PERKECAMBAHAN BENIH PASAK BUMI
(Eurycoma longifolia) DENGAN BERBAGAI
PERLAKUAN PEMATAHAN DORMANSI
_________________
Hasil Penelitian
Oleh:
NURKHOLILA HARAHAP
021202010/BUDIDAYA HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERKECAMBAHAN BENIH PASAK BUMI
(Eurycoma longifolia) DENGAN BERBAGAI
PERLAKUAN PEMATAHAN DORMANSI
_______________ Hasil Penelitian
Oleh:
NURKHOLILA HARAHAP 021202010/BUDIDAYA HUTAN
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melaksanakan Penelitian Di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara Medan
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Perkecambahan Benih Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormansi
Nama : Nurkholila Harahap
NIM : 021202010
Program Studi : Budidaya Hutan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Afifuddin Dalimunthe, SP, MP) (Ir. Haryati, MP) NIP. 132 302 941 NIP. 131 875 100
Mengetahui, Ketua Departemen
PERKECAMBAHAN BENIH PASAK BUMI
(Eurycoma longifolia) DENGAN BERBAGAI
PERLAKUAN PEMATAHAN DORMANSI
1___________________________
Ringkasan Hasil Penelitian
Oleh:
NURKHOLILA HARAHAP
2021202010/BUDIDAYA HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Sekitar 26 % telah
dibudidayakan dan sisanya sekitar 74 % masih tumbuh liar di hutan-hutan. Dari
yang telah dibudidayakan, lebih dari 940 jenis digunakan sebagai obat tradisional.
Pemakaian tanaman obat dalam dekade terakhir ini cenderung meningkat sejalan
dengan berkembangnya industri jamu atau obat tradisional, farmasi, kosmetik,
makanan dan minuman. Tanaman obat yang dipergunakan biasanya dalam bentuk
simplisia (bahan yang telah dikeringkan dan belum mengalami pengolahan apa
pun). Simplisia tersebut berasal dari akar, daun, bunga, biji, buah, terna dan kulit
batang (Syukur dan Hernani, 2001).
Di antara tanaman obat tersebut adalah akar pasak bumi yang secara
tradisional digunakan antara lain sebagai: tonikum pascapartum, anti mikroba, anti
hipertensi, anti inflamasi, antipiretik, mengobati sakit perut, ulkus, malaria,
disentri dan yang paling dikenal adalah sebagai obat kuat (afrodisiak)
(Nainggolan dan Simanjuntak, 2005). Kegunaan pasak bumi bertumpu pada
ciri-ciri afrodisiaknya. Antara lain kandungan aktif yang terdapat dalam pasak bumi
ialah alkaloid, saponins, quassinoids, erycomanone dan eurycomalactone. Phyto
compounds yang terdapat dalam pasak bumi dapat membantu merangsangkan
pengeluaran hormon testosterone (Portal Komuniti Herba, 2005). Dari beberapa
penelitian tumbuhan afrodisiak mengandung senyawa-senyawa turunan saponin,
alkaloid, tanin, dan senyawa-senyawa lain yang secara fisiologis dapat
sirkulasi darah tepi (perifer). Peningkatan sirkulasi darah ini akan memperbaiki
aktivitas jaringan tubuh sehingga secara tidak langsung akan memperbaiki fungsi
organ (Intisari Online, 2001).
Menurut Hasanah dan Rusmin (2006), permasalahan yang dihadapi dalam
pengembangan industri obat tradisional adalah sebagian besar bahan baku (80%)
berasal dari hutan atau habitat alami dan sisanya (20%) dari hasil budidaya
tradisional. Penyediaan bahan baku yang masih mengandalkan pada alam tersebut
telah mengakibatkan terjadinya erosi genetik pada sedikitnya 54 jenis tanaman
obat. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku secara berkesinambungan serta
mengantisipasi permintaan yang terus meningkat tiap tahunnya maka perlu
dilakukan pengembangan usaha tani tanaman obat.
Menurut Setiawan (1996), perbanyakan secara generatif, selain ekonomis
juga mudah dilakukan dan menghasilkan bibit dengan perakaran yang kuat. Salah
satu kendala dalam perbanyakan generatif adalah dormansi pada benih tersebut
yang menyebabkan benih susah untuk berkecambah. Menurut Wirawan dan
Wahyuni (2002) dormansi benih merupakan kondisi benih yang tidak mampu
berkecambah meski kondisi lingkungannya optimum untuk berkecambah.
Ditambahkan oleh Sutopo (2002), bahwa dormansi pada benih disebabkan oleh
keadaan fisik dari kulit biji, keadaan fisiologis dari embrio atau kombinasi dari
kedua keadaan tersebut, seperti kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi
penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas. Biji pasak bumi
terdiri dari dua kotiledon diliputi dengan lapisan membran yang tipis, diikuti
dengan endokap yang keras dan eksokap yang tipis di bagian luar
Oleh karena itu diperlukan cara-cara agar dormansi dapat dipecahkan atau
sekurang-kurangnya masa dormansinya dapat dipersingkat. Beberapa cara yang
telah diketahui adalah dengan perlakuan mekanis berupa skarifikasi seperti
mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas ampelas, perlakuan dengan
menggunakan bahan-bahan kimia seperti HNO3 dan KNO3, perlakuan
perendaman dengan air, dan perlakuan pemberian temperatur tertentu (stratifikasi)
(Sutopo, 2002).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian guna mengetahui perlakuan pematahan dormansi yang mana yang
terbaik untuk perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan perlakuan pematahan
dormansi terbaik untuk perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).
Hipotesis
Berbagai perlakuan pematahan dormansi dapat mempercepat
TINJAUAN PUSTAKA
Penyebaran dan Morfologi Pasak Bumi (E. longifolia)
Tanaman ini bisa dijumpai di sekitar Asia Tenggara, seperti Indonesia,
Malaysia, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam. Di Indonesia hanya terdapat di
Sumatera dan Kalimantan, itu pun dalam jumlah sedikit (Sinar Harapan, 2003).
Pasak bumi sudah sejak lama digunakan oleh suku-suku di Indonesia. Ini dapat
dilihat dari nama daerahnya yang begitu banyak dan beragam. Sumatera: kayu
kebel (Lampung), bidara putih (Palembang), bidara laut, bidara putih (Sumatera
Utara), pule, bidara laut, kayu lawang (Bangka), bedara puti (Belitung), kayu
petimah (Aceh), besan peku gancang, begu gajan (Batak), Sulawesi: bidara mapai
(Bugis), bidara pai, kayu pai (Makassar), Jawa: babi kurus (Jakarta), widara putih
(Jawa), Kalimantan: pasak bumi (Banjar), bidara pahit, dara pahit (Kalimantan
Timur), tanyu ulat (Kalimantan Tengah), sahalai, tunglirit (Kalimantan Tengah)
(Republika Online, 2006).
Dalam dunia tumbuhan tanaman pasak bumi tersusun dalam sistematika
sebagai berikut:
Divisio
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies : Eurycoma longifolia
Umumnya tanaman pasak bumi berbentuk semak atau pohon kecil yang
tingginya mencapai 10 m, berdaun majemuk, menyirip ganjil, ibu tangkainya
mencapai 1 m, mengelompok di ujung ranting. Masing-masing penggabungan
daun terdiri dari 30-40 kumpulan daun. Masing-masing sekelompok daun
kira-kira 5-20 cm panjangnya dan 1,5-6 cm luasnya. Anak daun berhadapan, berbentuk
lanset atau agak berbentuk bundar telur dengan ujung agak meruncing. Akar
utama, berbentuk silinder biasanya tidak bercabang, berwarna putih
kekuning-kuningan di dalamnya dan sangat pahit (Ismail et al 1999).
Tanaman ini merupakan tanaman dioecious, yaitu mempunyai dua jenis
kelamin bunga. Bunga yang berwarna merah kejinggaan keluar dari ketiak daun
dan seluruh bagiannya berbulu-bulu halus dengan benjolan kelenjar di ujungnya.
Bunga jantan tumbuh dengan putik steril. Sementara bunga betina juga dilengkapi
dengan benang sari steril. Buahnya berbentuk elips, berwarna hijau dan berubah
menjadi hitam kemerahan saat masak (Sinar Harapan, 2003). Biji pasak bumi
terdiri dari dua kotiledon diliputi dengan lapisan membran yang tipis, diikuti
dengan endokap yang keras dan eksokap yang tipis di bagian luar
(Nooteboom, 1972 dalam Siregar, 2000). Bunga dan buah pasak bumi selalu
tumbuh sepanjang tahun. Biasanya bunga mekar sekitar bulan Juni sampai Juli.
Sementara buahnya masak pada bulan September (Sinar Harapan, 2003).
Persyaratan Tumbuh Pasak Bumi (E. longifolia)
Tanaman pasak bumi tumbuh dengan baik di hutan tropika yang bertanah
pasir (Nooteboom, 1972 dalam Siregar, 2000). Biasanya pasak bumi hidup di
dimiliki rata-rata 25 0C dengan kelembaban udara 86 %. Tanaman ini juga suka
tumbuh di tanah masam dan berpasir, 700 meter di atas permukaan laut. Setelah
melalui masa muda, tanaman ini membutuhkan lebih banyak sinar matahari untuk
membantu perkembangan vegetatif dan sistem reproduksinya
(Sinar Harapan, 2003).
Perkecambahan Benih
Perkecambahan adalah permulaan munculnya pertumbuhan aktif yang
menghasilkan pecahnya kulit biji dan munculnya semai. Perkecambahan meliputi
peristiwa-peristiwa fisiologis dan morfologis sebagai berikut: (1) imbibisi dan
absorpsi air, (2) hidrasi jaringan, (3) absorpsi oksigen, (4) pengaktifan enzim dan
pencernaan, (5) transpor molekul yang terhidrolisis ke sumbu embrio,
(6) peningkatan respirasi dan asimilasi, (7) inisiasi pembelahan dan pembesaran
sel, dan (8) munculnya embrio (Gardner et al 1991).
Proses awal perkecambahan adalah proses imbibisi, yaitu masuknya air ke
dalam benih sehingga kadar air di dalam benih itu mencapai persentase tertentu
(antara 50 - 60%). Proses perkecambahan dapat terjadi jika kulit benih permeabel
terhadap air dan tersedia cukup air dengan tekanan osmosis tertentu. Bersamaan
dengan proses imbibisi akan terjadi peningkatan laju respirasi yang akan
mengaktifkan enzim-enzim yang terdapat di dalamnya sehingga terjadi proses
perombakan cadangan makanan (katabolisme) yang akan menghasilkan energi
ATP dan unsur hara yang diikuti oleh pembentukan senyawa protein (anabolisme
/ sintesis protein) untuk pembentukan sel-sel baru pada embrio. Kedua proses ini
imbibisi kulit benih akan menjadi lunak dan retak-retak. Pembentukan sel-sel baru
pada embrio akan diikuti proses difrensiasi sel-sel sehingga terbentuk plumula
yang merupakan bakal batang dan daun serta radikula yang merupakan bakal akar.
Kedua bagian ini akan bertambah besar sehingga akhirnya benih akan
berkecambah (emergence) (Kuswanto, 1996).
Menurut Sutopo (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan
benih terdiri dari faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam yang mempengaruhi
perkecambahan benih antara lain adalah:
1. Tingkat kemasakan benih.
Benih yang dipanen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai tidak
mempunyai viabilitas tinggi. Bahkan pada beberapa jenis tanaman, benih yang
demikian tidak akan dapat berkecambah. Diduga pada tingkatan tersebut benih
belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio
belum sempurna.
2. Ukuran benih
Di dalam jaringan penyimpanannya benih memiliki karbohidrat, protein,
lemak dan mineral. Dimana bahan-bahan ini diperlukan sebagai bahan baku dan
energi bagi embrio pada saat perkecambahan. Diduga bahwa benih yang
berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak
dibandingkan dengan benih yang kecil, mungkin pula embrionya lebih besar.
3. Dormansi
Periode dormansi ini dapat berlangsung musiman atau dapat juga selama
4. Penghambat perkecambahan
Banyak zat-zat yang diketahui dapat menghambat perkecambahan benih,
diantaranya larutan dengan tingkat osmotik tinggi seperti larutan mannitol dan
larutan NaCl; bahan-bahan yang mengganggu lintasan metabolisme, umumnya
menghambat respirasi seperti sianida dan fluorida; Herbisida; Coumarin; Auxin;
dan bahan-bahan yang terkandung dalam buah.
Menurut Kuswanto (1996), faktor luar (lingkungan) yang mempengaruhi
perkecambahan antara lain adalah:
1. Air.
Air merupakan salah satu faktor yang mutlak diperlukan dan tidak dapat
digantikan oleh faktor lain, seperti pemberian rangsangan atau perlakuan untuk
memacu agar benih dapat berkecambah. Benih hanya akan berkecambah jika
kadar airnya mencapai 50 – 60 %.
2. Komposisi gas
Benih yang telah berimbibisi akan meningkatkan laju respirasi karena
kenaikan aktivitas enzim pernafasan akan mengakibatkan kebutuhan oksigen (O2)
juga meningkat. Seringkali dijumpai benih dengan kulit benih yang impermeabel
terhadap gas-gas, sehingga menghambat proses pernafasan yang akan
mengakibatkan tidak terjadinya proses perkecambahan. Untuk mengatasinya perlu
diberi perlakuan secara fisik, mekanis, kimiawi atau biologis sehingga kulit benih
menjadi permeabel terhadap berbagai gas.
3. Suhu.
Suhu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses
aktivitas enzim-enzim yang terdapat di dalam benih tersebut. Suhu juga
mempengaruhi sintesis dan kepekaan benih terhadap cahaya. Suhu yang
dibutuhkan selama proses perkecambahan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Suhu minimum, yaitu suhu terendah di mana benih masih dapat
berkecambah secara normal, dan di bawah suhu tersebut benih tidak dapat
berkecambah secara normal atau bahkan tidak berkecambah sama sekali.
b. Suhu optimum, yaitu suhu yang paling sesuai untuk perkecambahan benih.
c. Suhu maksimum, yaitu suhu tertinggi di mana benih masih dapat
berkecambah secara normal dan bila perkecambahan terjadi di atas suhu
maksimum ini maka benih akan berkecambah secara tidak normal atau
bahkan tidak dapat berkecambah.
4. Cahaya.
Selama proses perkecambahan ada benih yang membutuhkan cahaya, terutama
benih yang memiliki pigmen pada kulitnya yang berfungsi sebagai fotosel yang
dapat mengubah cahaya matahari menjadi energi yang dapat membantu
meningkatkan laju respirasi dan sebagai energi untuk reaksi kimiawi yang bersifat
endodermis.
Menurut Sutopo (2002), kebutuhan benih terhadap cahaya untuk
perkecambahannya berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman. Berdasarkan
pengaruh cahaya terhadap perkecambahan benih diklasifikasikan atas 4 golongan,
yaitu golongan yang memerlukan cahaya secara mutlak untuk perkecambahan,
golongan yang memerlukan cahaya untuk perkecambahan, golongan dimana
benih dapat menghambat perkecambahan dan golongan dimana benih dapat
5. Medium.
Medium yang baik untuk perkecambahan benih haruslah mempunyai sifat
fisik yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyimpan air serta bebas dari
organisme penyakit terutama cendawan.
Menurut Kartasapoetra (2003), tipe perkecambahan benih mungkin saja
hipogeal atau mungkin pula epigeal. Pada kecambah hipogeal kotiledon tetap
berada di dalam kulit biji di bawah permukaan tanah karena hipokotil tidak
memanjang ke atas permukaan tanah. Tetapi pada kecambah epigeal kotiledon
terangkat ke atas karena hipokotil bertambah panjang lebih cepat dari epikotil.
Dormansi Benih
Menurut Gardner et al (1991), dormansi yaitu suatu keadaan pertumbuhan
yang tertunda atau dalam keadaan istirahat, yang merupakan kondisi yang
berlangsung selama periode yang tidak terbatas walaupun berada dalam keadaan
yang menguntungkan untuk perkecambahan. Dormansi merupakan keadaan biji
tetap viable (hidup), tapi tak mampu berkecambah atau tumbuh karena alasan
kondisi luar atau kondisi dalam benih. Kondisi dalam yang dimaksud adalah
embrio belum mencapai kematangan morfologis dan kondisi luar yang dimaksud
adalah kondisi biji seperti biji terlalu kering atau terlalu dingin
(Salisbury dan Ross, 1995). Ditambahkan oleh Mugnisjah (1994), dormansi juga
dapat sebagai salah satu strategi benih-benih tumbuhan agar dapat mengatasi
lingkungan sub optimum guna mempertahankan kelanjutan spesiesnya.
Menurut Sutopo (2002), dormansi benih terbagi atas dua tipe, yaitu
a. Dormansi Fisik
Dormansi fisik: yang menyebabkan pembatasan struktural terhadap
perkecambahan, seperti: kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi
penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas pada beberapa jenis benih
tanaman. Penyebab dormansi fisik ini antara lain:
- Impermeabilitas kulit biji terhadap air
- Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio
- Permeabilitas yang rendah dari kulit terhadap gas-gas
b. Dormansi Fisiologis
Dormansi fisiologis: dapat disebabkan oleh sejumlah mekanisme, umumnya
dapat disebabkan pengatur tumbuh baik penghambat atau perangsang tumbuh,
dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor dalam seperti immaturity atau
ketidakmasakan embrio, dan sebab-sebab fisiologis lainnya.
Menurut Kuswanto (1996), peristiwa dormansi ini terjadi karena
faktor-faktor sebagai berikut:
1. Ketidakdewasaan embrio. Hal ini terjadi karena benih sudah dipanen sebelum
mencapai masak fisiologis atau karena adanya hambatan perkembangan
embrio.
2. Kebutuhan faktor khusus. Artinya, untuk mengecambahkan benih tersebut
diperlukan perlakuan khusus agar benih dapat berkecambah.
3. Kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas sehingga tidak terjadi
imbibisi dan oksigen tidak dapat masuk ke dalam benih sehingga proses
4. Halangan perkembangan embrio atau hambatan mekanis. Hal ini disebabkan
kulit benih yang terlalu keras sehingga pada waktu benih berimbibisi kulit
benih tidak melunak atau retak-retak sehingga embrio tidak dapat keluar
akibatnya benih tidak berkecambah.
5. Adanya zat penghambat di dalam benih atau permukaan benih dengan
konsentrasi yang masih cukup tinggi setelah benih berimbibisi sehingga
mengakibatkan proses perkecambahan benih jadi terhambat.
Perlakuan Pematahan Dormansi
Menurut Sutopo (2002), dipandang dari segi ekonomis terdapatnya
keadaan dormansi pada benih dianggap tidak menguntungkan. Oleh karena itu
diperlukan perlakuan agar dormansi dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya
lama dormansinya dapat dipersingkat.
1. Perlakuan Mekanis
Perlakuan mekanis umum dipergunakan untuk memecahkan dormansi benih
yang disebabkan oleh impermeabilitas kulit biji baik terhadap air atau gas,
resistensi mekanis yang terdapat pada kulit biji. Perlakuan mekanis yang
dilakukan yaitu dengan mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas ampelas
yang bertujuan untuk melemahkan kulit biji yang keras, sehingga lebih permeabel
terhadap air atau gas.
2. Perlakuan Kimia
Perlakuan dengan menggunakan bahan-bahan kimia sering pula dilakukan
untuk memecahkan dormansi pada benih. Tujuannya adalah menjadikan agar kulit
Kartasapoetra (2003), penggunaan zat kimia KNO3 sebagai pengganti fungsi
cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan benih akan O2.
3. Perlakuan Perendaman dengan Air
Beberapa jenis benih terkadang diberi perlakuan perendaman di dalam air
dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih.
4. Perlakuan Pemberian Temperatur Tertentu
Banyak benih yang perlu dikenai temperatur tertentu sebelum dapat diletakkan
pada temperatur yang cocok untuk perkecambahannya. Pada saat pemberiaan
perlakuan temperatur terjadi sejumlah perubahan dalam benih yang berakibat
menghilangnya bahan-bahan penghambat pertumbuhan atau terjadinya
Pembahasan
Dari hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi terhadap benih pasak bumi (E. longifolia) memberi pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter yang diamati, yaitu umur berkecambah, persentase perkecambahan, persentase perkecambahan normal, kecepatan perkecambahan dan laju perkecambahan.
Perlakuan perendaman dengan KNO3 0,9 % selama 15 menit juga menghasilkan nilai rataan yang cukup baik bagi perkecambahan benih, dimana perlakuan perendaman dengan KNO3 ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan pengampelasan pada seluruh parameter yang diamati, yang dapat terlihat pada Lampiran 18. Dengan demikian perlakuan perendaman dengan KNO3 juga dapat meningkatkan perkecambahan. Hal ini dikarenakan pada perlakuan perendaman dengan KNO3 selain dapat mempercepat melunakkan kulit benih yang keras, KNO3 juga berfungsi sebagai pengganti fungsi suhu dan mempercepat penerimaan oksigen pada benih, sehingga terjadi proses imbibisi dan benih dapat lebih mudah berkembang dan berkecambah. Sutopo (2002), mengatakan bahwa dengan menggunakan bahan kimia untuk memecahkan dormansi pada benih membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Ditambahkan oleh Kartasapoetra (2003), bahwa penggunaan zat kimia KNO3 sebagai pengganti fungsi cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan benih akan oksigen.
perkecambahan abnormal tidak terjadi pembentukan tunas dan daun primer yang dapat dilihat pada Lampiran 19. Kartasapoetra (2003), menyatakan bahwa salah satu ciri perkecambahan abnormal adalah gundul tidak terdapat tunas ujung dan tidak ada daun primer. Pada beberapa perlakuan yang diberikan dapat terlihat pada Tabel 3 bahwa perlakuan perendaman dengan KNO3 memiliki nilai tertinggi pada parameter persentase perkecambahan normal jika dibandingkan dengan perlakuan pengampelasan yang memiliki nilai persentase perkecambahan tertinggi. Hal ini mungkin terjadi karena pada saat pengampelasan kulit biji terjadi pelukaan pada bagian embrio benih terutama bagian titik tumbuh sehingga menghasilkan perkecambahan yang abnormal.
Menurun atau meningkatnya kecepatan perkecambahan berhubungan dengan persentase perkecambahan. Hal ini dikarenakan kecepatan perkecambahan berbanding lurus dengan umur berkecambah dan persentase perkecambahan. Semakin cepat umur berkecambah dan semakin tinggi persentase perkecambahan maka kecepatan perkecambahan juga semakin tinggi, hal ini dapat terlihat dari hasil pengamatan yang diperoleh pada setiap perlakuan. Menurut Sutopo (2002), bahwa ada hubungan antara kecepatan perkecambahan dengan tinggi rendahnya produksi tanam.
pengamatan yang lainnya merupakan nilai yang cukup rendah terutama pada persentase perkecambahan (6,67 %) jika dibandingkan dengan perlakuan lain yang memiliki perkecambahan. Hal ini terjadi karena pada perlakuan perendaman dengan air hanya sedikit benih yang berkecambah, sehingga waktu atau hari yang dibutuhkan oleh benih yang berkecambah juga semakin sedikit atau lebih singkat dari perlakuan lainnya yang memiliki hasil perkecambahan yang lebih banyak. Dengan sedikitnya jumlah benih yang berkecambah dapat diduga bahwa perendaman dengan air selama 24 jam masih kurang optimal untuk melemahkan kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas, sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan perendaman dengan air masih kurang baik untuk meningkatkan perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).
METODOLOGI
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Juni – Agustus 2007.
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih pasak
bumi (E. longifolia), pasir, topsoil, air, dan larutan KNO3 0,9% dan aquades.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas ampelas,
wadah plastik, oven, bak kecambah, handsprayer, alat tulis, kalkulator dan
kamera.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan lima taraf perlakuan, yaitu:
P0: Tanpa perlakuan (kontrol)
P1: Perlakuan pengampelasan dengan kertas ampelas
P2: Perlakuan perendaman air selama 24 jam
P3: Perlakuan pengovenan selama 30 menit dengan suhu 120 0C
Jumlah perlakuan : 5 perlakuan
Jumlah ulangan : 3 ulangan
Jumlah unit percobaan : 15 unit
Jumlah benih per unit percobaan : 20 benih
Jumlah benih seluruhnya : 300 benih
Menurut Sastrosupadi (1995), model linier yang digunakan untuk
menganalisis data adalah:
Yij = µ + τi + εij
Dimana:
Yij = Hasil pengamatan pada unit percobaan yang mendapat perlakuan
perkecambahan benih pada taraf ke-i dan pada ulangan ke-j
µ = Nilai rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan perkecambahan benih (P) pada taraf ke-i
εij = Pengaruh galat pada perlakuan perkecambahan benih (P) pada taraf ke-i
pada ulangan ke-j
Data ditransformasi dengan menggunakan transformasi akar kuadrat
( y), hal ini dilakukan karena adanya kejadian yang berpeluang sangat kecil
(kurang dari 0,1 atau 10%) untuk menjadi kenyataan dan data yang diperoleh
berkisaran antara 0–30% atau 70–100% sehingga perlu ditransformasikan ke
bentuk transformasi akar kuadrat ( y) (Hanafiah, 2003).
Data dianalisis keragamannya dan apabila terdapat perbedaan yang nyata
Pelaksanaan Penelitian
A. Persiapan Benih
Persiapan benih yang dilakukan adalah menyeleksi benih yang memiliki
ukuran relatif sama dan telah dibersihkan dari kotoran dan kulit luarnya. Gambar
buah dan benih pasak bumi (E. longifolia) ini dapat dilihat pada Lampiran 16.
B. Persiapan Media Kecambah
Media yang digunakan untuk perkecambahan adalah media dengan
campuran pasir dan topsoil. Media yang digunakan terlebih dahulu disterilkan
dengan cara penyangraian. Penyangraian dilakukan hingga pasir dan topsoil
terlihat kering dan berubah warna. Perbandingan antara tanah dengan topsoil yang
digunakan adalah 1:1.
C. Pemberian Perlakuan
Benih yang telah diseleksi diberi berbagai perlakuan yaitu pengampelasan
kulit benih dengan menggunakan kertas ampelas, perendaman benih dengan air
selama 24 jam, pengovenan benih dengan suhu 120 0C selama 30 menit dan
perendaman benih dengan larutan KNO3 0,9%selama 15 menit.
D. Pengecambahan Benih
Setelah melalui tahapan berbagai perlakuan, benih dikecambahkan di bak
perkecambahan yang telah disiapkan dengan jarak tanam 3 x 3 cm.
E. Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan yaitu penyiraman dan penyiangan gulma.
Penyiraman dilakukan setiap hari dengan menggunakan air bersih dan untuk
(pukul 10.00 wib dan 17.00 wib). Penyiangan gulma dilakukan secara manual,
bila ada gulma di dalam bak kecambah segera diambil dengan hati-hati agar
media tidak hancur dan benih tidak terganggu.
F. Parameter Pengamatan
Adapun parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah:
1. Umur Berkecambah (Hari)
Pengamatan ini dilakukan dengan menghitung jumlah hari yang
dibutuhkan plumula untuk muncul kepermukaan media tanam. Pengamatan
dimulai setelah benih dikecambahkan hingga penelitian berakhir.
2. Persentase Perkecambahan (%)
Persentase perkecambahan benih diamati dengan menghitung benih yang
berkecambah pada setiap unit percobaan. Pengamatan dilakukan mulai dari hari
pertama setelah benih dikecambahkan hingga hari terakhir setelah 2 bulan
pengamatan.
3. Persentase Perkecambahan Normal (%)
Persentase perkecambahan normal dihitung pada akhir penelitian dengan
memperhatikan benih yang telah tumbuh, apakah pertumbuhannya normal atau
tidak. Adapun rumus untuk menentukannya adalah:
Adapun kriteria kecambah yang normal adalah:
1. Kecambah yang memiliki perkembangan sistem perakaran yang baik
terutama akar primer.
2. Perkembangan hipokotil yang baik dan sempurna tanpa ada kerusakan
pada jaringan-jaringannya.
3. Pertumbuhan plumula yang sempurna dengan daun hijau dan tumbuh baik,
di dalam atau muncul dari koleoptil atau pertumbuhan epikotil yang
sempurna dengan kuncup yang normal.
4. Memiliki satu kotiledon untuk kecambah dari monokotil dan dua bagi
dikotil
(Sutopo, 2002).
4. Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor)
Pengamatan ini bertujuan untuk menentukan kecepatan tumbuh benih.
Kecepatan perkecambahan digunakan sebagai penilaian vigor benih dengan rumus
sebagai berikut:
Dimana: I.V. = Indeks Vigor
G = jumlah benih yang berkecambah pada hari tertentu
D = waktu yang bersesuaian dengan jumlah tersebut
n = jumlah hari pada perhitungan akhir
5. Laju Perkecambahan (Germination Rate)
Menurut Sutopo (2002) laju perkecambahan dapat diukur dengan
menghitung jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikel atau plumula.
h berkecamba yang
benih total Jumlah
T N T
N T N hari
rata
Rata− = 1 1 + 2 2 +...+ x x
Dimana: N = jumlah benih yang berkecambah pada satuan waktu tertentu
T = menunjukkan jumlah waktu antara awal pengujian sampai
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Umur Berkecambah (Hari)
Data rataan pengamatan parameter umur berkecambah terdapat pada
Lampiran 1 dan rataan umur berkecambah setelah ditransformasi terdapat pada
Lampiran 2. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan
bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh yang nyata
terhadap umur berkecambah. Rataan umur berkecambah (hari) benih pasak bumi
(E. longifolia) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Umur Berkecambah (hari) Benih Pasak Bumi (E. longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Perlakuan Rataan
P0 23,00 a
P1 14,00 b
P2 19,67 a
P3 0,00 c
P4 14,67 b
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa umur berkecambah tercepat terdapat
pada perlakuan pengampelasan (P1) sebesar 14,00 hari, dimana perlakuan ini tidak
berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan larutan KNO3 (P4) tetapi
berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0), perlakuan perendaman dengan air
(P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan umur berkecambah terendah
terdapat pada perlakuan pengovenan (P3) karena tidak terjadi perkecambahan
sehingga nilai yang diperoleh sebesar 0,00 hari dan berbeda nyata dengan seluruh
2. Persentase Perkecambahan (%)
Data rataan pengamatan parameter persentase perkecambahan terdapat
pada Lampiran 4 dan rataan persentase perkecambahan setelah ditransformasi
terdapat pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6)
menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh
yang nyata terhadap persentase perkecambahan. Rataan persentase
perkecambahan (%) benih pasak bumi (E. Longifolia) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Benih Pasak Bumi (E. Longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Perlakuan Rataan
P0 48,33 b
P1 66,67 a
P2 6,67 c
P3 0,00 d
P4 63,33 ab
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa rataan persentase perkecambahan benih
tertinggi terdapat pada perlakuan pengampelasan (P1) sebesar 66,67%, dimana
perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan KNO3
(P4) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0), perlakuan perendaman
dengan air (P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan persentase
perkecambahan benih terendah terdapat pada perlakuan pengovenan (P3) karena
tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 % dan berbeda
3. Persentase Perkecambahan Normal (%)
Data rataan pengamatan parameter persentase perkecambahan normal
terdapat pada Lampiran 7 dan rataan persentase perkecambahan normal setelah
ditransformasi terdapat pada Lampiran 8. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam
(Lampiran 9) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi
memberi pengaruh yang nyata terhadap persentase perkecambahan normal.
Rataan persentase perkecambahan normal (%) benih pasak bumi (E.longifolia)
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) Benih Pasak Bumi (E.longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Perlakuan Rataan
P0 45,00 a
P1 58,33 a
P2 6,67 b
P3 0,00 c
P4 60,00 a
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa rataan persentase perkecambahan normal
tertinggi terdapat pada perlakuan perendaman dengan larutan KNO3 (P4) sebesar
60,00%, dimana perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0)
dan perlakuan pengampelasan (P1) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan
perendaman dengan air (P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan
persentase perkecambahan normal terendah terdapat pada perlakuan pengovenan
(P3) karena tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 % dan
4. Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor)
Data rataan pengamatan parameter kecepatan perkecambahan terdapat
pada Lampiran 10 dan rataan kecepatan perkecambahan setelah ditransformasi
terdapat pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12)
menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh
yang nyata terhadap kecepatan perkecambahan. Rataan kecepatan perkecambahan
(indeks vigor) benih pasak bumi (E.longifolia) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor) Benih Pasak Bumi (E.longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Perlakuan Rataan
P0 0,27 b
P1 0,57 a
P2 0,06 c
P3 0,00 c
P4 0,45 ab
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa rataan kecepatan perkecambahan benih
tertinggi terdapat pada perlakuan pengampelasan (P1) sebesar 0,57, dimana
perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan KNO3
(P4) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0), perlakuan perendaman
dengan air (P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan kecepatan
perkecambahan benih terendah terdapat pada perlakuan pengovenan (P3) karena
tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 dan tidak berbeda
5. Laju Perkecambahan (Germination Rate)
Data rataan pengamatan parameter laju perkecambahan terdapat pada
Lampiran 13 dan rataan laju perkecambahan setelah ditransformasi terdapat pada
Lampiran 14. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 15) menunjukkan
bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh yang nyata
terhadap laju perkecambahan. Rataan laju perkecambahan (rata-rata hari) benih
pasak bumi (E. Longifolia) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Laju Perkecambahan (rata-rata hari) Benih Pasak Bumi (E. Longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Perlakuan Rataan
P0 39,05 a
P1 27,53 b
P2 23,00 c
P3 0,00 d
P4 33,01 ab
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa rataan laju perkecambahan benih
tercepat terdapat pada perlakuan perendaman dengan air (P2) sebesar 23,00 hari,
dimana perlakuan berbeda nyata dengan seluruh perlakuan lainnya Sedangkan laju
perkecambahan benih yang terendah terdapat pada perlakuan pengovenan (P3)
karena tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 hari dan
juga berbeda nyata dengan seluruh perlakuan lainnya.
Pembahasan
Dari hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa berbagai perlakuan
pematahan dormansi terhadap benih pasak bumi (E. longifolia) memberi pengaruh
yang nyata terhadap seluruh parameter yang diamati, yaitu umur berkecambah,
persentase perkecambahan, persentase perkecambahan normal, kecepatan
perkecambahan dan laju perkecambahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pengampelasan dapat
lebih meningkatkan perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia) jika
dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Pada perlakuan pengampelasan
proses perkecambahan menjadi lebih cepat dan persentase perkecambahan yang
diperoleh lebih tinggi, hal ini dapat dilihat dari hasil nilai rataan yang diperoleh
pada beberapa parameter pengamatan yang menghasilkan nilai terbaik. Perlakuan
pengampelasan menghasilkan umur berkecambah tercepat yaitu 14,00 hari setelah
tanam, dan menghasilkan nilai rataan tertinggi pada parameter persentase
perkecambahan (66,67 %) dan kecepatan perkecambahan (0,57). Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan pengampelasan lebih baik jika dibandingkan
perlakuan yang lainnya untuk menghasilkan perkecambahan. Dengan perlakuan
pengampelasan, kulit biji menjadi semakin tipis yang akan mempermudah
masuknya air dan gas sehingga terjadi proses imbibisi dan semakin cepat pula
benih dapat menembus kulit biji dalam melakukan proses perkecambahan.
Menurut Sutopo (2002), dengan pengikisan menggunakan kertas ampelas luas
permukaan kulit yang menjadi tipis lebih luas sehingga air dan udara yang
berperan dalam proses perkecambahan menjadi lebih mudah masuk, sehingga
Perlakuan perendaman dengan KNO3 0,9 % selama 15 menit juga
menghasilkan nilai rataan yang cukup baik bagi perkecambahan benih, dimana
perlakuan perendaman dengan KNO3 ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan
pengampelasan pada seluruh parameter yang diamati, yang dapat terlihat pada
Lampiran 18. Dengan demikian perlakuan perendaman dengan KNO3 juga dapat
meningkatkan perkecambahan. Hal ini dikarenakan pada perlakuan perendaman
dengan KNO3 selain dapat mempercepat melunakkan kulit benih yang keras,
KNO3 juga berfungsi sebagai pengganti fungsi suhu dan mempercepat penerimaan
oksigen pada benih, sehingga terjadi proses imbibisi dan benih dapat lebih mudah
berkembang dan berkecambah. Sutopo (2002), mengatakan bahwa dengan
menggunakan bahan kimia untuk memecahkan dormansi pada benih membuat
kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah.
Ditambahkan oleh Kartasapoetra (2003), bahwa penggunaan zat kimia KNO3
sebagai pengganti fungsi cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan
benih akan oksigen.
Tahap awal dari suatu perkecambahan yaitu terjadinya imbibisi, dimana
air dan gas masuk ke dalam benih sehingga mengaktifkan enzim-enzim yang akan
melakukan perombakan cadangan makanan untuk menghasilkan energi yang
akhirnya akan terjadi pembentukan sel-sel baru pada embrio dan diikuti proses
difrensiasi sel-sel sehingga terbentuk plumula yang merupakan bakal batang dan
daun serta radikula yang merupakan bakal akar. Pada Lampiran 17 dapat terlihat
beberapa tahapan setelah benih berkecambah. Dari hasil yang diperoleh pada
perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia) terdapat perkecambahan yang
perkecambahan abnormal tidak terjadi pembentukan tunas dan daun primer yang
dapat dilihat pada Lampiran 19. Kartasapoetra (2003), menyatakan bahwa salah
satu ciri perkecambahan abnormal adalah gundul tidak terdapat tunas ujung dan
tidak ada daun primer. Pada beberapa perlakuan yang diberikan dapat terlihat
pada Tabel 3 bahwa perlakuan perendaman dengan KNO3 memiliki nilai tertinggi
pada parameter persentase perkecambahan normal jika dibandingkan dengan
perlakuan pengampelasan yang memiliki nilai persentase perkecambahan
tertinggi. Hal ini mungkin terjadi karena pada saat pengampelasan kulit biji terjadi
pelukaan pada bagian embrio benih terutama bagian titik tumbuh sehingga
menghasilkan perkecambahan yang abnormal.
Menurun atau meningkatnya kecepatan perkecambahan berhubungan
dengan persentase perkecambahan. Hal ini dikarenakan kecepatan perkecambahan
berbanding lurus dengan umur berkecambah dan persentase perkecambahan.
Semakin cepat umur berkecambah dan semakin tinggi persentase perkecambahan
maka kecepatan perkecambahan juga semakin tinggi, hal ini dapat terlihat dari
hasil pengamatan yang diperoleh pada setiap perlakuan. Menurut Sutopo (2002),
bahwa ada hubungan antara kecepatan perkecambahan dengan tinggi rendahnya
produksi tanam.
Laju perkecambahan tercepat terdapat pada perlakuan perendaman dengan
air (23,00 hari), dimana hasil ini cukup jauh berbeda jika dibandingkan dengan
perlakuan kontrol (39,05 hari). Dari hasil ini dapat terlihat bahwa perlakuan
perendaman dengan air selama 24 jam telah mampu mempercepat laju
perkecambahan dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Namun pada
pengamatan yang lainnya merupakan nilai yang cukup rendah terutama pada
persentase perkecambahan (6,67 %) jika dibandingkan dengan perlakuan lain
yang memiliki perkecambahan. Hal ini terjadi karena pada perlakuan perendaman
dengan air hanya sedikit benih yang berkecambah, sehingga waktu atau hari yang
dibutuhkan oleh benih yang berkecambah juga semakin sedikit atau lebih singkat
dari perlakuan lainnya yang memiliki hasil perkecambahan yang lebih banyak.
Dengan sedikitnya jumlah benih yang berkecambah dapat diduga bahwa
perendaman dengan air selama 24 jam masih kurang optimal untuk melemahkan
kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas, sehingga dapat dikatakan
bahwa perlakuan perendaman dengan air masih kurang baik untuk meningkatkan
perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).
Perlakuan pengovenan selama 30 menit dengan suhu 120 0C memberikan
pengaruh yang buruk terhadap perkecambahan, dimana pada perlakuan
pengovenan ini benih tidak ada yang berkecambah. Hal ini diduga karena terlalu
lamanya waktu dan tingginya suhu yang digunakan pada saat pengovenan yang
menyebabkan rusaknya jaringan-jaringan di dalam benih sehingga menyebabkan
kematian pada embrio benih yang menyebabkan benih tidak dapat berkecambah.
Menurut Sutopo (2002), suhu adalah salah satu faktor yang berperan dalam proses
perkecambahan, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terganggunya
proses perkecambahan bahkan dapat mengakibatkan kematian dan kecambah
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berbagai perlakuan pematahan dormansi yang telah dilakukan pada benih
pasak bumi (E. longifolia) memberikan pengaruh yang nyata terhadap seluruh
parameter pengamatan.
2. Perlakuan pengampelasan dengan kertas ampelas merupakan perlakuan yang
terbaik dalam perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).
3. Perlakuan pengovenan dengan suhu 1200C selama 30 menit merupakan
perlakuan yang kurang baik karena terlalu tingginya suhu dan lamanya waktu
yang digunakan sehingga tidak ada benih yang berkecambah.
Saran
Agar diperoleh hasil yang optimal untuk seluruh parameter pengamatan
maka hendaknya benih yang digunakan adalah benih hasil seleksi dan berkualitas,
dan dalam perlakuan pengovenan sebaiknya suhu dan waktu yang digunakan lebih
DAFTAR PUSTAKA
Bewley, J. D. dan M. Black. 1982. Physiology and Biochemistry of Seed. In relation to Germination. Volume 2. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. New York.
Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tumbuhan Budidaya. Penerjemah Herawati Susilo. UI Press. Jakarta.
Gomez, K. A. Dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Diterjemahkan oleh E. Syamsuddin dan J. S. Baharsyah. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Hanafiah, K.A. 2003. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Cetakan ke-8. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Hasanah, M. dan D. Rusmin. 2006. Teknologi Pengelolaan Benih Beberapa Tanaman Obat di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25 (2). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor.
Intisari Online. 2001. Menguak Manfaat Tanaman Herbal: Mencari Viagra Dalam Herbal. Intisari Online.
Ismail, Z., N. Ismail dan J. Lassa. 1999. Malaysian Herbal Monograph. Volume 1. Malaysian Monograph Committee. Kuala Lumpur.
Jayusman. 1997. Hubungan antara Variasi Ukuran Biji dengan Nilai Kecambah dan Pertumbuhan Semai Kemenyan Durame (Styrax benzoin Dryand). Buletin Penelitian Kehutanan Visi dan Misi Ilmiah. Volume 13 (3).
Kartasapoetra, A.G. 2003. Teknologi Benih: Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum. Cetakan keempat. Bina Aksara. Jakarta.
Kuswanto, H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi, Produksi dan Sertifikasi Benih. Edisi I. Cetakan ke-1. ANDI. Yogyakarta.
Mugnisjah, W.Q., A. Setiawan, Suwarto, dan S. Cecep. 1994. Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Portal Komuniti Herba. 2005. Tongkat Ali. Khazanah Herba Warisan Bumi. Melur.com
Republika Online. 2003. Akar Pasak Bumi Penambah Stamina. Republika.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryono. Jilid 3. Edisi ke-4. ITB. Bandung.
Sastrosupadi, A. 1995. Rancangan Percobaan Praktis untuk Bidang Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Setiawan, A. I. 1996. Kiat Memilih Tanaman Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sinar Harapan. 2003. Flora dan Fauna: Pasak Bumi, Tanaman dengan Dua Kelamin. IPTEK dan Lingkungan. <
Siregar, L. A. M. 2000. Organogenesis dan Pengkulturan Ampaian Sel
Eurycoma longifolia Jack. Thesis Universiti Sains Malaysia. Malaysia.
Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Edisi Revisi. Cetakan ke-5. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Syukur, C. dan Hernani. 2001. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wikipedia. 2007. Pokok Tongkat Ali. Wikipedia Bahasa Melayu. Edisi Revisi. Wikimedia Project. (10 Mei 2007).
Lampiran 1. Rataan Umur Berkecambah (Hari)
Lampiran 2. Rataan Umur Berkecambah (Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Lampiran 4. Rataan Persentase Perkecambahan (%)
Lampiran 5. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Lampiran 7. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%)
Lampiran 8. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Lampiran 10. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Value)
Lampiran 11. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Value) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Lampiran 13. Rataan Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari)
Lampiran 14. Rataan Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Lampiran 15. Sidik Ragam (ANOVA) Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5
Lampiran 16. Gambar buah dan biji pasak bumi (E. Longifolia)
Buah Biji
un Biet tin gi chua, vao day coi di
Biet tin gi chua, vao day coi di
MLampiran 18. Gambar bibit pasak bumi (E. longifolia) pada perlakuan pengampelasan (P1) dan perlakuan perendaman KNO3 (P4)
(A) Perkecambahan normal dan (B) Perkecambahan abnormal
Lampiran 20. Gambar bibit pasak bumi (E. longifolia) pada satu bulan pengamatan
Lampiran 21. Gambar bibit pasak bumi (E. Longifolia) pada akhir penelitian
Comment [ J1] :
un Biet tin gi chua, vao day coi di Biet tin gi chua, vao day coi di
v