• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4 Serat Polietilen .1 Pengertian

2.4.3 Pengaruh Efektivitas Variasi Serat Polietilen .1 Perlakuan terhadap Serat Polietilen

2.4.3.7 Efek Perendaman pada Serat Polietilen

Vojvodic D. dkk (2009) menggunakan suhu terkontrol dengan melakukan perendaman sampel selama 28 hari dalam air untuk memperlihatkan sifat mekanis yang terjadi dengan mengikuti keadaan dalam rongga mulut memperlihatkan penurunan kekuatan transversal (Vojvodic dkk. 2009). Hasil penelitian yang sama juga terlihat pada penelitian Yondem I dkk. (2011) meneliti waktu perendaman 28 hari dalam air dan pada suhu terkontrol 37 0C yang menurunkan kekuatan transversal dan modulus elastisitas resin akrilik (Yondem dkk. 2011). Pengaruh penting pada kekuatan transversal yang terjadi selama empat minggu pertama perendaman menyebabkan penurunan nilai kekuatan transversal. Perendaman yang lebih lama tidak mengalami penurunan signifikan secara statistik pada kekuatan transversal. Perendaman dalam air memungkinkan molekul air untuk menembus ke wilayah antara rantai polimer dan bertindak seperti irisan antara rantai. Air masuk dalam bahan polimer selama perendaman terutama disebabkan oleh difusi, dan sebagian polaritas dari rantai polimer yang disebabkan oleh molekul tak jenuh dan gaya antar molekul tidak seimbang (Vojvodic dkk. 2009; Yondem dkk. 2011). Penetrasi molekul air menyebabkan pelunakan basis gigitiruan, seperti air diserap dapat bertindak

sebagai polimetil metakrilat plasticizer. Penyerapan air mengurangi sifat mekanis material, sehingga kekuatan transversal, kekuatan impak, kekerasan dan modulus elastisitas yang lebih rendah (Raszewski 2013; Raszewski 2011; Vojvodic dkk. 2009; Yondem dkk. 2011; Paladugu dkk. 2014).

Cheng dkk (1993) dan Chow (1993) meneliti bahwa penyerapan air kedalam matriks resin yang ditambahkan serat polietilen secara signifikan mereduksi perubahan dimensi dikarenakan sifat serat yang hidrofobik dibandingkan dengan resin yang hidrofilik yang dapat menghambat penyerapan air (Jagger dkk. 1999). Raszewski Z dan Nowakowska D (2011) juga menunjukan hasil sampel dengan serat kaca memperlihatkan kekuatan transversal menjadi rendah dengan seiring peningkatan waktu perendaman air dibanding dengan serat polietilen karena efek plasticizer karena serapan air (Raszewski 2013; Raszewski 2011). Hasil penelitian yang berbeda disampaikan oleh Vojvodic D dkk.(2009) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0,05) ditemukan antara sampel yang diuji setelah polimerisasi dan setelah direndam dalam air suling selama 28 hari pada prosedur penuaan. Sebaliknya, nilai-nilai kekuatan transversal tetap sama atau bahkan sedikit meningkat dalam beberapa sampel sub kelompok karena penyerapan air yang terjadi selama perendaman sampel dalam air suling tidak memiliki pengaruh negatif pada kekuatan transversal, dapat dikatakan bahwa penyerapan air menyebabkan relaksasi dari beban dalam bahan polimer yang terjadi selama penyusutan polimerisasi. Hal ini bisa menjadi penjelasan untuk peningkatan nilai kekuatan transversal yang diuji

(Vojvodic dkk. 2009). Seperti disebutkan, prosedur perendaman dapat memiliki dampak yang signifikan pada penurunan sifat mekanis bahan polimer. Sebaliknya, dalam penelitian perendaman ini menunjukkan hasil peningkatan pada kekuatan transversal. Sepertinya peningkatan suhu selama prosedur perendaman seolah-olah mengakibatkan efek polimerisasi berkepanjangan, yang dapat mengakibatkan penurunan volume residu monomer sehingga meningkatkan sifat mekanis dari polimer. Oleh karena itu, polimerisasi berkepanjangan dari bahan polimer harus diusulkan pada instruksi dari pabriknya pada durasi polimerisasi karena menurut pendapat peneliti, hal itu berdampak langsung pada peningkatan sifat mekanis. Auto polimerisasi bahan polimer secara signifikan lebih lemah dari polimerisasi panas bahan dasar gigitiruan (p <0,05) (Vojvodic dkk. 2009). Ladizesky dan Chow (1992) juga menyatakan bahwa pengaruh penyerapan air terhadap serat polietilen dalam resin memiliki efek yang sangat sedikit pada sifat mekanisnya, hal ini terjadi karena adanya plasma treatment yang meningkatkan adhesi antara serat dan matriks resin (Jagger dkk. 1999).

Efek penuaan prosedur thermocycling juga harus mensimulasikan keadaan panas dan dingin dari makanan/ minuman juga dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sifat mekanis bahan polimer (Vojvodic dkk. 2009; Al-Muthaffer dkk. 2012; Mohammed 2013). Pada penelitian diatas hanya dilakukan proses aging dengan proses perendaman saja dengan suhu yang terkontrol. Salah satu metode

simulasi in vitro untuk mengevaluasi sifat fisik dan mekanis bahan proses aging adalah thermocycling (Goiato dkk. 2009).

2.5 Thermocycling

Thermocycling merupakan suatu metode standart in vitro yang digunakan untuk mengevaluasi sifat fisis dan mekanis suatu bahan restoratif atau prostetik yang mengalami proses penuaan (aging) dengan cara mensimulasikan kondisi rongga mulut (Goiato dkk. 2009; Mancuso dkk. 2012). Melalui thermocycling terjadi proses hidrasi yang sesuai dengan kondisi klinis (Goiato dkk. 2009). Efek penuaan dari prosedur thermocycling yang mensimulasikan keadaan panas dan dingin dapat menurunkan sifat mekanis bahan polimer secara signifikan (Vojvodic dkk. 2009). (Gambar 2.6) Morley dan Stockwell menyatakan bahwa kondisi sebenarnya di rongga mulut sebaiknya disimulasikan ketika mengevaluasi sifat dari suatu bahan restorasi, seperti perubahan suhu (Nascimento dkk. 2013), kekerasan bahan, perubahan warna, pH cairan, dan aliran saliva (Mohammed 2013; Hussein dkk. 2012). Asmussen juga menyatakan durasi periode pemanasan dan pendinginan di dalam mulut normalnya singkat, maka cycle diulang – ulang dengan frekuensi yang lebih besar (Nascimento dkk. 2013). Kim dkk menyatakan jumlah cycle pada in vitro harus mensimulasikan tiga kali makan per hari (Gale & Darvell 1999). Perubahan suhu di dalam rongga mulut disimulasikan untuk jangka waktu satu tahun adalah dengan 1000 cycle, sedangkan untuk 3 tahun pemakaian maka dilakukan 3000 cycle

dengan temperature 50-550 selama 60 detik/ cycle (Nascimento dkk. 2013).Menurut ISO 11405 thermocycling dilakukan pada suhu kisaran 5-550C (Moressi dkk. 2014). Madan N dan Datta K (2012) melakukan pengujian kekuatan tarik pada bahan basis gititiruan dan silicone liners dilakukan pada suhu berkisar antara 5-550C sesuai dengan keadaan rongga mulut dan dapat di toleransi oleh oral mukosa dengan dilakukan 2500 cycle (Madan & Datta 2012). Sifat mekanis sangat penting diukur setelah dilakukan thermocycling karena gigitiruan resin akrilik rentan fraktur setelah beberapa lama pemakaian klinik. Pada survei yang dilakukan Johnston, prevalensi fraktur pada gigitiruan ditemukan bahwa 68% gigitiruan patah setelah beberapa tahun selesai dibuat (Al-Muthaffer & Al-Ameer 2012).

Prosedur thermocycling secara signifikan mengurangi kekuatan mekanis dari bahan polimer (Mancuso dkk. 2012). Thermocycling secara signifikan juga mempengaruhi kekerasan, absorpsi, solubilitas dan perubahan warna suatu bahan polimer. Kekerasan suatu bahan meningkat setelah prosedur thermocycling disebabkan karena kehilangan ethanol, kehilangan plasticizer dan absorpsi air yang meningkat. Mancuso, dkk (2012) menyatakan bahwa thermocycling mempengaruhi absorpsi dan solubilitas dari resin akrilik, hal ini disebabkan terjadinya solubilisasi dari plasticizer (Mancuso dkk. 2012).

Dokumen terkait