan dormansi yang diberikan mampu meningkatkan viabilitas benih Kayu Afrika, namun belum dapat sepenuhnya mematahkan sifat dormansi pada benih tersebut. Hal ini dibuktikan dengan nilai daya berkecambah yang dicapai pada penelitian tersebut kurang dari 50%.
Untuk lebih meningkatkan daya berkecambah benih Kayu Afrika, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan metode perlakuan pendahuluan yang sama tetapi dengan konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda. Selain itu juga perlu penelitian dengan menggunakan bahan lain yang memiliki fungsi yang sama dengan air (H2O), asam sulfat (H2SO4) dan KNO3, yaitu air kelapa.
Ukuran benih berkorelasi dengan vigor. Benih yang relatif berat lebih dipilih karena umumnya berhubungan dengan perkecambahan. Penelitian tentang pengaruh berat benih terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika belum pernah dilakukan, untuk itu penelitian tersebut perlu dilakukan.
Penelitian ini dilakukan dua kali yaitu percobaan pertama untuk mengetahui pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika dan percobaan kedua untuk mengetahui pengaruh berat benih terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika. Rancangan yang digunakan untuk kedua percobaan tersebut yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rancangan percobaan pertama dengan faktor perlakuan pendahuluan terdiri dari 12 perlakuan yaitu perendaman dalam air kelapa selama 1 jam, 2 jam dan 3 jam, direndam dalam air selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam, direndam dalam larutan H2SO4 1%
selama 10 menit, 20 menit dan 30 menit dan direndam dalam larutan KNO3 0,2%
selama 15 menit, 30 menit dan 45 menit. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 36 unit percobaan. Rancangan percobaan kedua dengan faktor berat benih terdiri dari 3 perlakuan yaitu benih berat (≥ 1,50 gram), benih sedang (1,25-1,50 gram) dan benih ringan (≤ 1,25 gram). Masing-masing berat benih
diulang 3 kali sehingga terdapat 9 unit percobaan. Parameter yang diamati untuk setiap percobaan yaitu daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, dilakukan sidik ragam. Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, kemudian dilakukan uji beda Duncan. Pengolahan data hasil pengamatan dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 12.0.
Kadar air benih Kayu Afrika pada penelitian ini berkisar antara 15,75%-16,95%. Berat 1000 butir berkisar antara 1378,7-1436,3 gram dan jumlah benih/kg berkisar antara 696-725 butir/kg.
Hasil penelitian pada percobaan pertama menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan berupa perendaman dalam air kelapa, air, H2SO4 dan KNO3
berpengaruh sangat nyata dalam meningkatkan daya berkecambah dan kecepatan tumbuh benih Kayu Afrika, namun tidak berpengaruh nyata terhadap nilai perkecambahan benih Kayu Afrika.
Semua perlakuan pendahuluan dengan perendaman air kelapa, air, H2SO4
1% dan KNO3 0,2% mampu meningkatkan daya berkecambah benih Kayu Afrika
dari kurang dari 50% menjadi lebih dari 65%. Secara statistik perlakuan pendahuluan dengan perendaman air kelapa selama 1, 2 dan 3 jam, air selama 24 dan 72 jam, H2SO4 1% selama 10, 20 dan 30 menit dan KNO3 0,2% selama 15, 30
dan 45 menit tidak berbeda nyata dalam meningkatkan daya berkecambah dan kecepatan tumbuh benih Kayu Afrika, namun semua perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan perendaman air selama 48 jam. Diantara semua perlakuan yang tidak berbeda nyata terdapat perlakuan pendahuluan yang memiliki nilai rata-rata daya berkecambah dan kecepatan tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit
masing-masing sebesar 96,67% dan 3,21% KN/etmal.
Hasil penelitian pada percobaan kedua menunjukkan bahwa berat benih tidak berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan benih Kayu Afrika, dengan demikian semua benih Kayu Afrika dapat dipergunakan untuk bahan perbanyakan tanaman.
Kata kunci: Berat Benih , Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.), Perkecambahan Benih, Perlakuan Pendahuluan.
PENGARUH PERLAKUAN PENDAHULUAN DAN BERAT BENIH TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH KAYU
AFRIKA
(Maesopsis eminii Engl.)
Oleh :
Tri Bekti Winarni, Edje Djamhuri dan Eliya Suita
PENDAHULUAN. Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) termasuk jenis tanaman eksotik dan cepat tumbuh (fast growing species). Kegunaan utama Kayu Afrika adalah untuk konstruksi ringan, peti kemas, box dan bahkan sudah digunakan untuk ply wood. Dilihat dari potensi yang dimilikinya, Kayu Afrika mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman. Dalam rangka kegiatan penanaman jenis tersebut diperlukan benih yang bermutu tinggi dan memiliki daya berkecambah dan vigor yang tinggi. Benih Kayu Afrika mempunyai sifat dormansi yang tinggi, karena memiliki kulit yang tebal dan keras. Untuk mematahkan dormansi tersebut diperlukan perlakuan pendahuluan tertentu. Penelitian tentang perlakuan pendahuluan terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika sudah dilakukan. Namun belum dapat sepenuhnya mematahkan sifat dormansi pada benih tersebut. Ukuran benih berkorelasi dengan vigor. Benih yang relatif berat lebih dipilih karena umumnya berhubungan dengan perkecambahan.
BAHAN DAN METODE. Pada penelitian ini terdapat dua kali percobaan. Rancangan yang digunakan untuk kedua percobaan tersebut yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rancangan percobaan pertama dengan faktor perlakuan pendahuluan terdiri dari 12 perlakuan yaitu perendaman dalam air kelapa selama 1, 2 dan 3 jam, air selama 24, 48 dan 72 jam, H2SO4 1%
selama 10, 20 dan 30 menit dan KNO3 0,2% selama 15, 30 dan 45 menit. Rancangan percobaan
kedua dengan faktor berat benih terdiri dari 3 perlakuan yaitu benih berat (≥ 1,50 gram), sedang (1,25-1,50 gram) dan ringan (≤ 1,25 gram). Parameter yang diamati untuk setiap percobaan yaitu daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, dilakukan sidik ragam. Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, kemudian dilakukan uji beda Duncan. Data yang diperoleh dianalisis dengan bantuan program SPSS versi 12.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air benih Kayu Afrika pada penelitian ini berkisar antara 15,75%-16,95%. Berat 1000 butir berkisar antara 1378,7-1436,3 gram dan jumlah benih/kg berkisar antara 696-725 butir/kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan dengan perendaman air kelapa selama 1, 2 dan 3 jam, air selama 24, 48 dan 72 jam, H2SO4 1%
selama 10, 20 dan 30 menit dan KNO3 0,2% selama 15, 30 dan 45 menit berpengaruh sangat nyata
terhadap daya berkecambah dan kecepatan tumbuh benih Kayu Afrika, namun tidak berpengaruh nyata terhadap nilai perkecambahan benih Kayu Afrika. Begitupun untuk berat benih tidak berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan benih Kayu Afrika.
KESIMPULAN. Semua perlakuan pendahuluan dengan perendaman air kelapa, air, H2SO4 1%
dan KNO3 0,2% mampu meningkatkan daya berkecambah benih Kayu Afrika dari kurang dari
50% menjadi lebih dari 65%. Secara statistikperendaman air kelapa (1, 2 dan 3 jam), air (24 dan 72 jam), H2SO4 1% (10, 20 dan 30 menit) dan KNO3 0,2% (15, 30 dan 45 menit) tidak berbeda
nyata dalam meningkatkan daya berkecambah dan kecepatan tumbuh benih Kayu Afrika, namun semua perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan perendaman air selama 48 jam. Diantara semua perlakuan yang tidak berbeda nyata terdapat perlakuan pendahuluan yang memiliki nilai rata-rata daya berkecambah dan kecepatan tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit masing-masing
sebesar 96,67% dan 3,21% KN/etmal. Semua benih Kayu Afrika dapat dipergunakan untuk bahan perbanyakan tanaman.
Kata kunci: Berat Benih, Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.), Perkecambahan Benih, Perlakuan Pendahuluan.
THE EFFECT OF PRETREATMENT AND SEED WEIGHT ON THE SEED GERMINATION OF KAYU AFRIKA
(Maesopsis eminii Engl.)
by :
Tri Bekti Winarni, Edje Djamhuri dan Eliya Suita
INTRODUCTION. Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) is categorized as fast growing and exotic species in Indonesia. The use of Kayu Afrika were for light construction, packaging, boxes, and even for ply wood raw materials. In terms of its potensial, Kayu Afrika has good prospect to be developed for plantation forest. For the planting of this species, there is a need for high quality seeds with high vigor and germination capacity. Seeds of Kayu Afrika have strong dormancy feature due to their hard and thick seed coat. The breaking of the such dormancy needs a certain treatment to the seed. Research concerning the effect of pretreatment on germination of Kayu Afrika seeds has ever been conducted, but it had not been fully able to break the dormancy of the seeds. Seed size has some correlation with vigor. The relatively heavy seeds are preferable due to its general relation with germination quality.
MATERIALS AND METHOD. This research consisted of two experiments designed as Completely Randomized Experimental Design. The first experiment comprised the factor of seed pretreatment, consisting of 12 treatments, namely soaking in coconut water for 1,2 and 3 hours; water for 24, 48 and 72 hours; H2SO4 1% for 10, 20 and 30 minutes; and KNO3 0.2% for 15, 30
and 45 minutes. The second experiment comprised the factor of seed weight, consisting of 3 treatments, namely the use of heavy seeds (≥ 1.50 gram), moderate seeds (1.25-1.50 gram) and light seeds (≤1.25 gram). Variables observed for each experiment were germination capacity, growth speed and germination value. For learning the effect of treatments on the observed variables, Analysis of Variance was performed. If the treatment showed significant effect, further Duncan test were performed to test the differences between means. The obtained data were analyzed with the aid of SPSS program version 12.0.
RESULTS AND DISCUSSION. Seed moisture content of Kayu Afrika during this research ranged between 15.75%-16.95%. Weight of 1000 seeds ranged between 1378.7-1436.3 gram, and number of seeds/kg ranged between 696-725 seeds/kg. Research results showed that seed pretreatments of soaking in coconut water for 1,2 and 3 hours; water for 24, 48 and 72 hours; H2SO4 1% for 10, 20 and 30 minutes; and KNO3 0.2% for 15, 30 and 45 minutes had significant
effect on germination capacity, and growth speed of Kayu Afrika seeds, howefer, they did not have significant effect on germination value of Kayu Afrika seeds. Similarly, seed weight did not have significant effect on germination capacity, growth speed and germination value of Kayu Afrika seeds.
CONCLUSION. All pretreatments of soaking in coconut water, water, H2SO4 1% and KNO3
0,2% were able to increase seed germination capacity of Kayu Afrika from less than 50% to more than 65%. Statistically, soaking in coconut water (1, 2 and 3 hours), water (24 and 72 hours), H2SO4 1% (10, 20 and 30 minutes) and KNO3 0,2% (15, 30 and 45 minutes) did not differ
significantly in increasing seed germination capacity and seed growth speed of Kayu Afrika. Howefer, all those treatments differed significantly from treatment of soaking in water for 48 hours. Of all those treatments which did not differ significantly, there was pretreatment which had average values of germination capacity and growth speed which were higher than other treatments, namely soaking in H2SO4 1% for 10 minutes, namely 96.67% and 3.21% KN/etmal respectively.
All categories of seed weight of Kayu Afrika could be used for plant propagation purposes. Keywords: Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.), Pretreatment, Seed Germination, Seed Weight.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dan Berat Benih terhadap Perkecambahan Benih Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah digunakan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Tri Bekti Winarni
Judul Skripsi : Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dan Berat Benih terhadap Perkecambahan Benih Kayu Afrika (Maesopsis
eminii Engl.)
Nama : Tri Bekti Winarni
NRP : E14204046
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Ir. Edje Djamhuri Ir. Eliya Suita NIP. 130 516 499 NIP. 710 028 703
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 131 578 788
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pengaruh
Perlakuan Pendahuluan dan Berat Benih terhadap Perkecambahan Benih Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.). Atas selesainya penyusunan karya ilmiah
ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ir. Edje Djamhuri dan Ir. Eliya Suita selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan sejak dimulainya penelitian sampai dengan penyelesaian skripsi.
2. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor dan Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor serta seluruh staf Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat atas kesediannya dalam pelaksanaan penelitian.
3. Dr.Ir. Agus Hikmat, M.Sc selaku penguji dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata dan Dr.Ir. Dede Hermawan, M.Sc selaku penguji dari Departemen Hasil Hutan atas kesediaannya, masukan dan arahan dalam perbaikan penulisan skripsi.
4. Bapak, Mamah, Ang Rally, Teh Tutur, Weweng dan seluruh keluarga besar yang selama ini tiada henti mendukung dan mendoakan penulis.
5. Ria, Nisa, Tuti, Budi, Ando dan seluruh penghuni pondok Spinky yang selalu setia menemani, mendoakan dan mendukung penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.
6. Delfi, Mustian, Yandri, Dwi, Rizal, Kaka, Boy, Daniel dan Prabu atas semua bantuannya selama penelitian.
7. Teman-teman silvikultur angkatan 41 yang tiada pernah bosan menyemangati dan membesarkan hati.
Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dunia ilmu pengetahuan.
Bogor, Januari 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pangandaran, Ciamis pada tanggal 29 Mei 1985 sebagai anak ketiga dari pasangan suami istri Nahro A.Ma.Pd. dan Esih. Penulis memulai jenjang pendidikan formal pada tahun 1992 di SDN 3 Sidamulih dan lulus pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 2 Pangandaran dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2001. Selanjutnya tahun 2001 melanjutkan pendidikan di SMUN 2 Ciamis dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan, yakni sebagai staf Kelompok Studi Silvikultur Forest Management Students Club (FMSC) dari tahun 2005-2006 dan panitia Seminar Planologi yang diadakan oleh Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan tahun 2006.
Selain aktif dalam keorganisasian, penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Dendrologi pada program Sarjana (S1) di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor tahun 2006-2007. Penulis juga pernah mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) tahun 2007 di KPH Cianjur, Sancang dan Kamojang. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Dinas Kehutanan Ciamis, Desa Karangsari, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Ciamis.
Untuk memperoleh gelar Sajana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dan Berat Benih
terhadap Perkecambahan Benih Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.)
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Manfaat Penelitian ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 3 1.4 Hipotesis ... 3BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ... T injauan Umum Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.)... 4
2.1.1 Tinjauan botanis... 4
2.1.2 Syarat tumbuh ... 6
2.1.3 Penyebaran ... 7
2.1.4 Kegunaan ... 7
2.1.5 Hama dan penyakit ... 8
2.2 Kadar Air Benih ... 8
2.3 Berat 1000 Butir Benih... 8
2.4 Pematahan Dormansi Benih... 9
2.4.1 Perendaman air... 9
2.4.2 Perendaman air kelapa ... 10
2.4.3 Perendaman H2SO4... 11
2.4.4... Perendaman KNO3... 11
2.5 Ukuran Benih Berdasarkan Berat Benih... 12
2.6 Perkecambahan Benih... 13
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 17
3.2 Alat dan Bahan Penelitian... 17
3.3 Metode Penelitian ... 17
3.3.1 Pengunduhan buah ... 17
3.3.2 Ektraksi benih ... 17
3.3.3 Penentuan kadar air benih ... 18
3.3.4 Penentuan berat 1000 butir benih ... 18
3.3.5 Pelaksanaan percobaan ... 19
3.3.5. 1 Percobaan I (Pengaruh Perlakuan Pendahuluan terhadap Perkecambahan Benih Kayu Afrika) ... 19
3.3.5.1.1 Perkecambahan benih ... 20
3.3.5.1.2 Pengamatan dan perolehan data... 20
3.3.5.2 Percobaan II (Pengaruh Berat Benih Terhadap
Perkecambahan Benih Kayu Afrika)... 22
3.3.5.2.1 Seleksi benih berdasarkan berat benih ... 22
3.3.5.2.2 Perkecambahan benih... 23
3.3.5.2.3 Pengamatan dan perolehan data ... 23
3.3.5.2.4 Rancangan percobaan... 24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil... 26
4.1.1 Kadar air benih... 26
4.1.2 Berat 1000 butir benih ... 26
4.1.3 Pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika... 27
4.1.4 Pengaruh berat benih terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika... 32
4.2 Pembahasan ... 35
4.2.1 Kadar air benih... 35
4.2.2 Berat 1000 butir benih... 35
4.2.3 Pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika... 36
4.2.4 Pengaruh berat benih terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika... 41 BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan ... 44 5.2 Saran ... 44 DAFTAR PUSTAKA ... 45 LAMPIRAN... 47
DAFTAR TABEL
No. Halaman 1. Kadar air benih Kayu Afrika... 26 2. Sidik ragam pengaruh perlakuan pendahuluan dengan perendaman air
kelapa, air, H2SO4 dan KNO3 terhadap daya berkecambah benih
Kayu Afrika ... 28 3. Uji Beda Duncan pengaruh perlakuan pendahuluan dengan perendaman
air kelapa, air, H2SO4 dan KNO3 terhadap daya berkecambah benih
Kayu Afrika ... 28 4. Sidik ragam pengaruh perlakuan pendahuluan dengan perendaman air
kelapa, air, H2SO4 dan KNO3 terhadap kecepatan tumbuh benih
Kayu Afrika ... 30 5. Uji Beda Duncan pengaruh perlakuan pendahuluan dengan perendaman air
kelapa, air, H2SO4 dan KNO3 terhadap kecepatan tumbuh benih
Kayu Afrika ... 30 6. Sidik ragam pengaruh perlakuan pendahuluan dengan perendaman air
kelapa, air, H2SO4 dan KNO3 terhadap nilai perkecambahan benih
Kayu Afrika ... 32 7. Sidik ragam pengaruh berat benih terhadap daya berkecambah benih Kayu
Afrika ... 33
8. Sidik ragam pengaruh berat benih terhadap kecepatan tumbuh benih Kayu
Afrika ... 34
9. Sidik ragam pengaruh berat benih terhadap nilai perkecambahan benih
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman 1. Tanaman Kayu Afrika di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi ... 4 2. Perubahan warna buah Kayu Afrika ... 5 3. Benih Kayu Afrika... 6 4. Histogram pengaruh perlakuan pendahuluan dengan perendaman air kelapa,
air, H2SO4 dan KNO3 terhadap daya berkecambah benih Kayu Afrika... 27
5. Histogram pengaruh perlakuan pendahuluan dengan perendaman air kelapa, air, H2SO4 dan KNO3 terhadap kecepatan tumbuh benih Kayu Afrika ... 29
6. Histogram pengaruh perlakuan pendahuluan dengan perendaman air kelapa, air, H2SO4 dan KNO3 terhadap nilai perkecambahan benih Kayu Afrika .... 31
7. Histogram pengaruh berat benih terhadap daya berkecambah benih Kayu
Afrika ... 32
8. Histogram pengaruh berat benih terhadap kecepatan tumbuh benih Kayu
Afrika ... 33
9. Histogram pengaruh berat benih terhadap nilai perkecambahan benih Kayu
Afrika ... 34
10. Kecambah normal Kayu Afrika dengan tipe epigeal... 39
11. Ukuran benih Kayu Afrika berdasarkan berat benih (berat, sedang dan
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Rekapitulasi data hasil percobaan pertama ... 48
2. Rekapitulasi data hasil percobaan kedua ... 50
3. Data pengamatan kecambah normal percobaan pertama... 51
4. Data pengamatan kecambah normal percobaan kedua ... 53
5. Penghitungan berat 1000 butir benih Kayu Afrika ... 54
6. Histogram seleksi benih berdasarkan berat benih Kayu Afrika... 57
7. Lay out penelitian ... 58
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) merupakan jenis tanaman kehutanan yang termasuk dalam kelas biji berkeping dua dari famili Rhamnaceae. Jenis ini tumbuh tersebar secara alami di daerah tropika Afrika Timur, diintroduksi pertama kali di daerah Jawa Barat (Zulhanif 2000). Kayu Afrika termasuk jenis tanaman eksotik dan cepat tumbuh (fast growing species). Kayu Afrika mempunyai kegunaan yang luas, kegunaan utamanya adalah untuk konstruksi ringan, peti kemas, box dan bahkan sudah digunakan untuk ply wood (Sandrasegaran 1996, NAS 1977, diacu dalam Rozi 2003).
Dilihat dari potensi yang dimilikinya, Kayu Afrika mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman, apalagi tanaman ini merupakan jenis cepat tumbuh. Dalam rangka kegiatan penanaman jenis tersebut diperlukan benih yang bermutu tinggi dan memiliki daya berkecambah dan vigor yang tinggi.
Benih Kayu Afrika mempunyai sifat dormansi yang tinggi, karena memiliki kulit yang tebal dan keras. Untuk mematahkan dormansi tersebut diperlukan perlakuan pendahuluan tertentu.
Penelitian tentang pengaruh berbagai perlakuan pendahuluan terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika sudah dilakukan antara lain oleh Muharni (2002) hasilnya bahwa perendaman dengan larutan H2SO4 20 N selama 20 menit
mampu meningkatkan nilai kecepatan tumbuh menjadi sebesar 1,59% KN/etmal. Sedangkan benih Kayu Afrika yang direndam dalam larutan KNO3 0,2% selama
30 menit dapat meningkatkan viabilitas benih dengan nilai daya berkecambah sebesar 50,13%. Rozi (2003) mengemukakan bahwa perlakuan pendahuluan yang terbaik yaitu perlakuan perendaman dengan air selama 24 jam dengan daya berkecambah sebesar 73% dan yang terburuk yaitu perlakuan perendaman dengan H2SO4 5% selama 24 jam dengan daya berkecambah sebesar 2%.
Perlakuan pematahan dormansi yang diberikan mampu meningkatkan viabilitas benih Kayu Afrika, namun belum dapat sepenuhnya mematahkan sifat dormansi pada benih tersebut. Hal ini dibuktikan dengan nilai daya berkecambah
yang dicapai pada penelitian tersebut kurang dari 50% (Muharni 2002). Untuk lebih meningkatkan daya berkecambah benih Kayu Afrika, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan metode perlakuan pendahuluan yang sama tetapi dengan konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda. Selain itu juga perlu penelitian dengan menggunakan bahan lain yang memiliki fungsi yang sama dengan air (H2O), asam sulfat (H2SO4) dan KNO3, yaitu air kelapa.
Penelitian yang terkait dengan penggunaan air kelapa untuk memicu pertumbuhan dan perkembangan embrio benih pernah dilakukan oleh Suita dan Naning (2004), benih Kemiri (Aleurites mollucana Wild.) yang direndam air kelapa selama 4 jam menghasilkan daya berkecambah sebesar 53,33% dan kecepatan berkecambah sebesar 0,6274%/hari dan oleh Suita (2004), benih Tanjung (Mimusops elengi L.) yang direndam air kelapa selama 2 jam menghasilkan daya berkecambah rata-rata sebesar 96,67% dan kecepatan berkecambah 2,38%/hari.
Ukuran benih berkorelasi dengan vigor. Benih yang relatif berat lebih dipilih karena umumnya berhubungan dengan perkecambahan (Schmidt 2000). Sutopo (2004), menambahkan di dalam jaringan penyimpanan benih memiliki karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Di mana bahan-bahan ini diperlukan sebagai bahan baku dan energi bagi embrio pada saat perkecambahan. Diduga bahwa benih yang berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak dibandingkan benih yang kecil, mungkin pula embrionya lebih besar. Hal ini sejalan dengan penelitian terhadap benih Diospyros celebica dimana benih D. celebica yang berukuran besar (1,83-2,24 gram) memiliki daya berkecambah tertinggi dibandingkan dengan benih berukuran sedang (1,41-1,82 gram) dan benih berukuran kecil (0,99-1,4 gram). Daya berkecambah benih D.
celebica yang berukuran besar yaitu sebesar 87%, benih berukuran sedang sebesar
72% dan benih berukuran kecil sebesar 70 % (Heriyanto & Sutiyono 2001).
Penelitian tentang pengaruh berat benih terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika belum pernah dilakukan, untuk itu penelitian tersebut perlu dilakukan.
1.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukannya penelitian ini yaitu :
a. Meningkatkan mutu fisiologis kelompok benih (seed lot) Kayu Afrika (M. eminii), sehingga dengan teknik perlakuan pendahuluan dan seleksi benih dapat meningkatkan keberhasilan penyediaan bibit siap tanam di lapangan.
b. Menambah informasi mengenai berbagai penggunaan zat kimia dalam meningkatkan perkecambahan benih Kayu Afrika (M. eminii).
c. Memberikan alternatif penggunaan bahan-bahan untuk perlakuan pendahuluan benih Kayu Afrika (M. eminii) yang lebih murah dan mudah didapat selain dari air.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu :
a. Mengetahui kadar air benih dan berat 1000 butir benih Kayu Afrika (M. eminii). b. Mengetahui perlakuan pendahuluan yang efektif dan terbaik (perendaman dalam air
kelapa, air, H2SO4, KNO3) dalam meningkatkan perkecambahan benih Kayu Afrika (M.eminii).
c. Mengetahui berat benih terbaik dalam meningkatkan perkecambahan benih Kayu Afrika (M. eminii).
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
a. Daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan benih Kayu Afrika (M. eminii) dipengaruhi oleh perlakuan pendahuluan dan berat benih.
b. Terdapat perlakuan pendahuluan benih yang efektif dan terbaik dalam meningkatkan perkecambahan benih Kayu Afrika (M. eminii).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.)
2.1.1 Tinjauan botanis
Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) merupakan jenis tanaman kehutanan yang termasuk dalam kelas biji berkeping dua (Dicotyledon) dari famili
Rhamnaceae. Maesopsis dikelompokan ke dalam 2 subspesies, yaitu sub sp. eminii (tersebar di Afrika Timur dan Asia Selatan dan pohonnya berukuran besar)
dan sub sp. berchemoides (yang tersebar dari Nigeria sampai dengan Angola, memiliki pohon yang berukuran kecil). Jenis ini tumbuh tersebar secara alami di daerah tropika Afrika Timur, yang diintroduksi pertama kali di daerah Jawa Barat. Kayu Afrika memiliki persen hidup yang rendah pada anakannya karena adanya persaingan dengan tumbuhan bawah (Zulhanif 2000).
Gambar 1 Tanaman Kayu Afrika di Hutan Pendidikan Gunung Walat-Sukabumi.
Pohon yang selalu hijau, tinggi mencapai 15-45 m. Batang lurus dengan garis tengah 50-180 cm, akar papan kecil atau bahkan tidak ada, kulit batang halus atau beralur dalam dan vertikal. Umumnya daun hampir berhadapan bersilang, tunggal. Daun berbentuk bulat telur-jorong sampai bulat telur memanjang, pangkal daun membulat sampai menjantung, ujung daun meruncing, tepi daun beringgit. Perbungaan majemuk, aksiler tak berbatas berukuran 1-5 cm, tangkai
bunga 4-25 mm, bunga banci, terdiri dari 5 daun mahkota, berwarna kuning kehijauan. Buah keras berbentuk bulat telur sungsang, secara berangsur-angsur warna buah berubah, semakin tua warnanya berubah dari hijau menjadi kuning hingga ungu kehitaman. Di Inggris Kayu Afrika disebut umbrella tree atau
musizi. Nama lain M. eminii yaitu M. berchemioides (Pierre) A. Chev. Kayu
Afrika termasuk jenis tanaman reklamasi atau tumbuhan perintis. Perbanyakan M.
eminii lebih sering dilakukan dengan mengecambahkan bijinya (Anonim 2008).
Musim berbunga jenis ini terdapat dua periode, di Malaysia yaitu bulan Februari-Mei dan Agustus-September. Sedangkan musim buah masak di Jawa Barat terjadi pada bulan Juli-Agustus. Buah masak dicirikan oleh warna kulit buah ungu kehitaman. Buah masak dikumpulkan dengan cara dipanjat di atas pohon atau memungut dari lantai hutan dan ditempatkan dalam suatu kantong diberi label yang bertuliskan lokasi dan tanggal pengunduhan (Nurhasybi 2005).
Perubahan warna pada buah Kayu Afrika dari muda sampai dengan tua yaitu hijau, kuning, merah keunguan dan ungu kehitaman (Gambar 2). Benih yang berasal dari buah berwarna ungu menunjukkan keadaan yang mendekati masak fisiologis, sedangkan mencapai puncak masak fisiologis pada benih yang berasal dari buah berwarna ungu kehitaman.
Gambar 2 Perubahan warna buah Kayu Afrika.
Buah berukuran panjang 2-2.5 cm dengan satu bagian meruncing, dan sebagian lain menumpul (ovoid) dengan lubang kecil bekas tangkai buah, sedangkan benihnya berukuran 1.8-2 cm. Buah terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan luar yang lunak (exocarp), lapisan lunak (mesocarp) dan lapisan keras (endocarp). Embrio benih terdiri dari lapisan kulit luar yang keras (endocarp) dan lapisan testa bagian dalam yang berwarna coklat tua.
Analisis benih dari Karnataka, India melaporkan bahwa benih M.eminii mengandung 40-45% edible oil dengan komponen utamanya adalah asam stearat (27%), asam oleat (47%) dan asam linoleat (15%). Daun dari tanaman Kayu Afrika mempunyai 35% kandungan bahan kering dan setiap 100 g bahan kering terdiri dari 26 g protein sederhana, 3.6 g ekstrak lain, 5 g abu, 20 g neutral
detergent fiber, 5.4 g lignin, 2.4 g total phenol dan 6.5 g tannin (Hanum &
Maesen 1997).
Cara ektraksi untuk benih Kayu Afrika yaitu dengan merendam buah dalam air selama 1 hari dan membersihkan daging buahnya dengan food
processor atau manual. Sisa daging buah yang menempel pada kulit benih harus
dibersihkan dengan sikat atau pasir untuk mencegah serangan jamur. Benih ini dapat disimpan pada ruang temperatur rendah (4-8oC) dengan wadah simpan agak kedap (Nurhasybi 2005).
Gambar 3 Benih Kayu Afrika.
2.1.2 Syarat tumbuh
Menurut Nurhasybi (2005) Kayu Afrika tumbuh baik pada ketinggian 100-1500 m dpl dengan curah hujan 1400-3600 mm/tahun. Tumbuh baik pada solum tanah yang dalam, subur dan bebas genangan air, toleran terhadap tanah tidak subur, tanah berpasir dan asam, seperti tanah alluvial dan sedimen. Kayu afrika yang biasa dikenal dengan nama Musici atau Maesopsi tumbuh di daerah tropis mulai dari 2oLS-8oLU.
Anonim (2008) menambahkan di Afrika jenis ini tumbuh pada hutan hujan tropis dataran rendah hingga ke savanna dan tersebar ke zonasi hutan pegunungan submontana di ketinggian 1500 m dpl, bahkan mencapai ketinggian 1800 m dpl di
Rwanda. Umumnya jenis ini ditanam di daerah dataran rendah di Jawa dan Malaysia, yaitu pada ketinggian 600-900 m dpl. Tumbuhan ini memerlukan daerah pertumbuhan dengan curah hujan tahunan rata-rata adalah 1200-1300 mm dan toleransi kondisi kekeringan selama 2 bulan. Di habitat alaminya, rata-rata suhu berkisar pada 22-27°C. M. eminii dapat tumbuh prima bila ditanam dalam tanah yang subur. Tumbuhan ini toleran terhadap berbagai tipe tanah, namun tidak toleran terhadap kondisi tergenang.
2.1.3 Penyebaran
Menurut Nurhasybi (2005) dan Anonim (2008), Kayu Afrika tumbuh tersebar secara alami di daerah tropika Afrika Timur yaitu di sepanjang teluk Guinea (termasuk Sao Tomé) dari Liberia, Zaire hingga Angola. Penyebaran di sebelah Selatan di mulai di Sudan dan Uganda hingga ke Kenya dan Tanzania. Spesies ini diintroduksi ke Jawa pada tahun 1920-an dan dibudidayakan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Dari Jawa, tumbuhan ini diintroduksi ke Semenanjung Malaysia pada tahun 1952. Perkebunan M.eminii telah berlangsung di Afrika, India, Indonesia, Malaysia dan Fiji, selain itu juga diujicobakan untuk diintroduksi di Costa Rica, Hawaii, Puerto Rico, kepulauan Solomon dan Samoa.
2.1.4 Kegunaan
Menurut (Sandrasegaran 1996, NAS 1977, diacu dalam Rozi 2003), kegunaan utama Kayu Afrika adalah untuk konstruksi ringan, peti kemas, box dan bahkan sudah digunakan untuk ply wood. Pertumbuhan Kayu Afrika dapat mencapai riap 20-30 m3/ha/tahun. Batang pohon lurus berbentuk silindris, kayunya termasuk ke dalam kelas awet V dan kelas kuat III-IV berberat jenis 0,45.
Anonim (2008) menyebutkan bahwa di Afrika jenis seperti Kayu Afrika umumnya ditanam di pekarangan rumah sebagai pohon peneduh, sebagai sumber kayu bakar dan bahan bangunan (ringan atau berat), pulp, papan partikel, tiang lantai dan bangunan kapal. Sedangkan daunnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Dikarenakan pertumbuhannya yang cepat, pohon ini ditanam luas utamanya sebagai kayu bakar. Di Jawa, pohon ini biasanya ditanam di sepanjang tepi jalan atau sebagai pohon pembatas. Jenis ini juga dimanfaatkan untuk merehabilitasi lahan dan perhutanan sosial.
2.1.5 Hama dan penyakit
Menurut Nurhasby (2005) dan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2002) ulat dari ordo Lepidoptera dapat meyerang biji sebelum pengumpulan dan anakan di persemaian. Cara pengendaliannya antara lain dengan menyemprotkan pestisida, insektisida, pengaturan kelembaban atau penyemprotan dengan fungisida.
2.2 Kadar Air Benih
Kadar air adalah berat air yang hilang dari contoh setelah dikeringkan. Kadar air pada benih tergantung pada jenis dan kondisi lingkungan. Benih rekalsitran berkadar air relatif tinggi, sekitar 25-30%. Benih ortodoks relatif kering, mencapai 5-10% selama proses pematangan. Selain benih yang bersifat rekalsitran dan ortodoks juga terdapat benih yang memiliki sifat antara rekalsitran dan ortodoks yaitu intermediate. Benih intermediate dapat dikeringkan sampai kadar air 12-17% (Schmidt 2000).
Yap dan Wong (1983) menyatakan bahwa buah Kayu Afrika yang jatuh cukup lama memiliki daya berkecambah yang rendah (45%) dengan kadar air 13.37%, jika dibandingkan dengan buah masak yang jatuh dan masih segar daya berkecambahnya sebesar 50.5% dengan kadar air 16.78%. Buah yang dikumpulkan dari pemanjatan pohon dicapai daya berkecambahnya sebesar 57.02% dan kadar air 13.75%.
2.3 Berat 1000 Butir Benih
Penentuan berat 1000 butir benih digunakan untuk menentukan jumlah benih dalam 1 kg benih dari suatu contoh benih. Berat benih sering bervariasi di dalam jenis yang sama yang disebabkan karena perbedaan genetik dan lingkungan. Berat benih biasanya dihitung dengan ulangan 100 benih per sampel. Untuk tiap benih besar, perhitungan lebih meyakinkan jika didasarkan pada kuantitas yang kecil. Berat benih bervariasi baik karena ukuran maupun jumlahnya dan banyak faktor yang mungkin mempengaruhinya, terutama jika membandingkan beberapa contoh. Benih yang relatif berat lebih dipilih karena umumnya berhubungan dengan kecepatan perkecambahan dan perkembangan semai yang bagus (Schmidt 2000). Hasil penelitian Yap dan Wong (1983), dalam 1 kg benih Kayu Afrika terdapat 700-1000 butir benih.
2.4 Pematahan Dormansi Benih
Menurut Schmidt (2000) dormansi benih menunjukkan suatu keadaan di mana benih-benih sehat (viable) gagal berkecambah ketika berada dalam kondisi yang secara normal baik untuk perkecambahan. Tujuan perlakuan awal adalah untuk menjamin benih akan berkecambah dan perkecambahan berlangsung cepat dan seragam. Perlakuan awal umumnya dilakukan sesaat sebelum penaburan, misalnya setelah penyimpanan karena dormansi umumnya memperpanjang daya simpan.
Schmidt (2000) menambahkan, sistem klasifikasi pematahan dormansi berdasarkan lokasi dormansi pada bagian-bagian benih ada 2, yaitu sifat
eksogenus dan endogenus. Dormansi eksogenus yaitu dormansi yang berhubungan
dengan kulit biji, yaitu bagian endocarp atau seluruh pericarp. Pematahan dormansi yang dilakukan yaitu dengan resistensi mekanis seperti pengampelasan, pengikiran, pemotongan, peretakan dan penusukan bagian tertentu pada benih, dengan maksud agar memudahkan difusi air, perendaman dengan air panas, dan skarifikasi kimiawi seperti penggunaan bahan-bahan kimia seperti H2SO4, HCL,
alkohol, H2O2 dengan maksud melunakkan kulit benih. Dormansi endogenus yaitu
dormansi yang disebabkan oleh adanya zat-zat kimia penghambat yang terletak dalam embrio. Pematahan dormansi yang dilakukan yaitu dengan pemberian hormon seperti GA3, etilen, sitokinin dan zat kimia KNO3 sebagai perangsang
perkecambahan.
2.4.1 Perendaman air
Menurut Sutopo (2004), beberapa jenis benih terkadang diberi perlakuan perendaman dalam air dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih. Schmidt (2000) menyatakan perendaman merupakan prosedur yang sangat lambat untuk mengatasi dormansi fisik, dan ada resiko besar bahwa benih akan mati jika dibiarkan dalam air sampai seluruh benih menjadi permiable. Akan tetapi, banyak jenis tanpa dormansi atau dormansinya yang telah dipatahkan memperoleh manfaat dari perendaman dalam air, biasanya 12-24 jam sebelum penaburan. Hal ini didukung oleh penelitian Rozi (2003), perlakuan terbaik untuk mematahkan dormansi benih Kayu Afrika yaitu perendaman dengan air selama 24 jam dengan
daya berkecambah sebesar 73% dan nilai perkecambahan sebanyak 3,92 kecambah/hari2.
Schmidt (2000) menambahkan, perendaman merangsang penyerapan lebih cepat. Bagaimanapun, perendaman yang berlangsung lama (contoh lebih dari 1 hari) harus dihindari karena mungkin menyebabkan anoksia. Bilamana perendaman diperlukan lebih lama, sebaiknya mengganti air secara teratur. Perendaman dalam air selama 6 hari terbukti cocok untuk alternatif perendaman dan pengeringan untuk mengatasi dormansi fisik dalam Jati (Tectona grandis) di India (Yadav 1992). Meskipun perkecambahan tertunda setelah perendaman yang berlangsung lama. Pengaruh perendaman yang berlangsung lama terhadap benih keras bervariasi dengan jenis. Dalam beberapa jenis benih secara bertahap dapat menyerap, jenis lain ada pengaruh sedikit dari perendaman yang berlangsung terus.
2.4.2 Perendaman air kelapa
Air kelapa telah diketahui sebagai sumber yang dapat digunakan untuk perkembangan embrio, diantaranya adalah sitokinin endogen (Wattimena 1988). Mumtazanas (2007) dan Santoso (2003) menambahkan air kelapa telah lama dikenal sebagai sumber zat tumbuh, yaitu sitokinin. Unsur-unsur yang terdapat dalam air kelapa yaitu unsur makro dan unsur mikro. Unsur makro yang terdapat dalam air kelapa yaitu karbon dan nitrogen berupa karbohidrat (glukosa, fruktosa dan sukrosa) dan protein (asam amino). Unsur mikro diantaranya kalium, natrium, kalsium, magnesium, fosfor dan sulfur.
Penggunaan air kelapa telah digunakan untuk memicu pertumbuhan dan perkembangan embrio benih, diantaranya benih Kemiri (Aleurites mollucana Wild.) yang direndam air kelapa selama 4 jam menghasilkan daya berkecambah sebesar 53,33% dan kecepatan berkecambah 0,6274%/hari (Suita & Naning 2004). Benih Tanjung (Mimusops elengi L.) yang direndam air kelapa selama 2 jam menghasilkan daya berkecambah rata-rata sebesar 96,67% dan kecepatan berkecambah 2,38%/hari (Suita 2004). Hasil Penelitian Kurniaty (2003), perlakuan pendahuluan terbaik untuk perkecambahan benih Cempaka Hutan (Ermerillia ovalis), yaitu benih yang direndam dalam air kelapa muda selama 120 menit menghasilkan daya berkecambah rata-rata sebesar 43,5%.
2.4.3 Perendaman H2SO4
Larutan asam sulfat pekat (H2SO4) menyebabkan kerusakan pada kulit biji
dan dapat diterapkan baik pada legum dan non legum. Lamanya perlakuan larutan asam harus memperhatikan dua hal yaitu kulit biji atau pericarp dapat diretakkan untuk memungkinkan imbibisi dan larutan asam tidak mengenai embrio. Pada
Cassia siamea, Kombo dan Hellum (1984) menemukan bahwa perendaman
selama 15-45 menit dalam larutan asam sulfat pekat menghasilkan perkecambahan 98%. Perendaman selama 1-10 menit terlalu cepat untuk dapat mematahkan dormansi, sedangkan perendaman selama 60 menit atau lebih dapat menyebabkan kerusakan (Schmidt 2000).
Menurut Sutopo (2004), larutan asam kuat seperti H2SO4 sering digunakan
dengan konsentrasi yang bervariasi sampai pekat tergantung jenis benih yang diperlakukan, sehingga kulit biji menjadi lunak. Disamping itu pula larutan kimia yang digunakan dapat pula membunuh cendawan atau bakteri yang dapat membuat benih dorman.
Berdasarkan penelitian Rozi (2003), perlakuan pendahuluan terhadap benih Kayu Afrika dengan perendaman larutan H2SO4 5% selama 24 jam
memberikan pengaruh yang terburuk dengan daya berkecambah sebesar 2% dan hasil penelitian Muharni (2002) perendaman dengan larutan H2SO4 20N selama
20 menit mampu meningkatkan nilai kecepatan tumbuh menjadi sebesar 1,59% KN/etmal dan daya berkecambah sebesar 46,79%.
2.4.4 Perendaman KNO3
Menurut Schmidt (2000), KNO3 atau Potasium Nitrat merupakan salah
satu perangsang perkecambahan yang sering digunakan. KNO3 digunakan baik
dalam hubungannya dengan pengujian dan dalam operasional perbanyakan tanaman. KNO3 mempunyai pengaruh yang kuat terhadap persentase
perkecambahan dan vigor pada perlakuan pendahuluan benih Acacia nilotica (Palani et al. 1995). Pada konsentrasi 1%, perkecambahan meningkat dari 37% (kontrol) menjadi 79% dan pada konsentrasi 2% meningkat menjadi 85%. Begitu pula dalam penelitian Muharni (2002), benih Kayu Afrika yang direndam dalam larutan KNO3 0,2% selama 30 menit dapat meningkatkan viabilitas benih dengan
nilai daya berkecambah dari 39,94% (kontrol) menjadi sebesar 50,13%. Dalam pengujian benih, 0,2% adalah konsentrasi yang dianjurkan ISTA (1996).
2.5 Ukuran Benih Berdasarkan Berat Benih
Dalam pengertian botanis, benih (seed) adalah benih yang berisi embrio yang diselimuti oleh endosperm atau perisperm dan lapisan pelindung (testa) atau kulit biji. Menurut Sutopo (2004), benih adalah simbol dari suatu permulaan, ia merupakan inti dari kehidupan di alam semesta dan yang paling penting adalah kegunaannya sebagai penyambung dari kehidupan tanaman. Benih disini adalah biji tanaman yang digunakan untuk tujuan pertanaman. Biji merupakan suatu bentuk tanaman mini (embrio) yang masih dalam keadaan perkembangan yang terkekang.
Pengkelasan benih menurut ukuran dapat berguna untuk meyakinkan perkecambahan yang lebih seragam kecepatan dan pertumbuhannya dalam setiap kelas. Implikasi genetis klasifikasi benih menurut ukuran secara umum telah diketahui. Secara umum hanya benih-benih yang paling berat yang digunakan untuk tanaman di persemaian dan ternyata hal ini dapat mengeliminasi sebagian besar variasi genetik di dalam lot benih. Ukuran benih sangat bervariasi khususnya pada benih yang memiliki bagian-bagian lain seperti sayap. Ukuran benih berkorelasi dengan vigor. Benih yang relatif berat lebih dipilih karena umumnya berhubungan dengan perkecambahan (Schmidt 2000).
Menurut Sutopo (2004), di dalam jaringan penyimpanan benih memiliki karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Di mana bahan-bahan ini diperlukan sebagai bahan baku dan energi bagi embrio pada saat perkecambahan. Diduga bahwa benih yang berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak dibandingkan benih yang kecil, mungkin pula embrionya lebih besar. Dikatakan pula bahwa berat benih berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan dan produksi, karena berat benih menentukan besarnya kecambah pada saat permulaan dan berat tanaman pada saat dipanen (Blackman 1999, diacu dalam Sutopo 2004). Hal ini juga dikemukakan oleh Schmidt (2000) benih yang relatif besar atau berat menandakan cadangan makanan yang berlimpah dari pohon induknya. Benih dengan cadangan makanan berlimpah menjamin periode pertumbuhan anakan yang lebih lama dalam lingkungan yang baru sebelum
tanaman mampu memanfaatkan hasil asimilasinya. Oleh karena itu biasanya ukuran benih dan anakan berkorelasi (Sorensen dan Campbell 1993, Hellum 1976). Benih dengan berat yang relatif rendah mungkin memerlukan beberapa penyesuaian kondisi penaburan agar perkecambahan berhasil. Mayer dan Mayber (1975) menambahkan, biji yang normal mengandung bahan makanan yang cukup untuk menyediakan kebutuhan energi disaat perkecambahan.
Hasil penelitian terhadap benih Diospyros celebica dimana benih D.
celebica yang berukuran besar (1,83-2,24 gram) memiliki daya berkecambah
tertinggi dibandingkan dengan benih berukuran sedang (1,41-1,82 gram) dan benih berukuran kecil (0,99-1,4 gram). Daya berkecambah benih D. celebica yang berukuran besar yaitu sebesar 87%, benih berukuran sedang sebesar 72% dan benih berukuran kecil sebesar 70 % (Heriyanto & Sutiyono 2001). Kartikasari (1999) menambahkan bahwa benih Jambu Mente (Anacardium occidentale) yang berukuran besar (6-8 gram) memiliki daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan keserempakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan benih berukuran kecil (4-5 gram). Daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan keserempakan tumbuh untuk benih berukuran besar masing-masing sebesar 96%, 5,86%/etmal dan 94,67%. Sedangkan daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan keserempakan tumbuh untuk benih yang berukuran kecil masing-masing sebesar 93,78%, 5,68%/etmal dan 91,11%.
Begitupun dengan hasil penelitian terhadap benih Kemiri (Aleurites
mollucana) dimana benih Kemiri yang berukuran besar (33,1-37,0 mm) dan
sedang (30,1-33,0 mm) lebih cepat berkecambah dan memiliki daya berkecambah tertinggi dibandingkan dengan benih berukuran kecil (25,5-30,0). Kecepatan berkecambah benih Kemiri yang berukuran besar sebesar 0,0469%/hari, benih berukuran sedang sebesar 0,5853%/hari dan benih berukuran kecil sebesar 0,0251%/hari. Untuk daya berkecambah benih Kemiri yang berukuran besar yaitu sebesar 20%, benih berukuran sedang sebesar 37,335% dan benih berukuran kecil sebesar 12 % (Suita et al. 2006).
2.6 Perkecambahan Benih
Menurut Schmidt (2000), perkecambahan merupakan batas antara benih yang masih tergantung pada sumber makanan dari induknya dengan tanaman yang
mampu berdiri sendiri dalam mengambil hara. Kondisi perkecambahan dan rentang toleransi untuk perkecambahan benih bervariasi tergantung jenis dan berhubungan dengan lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh. Jenis-jenis daerah beriklim sedang dan tinggi dapat berkecambah pada suhu rendah, sedangkan pada sebagian besar jenis tropis dataran rendah memerlukan suhu 20oC
atau lebih untuk berkecambah.
Perkecambahan ditentukan oleh kualitas benih (vigor dan kemampuan berkecambah), perlakuan awal (pematahan dormansi) dan kondisi perkecambahan seperti suhu, air, media, cahaya dan bebas dari hama penyakit.
Mutu fisiologi benih mencerminkan kemampuan benih untuk bisa hidup normal dalam kisaran keadaan alam yang cukup luas, mampu tumbuh cepat dan merata. Parameter untuk mengukur mutu fisiologis adalah viabilitas potensial dan vigor benih. Untuk mengetahui viabilitas potensial benih menggunakan tolok ukur daya berkecambah sedangkan tolok ukur kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan mencerminkan vigor benih.
Menurut Sutopo (2004), daya berkecambah benih memberikan informasi kepada pemakai benih akan kemampuan benih tumbuh normal menjadi tanaman yang berproduksi wajar dalam keadaan biofisik lapangan yang serba optimum. Pengujian daya berkecambah dimaksudkan untuk mengetahui mutu fisiologi benih yang digambarkan oleh pertumbuhan bagian-bagian struktur benih. Uji perkecambahan merupakan fungsi yang paling penting dan menentukan nilai benih-benih tersebut dalam penggunaannya di lapangan.
Sutopo (2004), menjelaskan proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Tahap pertama suatu perkecambahan benih dimulai dengan penyerapan air oleh benih, melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma. Tahap kedua dimulai dengan kegiatan-kegiatan sel dan enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi benih. Tahap ketiga merupakan tahap dimana terjadi penguraian bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak dan protein menjadi bentuk-bentuk yang melarut dan ditranslokasikan ke titik tumbuh. Tahap ke empat adalah asimilasi dari bahan-bahan yang telah diuraikan tadi di daerah meristematik untuk menghasilkan energi bagi kegiatan pembentukan komponen dan pertumbuhan
sel-sel baru. Tahap ke lima adalah pertumbuhan dari kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran dan pembagian sel-sel pada titik-titik tumbuh. Sementara daun belum dapat berfungsi sebagai organ untuk fotosintesa maka pertumbuhan kecambah sangat tergantung kepada persediaan makanan yang ada di dalam biji.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar terdiri dari air, suhu, oksigen, media dan cahaya. Sedangkan faktor dalam terdiri dari tingkat kemasakan benih, ukuran benih, dormansi dan pengambat perkecambahan.
Di dalam perkecambahan benih terdapat dua tipe pertumbuhan awal dari suatu kecambah tanaman yaitu:
a. Tipe Epigeal (Epigeous) dimana munculnya radikel diikuti dengan memanjangnya hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon dan plumula ke atas permukaan tanah. Contoh pinus (Pinus sp) dan tomat (Lycopersicon esculentum).
b. Tipe hypogeal (Hypogeous) dimana munculnya radikel diikuti dengan pemanjangan plumula, hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan tanah sedangkan kotiledon tetap berada di dalam kulit biji di bawah permukaan tanah, contoh jagung (Zea mays).
Untuk evaluasi kecambah digunakan kriteria sebagai berikut : a. Kecambah normal yaitu :
a) Kecambah yang memiliki perkembangan sistem perakaran baik terutama akar primer dan untuk tanaman yang secara normal menghasilkan akar seminal maka akar ini tidak boleh kurang dari dua kali panjang benih. b) Perkembangan hipokotil yang baik dan sempurna tanpa ada kerusakan
pada jaringan-jaringannya.
c) Pertumbuhan plumula yang sempurna dengan daun hijau dan tumbuh baik, di dalam atau muncul dari koleoptil atau pertumbuhan epikotil yang sempurna dengan kuncup yang normal.
d) Memiliki satu kotiledon untuk kecambah dari monokotil dan dua bagi dikotil.
b. Kecambah abnormal yaitu:
a) Kecambah yang rusak, tanpa kotiledon, embrio yang pecah dan akar primer yang pendek.
b) Kecambah yang bentuknya cacat, perkembangannya lemah atau kurang seimbang dari bagian-bagian yang penting. Plumula yang terputar, hipokotil, epikotil, kotiledon yang membengkok, akar yang pendek. Koleoptil yang pecah atau tidak mempunyai daun, kecambah yang kerdil. c) Kecambah yang tidak membentuk clorophyl.
d) Kecambah yang lunak.
e) Untuk benih pohon-pohonan bila dari microphyl keluar daun dan bukannya akar.
c. Mati
Kriteria ini ditujukan untuk benih-benih yang busuk sebelum berkecambah atau tidak tumbuh setelah jangka waktu pengujian yang ditentukan, tetapi bukan dalam keadaan dorman.
d. Benih keras
Benih yang pada akhir uji daya kecambah masih keras karena tidak menyerap air disebabkan oleh kulit biji yang impermeable, dianggap sebagai benih keras.
e. Benih yang belum busuk tetapi tidak berkecambah.
Kriteria ini ditujukan pada benih yang tidak busuk, masih hidup dan sudah membengkak tatapi belum berkecambah. Untuk benih-benih yang demikian harus disebutkan sebagai persentase tersendiri dan dapat diberi perlakuan tertentu yaitu diperpanjang waktu pengujiannya, diberi perlakuan khusus atau uji biokimia.
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan November 2008 di rumah kaca Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP) Bogor.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya: oven, timbangan analitik, desikator, cawan porselen, kamera, label, kantong plastik, papan dan plastik transparan. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan yaitu: benih Kayu Afrika (M. eminii Engl.) yang berasal dari Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat, media perkecambahan (campuran pasir dan tanah 1:1), air kelapa, larutan KNO3, larutan H2SO4, aquades dan air.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengunduhan buah
Pengunduhan buah Kayu Afrika dilakukan 2 kali yaitu tanggal 9 Juli 2008 untuk percobaan pertama dan tanggal 8 Agustus 2008 untuk percobaan ke dua. Pengunduhan buah Kayu Afrika dilakukan dengan metode pengumpulan dilantai hutan. Buah Kayu Afrika yang dikumpulkan adalah benih yang telah mencapai masak fisiologis yaitu yang berwarna ungu kehitaman.
3.3.2 Ekstraksi benih
Benih yang sudah diunduh kemudian diektraksi untuk mengeluarkan benih masak dari buahnya. Cara ektraksi untuk benih Kayu Afrika yaitu dengan merendam buah dalam air selama ± 1 jam dan membersihkan daging buahnya secara manual. Sisa daging buah yang menempel pada kulit benih dibersihkan dengan sikat dan paranet untuk mencegah serangan jamur. Kemudian benih dikering anginkan selama 2 hari. Benih yang telah diekstraksi dan dikering anginkan, kemudian dihitung kadar air dan berat 1000 butir benih. Selanjutnya diberi perlakuan pendahuluan dan ditabur. Untuk percobaan kedua benih yang telah diekstraksi dan dikering anginkan serta dihitung kadar air dan berat 1000 butir benihnya kemudian disimpan di ruang DCS (Dry Cold Storage).
3.3.3 Penentuan kadar air benih
Pengukuran kadar air benih dilakukan dengan menggunakan metode oven pada suhu 103 ± 2o C selama 17 ± 1 jam. Benih diambil secara acak dengan berat masing-masing contoh kerja sebanyak 10 gram dalam 4 kali ulangan. Penimbangan benih dilakukan dalam satuan gram dengan dua angka desimal.
Langkah pertama yaitu mempersiapkan 4 cawan porselen dimana wadah dan tutup cawan porselen ditimbang (M1). Kedua, benih dimasukan (sebelum
benih dimasukkan ke dalam wadah, benih digiling terlebih dahulu) ke dalam wadah dan ditimbang (M2). Keempat ulangan dimasukkan ke dalam oven pada
suhu 103 ± 2o C selama 17 ± 1 jam. Penutup wadah dibuka untuk memungkinkan
penguapan air dari benih selama dioven. Pada akhir periode pengeringan, wadah ditutup kembali dan diletakkan di dalam desikator yang berisi silica gel selama 30 menit. Kemudian wadah, tutup dan isinya ditimbang (M3). Kadar air dihitung
dengan rumus sebagai berikut (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2002). (M2 – M3)
Kadar air = x 100 % (M2 – M1)
Keterangan :
M1 : Berat wadah dan tutup (gram)
M2 : Berat wadah, tutup dan isinya sebelum pengeringan (gram)
M3 : Berat wadah, tutup dan isinya setelah pengeringan (gram)
3.3.4 Penentuan berat 1000 butir benih
Menurut Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2002), pengukuran berat 1000 butir benih dilakukan dengan cara menimbang berat 8 contoh kerja masing-masing 100 butir benih secara acak (dalam gram). Dalam penentuan berat 1000 butir terlebih dahulu dihitung parameter-parameter populasi dengan rumus sebagai berikut:
a. Keragaman (s2)
Keterangan :
xi = berat 100 benih (gram) ulangan ke-i
n = jumlah ulangan (8) b. Simpangan Baku (s) c. Koefisien Keragaman (CV) CV = s x 100 % x Keterangan :
x : Rata-rata berat 100 benih
Menurut Sutopo (2004) jika koefisien keragaman tidak lebih dari 6,0 % untuk benih rumput-rumputan atau 4,0 % untuk benih lainnya, maka berat 1000 butir benih dapat dihitung sebagai 10 kali x.
Berat 1000 butir benih diperoleh dengan mengalikan berat rata-rata 100 benih ( x ) dengan nilai 10. Berat 1000 butir benih dapat diubah ke dalam jumlah benih per kg dengan rumus (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002):
1000
Jumlah benih per kg = x 1000 Berat 1000 benih
3.3.5 Pelaksanaan percobaan
Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yaitu percobaan I untuk mengetahui pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika dan percobaan II untuk mengetahui pengaruh berat benih terhadap perkecambahan benih Kayu Afrika. Perlakuan pendahuluan pada percobaan I yang paling baik selanjutnya digunakan untuk perlakuan pendahuluan pada percobaan II.
3.3.5.1 Percobaan I (Pengaruh Perlakuan Pendahuluan terhadap Perkecambahan Benih Kayu Afrika)
Perlakuan pendahuluan untuk mematahkan dormansi benih Kayu Afrika terdiri dari 12 perlakuan, yaitu dengan merendam benih dalam air kelapa selama 1 jam, 2 jam dan 3 jam, direndam dalam air dingin selama 24 jam, 48 jam dan 72
jam, direndam dalam larutan H2SO4 1% selama 10 menit, 20 menit dan 30 menit
dan direndam dalam larutan KNO3 0,2% selama 15 menit, 30 menit dan 45 menit.
3.3.5.1.1 Perkecambahan benih
Benih dikecambahkan pada bedeng tabur dengan menggunakan media campuran tanah dan pasir (1:1). Benih ditabur dengan posisi horizontal pada kedalaman 1 cm. Setelah benih ditabur kemudian benih ditutup/dilapisi dengan pasir tanah. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari atau tergantung kondisi cuaca.
3.3.5.1.2 Pengamatan dan perolehan data
Pengamatan perkecambahan dilakukan setiap hari dengan mencatat jumlah kecambah normal yang tumbuh. Pengamatan dilakukan selama 50 hari. Setelah pengamatan selesai dilakukan penghitungan jumlah kecambah normal yang tumbuh kemudian dihitung daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan.
a. Daya berkecambah (DB)
Daya berkecambah merupakan tolok ukur viabilitas potensial yang menunjukkan kemampuan benih tumbuh pada kondisi optimum dan menumbuhkan tanaman normal yang berproduksi normal. Daya berkecambah dihitung dengan rumus sebagai berikut (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2002):
Jumlah Kecambah Normal
Daya berkecambah (%) = x 100 % Jumlah Benih Ditabur
b. Kecepatan tumbuh (Kct)
Pengamatan kecepatan tumbuh dilakukan setiap hari terhadap persentase kecambah normal dalam satuan waktu tertentu (etmal atau 24 jam). Kecepatan tumbuh diperhitungkan sebagai akumulasi kecepatan tumbuh setiap hari dalam unit tolok ukur persentase per hari. Benih vigor menunjukkan nilai kecepatan tumbuh yang tinggi, karena benih itu berarti berkecambah cepat pada waktu yang relatif lebih singkat. Benih yang kurang vigor akan berkecambah normal untuk jangka waktu yang lebih lama. Penghitungan kecepatan tumbuh ini berdasarkan rumus Thronebery dan Smith (Sadjad 1999):
Kct =
t
N
t
n∑
0 Keterangan :Kct = kecepatan tumbuh (% KN/etmal) N = persentase kecambah normal (% KN) t = waktu pengamatan (etmal)
0- tn = waktu pengamatan dari hari ke-0 sampai hari ke-n
c. Nilai perkecambahan (NP)
Nilai perkecambahan adalah indeks yang menyatakan kecepatan dan kesempurnaan benih untuk berkecambah. Nilai perkecambahan yang tinggi menunjukkan perkecambahan yang sempurna dan cepat. Kecepatan perkecambahan dinyatakan sebagai nilai puncak (Peak Value). Nilai Puncak merupakan nilai tertinggi dari hasil bagi persen kecambah pada hari ke-n tersebut sedangkan rata-rata perkecambahan harian (Mean Daily Germination) merupakan jumlah persen kecambah pada akhir periode dibagi dengan lama hari pengamatan. Untuk menghitung nilai perkecambahan digunakan rumus (Czabator 1962, diacu dalam Sadjad 1999 dan Sotopo 2004) sebagai berikut:
NP (kecambah/hari2) = PV x MDG
PV (% kecambah/hari) = % perkecambahan tertinggi
Σ hari yang diperlukan untuk mencapainya
MDG (% kecambah/hari) = % perkecambahan akhir periode
Jumlah hari uji seluruhnya
3.3.5.1.3 Rancangan percobaan
Percobaan I menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 faktor, yaitu perlakuan pendahuluan. Faktor tersebut terdiri dari 12 taraf yaitu : K1 = perendaman dengan air kelapa selama 1 jam
K2 = perendaman dengan air kelapa selama 2 jam K3 = perendaman dengan air kelapa selama 3 jam K4 = perendaman dengan air selama 24 jam K5 = perendaman dengan air selama 48 jam
K6 = perendaman dengan air selama 72 jam
K7 = perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit
K8 = perendaman dengan H2SO4 1% selama 20 menit
K9 = perendaman dengan H2SO4 1% selama 30 menit
K10 = perendaman dengan KNO3 0,2% selama 15 menit
K11 = perendaman dengan KNO3 0,2% selama 30 menit
K12 = perendaman dengan KNO3 0,2% selama 45 menit
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 36 unit percobaan, setiap unit percobaan menggunakan 50 butir benih.
Model statistik yang digunakan yaitu: Y ij = µ + τ i + ε ij
Keterangan:
Y ij = pengamatan pada perlakuan pendahuluan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum
τ i = pengaruh perlakuan pendahuluan ke-i
ε ij = pengaruh acak pada perlakuan pendahuluan ke-i dan ulangan ke-j
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, dilakukan sidik ragam. Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, kemudian dilakukan uji beda Duncan. Pengolahan data hasil pengamatan dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 12.0.
3.3.5.2 Percobaan II (Pengaruh Berat Benih terhadap Perkecambahan Benih Kayu Afrika)
3.3.5.2.1 Seleksi benih berdasarkan berat benih
Penentuan ukuran benih Kayu Afrika dilakukan berdasarkan berat (gram). Pengukuran berat benih dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik (OHauss). Data diolah dengan program SPSS (Analisis Frequencies) untuk menentukan kelas ukuran benih berdasarkan berat benih, yaitu :
U1 = benih berat ≥ 1,50 gram
U2 = benih sedang 1,250 gram – 1,50 gram U3 = benih ringan ≤ 1,25 gram
Setelah diperoleh kelas ukuran berdasarkan berat benih, kemudian dilakukan penimbangan benih dan dikelompokkan sesuai dengan kelas benih yang telah ditentukan.
3.3.5.2.2 Perkecambahan benih
Benih yang telah disimpan di ruang DCS (Dry Cold Storage) selama 4 minggu, kemudian diberi perlakuan dengan perendaman H2SO4 1% selama 10
menit dan dikecambahkan pada bedeng tabur dengan menggunakan media campuran tanah dan pasir (1:1). Benih ditabur dengan posisi horizontal pada kedalaman 1 cm. Setelah benih ditabur kemudian benih ditutup/dilapisi dengan pasir tanah. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari atau tergantung kondisi cuaca.
3.3.5.2.3 Pengamatan dan perolehan data
Pengamatan perkecambahan dilakukan setiap hari dengan mencatat jumlah kecambah normal yang tumbuh. Pengamatan dilakukan selama 50 hari. Setelah pengamatan selesai dilakukan penghitungan jumlah kecambah normal yang tumbuh kemudian dihitung daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan.
a. Daya berkecambah (DB)
Daya berkecambah merupakan tolok ukur viabilitas potensial yang menunjukkan kemampuan benih tumbuh pada kondisi optimum dan menumbuhkan tanaman normal yang berproduksi normal. Daya berkecambah dihitung dengan rumus sebagai berikut (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2002):
Jumlah Kecambah Normal
Daya berkecambah (%) = x 100 % Jumlah Benih Ditabur
b. Kecepatan tumbuh (Kct)
Pengamatan kecepatan tumbuh dilakukan setiap hari terhadap persentase kecambah normal dalam satuan waktu tertentu (etmal atau 24 jam). Kecepatan tumbuh diperhitungkan sebagai akumulasi kecepatan tumbuh setiap hari dalam unit tolok ukur persentase per hari. Benih vigor menunjukkan nilai kecepatan tumbuh yang tinggi, karena benih itu berarti berkecambah cepat pada waktu yang
relatif lebih singkat. Benih yang kurang vigor akan berkecambah normal untuk jangka waktu yang lebih lama. Penghitungan kecepatan tumbuh ini berdasarkan rumus Thronebery dan Smith (Sadjad 1999):
Kct =
t
N
t
n∑
0 Keterangan :Kct = kecepatan tumbuh (% KN/etmal) N = persentase kecambah normal (% KN) t = waktu pengamatan (etmal)
0-tn = waktu pengamatan dari hari ke-0 sampai hari ke-n c. Nilai perkecambahan (NP)
Nilai perkecambahan adalah indeks yang menyatakan kecepatan dan kesempurnaan benih untuk berkecambah. Nilai perkecambahan yang tinggi menunjukkan perkecambahan yang sempurna dan cepat. Kecepatan perkecambahan dinyatakan sebagai nilai puncak (Peak Value). Nilai puncak merupakan nilai tertinggi dari hasil bagi persen kecambah pada hari ke-n tersebut sedangkan rata-rata perkecambahan harian (Mean Daily Germination) merupakan jumlah persen kecambah pada akhir periode dibagi dengan lama hari pengamatan. Untuk menghitung nilai perkecambahan digunakan rumus (Czabator 1962, diacu dalam Sadjad 1999 dan Sotopo 2004) sebagai berikut:
NP (kecambah/hari2) = PV x MDG
PV (% kecambah/hari) = % perkecambahan tertinggi
Σ hari yang diperlukan untuk mencapainya
MDG (% kecambah/hari) = % perkecambahan akhir periode
Jumlah hari uji seluruhnya
3.3.5.2.4 Rancangan percobaan
Percobaan II menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 faktor, yaitu berat benih. Faktor tersebut terdiri dari 3 taraf yaitu :
U1 = benih berat ≥ 1,50 gram
U2 = benih sedang 1,25 gram – 1,50 gram U3 = benih ringan ≤ 1,25 gram
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 9 unit percobaan, setiap unit percobaan menggunakan 50 butir benih.
Model statistik yang digunakan yaitu: Y ij = µ + τ i + ε ij
Keterangan:
Y ij = pengamatan pada perlakuan ukuran benih ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum
τ i = pengaruh perlakuan ukuran benih ke-i
ε ij = pengaruh acak pada perlakuan ukuran benih ke-i dan ulangan ke-j
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, dilakukan sidik ragam. Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, kemudian dilakukan uji beda Duncan. Pengolahan data hasil pengamatan dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 12.0.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Kadar air benih
Benih Kayu Afrika yang berasal dari Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi memiliki kadar air benih berkisar antara 15,75%-16,95%. Pada pengumpulan pertama, rata-rata kadar air diperoleh sebesar 16,58% sedangkan pengumpulan ke-2 sebesar 15,86%. Data secara lengkap dapat dilihat pada Tabel1.
Tabel 1 Kadar air benih Kayu Afrika
Pengumpulan Ulangan Kadar Air (%)
1 16,74 2 16,95 3 16,59 4 16,05 1 Rata-rata 16,58 1 16,05 2 15,87 3 15,75 4 15,78 2 Rata-rata 15,86 4.1.2 Berat 1000 butir benih
Hasil penghitungan berat 1000 butir benih Kayu Afrika (Lampiran 5) untuk pengumpulan benih pertama, berat 100 butir benih berkisar antara 138-148 gram dengan nilai koefisien keragaman (CV) sebesar 2,3%. Berat 1000 butir benih diperoleh dengan mengalikan berat rata-rata 100 benih (143,63 gram) dengan nilai 10, yaitu sebesar 1436,3 gram dan jumlah benih per/kg sebesar 696 butir/kg. Sedangkan pengumpulan kedua, berat 100 butir benih berkisar antara 133-141 gram dengan nilai koefisien keragaman (CV) sebesar 1,95%. Berat 1000 butir benih diperoleh dengan mengalikan berat rata-rata 100 benih (137,87 gram) dengan nilai 10, yaitu sebesar 1378,7 gram dan jumlah benih per/kg sebesar 725 butir/kg.