• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas seksual tidak hanya didefinisikan sebagai jenis kelamin biologis tetapi juga gender. Judith Butler memulai penjelasan dengan konsep koherensi internal dan eksternal diri sebagai penentu identitas yang bersifat normatif. Adanya keterkaitan antara identitas, seks, dan substansi metafisik (Butler, 1999). Sejauh ini identitas merupakan media yang digunakan untuk menstabilisasi seks, gender dan seksualitas yang bersumber dari budaya. Budaya dipandang sebagai jenis kelamin dan ekspresi atau efek manifestasi seksual. Budaya berperan dalam membangun dan mengatur bentuk makna seksualitas. Hal ini menyebabkan yang menyebabkan kegagalan identitas gender menyesuaikan diri dengan norma–norma budaya dianggap sebagai sebuah ketidaknormalan (Alimi, 2004). Jadi budaya yang dimaksudkan disini adalah ketika jenis kelaminnya laki-laki dan memiliki penis maka seks dan gendernya dikatakan normal apabila berhubungan dengan perempuan, begitupula sebaliknya. Waria dianggap ketidaknormalan, karena jenis kelaminnya laki-laki akan tetapi memiliki ketertarikan seksualitas dengan laki-laki pula. Hal ini yang dianggap kegagalan dalam menyesuaikan dengan norma – norma budaya.

Gagasan sentral dalam pemikiran Judith Butler adalah performativitas gender dan seks. Gender, bahkan seks, bagi Judith Butler merupakan “pertunjukan”, bukan esensi, atau ekspansi dari seks yang ada pada tubuh. Bagi Butler, gender adalah drag, yaitu pertunjukan waria untuk menguji dan membuktikan mereka telah menghasilkan femininitas yang sebenarnya.

Bagi Butler, tidak ada tubuh atau seks diskursif. Tidak ada gender pra-diskursif. Tidak ada seksualitas pra-diskursif. Semua terbentuk dalam relasi kuasa dan pengetahuan. Secara khusus, teorinya adalah teori performativitas. Apabila feminisme memahami bahwa gender adalah manifestasi dan akibat dari seks. Seks merupakan “esensi” atau “interior core” yang harus dikeluarkan, diaktulisasikan menjadi gender. Seks juga merupakan sebab dari desire terhadap gender. Inilah yang dimaksud “stable

point of reference” (Alimi, 2011: 4). Maka Butler menganggap tidak ada kaitan

antara keduanya, hal tersebut merupakan kontruksi sosial.

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap waria di Yogyakarta, tidak terbukti bahwa gender merupakan aktualisasi dari seks. Waria di Yogyakarta memiliki alat kelamin laki-laki dan dikategorisasikan sebagai laki-laki, secara konstruksi hasrat mereka seharusnya adalah kepada perempuan, akan tetapi senyatanya hasrat mereka kepada laki-laki karena mereka sendiri berjiwa perempuan. Kata kunci untuk memahami pemikiran Butler ada 3, yaitu (1) Performativitas (2) Materialisasi, dan (3) Sitasionalitas.

Performativitas

Kata kunci pemikiran Butler berikutnya adalah “performativity”. Artinya apa yang kita katakan atau lakukan bersifat konstitutif. Bagi Butler, Gender terbentuk melalui imitasi. Imitasi adalah peniruan, dengan segala atribut dan karakternya. Tidak

ada gender asli atau primer yang ditiru oleh drag, tetapi gender itu sendiri merupakan imitasi.

There is no original or primary gender a drag imitates, but gender is a kind of imitation for which there is no original (Alimi, 2011: 5).

“Tidak ada yang asli atau gender yang utama dari yang diimitasi oleh drag, tetapi gender sendiri adalah imitasi dari sesuatu yang tidak asli.”

Seperti halnya yang telah disebutkan penulis di atas, bahwa laki-laki akan melakukan sesuai dengan konstitutifnya sesuai dengan konstrusi yang berlaku di masyarakat, begitupula dengan perempuan. Maka pada waria di Yogyakarta pun seperti itu. Mereka terbentu dari pengimitasian perempuan. Tindakan dan tingkah laku mereka pun meniru perempuan. Gender bagi Butler bukan seseorang, tapi adalah sesuatu yang diilakukan orang. Gender lebih merupakan doing dari pada being (an act… a

“doing” rather than a “being”. Artinya, tidak ada esensi gender dibalik ekspresi

gender; performativitas itulah yang membentuk apa yang dianggap sebagai esensi. “There is no gender identity behind the expressions of gender; that identity is

performatively constituted by the very “expressions” that are said to be its results.”

“Gender is a kind of imitation for which there is no original; in fact, it is a kind of imitation that produces the very notion of the original as an effect and consequence of the imitation itself. “Imitation and Gender Insubordination” in Inside/Out (1991) edited by Diana Fuss10

Oleh karena itu, gender dan seks bukanlah suatu hal yang kodrati atau alamiah, melainkan adalah atribut, yang terbentuk melalui performance atau performativitas. Pemapanan gender/seks itu tujuannya adalah untuk mengalamiahkan heteroseksualitas, dan seksualitas untuk reproduksi.

Materialisasi Seks

Materialisasi bukan dalam pengertian materialis yang berarti mata duitan, akan tetapi materialisasi disini adalah pembentukan menjadi material, menjadi daging, menjadi darah, yang tidur, makan dan istirahat. Bagi Butler tubuh—saraf, darah, kontur dan gerakannya-- termaterialkan oleh performativitas oleh pertunjukan. Rumus yang dipakai Butler adalah rumus post-strukturalis: “There is no nature, only

the effects of nature: denaturalization or naturalization. Derrida, Donner le temps”.

(Alimi, 2011: 10).

Butler menggunakan konsep “materialisasi” untuk membedakan konsepnya dengan “konstruksi” sebagaimana dikembangkan Foucault. Konstruksi sosial gender dan seksualitas Foucault masih belum bisa menjawab materialitas seks, gender dan seksualitas. Seks menurut Butler “is an ideal construct that is forcibly materialized

through time.”

Performativity cannot be understood outside of a process of iterability, a regularized and constrained repetition of norms. And this repetition is not performed by a subject; this repetition is what enables a subject and constitutes the temporal condition for the subject. This iterability implies that ‘performance’ is not a singular ‘act’ or event, but a ritualized production, a ritual reiterated under and through constraint, under and through the force of

prohibition and taboo, with the threat of ostracism and even death controlling and compelling the shape of the production, but not, I will insist, determining it fully in advance (Butler, 1993: 21).

Kendati demikian teori performativitas sering salah dipahami sebagai enactment gender dan seks sebagai “daily choice” (Butler, 1993: 20). Gender bukan sebagai

daily choice, atau yang dapat berubah-ubah. Pentingnya materialisasi gender dan seks

adalah sebagai sarana pembentukan gender itu sendiri. Pada waria di Yogyakarta, dari mulai perubahan nama, tingkah laku, suara, perubahan bentuk tubuh, dalam dalam hubungan seksualitas dilakukan setiap hari, sehingga terbentuk materialisasi seks dan gender tersebut, sehingga melekat dalam diri mereka sebagai proses dari pengimitasian mereka terhadap perempuan. Sehingga masyarakat pun terkadang tidak bisa membedakan mana yang perempuan asli ataupun waria karena pertunjukan mereka sebagai seorang perempuan tersebut.

Sitasionalitas

Performativitas terletak diluar intensionalitas. Butler menjelaskan dengan konsep sitasionalitas. Bagi Butler gender dan seks bukanlah sebuah kondisi, melainkan adalah pertunjukan terus menerus yang bukan hanya membentuk keaslian jenis kelamin melainkan juga mematerialisasikan jenis kelamin. Seks bukanlah sebuah fakta simple dan kondisi statis tubuh, melainkan proses dimana norma-norma pengatur mematerialkan seks dan mencapai materialisasi ini melalui pengulangan norma itu secara terus menerus dan dipaksakan. Pengulangan-penguulangan ini

menunjukkan bahwa materialisasi itu tidak pernah tercapai, tubuh juga tidak pernah berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan (Butler 532-3 dalam Alimi, 2011: 12).

Performativitas tidak dipahami sebagai tindakan singular dan sengaja, melainkan sebagai tindakan terus menerus dan sitasional, melalui mana diskursus menghasilkan efek yang dinamainya.” “Norma-norma pengatur tentang seks berfungsi secara performatif untuk membentuk materialitas tubuh, materialialitas seks, dan mematerialkan perbedaan seksual dalam rangka untuk mengkonsolidasi ideology imperarif heteroseksual.” Oleh karena itu, apa yang mendefinisikan kemapanan tubuh, kontur dan gerakannya secara penuh bersifat material, tetapi materialitas dilihat sebagai efek kuasa, sebagai efek kuasa yang paling produktif. Materialisasi tubuh tidak bisa dilepaskan dari materialisasi norma-norma pengatur (regulatory norms). Butler mereformulasikan materialisasi sebagai berikut:

“(1)the recasting of the matter of bodies as the effect of a dynamic of power, such that the matter of bodies will be indissociable from the regulatory norms that govern their materialization and the signification of those material effects; (20 the understanding of performativity not as the act by which a subject brings into being what she/he names, but rather, as that reiterative power of discourse to produce the phenomena that it regulates and contrains; (4) a rethinking of the process by which a bodily norm is assumed, approlaki-lakited, taken as not, strictly speaking, undergone by a subject, but rather that the subject, the speaking “I” is formed by virtue of having gone through such a process of assuming a sex; and (50 a linking of this process of “assuming” a sex with the question of identitification, and with the discursive means by which the heterosexual imperatives enables certain sexed identifications and forcloses and/or disavows other identifications” (Butler, 1993: 21).

Gender tidak bisa diperlakukan seperti pakaian, besok mau memakai yang ini, besoknya itu, pemilihan berada dalam intensionalitas. Untuk menjelaskan hal ini,

Butler menekankan pentingnya repetisi dalam performativitas. Repetisi ini yang fungsinya sebagai alat peng-materialisasi gender tersebut. Waria di Jogja pun melakukan pengimitasian atas apa yang secara konstitutif dilakukan oleh perempuan pada umumnya. Hal tersebut berlangsung setiap harinya, bukan hanya dilakukan sesuai kehendak mereka saja. Hal tersebut bertujuan untuk mematerialisasikan gender dan seks mereka. Prosesnya berlangsung setelah mereka coming out sebagai seorang waria. Hal tersebut berlangsung lama dan terus berulang-ulang agar dapat sesuai dengan gambaran perempuan yang mereka inginkan.

Dokumen terkait