• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Thermocycling dan Penambahan Serat Polietilen terhadap Kekuatan Impak dan Transversal pada Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Thermocycling dan Penambahan Serat Polietilen terhadap Kekuatan Impak dan Transversal pada Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Basis Gigitiruan

Basis gigitiruan adalah bagian dari suatu gigitiruan yang bersandar pada

jaringan pendukung (McCabe & Walls 2007). Fungsi basis gigitiruan adalah

menggantikan tulang alveolar yang sudah hilang, menyalurkan tekanan oklusal ke

jaringan pendukung gigi, mempertahankan residual ridge, dan tempat untuk

melekatkan komponen gigitiruan lainnya seperti anasir gigitiruan, sandaran oklusal,

lengan retentif dan lengan resiprokal pada gigitiruan dari bahan resin akrilik (Gunadi

2012; Powers dkk. 2006; Carr dkk. 2005). Daya tahan dan sifat-sifat dari suatu basis

gigitiruan sangat dipengaruhi oleh bahan basis gigitiruan tersebut. Berbagai bahan

telah digunakan untuk membuat gigitiruan, namun belum ada bahan yang dapat

memenuhi semua persyaratan basis gigitiruan (Van Noort 2007; Carr dkk. 2005).

2.1.1 Syarat Bahan Basis Gigitiruan

Bahan basis gigitiruan harus memiliki syarat yang ideal untuk pembuatan basis

gigitiruan. Persyaratan ideal untuk bahan basis gigitiruan dapat dibagi berdasarkan

sifat fisis, mekanis, kemis, biologis dan sifat lain yaitu: (McCabe & Walls 2007;

Gunadi 2012; Zarb dkk. 2012; Chhnoeum 2008; Van Noort 2007; Manappallil 2003;

Powers dkk. 2006)

(2)

1. Tidak toksik dan tidak mengiritasi jaringan (biokompatibel)

2. Tidak larut dalam saliva dan tidak mengabsorbsi saliva

3. Jika terjadi proses absorpsi, basis sebaiknya dapat bertahan dari

perkembangan bakteri dan jamur

2.1.1.2 Persyaratan Fisis dan Mekanis 1. Berat jenis rendah

2. Penghantar termal yang baik

3. Kekuatan impak yang (cukup untuk tahan terhadap fraktur), transversal

(tidak kurang dari 60-65 MPa) dan modulus elastisitas yang tinggi untuk

rigiditas yang lebih baik (paling sedikit 2000 Mpa untuk polimer yang

dipolimerisasi dengan panas). ISO 20795-1:2013(E) (International Standart

2013)

4. Warna sesuai dengan jaringan sekitarnya (estetik)

5. Memiliki temperatur glass transition yang mampu untuk mencegah

melunak atau rusaknya selama pemakaian

6. Memiliki stabilitas dimensi yang baik

7. Tidak mudah mengalamai abrasi, sehingga bentuk gigitiruan tetap baik

dalam jangka waktu yang lama

8. Radiopak, sehingga terlihat saat melakukan foto ronsen

(3)

10. Mudah dibersihkan baik secara mekanis maupus kemis

2.1.1.3 Persyaratan Kemis dan Lainnya

1. Bahan basis sebaiknya tahan terhadap bahan kimia

2. Memiliki warna yang baik sehingga terlihat alami

3. Tidak larut dalam cairan rongga mulut

4. Tidak menyerap air dan saliva sehingga tidak merubah sifat mekanisnya

serta tetap higienis

5. Bahan basis sebaiknya tidak mahal, dapat tahan lama pada saat di simpan,

dan pemrosesannya tidak membutuhkan alat yang mahal.

2.1.2 Bahan Basis Gigitiruan

Berdasarkan bahan yang digunakan, basis gigitiruan dapat dibagi menjadi

basis gigitiruan logam dan basis gigitiruan non logam (Powers & Sakaguchi 2006).

2.1.2.1 Basis Logam

Bahan berbasis logam biasanya terbuat dari campuran 2 logam atau lebih

yang disebut dengan alloy, contohnya adalah basis dari kobalt kromium, kobalt

kromium nikel dan nikel kromium (Zarb dkk. 2012). Basis dengan bahan logam

memiliki beberapa keuntungan apabila dibandingkan dengan bahan non logam,

(4)

ketebalan yang minimal. Kerugian dari bahan logam adalah estetik yang kurang baik

serta sulit di perbaiki apabila patah (Gunadi 2012; Zarb dkk. 2012; Carr dkk. 2005).

2.1.2.2 Basis Non Logam

Bahan basis gigitiruan polimer oleh The International Organization for

Standardization (ISO 20795-1:2003(E)) diklasifikasikan menjadi 5 tipe, yaitu : (International Standart 2013)

1. Tipe 1, klas 1 : Heat – processing polymers, powder and liquid

Tipe 1, klas 2 : Heat – processed (plastic cake)

2. Tipe 2, klas 1 : Autopolymerised polymers, powder and liquid

Tipe 2, klas 2 : Autopolymerised polymers, powder and liquid (powder

and liquid pour type resins)

3. Tipe 3 : Thermoplastic blank or powder

4. Tipe 4 : Light – activated materials

5. Tipe 5 : Microwave – cured materials

Bahan berbasis non logam merupakan jenis bahan yang paling sering

digunakan dalam kedokteran gigi karena memiliki sifat yang lebih baik apabila

dibandingkan dengan bahan berbasis logam. Bahan basis non logam memiliki estetik

yang lebih baik serta harga yang lebih terjangkau apabila dibandingkan dengan basis

logam. Bahan basis non logam umumnya terbuat dari bahan polimer. Berdasarkan

(5)

termoplastik dan polimer termoset (Henkel dkk. 2002; Van Noort 2007; Powers dkk.

2006).

2.1.2.2.1 Termoplastik

Polimer termoplastik adalah jenis polimer termoplastik yang akan melunak

ketika dipanaskan dan mengeras kembali saat didinginkan secara reversible.

Degradasi irreversible akan terjadi apabila pemanasan dilakukan dalam temperatur

yang melewati batas ambang. Contoh polimer termoplastik yang sering digunakan

pada kedokteran gigi adalah nilon termoplastik (Henkel dkk. 2002; Van Noort 2007;

Powers dkk. 2006).

2.1.2.2.2 Termoset

Polimer termoset adalah jenis polimer termoset yang akan menjadi keras

secara permanen pada saat pembuatannya dan tidak akan melunak ketika dipanaskan

kembali. Salah satu contohnya adalah cross-linked poly(methyl methacrylate)atau

resin akrilik (Henkel dkk. 2002; Van Noort 2007; Powers dkk. 2006). Resin akrilik

mulai diperkenalkan oleh Rohm dan Hass pada tahun 1936 dalam bentuk lembaran,

kemudian Nemours pada tahun 1937 memperkenalkan resin akrilik dalam bentuk

bubuk. Pada tahun yang sama Dr. Walter Wright memperkenalkan bahan polimetil

metaklirat atau resin akrilik sebagai bahan basis gigitiruan yang hingga saat ini paling

(6)

sudah banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi untuk berbagai keperluan

seperti splinting, pelapis estetik, bahan pembuat anasir gigitiruan, piranti ortodonti,

bahan reparasi dan bahan basis gigitiruan (Sitorus & Dahar 2012).

Resin akrilik banyak digunakan karena memiliki banyak keuntungan, yaitu

harganya yang relatif murah, mudah direparasi, proses pembuatannya yang

menggunakan peralatan yang sederhana, warna yang sesuai dengan jaringan disekitar

rongga mulut, stabilitas dimensinya baik, serta mudah dipoles (Yu dkk. 2012; Yu

dkk. 2013). Bahan basis gigitiruan resin akrilik saat ini terbagi atas beberapa jenis,

yaitu resin akrilik swapolimerisasi, resin akrilik polimerisasi sinar dan resin akrilik

polimerisasi panas (Zarb dkk. 2012; Gladwin dkk. 2009).

Bahan basis gigitiruan resin akrilik saat ini terbagi atas beberapa jenis yaitu

resin akrilik swapolimerisasi, resin akrilik polimerisasi sinar, dan resin akrilik

polimerisasi panas.

1. Resin akrilik swapolimerisasi (cold cured/chemically activated acrylic

resin) adalah resin akrilik yang terdiri dari bubuk dan cairan yang dilengkapi dengan aktivator kimia untuk mempercepat proses polimerisasi

yaitu dimetil-para-toluidin atau amin tersier. Bahan ini memiliki kekuatan

dan stabilitas warna yang kurang apabila dibandingkan dengan resin

akrilik polimerisasi panas, tetapi working time yang lebih cepat dari resin

akrilik polimerisasi panas. Bahan ini biasanya digunakan untuk basis

(7)

2012; Van Noort 2007; Hamza dkk. 2004; Powers dkk. 2006; Carr dkk.

2005).

2. Resin akrilik polimerisasi sinar (light-activated resin) adalah resin akrilik

yang menggunakan sinar tampak untuk proses polimerisasinya.

Penyinaran dilakukan selama 10 menit dengan panjang gelombang cahaya

sebesar 400-500 nm pada unit kuring khusus. Resin akrilik jenis ini

dilapisi oleh komponen lapisan non reaktif untuk mencegah masuknya

oksigen selama proses polimerisasi berlangsung (Zarb dkk. 2012; Powers

dkk. 2006; Gladwin dkk. 2009).

3. Resin akrilik polimerisasi panas (heat cured acrylic resin) adalah resin

akrilik yang menggunakan proses pemanasan untuk polimerisasinya.

Resin akrilik jenis ini tidak memerlukan aktivator dalam proses

polimerisasinya, sehingga working time dari resin akrilik ini paling lama

apabila dibandingkan dengan resin akrilik swapolimerisasi dan

polimerisasi sinar, tetapi resin akrilik jenis ini memiliki kekuatan yang

paling besar (Van Noort 2007; Powers dkk. 2006; Gladwin dkk. 2009).

2.2 Resin Akrilik Polimerisasi Panas

Resin akrilik polimerisasi panas merupakan bahan basis gigitiruan yang

paling sering digunakan sebagai basis gigitiruan dalam kedokteran gigi. Bahan ini

(8)

panas dalam proses polimerisasinya. Energi termal yang dibutuhkan untuk proses

polimerisasinya dapat diperoleh dari perendaman dalam air yang dipanaskan

(waterbath) (Anusavice 1996).

2.2.1 Komposisi

Resin akrilik polimerisasi panas tersedia dalam bentuk bubuk dan cairan.

Bubuk akrilik mengandung komponen polimer dan cairan mengandung monomer.

Komponen-komponen yang terkandung dalam bubuk dan cairan resin akrilik

polimerisasi panas antara lain:(Zarb dkk. 2012; Carr dkk. 2005; Gladwin dkk. 2009)

a. Bubuk (powder)

Polimer: granul prepolimerisasi dari polimetil metaklirat

Inisiator: benzoil peroksida (0,5-1,5%) atau diisobutylazonitrile

Pigmen: merkuri sulfida, kadmium sulfida, ferri oksida atau pigmen organik

Lainnya: serat sintetik yang telah diwarnai

b. Cairan (liquid)

Monomer: metil metaklirat

Inhibitor: hidroquinon (0,003-0,1%)

Cross-linking agent : etilen glikol dimetaklirat (2-14%)

2.2.2 Manipulasi

Resin akrilik polimerisasi panas dimanipulasi sehingga menghasilkan bentuk

(9)

manipulasi resin akrilik polimerisasi panas dengan teknik compression moulding

antara lain:(Anusavice 1996)

a. Perbandingan monomer dan polimer

Pencampuran bubuk polimer dan cairan monomer dilakukan dengan

perbandingan volume 3:1 atau perbandingan berat 2,5:1 (Zarb dkk. 2012; Anusavice

1996).

b. Proses Pencampuran polimer dan monomer

Bubuk dan cairan dengan rasio yang tepat dicampurkan didalam wadah yang

bersih, kering dan tertutup lalu di campurkan hingga homogen. Selama proses

pencampuran, ada beberapa tahapan yang terjadi, yaitu: (Zarb dkk. 2012; Mowade

dkk. 2012; Anusavice 1996)

1. Sandy stage adalah tahap terbentuknya campuran yang menyerupai pasir

basah. Pada tahap ini polimer secara bertahap bercampur dengan monomer.

2. Sticky stage adalah tahap ketika bubuk mulai larut dalam cairan sehingga

akan terlihat seperti berserabut saat ditarik. Pada tahap ini monomer sudah

berpenetrasi dengan polimer.

3. Dough stage adalah tahap saat monomer sudah berpenetrasi seluruhnya ke

dalam polimer yang ditandai dengan konsistensi adonan mudah diangkat dan tidak

lengket lagi. Tahap ini merupakan waktu yang tepat memasukkan adonan ke dalam

(10)

4. Rubbery (elastic) stage adalah tahap saat monomer sudah tidak dapat

bercampur dengan polimer lagi. Pada tahap ini, akrilik akan berwujud seperti karet

dan tidak bisa lagi dimasukkan dalam mold.

5. Stiff stage adalah tahap sewaktu akrilik sudah kaku dan tidak dapat

dibentuk lagi.

c. Proses pengisian dalam mold

Pengisian dalam mold dilakukan pada fase dough stage yaitu setelah

pengisian dilakukan pres hidrolik sebanyak 2 fase. Fase pertama yaitu dengan

tekanan 1000 psi supaya mold terisi secara padat dan kelebihannya dibuang dengan

lekron. Fase kedua dilakukan pengepresan dengan tekanan sebesar 2200 psi dan

dibiarkan pada suhu kamar selama 30-60 menit (Bhaskaran dkk. 2012; Salim 2010).

d. Proses kuring

Proses kuring dilakukan sebanyak 2 fase. Fase pertama dilakukan pada

waterbath pada suhu 700C selama 90 menit dan dilanjutkan dengan fase kedua yang dilakukan pada suhu 1000C selama 30 menit sesuai dengan JIS (Japan Industrial

Standard) (Sadamori dkk. 2007).Proses kuring dengan cara pemanasan yang tinggi dan cepat dapat menyebabkan sebagian monomer tidak sempat berpolimerisasi

menjadi polimer sehingga dapat menguap dan membentuk bola-bola uap, bola uap

tersebut dapat terperangkap di dalam matriks resin sehingga menyebabkan terjadinya

(11)

Setelah proses kuring selesai, kuvet dikeluarkan dari waterbath dan dibiarkan

hingga mencapai suhu kamar, lalu resin akrilik dikeluarkan dari mold kemudian

dirapikan dengan menggunakan bur dan dipoles (Powers dkk. 2006; Sadamori dkk.

2007).

2.2.3 Kelebihan

Resin akrilik polimerisasi panas memiliki kelebihan, antara lain: (Van Noort

2007; Powers dkk. 2006; Faot dkk. 2009; Soygun dkk. 2013)

1. Mudah digunakan dan diperbaiki

2. Estetik yang baik karena warnanya yang menyerupai jaringan rongga mulut

3. Harga yang lebih murah apabila dibandingkan dengan basis gigitiruan

logam dan nilon termoplastik

4. Biokompatibel, yaitu tidak toksik dan tidak bersifat iritan

5. Tidak larut dalam cairan rongga mulut dan tidak mengabsorpsi saliva

6. Stabilitas warna yang baik

7. Mudah dipoles

8. Proses pembuatannya mudah dan hanya memerlukan peralatan sederhana

9. Lebih kuat dibandingkan dengan resin swapolimerisasi

2.2.4 Kekurangan

Resin akrilik polimerisasi panas memiliki beberapa kekurangan, yaitu: (Van

(12)

1. Kekuatan impak (resistensi terhadap benturan) yang rendah apabila

dibandingkan dengan nilon termoplastik dan logam

2. Kekuatan transversal (fleksural) yang rendah apabila dibandingkan dengan

nilon termoplastik dan logam

3. Ketahanan terhadap fatique yang rendah

4. Ketahanan terhadap abrasi yang rendah

5. Konduktivitas termal yang rendah

6. Apabila proses polimerisasinya tidak sempurna, monomer sisa yang

berlebihan dapat menyebabkan reaksi alergi.

7. Working time yang lama apabila dibandingkan dengan resin akrilik

polimerisasi sinar dan resin akrilik swapolimerisasi.

2.2.5 Sifat

Sifat-sifat yang dimiliki resin akrilik polimerisasi panas, antara lain: sifat

kemis, sifat biologis, sifat fisis dan sifat mekanis (McCabe & Walls 2007; Van Noort

2007; Powers dkk. 2006).

2.2.5.1 Sifat Kemis

Bahan basis gigitiruan harus stabil secara kimia yaitu tidak boleh larut dalam

cairan apapun termasuk cairan dalam rongga mulut, tidak boleh mengalami erosi

maupun korosi. Sifat kemis dari resin akrilik berhubungan dengan penyerapan air dan

(13)

mg/cm2, sedangkan besar kelarutan dalam cairannya adalah 0,02 mg/cm2 (McCabe &

Walls 2007; Powers 2008; Van Noort 2007).

2.2.5.2 Sifat Biologis

Bahan basis gigitiruan harus biokompatibel, tidak bersifat toksik, tidak

bersifat iritan, tidak karsinogenik dan tidak berpotensi menyebabkan alergi. Resin

akrilik polimerisasi panas merupakan bahan yang biokompatibel, tetapi monomer sisa

yang berlebihan dapat menyebabkan reaksi alergi. Besarnya monomer sisa pada resin

akrilik polimerisasi panas adalah sebesar 1-3% ketika dikuring dalam waktu kurang

dari 1 jam dalam air mendidih. Jumlah monomer sisa akan berkurang hingga 0,4%

atau bahkan lebih kecil apabila dikuring pada suhu 700C dan dipanaskan dengan air

mendidih selama 3 jam (McCabe & Walls 2007; Powers 2008; Powers dkk. 2006).

2.2.5.3 Sifat Fisis

Sifat fisis yang terdapat pada resin akrilik polimerisasi panas adalah

konduktivitas termal, koefisien ekspansi termal, stabilitas dimensi, densitas dan

kestabilan warna. Konduktivitas termal merupakan laju aliran panas per satuan

gradien suhu pada suatu benda. Konduktivitas termal diperlukan pada bahan basis

gigitiruan untuk menahan stimulus panas dan dingin supaya kesehatan rongga mulut

dapat terjaga dengan baik. Konduktivitas termal untuk resin akrilik polimerisasi

(14)

diabsorpsi suatu benda ketika dipanaskan. Koefisien ekspansi termal untuk resin

akrilik polimerisasi panas adalah sebesar (81 x 10-6)/0C (McCabe & Walls 2007; Van

Noort 2007; Powers dkk. 2006). Stabilitas dimensi merupakan kemampuan resin

akrilik polimerisasi panas untuk mempertahankan bentuknya baik setelah pemrosesan

maupun sebelum pemrosesan. Besarnya penyusutan yang terjadi selama polimerisasi

resin akrilik polimerisasi panas adalah sebesar 0,97% volume. Besarnya densitas

resin akrilik polimerisasi panas adalah kira-kira sebesar 1,16-1,18 g/cm. Kestabilan

warna dapat ditentukan dengan pengukuran color stability test yaitu resin akrilik akan

disinari dengan sinar ultraviolet selama 24 jam. Hasil yang diperoleh hanya boleh

menunjukkan sedikit perubahan warna apabila dibandingkan dengan resin akrilik

sebelum dilakukan penyinaran (McCabe & Walls 2007; Zarb dkk. 2012; Powers dkk.

2006).

2.2.5.4 Sifat Mekanis

Sifat mekanis adalah respon yang terukur baik elastis maupun plastis dari

bahan bila terkena gaya atau distribusi tekanan. Sifat mekanis bahan basis gigitiruan

resin akrilik polimerisasi panas adalah kekuatan tarik, kekuatan impak, kekuatan

transversal dan fatik. Kekuatan tarik merupakan tekanan tarik yang menyebabkan

terpisahnya rantai molekul-molekul polimer, kekuatan tarik merupakan kekuatan

yang sering menyebabkan terjadinya retak pada bahan basis gigitiruan resin akrilik

polimerisasi panas. Kekuatan impak merupakan kekuatan yang menyebabkan suatu

(15)

merupakan ukuran kekuatan terhadap tekanan yang terjadi pada bahan basis

gigitiruan akibat pengunyahan. Kekuatan fatik merupakan kekuatan yang

menyebabkan patahnya basis gigitiruan akibat pembengkokan yang berulang yang

disebabkan oleh pemakaian gigitiruan yang terlalu lama (Mc.Caracken’s 2000; Van

Noort 2007). Salah satu faktor yang dapat mengakibatkan fraktur dari gigitiruan

adalah rendahnya resisten dari impak dan transversal, atau juga teknik pembuatan

basis gigitiruan yang tidak baik (Hamza dkk. 2004). Khasawneh dan Arab (2001)

mengemukakan bahwa rata-rata fraktur basis gigitiruan pada rahang atas adalah 8,1

tahun dan pada rahang bawah adalah 7,6 tahun (Khasawneh & Arab 2002).

2.2.6 Kekuatan Impak

Kekuatan impak adalah ukuran kekuatan dari suatu bahan ketika bahan

tersebut patah akibat benturan yang terjadi secara tiba-tiba. Kelemahan dari kekuatan

impak biasanya terjadi diluar rongga mulut yang diakibatkan jatuh saat gigitiruan

dibersihkan, batuk, atau bersin (El-Sheikh & Al-Zahrani 2006). Survei fraktur

gigitiruan yang dilakukan oleh El-Sheikh dan Al-Zahrani (2006) bahwa perbaikan

gigitiruan dalam 3 tahun adalah sebesar 69,7%, sedangkan fraktur yang terjadi akibat

kekuatan impak adalah sebesar 80,4%. Hal ini sejalan dengan survei yang dilakukan

oleh Hargreaves yang melaporkan 63% gigitiruan patah setelah 3 tahun pemasangan

(El-Sheikh & Al-Zahrani 2006). Dua tipe alat pengujian kekuatan impak yang sering

digunakan pada resin akrilik polimerisasi panas, yaitu Izod dan Charpy. Pada alat

(16)

pada alat penguji Izod sampel dijepit secara vertikal pada salah satu ujungnya.

Kekuatan impak diukur menggunakan sampel dengan ukuran tertentu yang

diletakkan pada alat penguji dengan lengan pemukul yang dapat diayun. Pemukul

tersebut kemudian diayun dan membentur sampel sehingga patah selanjutnya energi

yang tertera pada alat penguji dibaca dan dicatat lalu dilakukan perhitungan kekuatan

impak (McCabe & Walls 2007; Van Noort 2007; Powers dkk. 2006).

Keterangan:

A = Energi yang diserap (Joule)

X = Lebar batang uji (mm)

Y = Tebal batang uji (mm)

2.2.7 Kekuatan Transversal

Gigitiruan yang berada pada rongga mulut pada saat pengunyahan di sebelah

posterior gigitiruan merupakan model penerapan tekanan transversal yang serupa

dengan dukungan three point bending test (Vojvodic dkk. 2009; Yondem dkk. 2011;

Yu dkk. 2012; Unalan dkk. 2010). Tekanan transversal pada suatu bahan material

merupakan gabungan dari kekuatan kompresi, kekuatan tarik, dan kekuatan shear

(Yondem dkk. 2011). Kekuatan transversal didefinisikan sebagai kemampuan bahan

(17)

perbaikan gigitiruan dalam 3 tahun fraktur yang terjadi akibat kekuatan transversal

adalah sebesar 16,1% (El-Sheikh & Al-Zahrani 2006). Uji lentur melintang paling

sering digunakan pada sampel dengan penampang lingkaran atau persegi panjang

dibengkokkan sampai fraktur atau menggunakan teknik three point bending test.

Kekuatan transversal merupakan stres tertinggi dialami dalam materi pada saat yang

fraktur. Kekuatan transversal dapat juga didefinisikan sebagai gaya per satuan luas

pada titik fraktur benda uji mengalami beban lentur. Menurut American Society for

Testing dan Material (ASTM) D790 standar, sampel yang diuji untuk kekuatan melintang dengan three point bending test menggunakan Instron UTM (Raszewski

dkk. 2013; Raszewski dkk. 2011; Unalan dkk. 2010; Bashi dkk. 2009; Paladugu dkk.

2014). Beban diterapkan terpusat pada sampel bar pada kecepatan dari 5 mm/menit

dan panjang rentang 50 mm (ISO 1567) (Raszewski dkk. 2013; Raszewski dkk. 2011;

Yondem dkk. 2011; Vojdani dkk. 2006; Yu dkk. 2012; Gurbuz dkk. 2010). Sampel

didefleksikan sampai terjadi gaya fraktur (Paladugu dkk. 2014). Gaya yang

dibutuhkan sampai fraktur dihitung dengan cara menurut ISO 20795-1:2013(E)

(International Standart 2013; Gurbuz dkk. 2010).

Dimana:

σ = kekuatan transversal (megapascal)

F = gaya maksimum, dalam satuan Newton

(18)

b = lebar sampel, dalam satuan milimeter

h = tinggi sampel atau ketebalan sampel, dalam satuan milimeter

2.3 Bahan Penguat Resin Akrilik

Resin akrilik merupakan bahan yang paling sering digunakan dalam

kedokteran gigi, tetapi resin akrilik memiliki berbagai kelemahan, salah satunya ialah

kekuatan impak dan transversal yang rendah (Powers 2008). Untuk meningkatkan

kekuatan resin akrilik polimerisasi panas dapat digunakan berbagai macam bahan

penguat. Bahan penguat yang dapat digunakan yaitu bahan logam, kimia dan serat

(Sitorus dkk. 2012; Soygun dkk. 2013; Dogan dkk. 2008).

2.3.1 Bahan Logam

Bahan logam dapat ditambahkan kedalam resin akrilik polimerisasi panas

sebagai penguat. Bentuk logam yang dapat ditambahkan ke dalam resin akrilik

polimerisasi panas ialah logam yang berbentuk kawat, plat dan mesh (Vojdani dkk.

2006; Sitorus dkk. 2012; Jaber 2011). Bahan penguat ini memiliki beberapa kerugian

sehingga sangat jarang digunakan, yaitu sistem adhesi yang inadekuat antara resin

akrilik dan komponen logam, harga yang relatif mahal, korosi serta warna logam

yang gelap sehingga akan mengurangi estetik gigitiruan (Schricker dkk. 2006; Hamza

2004; Dogan dkk. 2008). Penggunaan kawat logam sebagai penguat tidak

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekuatan impak (Vojdani & Khaledi

(19)

2.3.2 Bahan Kimia

Bahan polifungsional berupa cross-linking agent seperti polietilen glikol

dimetakrilat dapat ditambahkan kedalam monomer resin akrilik sebagai penguat

(Dogan dkk. 2008).Penambahan cross-linking agent dapat menambah ikatan kovalen

antar monomer sehingga secara mikroskopik akan berpengaruh pada kekuatan resin

akrilik pada saat dicampur ke dalam polimer. Ikatan kovalen yang kuat akan

mencegah terputusnya rantai polimer pada saat pemanasan dan meningkatkan

elastisitas (Henkel & Pense 2002).Penggunaan bahan kimia sebagai penguat resin

akrilik polimerisasi panas jarang digunakan, karena penggunaan dalam jangka waktu

yang lama dapat menyebabkan resin akrilik menjadi fatik akibat elastisitas yang

berlebihan serta harganya yang sangat mahal yang bahkan melebihi harga resin

akrilik polimerisasi panas yang konvensional. Bahan kimia lainnya yang dapat

ditambahkan kedalam resin akrilik polimerisasi panas sebagai penguat adalah rubber

particles dan filler kimia (Van Noort 2007; Yu dkk. 2013).Bahan rubber yang dapat ditambahkan kedalam resin akrilik polimerisasi panas adalah butadienestyrene rubber

yang dapat bertindak sebagai shock absorber untuk menahan stress yang diterima

oleh resin akrilik polimerisasi panas sehingga dapat meningkatkan kekuatan impak

(Sitorus & Dahar 2012).

(20)

Serat merupakan bahan yang paling sering digunakan sebagai penguat pada

bahan yang terbuat dari polimer. Penggunakaan serat dapat meningkatkan sifat

mekanis dari resin akrilik polimerisasi panas (Raszewski & Nowakowska 2011),

terutama kekuatan impak dan transversal (Vojvodic dkk. 2009; Vojdani 2006).

Berdasarkan bahan pembuatnya, serat terbagi menjadi dua macam, yaitu serat alami

dan serat buatan (Feldman dkk. 1995).

2.3.3.1 Serat Alami

Serat alami merupakan serat yang terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari

alam seperti hewan, mineral dan tumbuhan, misalnya serat jute (Feldman dkk. 1995;

Hyer 1998). Dalam penelitian yang dilakukan Kondo, dkk (2009) yang

menambahkan serat jute potongan kecil kedalam bahan basis gigitiruan resin akrilik

polimerisasi panas menyatakan perlunya penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi

optimal dan surface treatment yang tepat sehingga dapat digunakan sebagai bahan

penguat basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas (Alla dkk. 2013).

2.3.3.2 Serat Buatan

Serat buatan dapat berbentuk filamen maupun stapel. Serat buatan yang sering

dijadikan sebagai penguat adalah serat karbon, serat kaca dan serat polimer (Feldman

dkk. 1995; Hyer 1998). Serat karbon merupakan serat yang memiliki kekuatan yang

sangat kuat, ringan dan memiliki modulus elastisitas yang tinggi, tetapi serat ini

jarang digunakan sebagai bahan penguat basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi

(21)

gelap dari serat karbon akan mengurangi estetik apabila dijadikan sebagai bahan

penguat resin akrilik polimerisasi panas (Henkel 2002; Yu dkk. 2012). Serat kaca

adalah material berbentuk serabut yang sangat halus dan mengandung bahan kaca,

serat ini lebih murah daripada serat karbon. Serat ini termasuk serat estetis, sehingga

tidak akan menggangu estetik dari bahan basis gigitiruan. Serat polimer merupakan

serat yang terbuat dari rantai polimer panjang yang berada di sepanjang aksis dan

membentuk serabut. Serat polimer umumnya memiliki kekuatan yang tinggi (Hyer

1998).Serat polimer yang dapat dijadikan sebagai bahan penguat adalah serat aramid,

serat rayon, serat polietilen, serat nilon dan serat poliester. Serat rayon, serat

polietilen, serat nilon dan serat poliester merupakan serat estetik sehingga estetika

dari basis gigitiruan akan terjaga (Yu dkk. 2012; Dogan dkk. 2007). Serat aramid

berwarna kekuningan dan dapat menambah kekasaran resin akrilik polimerisasi panas

sehingga sulit dipoles serta daya adhesi yang rendah antara serat aramid dan resin

akrilik membuat serat aramid tidak digunakan secara luas sebagai bahan penguat

(Alla dkk. 2013).

2.4 Serat Polietilen 2.4.1 Pengertian

Polietilen (PE) atau plastik diproduksi secara global 80 juta ton. Penggunaan

utamanya adalah dalam kemasan (kantong plastik, wadah botol, film plastik)

(Wikipedia 2015). Serat ini bersifat inert, memiliki kekuatan impak yang tinggi, dan

(22)

jenis dari polietilen dengan sebagian besar memiliki rumus kimia (C2H4)nH2 (Gambar

2.1). Jadi PE biasanya campuran senyawa organik serupa yang berbeda dalam hal

nilai n (Wikipedia 2015).

Gambar 2.1. Rumus kimia polietilen dan ikatan rantai polietilen

Sumber : Strassler HE, Brown C. 2001. Periodontal splinting with a thin-high-modulus polyethyelene ribbon.

2.4.2 Klasifikasi

Klasifikasi dari polietilen dibagi menurut kepadatannya: (Wikipedia 2015)

Ultra-high-molecular-weight polyethylene (UHMWPE)

Ultra-low-molecular-weight polyethylene (ULMWPE or PE-WAX)

High-molecular-weight polyethylene (HMWPE)

High-density polyethylene (HDPE)

High-density cross-linked polyethylene (HDXLPE)

Cross-linked polyethylene (PEX or XLPE)

Medium-density polyethylene (MDPE)

Linear low-density polyethylene (LLDPE)

(23)

Very-low-density polyethylene (VLDPE)

Chlorinated polyethylene (CPE)

Serat polietilen yang banyak digunakan pada kedokteran gigi adalah jenis

UHMWPE yang merupakan serat dengan berat molekul berjumlah jutaan (Vojvodic

dkk. 2009; Yondem dkk. 2011; Narva dkk. 2005; Yu dkk. 2012; Unalan dkk. 2010;

Jagger dkk. 1999; Wikipedia 2015; Belli 2006). Serat ini mulai di perkenalkan tahun

1960, memiliki rantai yang sangat panjang dengan massa molekul antara 2-6 juta unit

(Strassler & Brown 2001). Susunan rantai yang makin panjang berfungsi mentransfer

beban yang lebih efektif untuk polimer dengan penambahan interaksi intermolekuler.

Berat molekul tinggi membuatnya menjadi bahan yang sangat kuat dan kekuatan

impak yang tinggi (Wikipedia 2015; Strassler 2001).

Jenis serat polietilen UHMWPE yang sering digunakan sebagai serat penguat

komposit merupakan bahan berbasis resin yang diperkuat dengan serat untuk

meningkatkan sifat fisis (Ganesh & Tandon 2006). Penggunaan kawat logam sebagai

penguat tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekuatan impak

(Vojdani & Khaledi 2006). Faktor kunci yang mempengaruhi sifat fisis dari struktur

serat penguat adalah serat yang diberikan beban saat berada diantara resin dan

efektifitas dari bonding terhadap permukaan serat, orientasi serat dan lokasi serat

dalam resin (Ganesh & Tandon 2006).

Serat polietilen Ribbond merupakan salah satu serat polietilen UHMWPE

(24)

penguat serat polietilen yang mudah dimanipulasi (Gambar 2.2). Serat ini jauh

melebihi titik patah dari serat kaca dan diperlukan gunting khusus untuk

memotongnya. Kunci utama kesuksesan dari serat polietilen Ribbond yaitu anyaman

lenoweave yang dipatenkan dengan desain lock- stitch yang memiliki keefektifan memindahkan beban melewati anyaman tanpa tekanan terbalik ke resin. Serat

polietilen Ribbond tidak memiliki “virtual memory”, mudah diadaptasikan ke dalam

bentuk gigi dan lengkung rahang. Sifat dari serat polietilen Ribbond translusen, tidak

berwarna diantara komposit atau akrilik sehingga estetik menjadi maksimal. Aplikasi

dalam penggunaan serat ini dalam kedokteran gigi juga berfungsi sebagai pasak

endodontik, splin periodontal, space maintainers yang estetik, mahkota tunggal dan

retainer ortodonsia (Ganesh & Tandon 2006).

Gambar 2.2. Serat polietilen (Ribbond lebar 3mm)

Sumber :Strassler HE, Brown C. 2001. Periodontal splinting with a-thin

high-modulus polyethylene ribbon.

Kunci kesuksesan dari serat polietilen Ribbond dan yang menjadi pembeda

serat polietilen Ribbond di bandingkan dengan serat penguat yang lain adalah

(25)

karakter pengelolaan yang baik dan hampir tidak memiliki memori sehingga mudah

diadaptasikan dengan kontur dari gigi dan lengkung gigi. Tidak seperti anyaman yang

longgar dari serat unidireksi, anyaman serat polietilen Ribbond tidak menyebar atau

berantakan saat dimanipulasi (Belli 2006; Ganesh 2006; Strassler 2001). Hasil

penempatan serat yang tidak akurat menyebabkan celah didalam rongga atau

komposit yang berlebih pada sisi tarik (tensile) menyebabkan komposit mudah

fraktur (Ganesh & Tandon 2006). Desain yang unik membuat serat properti berikut

ke serat polietilen Ribbond : (Gambar 2.3)

Gambar 2.3. Desain anyaman lenoweave

serat polietilen Ribbond

Sumber : Ganesh M,

Tandon S. 2006. Versatility of

ribbond in contemporary

dental practice.

Properti lainnya terlihat di serat polietilen Ribbond : (Ganesh 2006; Strassler 2001)

a. Mudah di bonding

Serat polietilen Ribbond mudah di bonding pada komposit. Pembesaran

110.000 kali yang dilakukan dengan SEM menunjukkan penyatuan yang lengkap

resin dengan serat polietilen Ribbond ini (kurangnya voids). Tekanan yang diberikan

kepada resin mudah di transferkan serat polietilen Ribbond sehingga menjadi bagian

kekuatan yang tidak terpisahkan dari protesa.

(26)

Resin akrilik swapolimerisasi dengan setting time yang lama, akan

memperkuat resin. Serat polietilen Ribbond yang telah di campurkan dengan

monomer di lapisi oleh resin akrilik pada fase “sticky stage”, setelah itu manipulasi

dapat dilakukan dengan tangan dan dicampurkan ke akrilik pada fase “dough stage”.

c. Estetik

Serat polietilen Ribbond tidak memiliki warna dan translusen, tidak terlihat

bila berada diantara resin akrilik.

d. Biokompatibel

Serat polietilen Ribbond adalah standar dalam biokompatibilitas. Material ini

juga digunakan dalam konstruksi pinggul dan lutut sendi buatan.

Jenis serat polietilen Ribbond dibagi menjadi serat polietilen Ribbond THM,

Ribbond Original, Ribbond Ultra dan Ribbond Triaxial. Pada serat polietilen Ribbond

Original (1991), dapat digunakan untuk aplikasi yang sama seperti serat polietilen

Ribbond yang lainnya, ketebalannya 0,35 mm. Serat polietilen Ribbond THM terbuat

dari serat tipis dengan jumlah serat yang lebih banyak dan memiliki kekuatan lentur

dan modulus elastisitas yang lebih tinggi dari serat polietilen Ribbond Original dan

Ribbond Triaxial dengan ketebalan 0,18 mm. Serat polietilen Ribbond THM (2001)

juga memiliki disain lenoweave dan memiliki kekuatan yang baik serta lebih tipis

dibandingkan dengan serat polietilen Ribbond Original (Gambar 2.4) (Belli 2006;

Ganesh 2006). Serat polietilen Ribbond Triaxial merupakan serat unidireksi hibrid

(27)

Desain ini dipatenkan untuk memberikan ketahanan fraktur dari beban berbagai arah

dan modulus elastisitas yang lebih besar (Belli 2006; Ganesh 2006). Serat polietilen

Ribbond Triaxial adalah bahan pilihan untuk jembatan, restorasi endodontik, dan

aplikasi lain. Serat polietilen Ribbond Ultra (2013) merupakan serat yang paling tipis

diantara semua serat dengan ketebalan 0,12 mm sehingga lebih mudah diadaptasikan

dan memiliki kekuatan transversal yang tertinggi dibanding serat polietilen Ribbond

yang lain. Serat polietilen Ribbond Original, Ribbond THM dan Ribbond Ultra telah

diberikan perlakuan plasma dingin dan hanya berbeda di ketebalan (Belli 2006;

Strassler 2001; Hamza dkk. 2004).

Diameter dari serat polietilen yang diubah dari 215 denier (Ribbond Original)

menjadi 100 denier (Ribbond THM) meningkatkan 2,5x lipat kekuatan transversal

pada resin tanpa pemberian serat penguat dan 15% dibandingkan Serat polietilen

Ribbond Original (Strassler & Brown 2001).

Gambar 2.4. Perbandingan ketebalan

Serat polietilen Ribbond Original dengan Ribbond THM

Sumber : Ganesh M, Tandon S. 2006. Versatility of ribbond in

(28)

Hal ini sejalan dengan rumus Hall-Petch yang menyatakan diameter serat

berbanding terbalik dengan tegangan yang dihasilkan. Tegangan bertambah bila

diameter dari serat dikurangi (Carlton & Ferreira 2007). Hamza TA, dkk (2004)

menyatakan kekuatan transversal yang dihasilkan oleh basis gigitiruan resin akrilik

polimerisasi panas yang diberikan penambahan serat menunjukkan kekuatan yang

tertinggi pada serat polietilen Ribbond THM dilanjutkan dengan serat polietilen

Ribbond Original, lalu diikuti serat polietilen Ribbond Triaxial (Hamza dkk. 2004).

Hal ini berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Kanie T., dkk (2000) yang

meneliti tentang ketebalan serat 0,13 mm, 0,18 mm dan 0,21 mm didapatkan hasil

kekuatan transversal pada serat 0,18 mm lebih tinggi dibandingkan dengan serat

dengan ketebalan 0,13 mm. Pada serat dengan ketebalan 0,13 mm didapatkan

modulus elastisitas yang tertinggi dibandingkan dengan serat dengan ketebalan 0,18

mm dan 0,21 mm. Pada serat dengan ketebalan 0,21 mm menunjukkan kekuatan

impak yang tertinggi dibandingkan serat dengan ketebalan 0,13 mm dan 0,18 mm

(Kanie dkk. 2000). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Lasilla, dkk (2002)

yang menyatakan serat- serat dengan diameter yang lebih kecil dapat menyebabkan

mudah terjadinya voids antara permukaan serat dan matriks sehingga menurunkan

kekuatan transversal dan modulus elastisitas (Rezvani dkk. 2013). Rezvani MB dkk.

(2013) melaporkan bahwa diameter serat 14, 19, and 26 μm yang di impregnasikan

kedalam resin matriks, menunjukan bahwa tidak terjadi perubahan kekuatan

(29)

diameter yang kecil tidak menunjukkan kekuatan transversal yang lebih tinggi

(Rezvani dkk. 2013).

Belli (2006) menyatakan anyaman serat polietilen Ribbond lebih efektif

dalam menahan beban tarikan daripada serat unidireksi karena struktur tiga dimensi

yang dihasilkan dari lenoweave. Analisis Finite Element menunjukkan bahwa

penguatan dengan serat polietilen lenoweave dirancang dengan fitur lock-stitch

mengurangi nilai stres nilai bila dibandingkan dengan serat unidireksi atau triaxial

dibawah penekanan (Belli & Eskitascioglu 2006).

2.4.3 Pengaruh Efektivitas Variasi Serat Polietilen 2.4.3.1 Perlakuan terhadap Serat Polietilen

Serat polietilen memiliki beberapa keuntungan yaitu estetik yang baik, mudah

dimanipulasi dan dapat meningkatkan kekuatan mekanis (Raszewski dkk. 2013; Yu

dkk. 2012). Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa kekuatan adhesi antara

matriks resin akrilik dan serat polietilen sangat rendah sehingga dapat mempengaruhi

sifat mekanis yang mengakibatkan adanya voids (Rahamneh 2009) oleh karena itu

diperlukan aktivasi permukaan (surface treatment) (Raszewski dkk. 2013; Mowade

dkk. 2012). Setelah proses tersebut, akan terbentuk kelompok-kelompok baru pada

permukaan serat dan dapat mudah bereaksi dengan resin lainnya, terutama dengan

kelompok metakrilat (Raszewski dkk. 2013). Mowade, dkk (2012) menyatakan sifat

adhesi yang lebih baik dapat dicapai dengan treated polietilen karena permukaan

(30)

polimer. Branden, dkk (1988) menyatakan penguatan resin akrilik dengan

penambahan serat polietilen menunjukkan hasil yang memuaskan dan diperlukan

plasma treated untuk meningkatkan adhesi antara serat dan resin (Jagger 1999; Mowade dkk. 2012). Berbagai saran telah dilakukan untuk meningkatkan adhesi

permukaan surface treatment pada serat adhesi resin akrilik dengan polimer resin

akrilik dengan menggunakan metode: sandblasting, pemberian bahan adhesif yang

berbeda, plasma treatment (Mowade dkk. 2012), dan metode pretreatment lainnya

(Rahamneh 2009). Cara lain untuk meningkatkan adhesi dari serat ke dalam matriks

polimer yaitu dengan impregnasi resin ke dalam serat sebelum di aplikasikan

(Mowade dkk. 2012). Vallitu, dkk (1994) menyatakan impregnasi serat kedalam

matriks yang tidak baik mengakibatkan penurunan dari kekuatan transversal dari

bahan basis gigitiruan yang diakibatkan karena penyerapan cairan monomer yang

berlebih dalam serat sebelum terjadinya polimerisasi (Kanie dkk. 2000). Hal ini

berbeda dengan penelitian Vojdani dan Khaledi (2006) yang menyatakan peningkatan

cairan monomer akrilik pada serat menurunkan voids yang terjadi (Vojdani &

Khaledi 2006). Vallitu (1994) menyatakan adhesi antara serat dengan polimer matriks

sangat penting untuk meningkatkan sifat mekanis dari polimer matriks. Voids dapat

terjadi didalam sampel resin akrilik karena adanya penyusutan pada saat polimerisasi

sebesar 8-21%. Jumlah monomer yang digunakan berbeda pada berbagai tipe serat

karena adanya penyusutan yang terjadi akibat polimerisasi. Voids yang ditemukan

(31)

dkk. 1994). Voids yang terjadi akibat penyusutan saat terjadi polimerisasi dari

monomer dari bahan basis gigitiruan resin akrilik terlihat pada hasil SEM yang

dilakukan pada serat dan matriks mengakibatkan pelemahan matriks polimer (Narva

dkk. 2001). Metode impregnasi menjadi efektif apabila akrilik resin dapat berkontak

dengan permukaan serat yang telah diberikan wetting (Mowade dkk. 2012). Jumlah

air diserap dalam matriks polimer mempengaruhi sifat mekanis dari resin diperkuat

serat karena efek plasticizer dari air. Pada saat ini serat yang paling dapat diterima

sebagai serat penguat resin akrilik adalah serat polietilen karena mudah disesuaikan

dengan bentuk dan panjang yang diinginkan.

Rahamneh A. (2009) meneliti bahwa sampel yang mengandung serat

polietilen memiliki kekuatan impak tertinggi diikuti oleh sampel yang mengandung

serat kaca dan serat karbon (Rahamneh 2009). Serat yang digunakan kedalam resin

akrilik harus dibasahi dengan monomer sebelum ditempatkan dalam campuran

monomer dan polimer (Hamza dkk. 1996). Untuk menghindari kontaminasi

permukaan yang plasma treated, sepasang sarung tangan katun yang disediakan

dalam paket, bersama dengan gunting yang dirancang untuk memotong serat dengan

panjang yang diperlukan (Ramos dkk. 1996).

2.4.3.2 Penyusunan Serat Polietilen

Serat polietilen dan serat kaca yang unidireksi merupakan bahan

pengaplikasian yang baik pada kedokteran gigi untuk meningkatkan sifat mekanis

(32)

menyatakan bahwa resin akrilik yang diperkuat dengan serat yang tersusun

unidireksi menunjukkan kekuatan transversal yang tertinggi dibandingkan dengan

serat anyaman dan serat yang tersusun acak dalam matriks polimer. Susunan serat

yang tegak lurus dengan arah tekanan yang diberikan akan memberikan dukungan

kekuatan yang paling baik. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ladizesky bahwa

kekuatan impak yang tertinggi pada serat kaca adalah apabila serat tersusun

unidireksi dan tersusun paralel dengan permukaan matriks, sehingga kemampuan

matriks saat menerima beban mekanis di transfer ke serat (Bashi dkk. 2009).

Ladizesky juga meneliti 13,4% serat polietilen yang unidireksi atau 39% potongan

kecil serat polietilen meningkatkan kekuatan impak hingga 44 KJ/m2 (Loncar dkk.

2008). Berbeda pada penelitian Unalan, dkk (2010) menunjukkan bahwa kekuatan

tertinggi dari sampel di dapat pada serat anyaman dari pada serat unidireksi (Unalan

dkk. 2010).

Serat yang panjang memberikan hasil yang berbeda pada sifat mekanis pada

resin akrilik dan cocok untuk digunakan pada daerah yang memiliki beban yang besar

(Raszewski 2011; Narva dkk. 2001). Arah serat yang memiliki pengaruh signifikan

pada bahan material apabila serat yang tersusun paralel dengan arah beban yang

diberikan mempermudah resisten fraktur dari bahan. Peningkatan kuantitas serat

dalam matriks meningkatkan kekuatan transversal dari kekuatan matriks (Raszewski

dkk. 2013). Vojvodic (2009) menyatakan bahwa serat unidireksi lebih kuat pada

(33)

serat tegak lurus dengan beban yang diberikan (net shaped memiliki penyusunan

serat 45o) sehingga memberikan efek memperkuat (Vojvodic dkk. 2009). Serat

unidireksi yang tegak lurus dengan midline dari gigitiruan akan mencegah fraktur

dibagian midline akibat tekanan transversal. Yu SH (2012) menyatakan serat

unidireksi memiliki kelemahan yaitu pada saat mengunyah, beban yang diberikan ke

berbagai arah, sedangkan unidireksi menahan beban hanya dari 1 arah (Yu dkk.

2012). Standar deviasi dapat terjadi walaupun persiapan pembuatan sampel proses

laboratoris dilakukan secara sama, faktor yang tidak terkendali tetap terjadi

diakibatkan pembasahan permukaan oleh monomer dan polimer, penetrasi resin

akrilik polimerisasi panas ke dalam serat, proses mikroporositas pada tepi serat, dan

lokasi serat pada sampel (Raszweski dkk. 2013; Raszewski dkk. 2011).

2.4.3.3 Efek Surface Treatment pada Serat Polietilen

Voids internal terbentuk dalam resin akrilik komposit serat resin disebabkan oleh penyusutan polimerisasi akrilik resin monomer cair di dalam serat atau wetting

agent serat dengan resin akrilik sedikit sehingga mengurangi penyatuan permukaan antara serat dengan matriks (Hamza dkk. 2004; Ramos dkk. 1994). Serat yang setelah

dicelupkan dalam monomer resin akrilik yang mengelilingi serat menyusut hanya 8%

(Vojdani dkk. 2006; Vallittu dkk. 1994).

Serat polietilen bersifat hidrofobik dan memiliki energi permukaan rendah

sehingga kompatibilitasnya dengan resin akrilik rendah. Serat yang tidak di treated

(34)

sebenarnya melemahkan resin dengan memecah-belah matriks resin (Mowade dkk.

2012). Mowade, dkk (2012) menyatakan serat polietilen yang dilakukan plasma

treatment menunjukkan kekuatan impak yang signifikan lebih tinggi daripada kelompok yang tidak dilakukan plasma treatment (Mowade dkk. 2012). Dalam

rangka meningkatkan adhesi antara resin dan serat, modifikasi permukaan harus

dilakukan. Beberapa teknik yang diikuti adalah plasma treatment serat polietilen

menggunakan Oksigen, Helium atau gas Argon, treated asam kromat dari serat

polietilen (Raszewski dkk. 2013; Mowade dkk. 2012). Serat polietilen dengan

permukaan di modifikasi oleh plasma dingin diproses pada suhu yang sangat tinggi

dapat mengubah permukaan polietilen. Peningkatan energi permukaan serat dan

pembasahan permukaan yang dihasilkan oleh plasma treated akan teretsa sehingga

memudahkan penyatuan mekanik dengan matriks polimer (Raszewski dkk. 2013;

Raszewski dkk. 2011; Mowade dkk. 2012). Kekuatan transversal tidak akan

meningkat dengan penambahan serat pada polimer matriks apabila surface treatment

tidak dilakukan karena adhesi yang rendah (Hamza dkk. 2004; Ramos dkk. 1996).

IE Kostoulas, T. Kavoura, MJ Frangou, GL Polyzois meneliti serat yang di

berikan MMA wetting agent selama 180 detik pada resin polimerisasi panas

menunjukkan bahwa proses wetting sangat penting untuk meningkatkan adhesi yang

baik antara serat dan resin (Raszewski 2013). Proses wetting yang kurang antara

permukaan serat dengan matriks polimer merupakan daerah kritikal untuk rentan

(35)

polietilen yang telah diberi perlakuan plasma menunjukkan dampak signifikan lebih

tinggi dari serat polietilen yang tidak diberi perlakuan (t = 5,3710, df = 18, p =

.0001). Temuan dari analisis SEM membenarkan peningkatan kekuatan impak setelah

perlakuan plasma (Mowade dkk. 2012). Mowade, dkk (2012). Peningkatan kekuatan

impak setelah perlakuan plasma pada serat polietilen sejalan dengan penelitian

Ladizesky, dkk (1993) menunjukkan peningkatan dalam dampak kekuatan PMMA

setelah perlakuan plasma pada serat tetapi bertentangan Gutteridge (1992) yang tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan sampel serat

plasma treated (Mowade dkk. 2012). Mowade, dkk (2012). Berbeda dengan penelitian lain Tagaki K., dkk (1996) bahwa adhesi yang lemah antara serat dengan

matriks polimer, bahkan dengan bantuan plasma treated, tidak jauh meningkatkan

sifat mekanis dari basis gigitiruan polimer (Narva dkk. 2005; Narva dkk. 2001).Yu

SH (2012) menyatakan bahwa serat polietilen UHMWP yang diberikan perlakuan

plasma menunjukkan peningkatan kekuatan transversal (Yu dkk. 2012).

2.4.3.4 Efek Lokasi pada Serat Polietilen

Raszewski Z dan Nowakowska D (2011) menyatakan bahwa kekuatan

transversal dari resin akrilik bertambah bila di tambahkan serat, tetapi kekuatan yang

di hasilkan bergantung pada posisi dari serat pada resin. Peningkatan kekuatan

transversal bertambah apabila posisi serat ditempatkan dalam arah yang berlawanan

dengan arah tekanan yang diberikan (Raszewski 2013; Raszewski 2011). Hal ini

(36)

varian menunjukkan bahwa merek dan lokasi serat pada resin yang diperkuat secara

signifikan mempengaruhi kekuatan transversal. Narva KK, dkk (2004) penempatan

serat di sisi tensile (tarik) menghasilkan kekuatan yang jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan jumlah serat yang sama pada sisi kompresi (Narva dkk. 2005).

Serat yang diposisikan pada daerah yang dekat dengan daerah kompresi tidak

meningkatkan kekuatan transversal (Raszewski 2011). Resin akrilik yang telah di

perkuat serat ditempatkan di sisi tarik dari sampel menghasilkan kekuatan transversal

jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sampel pada saat serat ditempatkan di sisi

kompresi karena serat memiliki kemampuan untuk melengkung dan menyerap energi

tanpa destruksi dari matriks resin (Raszewski 2011). Kekuatan tarik lebih tinggi

terjadi pada serat penguat lebih efektif digunakan jika lokasi serat dekat dengan

beban tarik tertinggi dari benda uji. Dalam situasi klinis resin yang di perkuat serat

juga harus ditempatkan di dekat posisi tegangan tarik pada daerah non fungsional

gigitiruan (Gambar 2.5) (Narva dkk. 2005).

Serat polietilen yang terletak tegak lurus terhadap garis tengah gigi tiruan

akan berguna untuk mencegah fraktur garis tengah gigi palsu akibat kekuatan

transversal (Narva dkk. 2001). Secara metodologis, salah satu keterbatasan penelitian

ini diakibatkan pengujian dry specimens. Beberapa studi telah menunjukkan pengaruh

saturasi air pada sifat transversal gigitiruan yang di perkuat serat (Narva dkk. 2005).

Serat polietilen Ribbond meningkatkan kekuatan fraktur dari resin saat diletakkan

(37)

Gambar 2.5. Skematik sisi tarikan dan sisi kompresi. A. Sampel tanpa disertai penambahan serat, aksis netral terletak pada bagian tengah dari

sampel. B. Serat berada pada sisi tarikan dari sampel. C. Serat berada pada sisi kompresi dari sampel

Sumber : Narva KK, Lassila LV, Vallittu PK. 2005. The static

Strength and modulus of fiber reinforced denture base polymer.

2.4.3.5 Impregnasi pada Serat Polietilen

Gutteridge (1992) menyatakan peningkatan kekuatan impak terjadi apabila di

tambahkan serat polietilen UHMWPE kedalam resin (Jagger dkk. 1999). Narva, dkk

(2004) menyatakan efek penguatan dari serat polietilen (terlepas dari apakah serat

ditempatkan pada daerah tarikan atau kompresi) juga memungkinkan terjadinya

adhesi antar permukaan yang berkurang antara gigitiruan dasar polimer dan serat. Hal

ini juga mungkin disebabkan impregnasi serat polietilen yang berikatan dengan resin

akrilik gigitiruan kurang memadai (Narva dkk. 2005). Adhesi membutuhkan

impregnasi yang tepat dari serat dengan matriks, dan idealnya semua serat yang

tertanam dalam polimer matriks (Hamza dkk. 2004; Kanie dkk. 2000).Impregnasi

yang kurang pada serat yang dimasukkan ke dalam matriks mengakibatkan terjadinya

(38)

dan juga mereduksi kekuatan transversal dari basis gigitiruan (Kanie dkk. 2000).

Masalah ini telah dibahas sebelumnya oleh Vallittu bahwa adhesi antar permukaan

yang tidak memadai dan impregnasi yang kurang dapat menghambat peresapan

tekanan matriks polimer homogen diperkuat serat, karena itu hanya perbedaan kecil

antara hasil uji dengan lokasi serat dapat ditemukan. Hasil penelitian Narva KK, dkk

(2005) menunjukkan bahwa serat yang diimpregnasi dan preimpregnated

meningkatkan kekuatan basis gigitiruan daripada serat yang tidak diimpregnasi

(Narva dkk. 2005). Girbea C., dkk (2010) menyatakan kelemahan dari manipulasi

serat saat di impregnasikan dalam resin akrilik adalah terjadinya discreet movement

dari serat polietilen saat proses manipulasinya hal ini sejalan dengan penelitian yang

di lakukan oleh Vallitu (1994) (Girbea dkk. 2010).Bashi TK dan Al-Nema (2009)

menyatakan bahwa adhesi rendah antara serat dan matriks menyebabkan penurunan

yang signifikan pada kekuatan impak dibandingkan dengan sampel yang tidak diberi

serat penguat (Bashi 2009). Watri D (2011) yang menyatakan sifat kaku dari bahan

serat mempengaruhi kelenturan bahan sehingga dapat melemahkan kekuatan

transversalnya (Watri 2010).

2.4.3.6 Efek Volume pada Serat Polietilen

Peningkatan kekuatan transversal terjadi kedalam polimer matriks apabila

kuantitas dari serat didalam sampel bertambah (Raszewski 2011). Yu HS, dkk (2012)

menyatakan serat polietilen biokompatibel dan memiliki tingkat kekakuan,

(39)

berbeda dengan menambahkan 2,6%, 5,3%, atau 7,9% dari setiap serat yang

dimasukkan dalam resin polimerisasi panas basis gigitiruan. 5,3% serat polietilen

menunjukkan kekuatan transversal yang signifikan lebih tinggi daripada kelompok

lain (p < 0,05) (Yu dkk. 2012).

2.4.3.7 Efek Perendaman pada Serat Polietilen

Vojvodic D. dkk (2009) menggunakan suhu terkontrol dengan melakukan

perendaman sampel selama 28 hari dalam air untuk memperlihatkan sifat mekanis

yang terjadi dengan mengikuti keadaan dalam rongga mulut memperlihatkan

penurunan kekuatan transversal (Vojvodic dkk. 2009). Hasil penelitian yang sama

juga terlihat pada penelitian Yondem I dkk. (2011) meneliti waktu perendaman 28

hari dalam air dan pada suhu terkontrol 37 0C yang menurunkan kekuatan transversal

dan modulus elastisitas resin akrilik (Yondem dkk. 2011). Pengaruh penting pada

kekuatan transversal yang terjadi selama empat minggu pertama perendaman

menyebabkan penurunan nilai kekuatan transversal. Perendaman yang lebih lama

tidak mengalami penurunan signifikan secara statistik pada kekuatan transversal.

Perendaman dalam air memungkinkan molekul air untuk menembus ke wilayah

antara rantai polimer dan bertindak seperti irisan antara rantai. Air masuk dalam

bahan polimer selama perendaman terutama disebabkan oleh difusi, dan sebagian

polaritas dari rantai polimer yang disebabkan oleh molekul tak jenuh dan gaya antar

molekul tidak seimbang (Vojvodic dkk. 2009; Yondem dkk. 2011). Penetrasi molekul

(40)

sebagai polimetil metakrilat plasticizer. Penyerapan air mengurangi sifat mekanis

material, sehingga kekuatan transversal, kekuatan impak, kekerasan dan modulus

elastisitas yang lebih rendah (Raszewski 2013; Raszewski 2011; Vojvodic dkk. 2009;

Yondem dkk. 2011; Paladugu dkk. 2014).

Cheng dkk (1993) dan Chow (1993) meneliti bahwa penyerapan air kedalam

matriks resin yang ditambahkan serat polietilen secara signifikan mereduksi

perubahan dimensi dikarenakan sifat serat yang hidrofobik dibandingkan dengan

resin yang hidrofilik yang dapat menghambat penyerapan air (Jagger dkk. 1999).

Raszewski Z dan Nowakowska D (2011) juga menunjukan hasil sampel dengan serat

kaca memperlihatkan kekuatan transversal menjadi rendah dengan seiring

peningkatan waktu perendaman air dibanding dengan serat polietilen karena efek

plasticizer karena serapan air (Raszewski 2013; Raszewski 2011). Hasil penelitian yang berbeda disampaikan oleh Vojvodic D dkk.(2009) yang menyatakan tidak ada

perbedaan yang signifikan (p > 0,05) ditemukan antara sampel yang diuji setelah

polimerisasi dan setelah direndam dalam air suling selama 28 hari pada prosedur

penuaan. Sebaliknya, nilai-nilai kekuatan transversal tetap sama atau bahkan sedikit

meningkat dalam beberapa sampel sub kelompok karena penyerapan air yang terjadi

selama perendaman sampel dalam air suling tidak memiliki pengaruh negatif pada

kekuatan transversal, dapat dikatakan bahwa penyerapan air menyebabkan relaksasi

dari beban dalam bahan polimer yang terjadi selama penyusutan polimerisasi. Hal ini

(41)

(Vojvodic dkk. 2009). Seperti disebutkan, prosedur perendaman dapat memiliki

dampak yang signifikan pada penurunan sifat mekanis bahan polimer. Sebaliknya,

dalam penelitian perendaman ini menunjukkan hasil peningkatan pada kekuatan

transversal. Sepertinya peningkatan suhu selama prosedur perendaman seolah-olah

mengakibatkan efek polimerisasi berkepanjangan, yang dapat mengakibatkan

penurunan volume residu monomer sehingga meningkatkan sifat mekanis dari

polimer. Oleh karena itu, polimerisasi berkepanjangan dari bahan polimer harus

diusulkan pada instruksi dari pabriknya pada durasi polimerisasi karena menurut

pendapat peneliti, hal itu berdampak langsung pada peningkatan sifat mekanis. Auto

polimerisasi bahan polimer secara signifikan lebih lemah dari polimerisasi panas

bahan dasar gigitiruan (p <0,05) (Vojvodic dkk. 2009). Ladizesky dan Chow (1992)

juga menyatakan bahwa pengaruh penyerapan air terhadap serat polietilen dalam

resin memiliki efek yang sangat sedikit pada sifat mekanisnya, hal ini terjadi karena

adanya plasma treatment yang meningkatkan adhesi antara serat dan matriks resin

(Jagger dkk. 1999).

Efek penuaan prosedur thermocycling juga harus mensimulasikan keadaan

panas dan dingin dari makanan/ minuman juga dapat memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap sifat mekanis bahan polimer (Vojvodic dkk. 2009; Al-Muthaffer

dkk. 2012; Mohammed 2013). Pada penelitian diatas hanya dilakukan proses aging

(42)

simulasi in vitro untuk mengevaluasi sifat fisik dan mekanis bahan proses aging

adalah thermocycling (Goiato dkk. 2009).

2.5 Thermocycling

Thermocycling merupakan suatu metode standart in vitro yang digunakan untuk mengevaluasi sifat fisis dan mekanis suatu bahan restoratif atau prostetik yang

mengalami proses penuaan (aging) dengan cara mensimulasikan kondisi rongga

mulut (Goiato dkk. 2009; Mancuso dkk. 2012). Melalui thermocycling terjadi proses

hidrasi yang sesuai dengan kondisi klinis (Goiato dkk. 2009). Efek penuaan dari

prosedur thermocycling yang mensimulasikan keadaan panas dan dingin dapat

menurunkan sifat mekanis bahan polimer secara signifikan (Vojvodic dkk. 2009).

(Gambar 2.6) Morley dan Stockwell menyatakan bahwa kondisi sebenarnya di

rongga mulut sebaiknya disimulasikan ketika mengevaluasi sifat dari suatu bahan

restorasi, seperti perubahan suhu (Nascimento dkk. 2013), kekerasan bahan,

perubahan warna, pH cairan, dan aliran saliva (Mohammed 2013; Hussein dkk.

2012). Asmussen juga menyatakan durasi periode pemanasan dan pendinginan di

dalam mulut normalnya singkat, maka cycle diulang – ulang dengan frekuensi yang

lebih besar (Nascimento dkk. 2013). Kim dkk menyatakan jumlah cycle pada in vitro

harus mensimulasikan tiga kali makan per hari (Gale & Darvell 1999). Perubahan

suhu di dalam rongga mulut disimulasikan untuk jangka waktu satu tahun adalah

(43)

dengan temperature 50-550 selama 60 detik/ cycle (Nascimento dkk. 2013).Menurut

ISO 11405 thermocycling dilakukan pada suhu kisaran 5-550C (Moressi dkk. 2014).

Madan N dan Datta K (2012) melakukan pengujian kekuatan tarik pada bahan basis

gititiruan dan silicone liners dilakukan pada suhu berkisar antara 5-550C sesuai

dengan keadaan rongga mulut dan dapat di toleransi oleh oral mukosa dengan

dilakukan 2500 cycle (Madan & Datta 2012). Sifat mekanis sangat penting diukur

setelah dilakukan thermocycling karena gigitiruan resin akrilik rentan fraktur setelah

beberapa lama pemakaian klinik. Pada survei yang dilakukan Johnston, prevalensi

fraktur pada gigitiruan ditemukan bahwa 68% gigitiruan patah setelah beberapa tahun

selesai dibuat (Al-Muthaffer & Al-Ameer 2012).

(44)

Prosedur thermocycling secara signifikan mengurangi kekuatan mekanis dari

bahan polimer (Mancuso dkk. 2012). Thermocycling secara signifikan juga

mempengaruhi kekerasan, absorpsi, solubilitas dan perubahan warna suatu bahan

polimer. Kekerasan suatu bahan meningkat setelah prosedur thermocycling

disebabkan karena kehilangan ethanol, kehilangan plasticizer dan absorpsi air yang

meningkat. Mancuso, dkk (2012) menyatakan bahwa thermocycling mempengaruhi

absorpsi dan solubilitas dari resin akrilik, hal ini disebabkan terjadinya solubilisasi

(45)

2.8 Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh thermocycling terhadap kekuatan impak bahan basis

gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas tanpa penambahan serat polietilen dan

dengan penambahan serat polietilen Ribbond THM dan Ribbond Ultra.

2. Ada pengaruh thermocycling terhadap kekuatan transversal bahan basis

gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas tanpa penambahan serat dan dengan

penambahan serat polietilen Ribbond THM dan Ribbond Ultra.

3. Ada pengaruh penambahan serat polietilen Ribbond THM dan Ribbond

Ultra terhadap kekuatan impak pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi

panas yang tidak dan yang dilakukan thermocycling.

4. Ada pengaruh penambahan serat polietilen Ribbond THM dan Ribbond

Ultra terhadap kekuatan transversal pada bahan basis gigitiruan resin akrilik

Gambar

Gambar 2.2. Serat polietilen (Ribbond lebar                       3mm)
Gambar 2.3. Desain anyaman lenoweave                     serat polietilen Ribbond      Sumber : Ganesh M,
Gambar 2.5.  Skematik sisi tarikan dan sisi kompresi. A. Sampel tanpa disertai                                               penambahan serat, aksis netral terletak pada bagian tengah dari sampel
Gambar 2.6. Alat Thermocycling

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan penulisan ini untuk membuat suatu sistem penyewaan VCD dimana penerapannya diharapkan dapat mempermudah proses pemasukan data vcd dan anggota, penyimpanan data vcd

ULP Polres Bangli Tahun Anggaran 2017, melaksanakan penjelasan dokumen pengadaan untuk pekerjaan Pemeliharaan Ranmor Roda 4 Polres Bangli TA. Pemberian Penjelasan secara

Tidak terdapat penyedia yang meminta penjelasan terhadap dokumen pengadaan paket pekerjaan Pemeliharaan Ranmor Roda 2 Polres Bangli dan telah di Upload ke situs

Banyak manfaat yang bisa didapatkan dengan menggunakan komputer salah satunya yaitu untuk mendapatkan informasi, seperti yang penulis ingin buat didalam penulisan ilmiah ini

Tidak terdapat penyedia yang meminta penjelasan terhadap dokumen pengadaan paket pekerjaan Pemeliharaan Ranmor Roda 2 Opsnal Polresta Denpasar Tahun Anggaran 2017 yang telah

Kegiatan kemahasiswaan bertaraf nasional yang dapat memperoleh bantuan dana, paling sedikit melibatkan (panitia dan peserta) mahasiswa dari sekurang-kurangnya

[r]

Mengenal tata cara ibadah hají Kompetensi Dasar Materi Pembelajaran Nilai Budaya Dan Karakter Bangsa Kewirausahaan/ Ekonomi Kreatif Kegiatan Pembelajaran Indikator