• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkecambahan Benih Pasak Bumi(Eurycoma longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormansi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perkecambahan Benih Pasak Bumi(Eurycoma longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormansi"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PERKECAMBAHAN BENIH PASAK BUMI

(Eurycoma longifolia) DENGAN BERBAGAI

PERLAKUAN PEMATAHAN DORMANSI

_________________

Hasil Penelitian

Oleh:

NURKHOLILA HARAHAP

021202010/BUDIDAYA HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERKECAMBAHAN BENIH PASAK BUMI

(Eurycoma longifolia) DENGAN BERBAGAI

PERLAKUAN PEMATAHAN DORMANSI

_______________ Hasil Penelitian

Oleh:

NURKHOLILA HARAHAP 021202010/BUDIDAYA HUTAN

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melaksanakan Penelitian Di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Perkecambahan Benih Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormansi

Nama : Nurkholila Harahap

NIM : 021202010

Program Studi : Budidaya Hutan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Afifuddin Dalimunthe, SP, MP) (Ir. Haryati, MP) NIP. 132 302 941 NIP. 131 875 100

Mengetahui, Ketua Departemen

(4)

PERKECAMBAHAN BENIH PASAK BUMI

(Eurycoma longifolia) DENGAN BERBAGAI

PERLAKUAN PEMATAHAN DORMANSI

1

___________________________

Ringkasan Hasil Penelitian

Oleh:

NURKHOLILA HARAHAP

2

021202010/BUDIDAYA HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007

(5)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Sekitar 26 % telah

dibudidayakan dan sisanya sekitar 74 % masih tumbuh liar di hutan-hutan. Dari

yang telah dibudidayakan, lebih dari 940 jenis digunakan sebagai obat tradisional.

Pemakaian tanaman obat dalam dekade terakhir ini cenderung meningkat sejalan

dengan berkembangnya industri jamu atau obat tradisional, farmasi, kosmetik,

makanan dan minuman. Tanaman obat yang dipergunakan biasanya dalam bentuk

simplisia (bahan yang telah dikeringkan dan belum mengalami pengolahan apa

pun). Simplisia tersebut berasal dari akar, daun, bunga, biji, buah, terna dan kulit

batang (Syukur dan Hernani, 2001).

Di antara tanaman obat tersebut adalah akar pasak bumi yang secara

tradisional digunakan antara lain sebagai: tonikum pascapartum, anti mikroba, anti

hipertensi, anti inflamasi, antipiretik, mengobati sakit perut, ulkus, malaria,

disentri dan yang paling dikenal adalah sebagai obat kuat (afrodisiak)

(Nainggolan dan Simanjuntak, 2005). Kegunaan pasak bumi bertumpu pada

ciri-ciri afrodisiaknya. Antara lain kandungan aktif yang terdapat dalam pasak bumi

ialah alkaloid, saponins, quassinoids, erycomanone dan eurycomalactone. Phyto

compounds yang terdapat dalam pasak bumi dapat membantu merangsangkan

pengeluaran hormon testosterone (Portal Komuniti Herba, 2005). Dari beberapa

penelitian tumbuhan afrodisiak mengandung senyawa-senyawa turunan saponin,

alkaloid, tanin, dan senyawa-senyawa lain yang secara fisiologis dapat

(6)

sirkulasi darah tepi (perifer). Peningkatan sirkulasi darah ini akan memperbaiki

aktivitas jaringan tubuh sehingga secara tidak langsung akan memperbaiki fungsi

organ (Intisari Online, 2001).

Menurut Hasanah dan Rusmin (2006), permasalahan yang dihadapi dalam

pengembangan industri obat tradisional adalah sebagian besar bahan baku (80%)

berasal dari hutan atau habitat alami dan sisanya (20%) dari hasil budidaya

tradisional. Penyediaan bahan baku yang masih mengandalkan pada alam tersebut

telah mengakibatkan terjadinya erosi genetik pada sedikitnya 54 jenis tanaman

obat. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku secara berkesinambungan serta

mengantisipasi permintaan yang terus meningkat tiap tahunnya maka perlu

dilakukan pengembangan usaha tani tanaman obat.

Menurut Setiawan (1996), perbanyakan secara generatif, selain ekonomis

juga mudah dilakukan dan menghasilkan bibit dengan perakaran yang kuat. Salah

satu kendala dalam perbanyakan generatif adalah dormansi pada benih tersebut

yang menyebabkan benih susah untuk berkecambah. Menurut Wirawan dan

Wahyuni (2002) dormansi benih merupakan kondisi benih yang tidak mampu

berkecambah meski kondisi lingkungannya optimum untuk berkecambah.

Ditambahkan oleh Sutopo (2002), bahwa dormansi pada benih disebabkan oleh

keadaan fisik dari kulit biji, keadaan fisiologis dari embrio atau kombinasi dari

kedua keadaan tersebut, seperti kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi

penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas. Biji pasak bumi

terdiri dari dua kotiledon diliputi dengan lapisan membran yang tipis, diikuti

dengan endokap yang keras dan eksokap yang tipis di bagian luar

(7)

Oleh karena itu diperlukan cara-cara agar dormansi dapat dipecahkan atau

sekurang-kurangnya masa dormansinya dapat dipersingkat. Beberapa cara yang

telah diketahui adalah dengan perlakuan mekanis berupa skarifikasi seperti

mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas ampelas, perlakuan dengan

menggunakan bahan-bahan kimia seperti HNO3 dan KNO3, perlakuan

perendaman dengan air, dan perlakuan pemberian temperatur tertentu (stratifikasi)

(Sutopo, 2002).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian guna mengetahui perlakuan pematahan dormansi yang mana yang

terbaik untuk perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan perlakuan pematahan

dormansi terbaik untuk perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).

Hipotesis

Berbagai perlakuan pematahan dormansi dapat mempercepat

(8)

TINJAUAN PUSTAKA

Penyebaran dan Morfologi Pasak Bumi (E. longifolia)

Tanaman ini bisa dijumpai di sekitar Asia Tenggara, seperti Indonesia,

Malaysia, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam. Di Indonesia hanya terdapat di

Sumatera dan Kalimantan, itu pun dalam jumlah sedikit (Sinar Harapan, 2003).

Pasak bumi sudah sejak lama digunakan oleh suku-suku di Indonesia. Ini dapat

dilihat dari nama daerahnya yang begitu banyak dan beragam. Sumatera: kayu

kebel (Lampung), bidara putih (Palembang), bidara laut, bidara putih (Sumatera

Utara), pule, bidara laut, kayu lawang (Bangka), bedara puti (Belitung), kayu

petimah (Aceh), besan peku gancang, begu gajan (Batak), Sulawesi: bidara mapai

(Bugis), bidara pai, kayu pai (Makassar), Jawa: babi kurus (Jakarta), widara putih

(Jawa), Kalimantan: pasak bumi (Banjar), bidara pahit, dara pahit (Kalimantan

Timur), tanyu ulat (Kalimantan Tengah), sahalai, tunglirit (Kalimantan Tengah)

(Republika Online, 2006).

Dalam dunia tumbuhan tanaman pasak bumi tersusun dalam sistematika

sebagai berikut:

Divisio

Kelas

Ordo

Famili

Genus

Spesies : Eurycoma longifolia

(9)

Umumnya tanaman pasak bumi berbentuk semak atau pohon kecil yang

tingginya mencapai 10 m, berdaun majemuk, menyirip ganjil, ibu tangkainya

mencapai 1 m, mengelompok di ujung ranting. Masing-masing penggabungan

daun terdiri dari 30-40 kumpulan daun. Masing-masing sekelompok daun

kira-kira 5-20 cm panjangnya dan 1,5-6 cm luasnya. Anak daun berhadapan, berbentuk

lanset atau agak berbentuk bundar telur dengan ujung agak meruncing. Akar

utama, berbentuk silinder biasanya tidak bercabang, berwarna putih

kekuning-kuningan di dalamnya dan sangat pahit (Ismail et al 1999).

Tanaman ini merupakan tanaman dioecious, yaitu mempunyai dua jenis

kelamin bunga. Bunga yang berwarna merah kejinggaan keluar dari ketiak daun

dan seluruh bagiannya berbulu-bulu halus dengan benjolan kelenjar di ujungnya.

Bunga jantan tumbuh dengan putik steril. Sementara bunga betina juga dilengkapi

dengan benang sari steril. Buahnya berbentuk elips, berwarna hijau dan berubah

menjadi hitam kemerahan saat masak (Sinar Harapan, 2003). Biji pasak bumi

terdiri dari dua kotiledon diliputi dengan lapisan membran yang tipis, diikuti

dengan endokap yang keras dan eksokap yang tipis di bagian luar

(Nooteboom, 1972 dalam Siregar, 2000). Bunga dan buah pasak bumi selalu

tumbuh sepanjang tahun. Biasanya bunga mekar sekitar bulan Juni sampai Juli.

Sementara buahnya masak pada bulan September (Sinar Harapan, 2003).

Persyaratan Tumbuh Pasak Bumi (E. longifolia)

Tanaman pasak bumi tumbuh dengan baik di hutan tropika yang bertanah

pasir (Nooteboom, 1972 dalam Siregar, 2000). Biasanya pasak bumi hidup di

(10)

dimiliki rata-rata 25 0C dengan kelembaban udara 86 %. Tanaman ini juga suka

tumbuh di tanah masam dan berpasir, 700 meter di atas permukaan laut. Setelah

melalui masa muda, tanaman ini membutuhkan lebih banyak sinar matahari untuk

membantu perkembangan vegetatif dan sistem reproduksinya

(Sinar Harapan, 2003).

Perkecambahan Benih

Perkecambahan adalah permulaan munculnya pertumbuhan aktif yang

menghasilkan pecahnya kulit biji dan munculnya semai. Perkecambahan meliputi

peristiwa-peristiwa fisiologis dan morfologis sebagai berikut: (1) imbibisi dan

absorpsi air, (2) hidrasi jaringan, (3) absorpsi oksigen, (4) pengaktifan enzim dan

pencernaan, (5) transpor molekul yang terhidrolisis ke sumbu embrio,

(6) peningkatan respirasi dan asimilasi, (7) inisiasi pembelahan dan pembesaran

sel, dan (8) munculnya embrio (Gardner et al 1991).

Proses awal perkecambahan adalah proses imbibisi, yaitu masuknya air ke

dalam benih sehingga kadar air di dalam benih itu mencapai persentase tertentu

(antara 50 - 60%). Proses perkecambahan dapat terjadi jika kulit benih permeabel

terhadap air dan tersedia cukup air dengan tekanan osmosis tertentu. Bersamaan

dengan proses imbibisi akan terjadi peningkatan laju respirasi yang akan

mengaktifkan enzim-enzim yang terdapat di dalamnya sehingga terjadi proses

perombakan cadangan makanan (katabolisme) yang akan menghasilkan energi

ATP dan unsur hara yang diikuti oleh pembentukan senyawa protein (anabolisme

/ sintesis protein) untuk pembentukan sel-sel baru pada embrio. Kedua proses ini

(11)

imbibisi kulit benih akan menjadi lunak dan retak-retak. Pembentukan sel-sel baru

pada embrio akan diikuti proses difrensiasi sel-sel sehingga terbentuk plumula

yang merupakan bakal batang dan daun serta radikula yang merupakan bakal akar.

Kedua bagian ini akan bertambah besar sehingga akhirnya benih akan

berkecambah (emergence) (Kuswanto, 1996).

Menurut Sutopo (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan

benih terdiri dari faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam yang mempengaruhi

perkecambahan benih antara lain adalah:

1. Tingkat kemasakan benih.

Benih yang dipanen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai tidak

mempunyai viabilitas tinggi. Bahkan pada beberapa jenis tanaman, benih yang

demikian tidak akan dapat berkecambah. Diduga pada tingkatan tersebut benih

belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio

belum sempurna.

2. Ukuran benih

Di dalam jaringan penyimpanannya benih memiliki karbohidrat, protein,

lemak dan mineral. Dimana bahan-bahan ini diperlukan sebagai bahan baku dan

energi bagi embrio pada saat perkecambahan. Diduga bahwa benih yang

berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak

dibandingkan dengan benih yang kecil, mungkin pula embrionya lebih besar.

3. Dormansi

Periode dormansi ini dapat berlangsung musiman atau dapat juga selama

(12)

4. Penghambat perkecambahan

Banyak zat-zat yang diketahui dapat menghambat perkecambahan benih,

diantaranya larutan dengan tingkat osmotik tinggi seperti larutan mannitol dan

larutan NaCl; bahan-bahan yang mengganggu lintasan metabolisme, umumnya

menghambat respirasi seperti sianida dan fluorida; Herbisida; Coumarin; Auxin;

dan bahan-bahan yang terkandung dalam buah.

Menurut Kuswanto (1996), faktor luar (lingkungan) yang mempengaruhi

perkecambahan antara lain adalah:

1. Air.

Air merupakan salah satu faktor yang mutlak diperlukan dan tidak dapat

digantikan oleh faktor lain, seperti pemberian rangsangan atau perlakuan untuk

memacu agar benih dapat berkecambah. Benih hanya akan berkecambah jika

kadar airnya mencapai 50 – 60 %.

2. Komposisi gas

Benih yang telah berimbibisi akan meningkatkan laju respirasi karena

kenaikan aktivitas enzim pernafasan akan mengakibatkan kebutuhan oksigen (O2)

juga meningkat. Seringkali dijumpai benih dengan kulit benih yang impermeabel

terhadap gas-gas, sehingga menghambat proses pernafasan yang akan

mengakibatkan tidak terjadinya proses perkecambahan. Untuk mengatasinya perlu

diberi perlakuan secara fisik, mekanis, kimiawi atau biologis sehingga kulit benih

menjadi permeabel terhadap berbagai gas.

3. Suhu.

Suhu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses

(13)

aktivitas enzim-enzim yang terdapat di dalam benih tersebut. Suhu juga

mempengaruhi sintesis dan kepekaan benih terhadap cahaya. Suhu yang

dibutuhkan selama proses perkecambahan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Suhu minimum, yaitu suhu terendah di mana benih masih dapat

berkecambah secara normal, dan di bawah suhu tersebut benih tidak dapat

berkecambah secara normal atau bahkan tidak berkecambah sama sekali.

b. Suhu optimum, yaitu suhu yang paling sesuai untuk perkecambahan benih.

c. Suhu maksimum, yaitu suhu tertinggi di mana benih masih dapat

berkecambah secara normal dan bila perkecambahan terjadi di atas suhu

maksimum ini maka benih akan berkecambah secara tidak normal atau

bahkan tidak dapat berkecambah.

4. Cahaya.

Selama proses perkecambahan ada benih yang membutuhkan cahaya, terutama

benih yang memiliki pigmen pada kulitnya yang berfungsi sebagai fotosel yang

dapat mengubah cahaya matahari menjadi energi yang dapat membantu

meningkatkan laju respirasi dan sebagai energi untuk reaksi kimiawi yang bersifat

endodermis.

Menurut Sutopo (2002), kebutuhan benih terhadap cahaya untuk

perkecambahannya berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman. Berdasarkan

pengaruh cahaya terhadap perkecambahan benih diklasifikasikan atas 4 golongan,

yaitu golongan yang memerlukan cahaya secara mutlak untuk perkecambahan,

golongan yang memerlukan cahaya untuk perkecambahan, golongan dimana

benih dapat menghambat perkecambahan dan golongan dimana benih dapat

(14)

5. Medium.

Medium yang baik untuk perkecambahan benih haruslah mempunyai sifat

fisik yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyimpan air serta bebas dari

organisme penyakit terutama cendawan.

Menurut Kartasapoetra (2003), tipe perkecambahan benih mungkin saja

hipogeal atau mungkin pula epigeal. Pada kecambah hipogeal kotiledon tetap

berada di dalam kulit biji di bawah permukaan tanah karena hipokotil tidak

memanjang ke atas permukaan tanah. Tetapi pada kecambah epigeal kotiledon

terangkat ke atas karena hipokotil bertambah panjang lebih cepat dari epikotil.

Dormansi Benih

Menurut Gardner et al (1991), dormansi yaitu suatu keadaan pertumbuhan

yang tertunda atau dalam keadaan istirahat, yang merupakan kondisi yang

berlangsung selama periode yang tidak terbatas walaupun berada dalam keadaan

yang menguntungkan untuk perkecambahan. Dormansi merupakan keadaan biji

tetap viable (hidup), tapi tak mampu berkecambah atau tumbuh karena alasan

kondisi luar atau kondisi dalam benih. Kondisi dalam yang dimaksud adalah

embrio belum mencapai kematangan morfologis dan kondisi luar yang dimaksud

adalah kondisi biji seperti biji terlalu kering atau terlalu dingin

(Salisbury dan Ross, 1995). Ditambahkan oleh Mugnisjah (1994), dormansi juga

dapat sebagai salah satu strategi benih-benih tumbuhan agar dapat mengatasi

lingkungan sub optimum guna mempertahankan kelanjutan spesiesnya.

Menurut Sutopo (2002), dormansi benih terbagi atas dua tipe, yaitu

(15)

a. Dormansi Fisik

Dormansi fisik: yang menyebabkan pembatasan struktural terhadap

perkecambahan, seperti: kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi

penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas pada beberapa jenis benih

tanaman. Penyebab dormansi fisik ini antara lain:

- Impermeabilitas kulit biji terhadap air

- Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio

- Permeabilitas yang rendah dari kulit terhadap gas-gas

b. Dormansi Fisiologis

Dormansi fisiologis: dapat disebabkan oleh sejumlah mekanisme, umumnya

dapat disebabkan pengatur tumbuh baik penghambat atau perangsang tumbuh,

dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor dalam seperti immaturity atau

ketidakmasakan embrio, dan sebab-sebab fisiologis lainnya.

Menurut Kuswanto (1996), peristiwa dormansi ini terjadi karena

faktor-faktor sebagai berikut:

1. Ketidakdewasaan embrio. Hal ini terjadi karena benih sudah dipanen sebelum

mencapai masak fisiologis atau karena adanya hambatan perkembangan

embrio.

2. Kebutuhan faktor khusus. Artinya, untuk mengecambahkan benih tersebut

diperlukan perlakuan khusus agar benih dapat berkecambah.

3. Kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas sehingga tidak terjadi

imbibisi dan oksigen tidak dapat masuk ke dalam benih sehingga proses

(16)

4. Halangan perkembangan embrio atau hambatan mekanis. Hal ini disebabkan

kulit benih yang terlalu keras sehingga pada waktu benih berimbibisi kulit

benih tidak melunak atau retak-retak sehingga embrio tidak dapat keluar

akibatnya benih tidak berkecambah.

5. Adanya zat penghambat di dalam benih atau permukaan benih dengan

konsentrasi yang masih cukup tinggi setelah benih berimbibisi sehingga

mengakibatkan proses perkecambahan benih jadi terhambat.

Perlakuan Pematahan Dormansi

Menurut Sutopo (2002), dipandang dari segi ekonomis terdapatnya

keadaan dormansi pada benih dianggap tidak menguntungkan. Oleh karena itu

diperlukan perlakuan agar dormansi dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya

lama dormansinya dapat dipersingkat.

1. Perlakuan Mekanis

Perlakuan mekanis umum dipergunakan untuk memecahkan dormansi benih

yang disebabkan oleh impermeabilitas kulit biji baik terhadap air atau gas,

resistensi mekanis yang terdapat pada kulit biji. Perlakuan mekanis yang

dilakukan yaitu dengan mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas ampelas

yang bertujuan untuk melemahkan kulit biji yang keras, sehingga lebih permeabel

terhadap air atau gas.

2. Perlakuan Kimia

Perlakuan dengan menggunakan bahan-bahan kimia sering pula dilakukan

untuk memecahkan dormansi pada benih. Tujuannya adalah menjadikan agar kulit

(17)

Kartasapoetra (2003), penggunaan zat kimia KNO3 sebagai pengganti fungsi

cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan benih akan O2.

3. Perlakuan Perendaman dengan Air

Beberapa jenis benih terkadang diberi perlakuan perendaman di dalam air

dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih.

4. Perlakuan Pemberian Temperatur Tertentu

Banyak benih yang perlu dikenai temperatur tertentu sebelum dapat diletakkan

pada temperatur yang cocok untuk perkecambahannya. Pada saat pemberiaan

perlakuan temperatur terjadi sejumlah perubahan dalam benih yang berakibat

menghilangnya bahan-bahan penghambat pertumbuhan atau terjadinya

(18)

Pembahasan

Dari hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi terhadap benih pasak bumi (E. longifolia) memberi pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter yang diamati, yaitu umur berkecambah, persentase perkecambahan, persentase perkecambahan normal, kecepatan perkecambahan dan laju perkecambahan.

(19)

Perlakuan perendaman dengan KNO3 0,9 % selama 15 menit juga menghasilkan nilai rataan yang cukup baik bagi perkecambahan benih, dimana perlakuan perendaman dengan KNO3 ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan pengampelasan pada seluruh parameter yang diamati, yang dapat terlihat pada Lampiran 18. Dengan demikian perlakuan perendaman dengan KNO3 juga dapat meningkatkan perkecambahan. Hal ini dikarenakan pada perlakuan perendaman dengan KNO3 selain dapat mempercepat melunakkan kulit benih yang keras, KNO3 juga berfungsi sebagai pengganti fungsi suhu dan mempercepat penerimaan oksigen pada benih, sehingga terjadi proses imbibisi dan benih dapat lebih mudah berkembang dan berkecambah. Sutopo (2002), mengatakan bahwa dengan menggunakan bahan kimia untuk memecahkan dormansi pada benih membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Ditambahkan oleh Kartasapoetra (2003), bahwa penggunaan zat kimia KNO3 sebagai pengganti fungsi cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan benih akan oksigen.

(20)

perkecambahan abnormal tidak terjadi pembentukan tunas dan daun primer yang dapat dilihat pada Lampiran 19. Kartasapoetra (2003), menyatakan bahwa salah satu ciri perkecambahan abnormal adalah gundul tidak terdapat tunas ujung dan tidak ada daun primer. Pada beberapa perlakuan yang diberikan dapat terlihat pada Tabel 3 bahwa perlakuan perendaman dengan KNO3 memiliki nilai tertinggi pada parameter persentase perkecambahan normal jika dibandingkan dengan perlakuan pengampelasan yang memiliki nilai persentase perkecambahan tertinggi. Hal ini mungkin terjadi karena pada saat pengampelasan kulit biji terjadi pelukaan pada bagian embrio benih terutama bagian titik tumbuh sehingga menghasilkan perkecambahan yang abnormal.

Menurun atau meningkatnya kecepatan perkecambahan berhubungan dengan persentase perkecambahan. Hal ini dikarenakan kecepatan perkecambahan berbanding lurus dengan umur berkecambah dan persentase perkecambahan. Semakin cepat umur berkecambah dan semakin tinggi persentase perkecambahan maka kecepatan perkecambahan juga semakin tinggi, hal ini dapat terlihat dari hasil pengamatan yang diperoleh pada setiap perlakuan. Menurut Sutopo (2002), bahwa ada hubungan antara kecepatan perkecambahan dengan tinggi rendahnya produksi tanam.

(21)

pengamatan yang lainnya merupakan nilai yang cukup rendah terutama pada persentase perkecambahan (6,67 %) jika dibandingkan dengan perlakuan lain yang memiliki perkecambahan. Hal ini terjadi karena pada perlakuan perendaman dengan air hanya sedikit benih yang berkecambah, sehingga waktu atau hari yang dibutuhkan oleh benih yang berkecambah juga semakin sedikit atau lebih singkat dari perlakuan lainnya yang memiliki hasil perkecambahan yang lebih banyak. Dengan sedikitnya jumlah benih yang berkecambah dapat diduga bahwa perendaman dengan air selama 24 jam masih kurang optimal untuk melemahkan kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas, sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan perendaman dengan air masih kurang baik untuk meningkatkan perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).

(22)

METODOLOGI

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Juni – Agustus 2007.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih pasak

bumi (E. longifolia), pasir, topsoil, air, dan larutan KNO3 0,9% dan aquades.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas ampelas,

wadah plastik, oven, bak kecambah, handsprayer, alat tulis, kalkulator dan

kamera.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan lima taraf perlakuan, yaitu:

P0: Tanpa perlakuan (kontrol)

P1: Perlakuan pengampelasan dengan kertas ampelas

P2: Perlakuan perendaman air selama 24 jam

P3: Perlakuan pengovenan selama 30 menit dengan suhu 120 0C

(23)

Jumlah perlakuan : 5 perlakuan

Jumlah ulangan : 3 ulangan

Jumlah unit percobaan : 15 unit

Jumlah benih per unit percobaan : 20 benih

Jumlah benih seluruhnya : 300 benih

Menurut Sastrosupadi (1995), model linier yang digunakan untuk

menganalisis data adalah:

Yij = µ + τi + εij

Dimana:

Yij = Hasil pengamatan pada unit percobaan yang mendapat perlakuan

perkecambahan benih pada taraf ke-i dan pada ulangan ke-j

µ = Nilai rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan perkecambahan benih (P) pada taraf ke-i

εij = Pengaruh galat pada perlakuan perkecambahan benih (P) pada taraf ke-i

pada ulangan ke-j

Data ditransformasi dengan menggunakan transformasi akar kuadrat

( y), hal ini dilakukan karena adanya kejadian yang berpeluang sangat kecil

(kurang dari 0,1 atau 10%) untuk menjadi kenyataan dan data yang diperoleh

berkisaran antara 0–30% atau 70–100% sehingga perlu ditransformasikan ke

bentuk transformasi akar kuadrat ( y) (Hanafiah, 2003).

Data dianalisis keragamannya dan apabila terdapat perbedaan yang nyata

(24)

Pelaksanaan Penelitian

A. Persiapan Benih

Persiapan benih yang dilakukan adalah menyeleksi benih yang memiliki

ukuran relatif sama dan telah dibersihkan dari kotoran dan kulit luarnya. Gambar

buah dan benih pasak bumi (E. longifolia) ini dapat dilihat pada Lampiran 16.

B. Persiapan Media Kecambah

Media yang digunakan untuk perkecambahan adalah media dengan

campuran pasir dan topsoil. Media yang digunakan terlebih dahulu disterilkan

dengan cara penyangraian. Penyangraian dilakukan hingga pasir dan topsoil

terlihat kering dan berubah warna. Perbandingan antara tanah dengan topsoil yang

digunakan adalah 1:1.

C. Pemberian Perlakuan

Benih yang telah diseleksi diberi berbagai perlakuan yaitu pengampelasan

kulit benih dengan menggunakan kertas ampelas, perendaman benih dengan air

selama 24 jam, pengovenan benih dengan suhu 120 0C selama 30 menit dan

perendaman benih dengan larutan KNO3 0,9%selama 15 menit.

D. Pengecambahan Benih

Setelah melalui tahapan berbagai perlakuan, benih dikecambahkan di bak

perkecambahan yang telah disiapkan dengan jarak tanam 3 x 3 cm.

E. Pemeliharaan

Pemeliharaan yang dilakukan yaitu penyiraman dan penyiangan gulma.

Penyiraman dilakukan setiap hari dengan menggunakan air bersih dan untuk

(25)

(pukul 10.00 wib dan 17.00 wib). Penyiangan gulma dilakukan secara manual,

bila ada gulma di dalam bak kecambah segera diambil dengan hati-hati agar

media tidak hancur dan benih tidak terganggu.

F. Parameter Pengamatan

Adapun parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah:

1. Umur Berkecambah (Hari)

Pengamatan ini dilakukan dengan menghitung jumlah hari yang

dibutuhkan plumula untuk muncul kepermukaan media tanam. Pengamatan

dimulai setelah benih dikecambahkan hingga penelitian berakhir.

2. Persentase Perkecambahan (%)

Persentase perkecambahan benih diamati dengan menghitung benih yang

berkecambah pada setiap unit percobaan. Pengamatan dilakukan mulai dari hari

pertama setelah benih dikecambahkan hingga hari terakhir setelah 2 bulan

pengamatan.

3. Persentase Perkecambahan Normal (%)

Persentase perkecambahan normal dihitung pada akhir penelitian dengan

memperhatikan benih yang telah tumbuh, apakah pertumbuhannya normal atau

tidak. Adapun rumus untuk menentukannya adalah:

(26)

Adapun kriteria kecambah yang normal adalah:

1. Kecambah yang memiliki perkembangan sistem perakaran yang baik

terutama akar primer.

2. Perkembangan hipokotil yang baik dan sempurna tanpa ada kerusakan

pada jaringan-jaringannya.

3. Pertumbuhan plumula yang sempurna dengan daun hijau dan tumbuh baik,

di dalam atau muncul dari koleoptil atau pertumbuhan epikotil yang

sempurna dengan kuncup yang normal.

4. Memiliki satu kotiledon untuk kecambah dari monokotil dan dua bagi

dikotil

(Sutopo, 2002).

4. Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor)

Pengamatan ini bertujuan untuk menentukan kecepatan tumbuh benih.

Kecepatan perkecambahan digunakan sebagai penilaian vigor benih dengan rumus

sebagai berikut:

Dimana: I.V. = Indeks Vigor

G = jumlah benih yang berkecambah pada hari tertentu

D = waktu yang bersesuaian dengan jumlah tersebut

n = jumlah hari pada perhitungan akhir

(27)

5. Laju Perkecambahan (Germination Rate)

Menurut Sutopo (2002) laju perkecambahan dapat diukur dengan

menghitung jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikel atau plumula.

h berkecamba yang

benih total Jumlah

T N T

N T N hari

rata

Rata− = 1 1 + 2 2 +...+ x x

Dimana: N = jumlah benih yang berkecambah pada satuan waktu tertentu

T = menunjukkan jumlah waktu antara awal pengujian sampai

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Umur Berkecambah (Hari)

Data rataan pengamatan parameter umur berkecambah terdapat pada

Lampiran 1 dan rataan umur berkecambah setelah ditransformasi terdapat pada

Lampiran 2. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan

bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh yang nyata

terhadap umur berkecambah. Rataan umur berkecambah (hari) benih pasak bumi

(E. longifolia) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Umur Berkecambah (hari) Benih Pasak Bumi (E. longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi

Perlakuan Rataan

P0 23,00 a

P1 14,00 b

P2 19,67 a

P3 0,00 c

P4 14,67 b

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa umur berkecambah tercepat terdapat

pada perlakuan pengampelasan (P1) sebesar 14,00 hari, dimana perlakuan ini tidak

berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan larutan KNO3 (P4) tetapi

berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0), perlakuan perendaman dengan air

(P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan umur berkecambah terendah

terdapat pada perlakuan pengovenan (P3) karena tidak terjadi perkecambahan

sehingga nilai yang diperoleh sebesar 0,00 hari dan berbeda nyata dengan seluruh

(29)

2. Persentase Perkecambahan (%)

Data rataan pengamatan parameter persentase perkecambahan terdapat

pada Lampiran 4 dan rataan persentase perkecambahan setelah ditransformasi

terdapat pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6)

menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh

yang nyata terhadap persentase perkecambahan. Rataan persentase

perkecambahan (%) benih pasak bumi (E. Longifolia) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Benih Pasak Bumi (E. Longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi

Perlakuan Rataan

P0 48,33 b

P1 66,67 a

P2 6,67 c

P3 0,00 d

P4 63,33 ab

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa rataan persentase perkecambahan benih

tertinggi terdapat pada perlakuan pengampelasan (P1) sebesar 66,67%, dimana

perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan KNO3

(P4) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0), perlakuan perendaman

dengan air (P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan persentase

perkecambahan benih terendah terdapat pada perlakuan pengovenan (P3) karena

tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 % dan berbeda

(30)

3. Persentase Perkecambahan Normal (%)

Data rataan pengamatan parameter persentase perkecambahan normal

terdapat pada Lampiran 7 dan rataan persentase perkecambahan normal setelah

ditransformasi terdapat pada Lampiran 8. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam

(Lampiran 9) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi

memberi pengaruh yang nyata terhadap persentase perkecambahan normal.

Rataan persentase perkecambahan normal (%) benih pasak bumi (E.longifolia)

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) Benih Pasak Bumi (E.longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi

Perlakuan Rataan

P0 45,00 a

P1 58,33 a

P2 6,67 b

P3 0,00 c

P4 60,00 a

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa rataan persentase perkecambahan normal

tertinggi terdapat pada perlakuan perendaman dengan larutan KNO3 (P4) sebesar

60,00%, dimana perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0)

dan perlakuan pengampelasan (P1) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan

perendaman dengan air (P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan

persentase perkecambahan normal terendah terdapat pada perlakuan pengovenan

(P3) karena tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 % dan

(31)

4. Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor)

Data rataan pengamatan parameter kecepatan perkecambahan terdapat

pada Lampiran 10 dan rataan kecepatan perkecambahan setelah ditransformasi

terdapat pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12)

menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh

yang nyata terhadap kecepatan perkecambahan. Rataan kecepatan perkecambahan

(indeks vigor) benih pasak bumi (E.longifolia) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor) Benih Pasak Bumi (E.longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi

Perlakuan Rataan

P0 0,27 b

P1 0,57 a

P2 0,06 c

P3 0,00 c

P4 0,45 ab

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa rataan kecepatan perkecambahan benih

tertinggi terdapat pada perlakuan pengampelasan (P1) sebesar 0,57, dimana

perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan KNO3

(P4) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P0), perlakuan perendaman

dengan air (P2) dan perlakuan pengovenan (P3). Sedangkan kecepatan

perkecambahan benih terendah terdapat pada perlakuan pengovenan (P3) karena

tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 dan tidak berbeda

(32)

5. Laju Perkecambahan (Germination Rate)

Data rataan pengamatan parameter laju perkecambahan terdapat pada

Lampiran 13 dan rataan laju perkecambahan setelah ditransformasi terdapat pada

Lampiran 14. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 15) menunjukkan

bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi memberi pengaruh yang nyata

terhadap laju perkecambahan. Rataan laju perkecambahan (rata-rata hari) benih

pasak bumi (E. Longifolia) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Laju Perkecambahan (rata-rata hari) Benih Pasak Bumi (E. Longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi

Perlakuan Rataan

P0 39,05 a

P1 27,53 b

P2 23,00 c

P3 0,00 d

P4 33,01 ab

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa rataan laju perkecambahan benih

tercepat terdapat pada perlakuan perendaman dengan air (P2) sebesar 23,00 hari,

dimana perlakuan berbeda nyata dengan seluruh perlakuan lainnya Sedangkan laju

perkecambahan benih yang terendah terdapat pada perlakuan pengovenan (P3)

karena tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00 hari dan

juga berbeda nyata dengan seluruh perlakuan lainnya.

(33)

Pembahasan

Dari hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa berbagai perlakuan

pematahan dormansi terhadap benih pasak bumi (E. longifolia) memberi pengaruh

yang nyata terhadap seluruh parameter yang diamati, yaitu umur berkecambah,

persentase perkecambahan, persentase perkecambahan normal, kecepatan

perkecambahan dan laju perkecambahan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pengampelasan dapat

lebih meningkatkan perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia) jika

dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Pada perlakuan pengampelasan

proses perkecambahan menjadi lebih cepat dan persentase perkecambahan yang

diperoleh lebih tinggi, hal ini dapat dilihat dari hasil nilai rataan yang diperoleh

pada beberapa parameter pengamatan yang menghasilkan nilai terbaik. Perlakuan

pengampelasan menghasilkan umur berkecambah tercepat yaitu 14,00 hari setelah

tanam, dan menghasilkan nilai rataan tertinggi pada parameter persentase

perkecambahan (66,67 %) dan kecepatan perkecambahan (0,57). Hal ini

menunjukkan bahwa perlakuan pengampelasan lebih baik jika dibandingkan

perlakuan yang lainnya untuk menghasilkan perkecambahan. Dengan perlakuan

pengampelasan, kulit biji menjadi semakin tipis yang akan mempermudah

masuknya air dan gas sehingga terjadi proses imbibisi dan semakin cepat pula

benih dapat menembus kulit biji dalam melakukan proses perkecambahan.

Menurut Sutopo (2002), dengan pengikisan menggunakan kertas ampelas luas

permukaan kulit yang menjadi tipis lebih luas sehingga air dan udara yang

berperan dalam proses perkecambahan menjadi lebih mudah masuk, sehingga

(34)

Perlakuan perendaman dengan KNO3 0,9 % selama 15 menit juga

menghasilkan nilai rataan yang cukup baik bagi perkecambahan benih, dimana

perlakuan perendaman dengan KNO3 ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan

pengampelasan pada seluruh parameter yang diamati, yang dapat terlihat pada

Lampiran 18. Dengan demikian perlakuan perendaman dengan KNO3 juga dapat

meningkatkan perkecambahan. Hal ini dikarenakan pada perlakuan perendaman

dengan KNO3 selain dapat mempercepat melunakkan kulit benih yang keras,

KNO3 juga berfungsi sebagai pengganti fungsi suhu dan mempercepat penerimaan

oksigen pada benih, sehingga terjadi proses imbibisi dan benih dapat lebih mudah

berkembang dan berkecambah. Sutopo (2002), mengatakan bahwa dengan

menggunakan bahan kimia untuk memecahkan dormansi pada benih membuat

kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah.

Ditambahkan oleh Kartasapoetra (2003), bahwa penggunaan zat kimia KNO3

sebagai pengganti fungsi cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan

benih akan oksigen.

Tahap awal dari suatu perkecambahan yaitu terjadinya imbibisi, dimana

air dan gas masuk ke dalam benih sehingga mengaktifkan enzim-enzim yang akan

melakukan perombakan cadangan makanan untuk menghasilkan energi yang

akhirnya akan terjadi pembentukan sel-sel baru pada embrio dan diikuti proses

difrensiasi sel-sel sehingga terbentuk plumula yang merupakan bakal batang dan

daun serta radikula yang merupakan bakal akar. Pada Lampiran 17 dapat terlihat

beberapa tahapan setelah benih berkecambah. Dari hasil yang diperoleh pada

perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia) terdapat perkecambahan yang

(35)

perkecambahan abnormal tidak terjadi pembentukan tunas dan daun primer yang

dapat dilihat pada Lampiran 19. Kartasapoetra (2003), menyatakan bahwa salah

satu ciri perkecambahan abnormal adalah gundul tidak terdapat tunas ujung dan

tidak ada daun primer. Pada beberapa perlakuan yang diberikan dapat terlihat

pada Tabel 3 bahwa perlakuan perendaman dengan KNO3 memiliki nilai tertinggi

pada parameter persentase perkecambahan normal jika dibandingkan dengan

perlakuan pengampelasan yang memiliki nilai persentase perkecambahan

tertinggi. Hal ini mungkin terjadi karena pada saat pengampelasan kulit biji terjadi

pelukaan pada bagian embrio benih terutama bagian titik tumbuh sehingga

menghasilkan perkecambahan yang abnormal.

Menurun atau meningkatnya kecepatan perkecambahan berhubungan

dengan persentase perkecambahan. Hal ini dikarenakan kecepatan perkecambahan

berbanding lurus dengan umur berkecambah dan persentase perkecambahan.

Semakin cepat umur berkecambah dan semakin tinggi persentase perkecambahan

maka kecepatan perkecambahan juga semakin tinggi, hal ini dapat terlihat dari

hasil pengamatan yang diperoleh pada setiap perlakuan. Menurut Sutopo (2002),

bahwa ada hubungan antara kecepatan perkecambahan dengan tinggi rendahnya

produksi tanam.

Laju perkecambahan tercepat terdapat pada perlakuan perendaman dengan

air (23,00 hari), dimana hasil ini cukup jauh berbeda jika dibandingkan dengan

perlakuan kontrol (39,05 hari). Dari hasil ini dapat terlihat bahwa perlakuan

perendaman dengan air selama 24 jam telah mampu mempercepat laju

perkecambahan dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Namun pada

(36)

pengamatan yang lainnya merupakan nilai yang cukup rendah terutama pada

persentase perkecambahan (6,67 %) jika dibandingkan dengan perlakuan lain

yang memiliki perkecambahan. Hal ini terjadi karena pada perlakuan perendaman

dengan air hanya sedikit benih yang berkecambah, sehingga waktu atau hari yang

dibutuhkan oleh benih yang berkecambah juga semakin sedikit atau lebih singkat

dari perlakuan lainnya yang memiliki hasil perkecambahan yang lebih banyak.

Dengan sedikitnya jumlah benih yang berkecambah dapat diduga bahwa

perendaman dengan air selama 24 jam masih kurang optimal untuk melemahkan

kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas, sehingga dapat dikatakan

bahwa perlakuan perendaman dengan air masih kurang baik untuk meningkatkan

perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).

Perlakuan pengovenan selama 30 menit dengan suhu 120 0C memberikan

pengaruh yang buruk terhadap perkecambahan, dimana pada perlakuan

pengovenan ini benih tidak ada yang berkecambah. Hal ini diduga karena terlalu

lamanya waktu dan tingginya suhu yang digunakan pada saat pengovenan yang

menyebabkan rusaknya jaringan-jaringan di dalam benih sehingga menyebabkan

kematian pada embrio benih yang menyebabkan benih tidak dapat berkecambah.

Menurut Sutopo (2002), suhu adalah salah satu faktor yang berperan dalam proses

perkecambahan, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terganggunya

proses perkecambahan bahkan dapat mengakibatkan kematian dan kecambah

(37)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Berbagai perlakuan pematahan dormansi yang telah dilakukan pada benih

pasak bumi (E. longifolia) memberikan pengaruh yang nyata terhadap seluruh

parameter pengamatan.

2. Perlakuan pengampelasan dengan kertas ampelas merupakan perlakuan yang

terbaik dalam perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia).

3. Perlakuan pengovenan dengan suhu 1200C selama 30 menit merupakan

perlakuan yang kurang baik karena terlalu tingginya suhu dan lamanya waktu

yang digunakan sehingga tidak ada benih yang berkecambah.

Saran

Agar diperoleh hasil yang optimal untuk seluruh parameter pengamatan

maka hendaknya benih yang digunakan adalah benih hasil seleksi dan berkualitas,

dan dalam perlakuan pengovenan sebaiknya suhu dan waktu yang digunakan lebih

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Bewley, J. D. dan M. Black. 1982. Physiology and Biochemistry of Seed. In relation to Germination. Volume 2. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. New York.

Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tumbuhan Budidaya. Penerjemah Herawati Susilo. UI Press. Jakarta.

Gomez, K. A. Dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Diterjemahkan oleh E. Syamsuddin dan J. S. Baharsyah. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Hanafiah, K.A. 2003. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Cetakan ke-8. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Hasanah, M. dan D. Rusmin. 2006. Teknologi Pengelolaan Benih Beberapa Tanaman Obat di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25 (2). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor.

Intisari Online. 2001. Menguak Manfaat Tanaman Herbal: Mencari Viagra Dalam Herbal. Intisari Online.

Ismail, Z., N. Ismail dan J. Lassa. 1999. Malaysian Herbal Monograph. Volume 1. Malaysian Monograph Committee. Kuala Lumpur.

Jayusman. 1997. Hubungan antara Variasi Ukuran Biji dengan Nilai Kecambah dan Pertumbuhan Semai Kemenyan Durame (Styrax benzoin Dryand). Buletin Penelitian Kehutanan Visi dan Misi Ilmiah. Volume 13 (3).

Kartasapoetra, A.G. 2003. Teknologi Benih: Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum. Cetakan keempat. Bina Aksara. Jakarta.

Kuswanto, H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi, Produksi dan Sertifikasi Benih. Edisi I. Cetakan ke-1. ANDI. Yogyakarta.

Mugnisjah, W.Q., A. Setiawan, Suwarto, dan S. Cecep. 1994. Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

(39)

Portal Komuniti Herba. 2005. Tongkat Ali. Khazanah Herba Warisan Bumi. Melur.com

Republika Online. 2003. Akar Pasak Bumi Penambah Stamina. Republika.

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryono. Jilid 3. Edisi ke-4. ITB. Bandung.

Sastrosupadi, A. 1995. Rancangan Percobaan Praktis untuk Bidang Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Setiawan, A. I. 1996. Kiat Memilih Tanaman Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sinar Harapan. 2003. Flora dan Fauna: Pasak Bumi, Tanaman dengan Dua Kelamin. IPTEK dan Lingkungan. <

Siregar, L. A. M. 2000. Organogenesis dan Pengkulturan Ampaian Sel

Eurycoma longifolia Jack. Thesis Universiti Sains Malaysia. Malaysia.

Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Edisi Revisi. Cetakan ke-5. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Syukur, C. dan Hernani. 2001. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wikipedia. 2007. Pokok Tongkat Ali. Wikipedia Bahasa Melayu. Edisi Revisi. Wikimedia Project. (10 Mei 2007).

(40)

Lampiran 1. Rataan Umur Berkecambah (Hari)

Lampiran 2. Rataan Umur Berkecambah (Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5

(41)

Lampiran 4. Rataan Persentase Perkecambahan (%)

Lampiran 5. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Setelah di Transformasi dengan x+0.5

(42)

Lampiran 7. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%)

Lampiran 8. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) Setelah di Transformasi dengan x+0.5

(43)

Lampiran 10. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Value)

Lampiran 11. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Value) Setelah di Transformasi dengan x+0.5

(44)

Lampiran 13. Rataan Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari)

Lampiran 14. Rataan Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5

Lampiran 15. Sidik Ragam (ANOVA) Laju Perkecambahan (Rata-rata Hari) Setelah di Transformasi dengan x+0.5

(45)

Lampiran 16. Gambar buah dan biji pasak bumi (E. Longifolia)

Buah Biji

un Biet tin gi chua, vao day coi di

Biet tin gi chua, vao day coi di

MLampiran 18. Gambar bibit pasak bumi (E. longifolia) pada perlakuan pengampelasan (P1) dan perlakuan perendaman KNO3 (P4)

(46)

(A) Perkecambahan normal dan (B) Perkecambahan abnormal

Lampiran 20. Gambar bibit pasak bumi (E. longifolia) pada satu bulan pengamatan

Lampiran 21. Gambar bibit pasak bumi (E. Longifolia) pada akhir penelitian

(47)

Comment [ J1] :

un Biet tin gi chua, vao day coi di Biet tin gi chua, vao day coi di

v

Gambar

Tabel 1. Rataan Umur Berkecambah (hari) Benih Pasak Bumi (E. longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Tabel 2. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Benih Pasak Bumi (E. Longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Tabel 3. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) Benih Pasak Bumi (E.longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
Tabel 4. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor) Benih Pasak Bumi (E.longifolia) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormasi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Vitamin E juga melindungi β-kroten dari oksidasi (Gunawan, 2007), fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam lemak dan mudah memberikan hidrogen dari

Rendahnya nilai indeks dominasi pada stasiun 1 bulan September yaitu dengan rata-rata 0,343 dan pada stasiun 2 bulan November yaitu dengan rata- rata 0,302

Pilihan strategi pada masing- masing jenis pembangkit tersebut adalah melalui pertimbangan pendapatan rumah tangga dalam mengakses listrik, biaya atau harga yang dibutuhkan untuk

[r]

1) Dibolehkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan uzur sama sekali. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama mazhab Zaidiyah, sebagian mazhab Hanafi, dan sebagian

Berdasarkan hasil pengamatan awal peneliti di kelas X Multimedia SMK Negeri 1 Sukawati dan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran prakarya dan kewirausahaan di kelas tersebut

Dengan demikian, guru sebagai pengendali utama di dalam proses belajar mengajar di kelas perlu mencermati terlebih dahulu terhadap buku siswa maupun buku pegangan guru yang sudah