• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Diskursus Waria dalam pembentukan The Third Gender di Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Diskursus Waria dalam pembentukan The Third Gender di Yogyakarta"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Judul:

Diskursus Waria dalam pembentukan The Third Gender di Yogyakarta

I.2. Alasan Pemilihan Judul I.2.1. Aktualitas

Realita sosial yang berkembang pada masyarakat Indonesia sampai saat ini, khususnya di Yogyakarta masih menganggap waria sebagai masalah sosial dan penyimpangan. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan gender waria itu sendiri dari sudut pandang diskursus Heteronormativ1. Masyarakat yang hanya mengenal oposisi biner, yaitu laki-laki dan perempuan beserta konstruksi yang meliputinya, contohnya adalah laki-laki harus memakai celana panjang dan apabila berdandan atau memakai baju perempuan maka akan dianggap sebagai penyimpangan atau dikategorisasikan sebagai waria. Hal tersebut dianggap menjadi kodrat alamiah bagi laki-laki maupun 1 Ideologi yang mengharuskan laki-laki dan perempuan tunduk pada aturan heteroseksualitas yang

intinya adalah keharusan fungsi pro-kreasi seksualitas. Dalam aturan ini, agar bisa bereproduksi, maka perempuan harus berpasangan dengan laki-laki dan sebaliknya.

(2)

perempuan itu sendiri, sehingga pengenalan manusia berdasarkan ciri yang ada pada atau di dalam dirinya kurang berlaku dan cenderung tidak diterima oleh sebagian besar masyarakat, bahkan disebut penyimpangan. Akibatnya, penegasan mengenai subyektifitas tersebut kurang berlaku di Indonesia, karena masyarakat hanya terbiasa mengenal oposisi binerisme, yaitu laki-laki dan perempuan, diluar hal tersebut merupakan suatu kemustahilan.

Selain itu pula pada aktualitasnya, buku-buku maupun penelitian-penelitian yang ada sampai saat ini jarang ada yang membedah dan memposisikan waria pada hakikatnya, dan memahami waria dari posisi ontologisnya. Hal ini berujung pada salah tafsirnya pemahaman akan waria itu sendiri. Kajian dan penelitian-penelitian yang ada pada saat ini masih bergulat dan memposisikan waria sebagai masalah sosial dan sebuah obyek bukan sebagai subyek atau manusia. Beberapa contoh diantaranya adalah skripsi oleh Umi Latiefah (2013) “Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas (Studi tentang Waria dalam Membangun Identitasnya melalui Pesantren Waria Al-Fattah Notoyudan, DIY)” yang lebih menyoroti tentang bagaimana waria ingin menciptakan image positif tentang dirinya lewat pesantren. Bagaimana pesantren digunakan sebagai alat penormalisasian mereka. Pesantren dimaknai sebagai alat atau sarana untuk merekonstruksi identitas baru bagi waria. Akan tetapi, yang saya maknai disini adalah waria masih dipandang abnormal sehingga dibutuhkan upaya pengnormalisasian mereka agar sesuai dengan kerangka Heteronormativ. Selain itu pula, ada “Konstruksi Identitas Seksual Waria dan Gay

(3)

“pure” Bottom” oleh Titi Fitrianita, tesis (2012) yang memfokuskan pada konstruksi identitas seksual pada waria dan gay “pure” bottom (gay yang sejak kecil lebih feminin dibandingkan anak laki-laki seusianya). Proses konstruksi sosial yang dilakukan di dalam keluarga, dan yang kedua konstruksi yang dilakukan di dalam komunitas dalam proses pembentukkan menjadi gay tersebut. Peneliti melihat bahwa menjadi seorang waria masih merupakan konstruksi sosial bukan sebagai identitas seks dan gender. Selain itu, ada juga tesis oleh Muslim Hidayat (2012) yang berjudul “Waria Dihadapan Tuhan: Eksplorasi Kehidupan Religius Waria Dalam Memahami Diri” yang berfokus pada pengalaman religius seorang waria yang menjadi santri di pondok pesantren dan bagaimana waria menghadapi kebingungan peran ketika menghadapi kehidupannya baik urusan keduniawian maupun akhirat. Peneliti juga melihat bahwa penulis masih menempatkan waria sebagai halnya konstruksi yang terbangun dalam diskursus Heteronormativ tentang siapa itu waria.

Buku yang mengkaji tentang waria lainnya adalah buku dari Koeswinarno (2004) yang melihat bagaimana ruang sosial memberi pengaruh terhadap waria, serta bagaimana waria-waria dalam kelompok merespons tekanan sosial yang dihadapinya. Menurut peneliti, penulis pun masih menempatkan waria seperti halnya yang terbangun dalam diskursus Heteronormativ.

Selama ini penelitian-penelitian, jurnal, maupun buku yang mengulas tentang waria menurut penulis masih bergulat dalam ranah agama, budaya, dan menempatkan waria dalam posisi sebagaimana konstruksi yang tercipta tentang waria itu sendiri.

(4)

Walaupun ada beberapa penelitian dan buku yang tidak lagi memposisikan waria sebagai masalah sosial akan tetapi masih belum mengupas lebih dalam tentang waria itu sendiri, hanya melihat kulit luar waria dan melihat waria sebagaimana yang terkonstruksi dalam tatanan sosial dan kehidupan bermasyarakat. Kebanyakan hanya mengkontektualisasikan waria di dalam dimensi sosial, agama, budaya tanpa sebelumnya mengupas dan melihat lebih dalam lagi sebenarnya “Siapa dan Apakah waria itu?” sehingga disini, peneliti menganggap waria hanya dijadikan obyek bukan subyek kemanusiaan seperti halnya laki-laki dan perempuan. Aktualitasnya, waria seperti ditempatkan tidak ubahnya hanya sebagai pekerjaan, hinaan, maupun patologis. Padahal, tanpa kita sadari waria telah mempunyai diskursus mereka tersendiri seperti halnya laki-laki dan perempuan yang mempunyai diskursus mereka sendiri sebagai batasan-batasan cara berperilaku, bersikap, maupun berpenampilan. Penelitian ini bertujuan mendokumentasikan diskursus waria itu sendiri dalam pembentukan atau menghadirkan The Third Gender (Gender Ketiga) di Yogyakarta dan memberikan referensi bagaimana melihat waria itu sendiri diluar diskursus Heteronormativ sebagai gender ketiga, bukan hanya sekedar melihat waria sebagai obyek konstruksi dan patologis.

(5)

I.2.2. Orisinilitas

Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi atau penelitian mengenai diskursus waria dalam pembentukan The Third Gender di Yogyakarta, atau penelitian skripsi maupun buku yang mengupas secara ontologis tentang waria tersebut. Sebelumnya telah ada beberapa penelitian skripsi tentang waria, tetapi sebagian besar lebih menyoroti tentang pekerjaan waria, waria sebagai bagian masalah sosial dan juga politik identitas waria itu sendiri. Contohnya adalah, “Salon Sebagai Ruang Negosiasi dan Arena Penegasan Identitas Kaum Waria” (Studi Tentang Politik Identitas Transgender Pada Kaum Waria Pekerja Salon Di Yogyakarta) oleh Puji Rahayu, Jurusan Sosiologi 2013. Skripsi ini lebih melihat kepada penegasan identitas waria sebagai seorang pekerja salon, dimana salon diidentikkan dengan ranah para waria dan sebagai sarana strategi eksistensi waria. Disini peneliti melihat bahwa waria masih dikategorikan sebagai kaum marjinal dan sebagai kelompok bukan sebagai identitas gender dalam masyarakat. Sedangkan pada penelitian yang penulis angkat memposisikan waria sebagai bagian dari identitas gender, bukan dalam komunitas di ruang publik lagi, dan memiliki ranah pekerjaan yang diidentikkan dengan kebanyakan waria di Yogyakarta yaitu Prostitusi dan Pengamen, sedangkan salon hanya bagian kecil saja. Namun, kelebihan dari skripsi oleh Puji Rahayu ini adalah mengangkat bahasa prokem, yaitu bahasa khusus waria yang menurut penulis merupakan salah satu bentuk diskursus dari waria itu sendiri.

(6)

Kemudian ada skripsi yang berjudul “Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas” (Studi tentang Waria dalam Membangun Identitasnya melalui Pesantren Waria Al-Fattah Notoyudan, DIY) oleh Umi latiefah, Jurusan Sosiologi 2013. Skripsi ini lebih melihat kepada bagaimana waria membangun identitas mereka yang baru melalui pesantren, agar dapat diterima masyarakat. Disini penulis masih melihat waria sebagai obyek dimana harus melakukan proses pengnormalisasi terlebih dahulu agar diterima oleh masyarakat dengan menciptakan image positif melalui pesantren. Pesantren disini digunakan sebagai alat pengnormalisasian melalui agama. Kelebihan dari skripsi ini adalah peneliti dapat melihat bahwa waria di Yogyakarta sebagian besar masih mengalami krisis identitas yang disebabkan oleh diskursus Heteronormativitas yang ada, sehingga mereka berupaya mengikuti sistem tersebut agar dapat diterima oleh masyarakat, dengan cara kembali menjadi santri di pesantren tersebut dan menjadi laki-laki. Sedangkan pada penelitian ini, peneliti mengangkat bahwa tidak ada yang salah menjadi seorang waria. Mereka adalah gender ketiga, dan tidak perlu adanya upaya pengnormalisasian agar sesuai dengan diskursus Heteronormativ, hal tersebut akan semakin membuat waria di Yogyakarta menjadi krisis identitas dan menyakini bahwa mereka adalah laknat bukan kodrat.

Skripsi yang menjadi acuan penulis dalam menulis bagian sejarah waria dalam penelitian ini adalah skripsi yang berjudul “Pondok Pesantren Senin-Kamis dan Marginalisasi Waria: Studi Mengenai Pemaknaan Masyarakat Terhadap Para Waria Setelah Menjadi Santri Dalam Pondok Pesantren Senin-Kamis di Notoyudan,

(7)

kecamatan Gedong” Oleh Wuri Sayekti Handayani lulusan Ilmu Sosiatri Fisipol UGM 2009. Pembedanya adalah disini penulis lebih menyoroti tentang waria sebagai masalah sosial dalam masyarakat dan pondok pesantren menjadi wadah sebagai pemecahan masalah tersebut. Kembali lagi bahwa pesantren dan agama menjadi dinding terhadap penegasan identitas waria itu sendiri di Yogyakarta.

Handbook yang dijadikan acuan oleh penulis adalah penelitian tentang

analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial” (Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama) dan Makalah “Judith Butler: Gender/Seks sebagai “Pertunjukan” dan Tawa Medusa”. Lulusan Sosial Anthropology of Gender dari Universitas Hull, Inggris ini melakukan penelitian tentang gender dan seksualitas sebagai identitas nasional di Indonesia dalam ranah bangsa dan agama pada tahun 2001 sebagai Disertasinya dalam meraih gelar MA dari Universitas Hull, Inggris. Disini Alimi tidak secara rinci menjabarkan bagaimana diskursus waria itu sendiri dan bagaimana kemunculan The Third Gender di Yogyakarta. Alimi hanya mengkontekstualisasikan waria dalam ranah nasional dan Negara, dan bagaimana ranah seksualitas waria di tanah air.

Poin pembeda skripsi ini dibandingkan dengan penelitian lainnya adalah skripsi ini mencoba melihat waria sebagai subyek dan identitas gender, yaitu gender ketiga melalui diskursus-diskursus yang terbentuk dalam kaitannya dalam pembentukan The Third Gender di Yogyakarta, serta melihat diskursus The Third

(8)

ini dianggap alamiah. Contoh dua skripsi di atas adalah belum memahami waria seutuhnya dan masih menempatkan waria sebagaimana selama ini yang diketahui dalam diskursus Heteronormativ. Sehingga, disini peneliti mencoba mengisi dan mendekonstruksi ulang pemaknaan terhadap waria tersebut sebelum dikaji lebih dalam dalam ranah penelitian. Apabila pemaknaan awal mengenai posisi ontologis waria telah berbeda, maka yang terjadi adalah penelitian-penelitian tentang waria akan terus berbicara seputar abnormalitas dan normalitas, dan pada akhirnya posisi waria akan dipaksa mengikuti kerangka Heteronormativ tersebut. Kemudian, disini peneliti mencoba melacak sejauh mana pembentukkan The Third Gender di Yogyakarta.

I.2.3. Relevansi dengan Jurusan PSdK

Studi gender berbasis jenis kelamin di Indonesia sudah berada di titik jenuh dan terkesan basi jika dibandingkan di negara-negara maju, sehingga butuh adanya kajian baru yang diharapkan menjadi titik segar bagi pemecahan masalah sosial khususnya gender. Studi gender kebanyakan hanya melihat dari sudut pandang Heteronormativ, dan pergulatannya hanya berputar seputar feminisme. Padahal dinamika sosial masyarakat selalu berubah. Seks dan gender bukan lagi sesuatu hal yang dianggap alamiah dan kaku, melainkan hanya sebuah konstruksi sosial. Gender dan seks tidak melulu hanya laki-laki dan perempuan ataupun maskulin dan feminim, tetapi sudah berkembang menjadi The Third Gender atau Gender Ketiga. Hal ini

(9)

dimaksudkan untuk membuka pola pikir masyarakat, agar sentimental terhadap sesuatu diluar oposisi biner tersebut bukan lagi dipahami sebagi sebuah kemustahilan dan masalah sosial.

Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) mencakup tiga konsentrasi yaitu: sosial policy, community empowerment, dan corporate sosial

responsibility. Pembelajarannya juga mencakup mata kuliah tentang Gender.

Pembahasan tentang Gender sebagian besar masih bergulat dengan Feminisme dan isu perempuan, yang acapkali dicap sebagai kaum rentan. Padahal, waria juga termasuk identitas gender yang rentan di Indonesia, dan bukan merupakan masalah sosial yang dicari obat dan metode penyembuhannya. Penelitian ini bertujuan untuk membuka cakrawala kita untuk berfikir diluar diskursus Heteronormativ sehingga tidak selalu menempatkan waria sebagai kaum marginal dan salah satu bentuk masalah sosial. Diharapkan juga nantinya dapat memberikan sumbangsih terhadap perumusan kebijakan sosial (sosial policy), dan metode-metode baru dalam

community empowerment terhadap waria itu sendri dalam memberikan pemberdayaan

dan penguatan kapasitas agar waria tidak termarginalkan dalam masyarakat dan dapat diterima menjadi bagian yang seutuhnya dari masyarakat kita.

(10)

I.3. Latar Belakang Masalah

Fenomena kehadiran waria di Indonesia bukan sesuatu hal yang baru, melainkan telah lama ada, bahkan dalam kebudayaan di Indonesia itu sendiri2. Akan tetapi, sampai pada saat ini, pembahasan tentang waria tidak ada habisnya. Umumnya waria dikategorisasikan sebagai kaum marginal ataupun masalah sosial, bukan sebagai gender yang lain diluar diskursus Heteronormativitas.

Sementara di negara-negara maju, waria atau yang lebih dikenal dengan The

Third Gender (gender ketiga) dalam istilah Gilbert Hert telah dianggap sebagai

sebuah pilihan yang harus dihormati. Akan tetapi, di Indonesia waria masih menjadi polemik dan dimarginalkan. Waria masih merupakan aib dan hal yang tabu dalam masyarakat.

Stigmatisasi terjadi karena waria tidak masuk dalam kategori yang terbentuk oleh konstruksi sosial, yaitu kategori laki-laki dan perempuan3. Waria menjadi jenis kelamin sosial yang hadir dalam proses dialektis antara kedua peran gender tersebut. Secara sosiologis, waria termasuk dalam transgender yaitu yang menentang konstruksi gender yang telah ada di dalam masyarakat yaitu laki-laki atau perempuan. Sedangkan dilihat dari orientasi seksual, waria merupakan transeksual yaitu sistem seksual yang tidak lagi dibentuk oleh unsur seksual akan tetapi juga unsur-unsur lain seperti ekonomi, kapital, komoditi, dan politik. Ketidaksesuaian

2Kebudayaan yang penulis maksudkan disini adalah fenomena Bissu dalam Suku Bugis, Sulawesi. 3 Konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat selama ini adalah berdasarkan diskursus

(11)

penampilan fisik dan perilaku secara sosial membuat waria tidak luput dari berbagai bentuk tekanan sosial. Pakar kesehatan dan pemerhati waria, Mamoto Gultom menyatakan bahwa kaum yang paling marginal di Indonesia adalah waria (Puspitosari, Pujileksono, 2005: 21).

Sebagai kelompok marginal, waria tidak memiliki cukup pilihan untuk dapat mengaktualisasi diri dan memiliki ruang gerak yang terbatas sehingga waria semakin dianggap abnormal karena tidak bisa bersosialisasi secara luas dan terkesan eksklusif. Ditambah pula dengan berbagai penelitian, buku, maupun jurnal yang selama ini lebih membahas tentang bagaimana pergulatan politik identitas maupun perjuangan kaum waria sendiri agar dapat diterima oleh masyarakat, melalui upaya-upaya pengnormalisasian agar sesuai dengan konstruksi Heteronormativitas masyarakat khususnya dalam masyarakat Indonesia sendiri.

Penelitian-penelitian tentang waria sebagian besar masih melihat bahwa waria masih merupakan komunitas subaltern4, pergulatan identitas waria itu sendiri, maupun waria sebagai penyebab penyebaran penyakit HIV/AIDS. Hal ini semakin menyudutkan waria dan tidak melihat bahwa waria merupakan seorang manusia sama seperi halnya kita, sebelum ada labeling laki-laki dan perempuan. Permasalahan disini adalah banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang diskursus waria itu sendiri dan minimnya pengetahuan akan gender ketiga. Ketika ada hal yang diluar diskursus Heteronormativ yang selama ini dikenal oleh masyarakat, masyarakat akan

4 Menurut Gayatri Spivak, subaltern berarti kelompok inferior yang tidak bisa memahami

(12)

melihat hal tersebut sebagai bentuk kemustahilan yang berujung kepada marginalisasi waria.

Beberapa penelitian-penelitian yang telah ada juga dapat dilihat bahwa bagaimana para waria melalui institusi-institusi agama mencoba “menertibkan” diri mereka sendiri agar dapat diterima oleh masyarakat, karena dari dalam diri mereka sendiri pun telah terdoktrin bahwa mereka salah dan mereka merupakan masalah sosial, atau yang lebih ekstrem adalah mereka mengganggap diri mereka sebagai “dosa”. Banyak masyarakat yang menganggap waria sebagai penyakit dan gangguan psikologis sehingga beragam upaya pun dilakukan, dari mulai pengobatan secara medis hingga agama melalui institusi agama seperti pesantren. Hal ini tentunya bertentangan dengan hak mereka sebagai seorang manusia yang bebas mengaktualisasikan diri mereka sendiri. Pada dasarnya manusia itu berbeda dan mempunyai subyektifitasnya masing-masing, jadi tidak bisa apabila dilakukan penyeragaman hanya mengikuti oposisi biner, yaitu laki-laki dan perempuan.

Di Indonesia sendiri pemahaman akan konsep third gender masih lemah. Waria bukan dikenal sebagai the third gender melainkan sebagai seorang laki-laki yang feminim5. Hal tersebut dikarenakan benturan agama dan budaya di Indonesia yang masih kuat dan belum bisa menerima kehadiran waria. Padahal, kebudayaan di Indonesia pun telah mengenal adanya laki-laki yang berpakaian dan bertingkah laku feminim. Contohnya adalah Bissu yang merupakan komunitas transgender yang

5 Jurnal Tom Boellstorff berjudul “Playing Back the Nation: Waria, Indonesian Transvestites”

(13)

sudah ada di Sulawesi sejak ratusan tahun lalu sebelum Islam, yang dianggap “Bukan laki-laki dan bukan perempuan” dan sebagian besar masyarakat Sulawesi menganggap identitas bissu sebagai wajar-wajar saja dan merupakan ciptaan Tuhan (Alimi, 2004: xxxi).

Determinasi berdasarkan jenis kelamin objektif yaitu laki–laki dan perempuan membuat masyarakat memberikan konstruksi identitas pula pada kedua jenis kelamin tersebut, contohnya laki–laki identik dengan maskulin, sedangkan perempuan identik dengan feminim, sehingga tidak memberikan ruang kepada waria untuk menegaskan jati diri mereka. Hal tersebut membuat mereka kehilangan jati diri. Padahal baik kita sadari ataupun tidak waria memiliki diskursus mereka sendiri yang jelas berbeda dengan laki-laki dan perempuan. Terbatasnya ruang gerak waria itu sendiri sehingga menciptakan kesan eksklusifitas sebenarnya merupakan diskursus waria itu sendiri. Baik kita sadari ataupun tidak, mereka memiliki ciri khas mereka sendiri yang membangun diskursus tersebut. Seperti halnya laki-laki yang dikonstruksikan maskulin, dan memakai celana panjang, perempuan dengan sifat feminism anggun dan memakai rok dan berdandan.

Masyarakat membangun pikiran bahwa seks bagi waria identik dengan prostitusi atau pelacuran (Puspitosari, Pujileksono, 2005: 4). Hal tersebut juga didukung dengan masih banyaknya keluarga, masyarakat, negara, LSM yang menganggap mereka sebagai “orang sakit” sehingga mereka harus dihindari, dibuang, diobati dan bahkan “dinormalisasikan”. Bahkan upaya-upaya pengnormalisasian

(14)

mereka turut gencar dilakukan baik oleh keluarga maupun institusi-institusi agama. Sehingga membuat mereka menerima bahwa mereka “berbeda”, bermasalah, abnormal. Padahal mereka mempunyai pemikiran dan diskursus mereka sendiri yang tentunya berbeda dengan yang selama ini dipahami oleh masyarakat.

Pemberian identitas gender dan seks seperti laki-laki dan perempuan, maskulin dan feminim merupakan Heteronormativitas yang dianggap sebagai hal yang alamiah dan mutlak di masyarakat. Sehingga waria, transgender, homoseksual dianggap sesuatu yang abnormal. Padahal, abnormalitas maupun normalitas juga merupakan konstruksi sosial di masyarakat. Dari prasarat sebuah komunikasi. Karena dari sanalah akan bergulir bagaimana harus memanggil, harus bersikap dan sebagainya. Seperti ketika dimana jenis kelamin tertentu harus berperan gender dan seksualitas tertentu, contohnya laki – laki identik dengan maskulin dan perempuan identik dengan feminim, sehingga waria dianggap sebagai abnormal. Hal-hal tersebutlah yang selama ini kita pahami dalam diskursus Heteronormativitas. Tetapi, bagaimanakah dalam diskursus waria? Hal tersebutlah yang mendorong saya ingin melakukan penelitian ini. Karena selama ini, dimana Sosiologi mendefinisikan waria yang berada di wilayah antara keduanya sebagai penyimpangan dan bergerak dalam kerangka Heteronormativitas (Alimi, 2011).

Bagaimana kalau kita melihat dari perspektif lain, bahwasanya waria memang berada di wilayah antara keduanya, tetapi bukan sebagai bentuk penyimpangan akan tetapi memiliki diskursus mereka sendiri dalam menghadirkan the third gender atau

(15)

jenis kelamin ketiga sebagai upaya membongkar konstruksi Heteronormativitas di masyarakat yang kaku, yang hanya mengenal oposisi binerisme.

Ketika diskursus Heteronormativ menempatkan mereka menjadi sebuah kemustahilan dan sebagian besar masyarakat masih belum mengetahui the third

gender, sehingga me-labelling waria sebagai “abnormalitas”, berangkat dari hal-hal

tersebut saya ingin meneliti lebih jauh tentang diskursus waria itu sendiri yang baik disadari atau tidak telah melekat dalam kehidupan sehari-hari mereka, yang bagi masyarakat dianggap sebagai “eksklusifitas”, padahal itu adalah diskursus the third

gender waria di Jogja. Hal tersebut dapat dilihat dari pertunjukkan mereka pada

tatanan sosial dari mulai identitas, tubuh, pekerjaan, sikap, cara berperilaku, maupun pembentukan komunitas yang juga dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Melalui penelitian ini diharapkan kita dapat melihat lebih jauh dan dalam tentang waria dan tidak lagi memandang mereka sebelah mata.

Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tempat penelitian, karena sesuai slogannya yaitu “Jogja Berhati Nyaman” menjadi tempat yang nyaman bagi para waria. Banyak waria yang berdatangan dari luar daerah bahkan menjadi penduduk asli Jogja. Selain itu, konteks sosial masyarakat Yogyakarta didukung tata kelola pemerintahan yang tidak hanya struktural melainkan kultural membuat Daerah Istimewa Yogyakarta lebih bersikap terbuka dan humanis dalam menyikapi perbedaan yang ada. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Pesantren Senin-Kamis khusus waria, kemudian ada Kampung Waria di Kricak Kidul, dan ada Organisasi

(16)

khusus waria (IWAYO) (Ikatan Waria Yogyakarta) yang sebenarnya didirikan sejak tahun 1980 dengan nama Waria DIY, namun pada tahun 1984 berubah menjadi IWAYO. Waria yang menginginkan kenyamanan dan diterimanya kehadiran mereka sebagai bagian dari masyarakat membuat Yogyakarta menjadi pilihan yang tepat, bahkan banyak waria yang mengaku betah di Yogya dan memilih untuk tinggal dan menjadi penduduk Yogya. Padahal, faktanya di kota mereka terdahulu, uang yang yang dihasilkan dari pekerjaan mereka lebih besar daripada di Yogya. Akan tetapi, mereka lebih betah di Yogya. Hal tersebut dikarenakan suasana akrab, nyaman, dan kekeluargaan. Kerasnya persaingan antar waria dalam hal pekerjaan maupun percintaan di kota-kota tempat mereka tinggal terdahulu juga menjadi pertimbangan para waria untuk menetap di Yogya. Hal tersebut didasari oleh belum kuatnya solidaritas akan identitas mereka dan terhanyut akan konstruksi di masyarakat yang menempatkan waria sebagai obyek dan pekerjaan saja. Sedangkan di Jogja, persatuan yang timbul dikarenakan persamaan identitas mereka dari mulai sebagai keluarga menjadi sebuah identitas gender yang baru, yaitu gender ketiga. Hal ini turut berimplikasi terhadap peningkatan jumlah waria yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, karena mereka ingin diterima di masyarakat sebagaimana kondisi mereka yang sekarang dan bagian dari masyarakat.

(17)

I.4. Rumusan Masalah

Sebelum kita melangkah lebih jauh melihat pembentukan The Third Gender di Jogja, alangkah lebih baiknya kita mengerti posisi waria dalam masyarakat Yogyakarta sendiri, serta melihat diskursus-diskursus yang menjadi ciri khas mereka sendiri agar lebih dapat memahami waria itu sendiri sebagai sebuah identitas gender dan manusia. Setelah itu baru kita melihat apa itu Third Gender di Yogyakarta, dan bagaimana cara mereka menghadirkan dan membentuk The Third Gender itu sendiri. Sesuai dengan latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Diskursus Waria dalam Pembentukan The Third Gender di Yogyakarta?”

I.5. Tujuan Penelitian

I.5.1. Tujuan Operasional

 Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi syarat pencapaian gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi perkembangan Ilmu Sosial, khususnya di Universitas Gadjah Mada sendiri. Dan juga dapat membuka wacana yang lebih luas baik kepada masyarakat maupun akademisi lainnya tentang gender ketiga.

(18)

I.5.1. Tujuan Substansial

 Untuk melihat lebih dalam diskursus waria sendiri di Yogyakarta, dan untuk memahami waria sebagai identitas gender bukan sebagai patologis.

Untuk mengetahui proses pembentukan wacana The Third Gender di Yogyakarta dengan model analisis wacana.

 Untuk melihat wacana The Third Gender sebagai wacana tandingan dari Heteronormativ.

I.6. Manfaat penelitian

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemahaman gender baik di kalangan akademisi maupun masyarakat, sehingga bersifat dinamis tidak monoton dan mengikuti perkembangan

Cultural Study berbasis gender di negara-negara maju.

Dapat memberikan kontribusi bagi perumusan kebijakan sosial (Sosial

Policy) dan metode-metode pemberdayaan masyarakat yang baru

apabila kita telah mengetahui diskursus waria dan menerimanya sebagai bagian dari gender, bukan masalah sosial ataupun penyimpangan.

 Sebagai bahan masukan bagi masyarakat dan pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia waria agar lebih memahami mereka.

(19)

 Agar membuka wacana waria sendiri agar lebih memahami diri mereka secara inti personal, bukan sebagai bagian dari sistem yang Heteronormativ seperti yang berkembang pada saat ini.

I.7. Kerangka Teori

Sebelum masuk ke dalam bagian konsep maupun teori, ada baiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu mengenai aliran berfikir yang dipakai guna memahami realita yang ada, agar tidak menimbulkan kerancuan dan perbedaan pemaknaan antara penulis dan pembaca. Penulis menggunakan paradigma Postrukturalisme sebagai “payung besar” atas teori-teori yang digunakan, seperti Diskursus menurut Michel Foucault maupun Teori Performativitas oleh Judith Butler. Jacques Derrida memproklamirkan pendekatan ini pada 1966. Jika para strukturalis memandang masyarakat terikat pada struktur bahasa, Derrida mereduksi bahasa menjadi “tulisan” yang tidak membatasi subyeknya. Lebih lanjut, Derrida juga melihat bahwa bahasa bersifat tidak stabil dan tidak tertata. Konteks yang berbeda akan memberi suatu kata makna yang berbeda pula. Sebagai akibatnya, sistem bahasa tidak bisa memiliki kekuasaan yang membatasi atas masyarakat sebagaimana menurut para strukturalis (Ritzer, 2012: 1036-1037). Pemikir yang paling berpengaruh lainnya adalah Michel Foucault. Foucault lebih memperhatikan hermeneutika guna mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang fenomena sosial yang menjadi perhatiannya.

(20)

Foucault tidak memiliki pemahaman tentang suatu kebenaran asli yang mendalam; yang ada hanyalah semakin banyak lapisan untuk dipisahkan (Ritzer, 2012).

I.7.1. Waria sebagai sebuah Identitas Gender Ketiga

Istilah waria merupakan akronim dari perempuan-laki-laki. Menurut pakar pendidikan Kartini Kartono, waria merupakan seseorang yang secara fisik mempunyai jenis kelamin laki-laki, tetapi berperasaan dan bertingkah laku seperti seorang perempuan (Handayani, 2009: 16). Sehingga dalam keseharian waria cenderung tampil seperti halnya mengimitasi perempuan dalam hal bersolek, bersikap, berpikir, dan berprilaku. Dalam bahasa psikologis disebut dengan istilah transeksual, yaitu gejala seseorang yang merasa dirinya memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya.

Apabila ditinjau dari aspek biologis, orientasi seks seorang waria dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh tim medis menyebutkan, faktor prenatal banyak diyakini bahwa kromosom dan hormon merupakan indikasi yang cukup penting dalam bentuk organ seksual seorang waria. Kromosom yang menentukan jenis kelamin laki-laki adalah XY dan untuk jenis kelamin perempuan adalah XX. Kemungkinan laki-laki yang unsur X nya lebih dominan bisa menjadi waria (Puspitosari, Pujileksono, 2005: 70).

Banyak masyarakat yang menganggap waria sama dengan gay. Padahal antara waria dan homoseks tidaklah sama. Perbedaan antara waria dengan gay yaitu bahwa

(21)

pada umumnya gay merasa tidak perlu ber-make-up dan berpakaian seperti perempuan. Kemudian dalam melakukan hubungan seks, seorang gay bisa bertindak sebagai “laki-laki” atau “perempuan” (Puspitosari, Pujileksono, 2005: 17).

Di Yogyakarta, definisi waria adalah seseorang yang mempunyai alat kelamin laki-laki, tetapi berperilaku selayaknya perempuan dan berjiwa perempuan serta memiliki ketertarikan dengan laki-laki. Waria membutuhkan ber-make-up atau berdandan dan berpakaian selayaknya perempuan. Begitu pula dalam berhubungan seks, waria tidak bisa berperan menjadi laki-laki karena waria merasa jiwa mereka perempuan walaupun fisik mereka cenderung lebih ke laki-laki. perbedaan antara waria dan gay adalah, waria hanya memposisikan diri mereka sebagai perempuan atau yang disebut oleh kalangan waria sebagai bottom, sedangkan gay bisa berubah – ubah perannya, baik sebagai perempuannya maupun laki lakinya (bottom-top).

Di dalam sudut pandang psikologi, dikenal beberapa gejala kewariaan. Pertama, transeksualis, yaitu seseorang dengan jenis kelamin secara jasmani sempurna, namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis. Kedua, transvetis, yaitu nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya dan mendapat kepuasan seks dengan memakai pakaan dari jenis kelamin lainnya. Sedangkan yang ketiga, hermafrodit, yaitu orang yang mempunyai dua jenis kelamin atau tidak kedua-keduanya (Nadia, 2005: 3).

(22)

I.7.2. Konsep The Third Gender (Gender Ketiga)

Berangkat dari persoalan identitas waria yang belum mendapat tempat dalam struktur sosial masyarakat. dimulai dari kemunculan identitas waria ditengah oposisi biner laki-laki dan perempuan yang diakui mampu mendobrak diskursus gender Heteronormativ. Di dalam hal ini waria tidak dapat dikategorisasikan baik sebagai laki–laki atau perempuan. Sehingga dapat dikatakan mereka menciptakan gender mereka sendiri yang dikenal dengan The Third Gender.

Menurut Gilbert herdt pada tahun 1990-an, perdebatan tentang peran seks dan identitas individu menjadi perdebatan yang sentral di kalangan intelektual. Seks dan gender menjadi pengetahuan baru dalam ilmu budaya dan menolak bahwasanya seksualitas adalah sesuatu yang alami6. Herdt menganggap The Third Gender adalah bukan laki-laki dan bukan perempuan. Herdt melakukan penelitian di Indonesia dengan mengangkat Bissu di Sulawesi sebagai contohnya. Sedangkan menurut McGee, the Third Gender adalah:

“The terms third gender and third sex describe individuals who are

categorized (by their will or by sosial consensus) as neither man nor woman, as well as the sosial category present in those societies who recognize three or more genders” (McGee, R. Jon and Richard L.

Warms : Anthropological Theory: An Introductory History. New York, McGraw Hill, 2011)7.

6Disarikan darihttp://www.amazon.com/Third-Sex-Gender-Dimorphism-Culture/dp/0942299825.

Diakses pada tanggal 7 Juli 2014, pukul 21:00 wib.

7Disarikan dari Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Third_gender . Diakses pada tanggal 7 Juli

(23)

“Norma-norma mengenai gender ketiga dan seks ketiga menjelaskan tentang individu-individu yang dikategorikan (baik secara keinginan maupun konsesus) sebagai bukan laki-laki dan perempuan, sebagaimana yang hadir dalam kategori sosial adanya tiga atau gender lainnya”

Istilah gender ketiga dan Jenis Kelamin ketiga menggambarkan di Yogyakarta sendiri menggambarkan individu yang dikategorikan (atas kehendak mereka atau dengan konstruksi sosial) sebagai tidak laki-laki maupun perempuan, Mereka berpakaian selayaknya perempuan, memiliki jiwa dan tingkah laku perempuan, tetapi berjenis kelamin laki-laki. The Third Gender menekankan keinginan dalam masyarakat akan pleasure8. Waria di Yogyakarta sendiri menganggap seks hanya sebagai pemenuhan kebutuhan hasrat dan kesenangan diri, selain tuntutan pekerjaan bagi mereka yang bekerja di dunia malam.

I.7.3. Diskursus Waria sebagai Sebuah Identitas Gender

Kata diskursus telah menjadi satu istilah umum yang digunakan dalam berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi, linguistic, filsafat, psikologi sosial atau kajian lain. Di Indonesia misalnya, kata discourse dipadankan dengan kata wacana yang dalam penggunaannya sering disinonimisasikan dengan isu, gagasan atau semacam harapan.

8 Pleasure sendiri disini penulis merujuk pada pengertian oleh Foucault , yaitu pleasure adalah

kesenangan di luar reproduksi tubuh. Yang dimaksudkan disini adalah seks sebagai hasrat dan kesenangan diri bukan sebagai sarana pro-kreasi (menghasilkan keturunan).

(24)

What is discourse? Dalam terminology Foucauldian, kunci untuk memahami

diskursus dalam bentuknya yang paling simple yakni; diskursus merupakan cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang mengikutinya, bentuk subyektifitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan diantara semua aspek ini (Foucault, 2002: 9). Dalam The Archaelogy of Knowledge, Foucault menawarkan rumus efektif untuk memahami diskursus:

“One of the most productive ways of thinking about discourse is not as a group of signs or a stretch of text, but as ‘practice that systematically form the objects of which they speak” (Foucault, 1972: 49).

(Cara paling produktif memahami diskursus bukanlah dengan

mendudukkannya sebagai sekelompok tanda atau satu rentangan teks, akan tetapi sebagai praktik yang secara sistematis menyusun obyek pembicaraan)

Diskursus adalah suatu yang mengakibatkan timbulnya sesuatu yang lain (pernyataan, konsep, atau efek-efek lain), ia bukan sesuatu yang eksis pada dan dalam dirinya sendiri. Praktik-praktik diskursif/kewacanaan—tempat dihasilkan (diciptakan) dan

dikonsumsinya (diterima dan diinterpresentasikannya) teks—dipandang sebagai

bentuk praktik sosial terpenting yang memberikan kontribusi bagi penyusunan dunia sosial yang mencakup bangunan-bangunan dan identitas-identitas sosial. Struktur diskursif dapat terdeteksi karena kesistematisan satu gagasan, opini, konsep atau cara berfikir dan tindakan dalam kegiatan sehari-hari yang tanpa disadari telah membentuk suatu diskursus. Wacana bersifat mengisolasi, mendefinisikan, dan memproduksi obyek pengetahuan.

(25)

Diskursus yang diciptakan oleh waria di Yogyakarta terdeteksi oleh konsep-konsep dan cara berfikir yang telah membentuk menjadi tindakan sehari-hari yang baik disadari atau tidak telah membentuk suatu identitas gender yang disebut sebagai diskursus waria itu sendiri dalam kaitannya dalam pembentukan The Third Gender. Diskursus waria sendiri disini dipahami sebagai identitas gender beserta konstitutif -konstitutif yang meliputinya. Diskursus waria di Yogyakarta sendiri merupakan individu yang mempunyai jenis kelamin laki – laki namun memiliki karakteristik perempuan. Sedangkan konstitutif yang mengikutinya adalah berpenampilan selayaknya perempuan dan juga mengimitasi hal-hal yang secara konstruktif dipahami sebagai karakteristik dari perempuan. Selain itu juga, kehidupan sehari-hari maupun ranah pekerjaan mereka sendiri yang diidentikan dengan para waria tersebut merupakan salah satu identifikasi bagi diskursus waria di Yogyakarta sendiri, dan pada akhirnya bermuara pada hadirnya The Third Gender di Yogyakarta.

Kebenaran (Truth), Kuasa (Power), dan Pengetahuan (Knowledge)

Ketika mendiskusikan diskursus sebagai sesuatu yang memiliki efek, penting untuk memperhatikan faktor-faktor berikut; kebenaran (truth), kuasa (power) dan pengetahuan (knowledge), elemen-elemen itulah yang memungkinkan sebuah diskursus memiliki efek. Kebenaran bagi Foucault bukanlah unsur instrinsik dari sebuah ucapan, bukan pula kualitas ideal-abstrak yang sesungguhanya manusia

(26)

inginkan; dia melihat kebenaran sebagai salah satu hal yang duniawi dan dari sudut pandang negatif:

“Truth is of the world; it is produced there by virtue of multiple constraints….Each society has its regime of truth; its ‘general politics’ of truth; that is the types of discourse it harbours and causes to function as truth: the mechanisms and instanncers which enable one to distinguish true from false statements, the way in which each is sanctioned; the techniques and procedures which are valorized for obtaining truth; the status of those who are charged with saying whats counts as true” (Mills, 1999: 18)

(Kebenaran adalah perkara dunia; ia diproduksi melalui serangkaian hambatan….Tiap masyarakat mempunyai rezim kebenaran; mempunyai “politik umum” tentang kebenaran; beragam tipe diskursus menyediakan tempat kebenaran: sebuah mekanisme dan alat bukti yang memungkinkan seseorang membedakan statement benar dan salah, cara dimana tiap-tiap sesuatu diperbolehkan; teknik dan prosedur dipersembahkan untuk mendapatkan kebenaran; memberi status atas orang yang berhak mengatakan apa yang benar).

Foucault kemudian membuat hubungan antara kebenaran dan kekuasan dengan menyatakan bahwa “kebenaran” disematkan dalam dan dihasilkan oleh sistem kekuasaan. Karena kebenaran itu tidak bisa dicapai, akan sia-sia bila menanyakan apakah sesuatu itu benar atau salah. Kebenaran adalah nilai yang diproduksi sendiri oleh masyarakat, bukan sesuatu yang alamiah. Semua itu terbentuk dalam suatu wacana. Dalam diskursus waria sendiri, mereka menganggap bahwa menjadi waria adalah kodrat dan disanalah tercipta efek kebenaran tersebut. Bahwasanya, ada perempuan dan laki-laki dan ketika mereka masuk diantara proses dialektis keduanya mereka dikategorikan sebagai The Third Gender (gender ketiga) karena mereka

(27)

sebagai subyek dan bukan obyek. Perbedaan mereka hanyalah pada orientasi seksual yang dianggap tidak sesuai pada diskursus Heteronormativ.

Efek kuasa dari The Third Gender sendiri adalah secara tidak langsung mendisiplinkan individu untuk memgikuti konstitutif-konstitutifnya, dalam hal ini adalah waria. Baik secara disadari ataupun tidak, ketika individu masuk dalam diskursus tersebut secara otomatis mendisiplinkan tubuh mereka. Dari mulai perubahan nama, kata sapaan, gerakan tubuh dan cara berjalan, suara, berdandan dan berpakaian. Hal tersebut adalah konsep disiplin, dengan demikian karena waria terdefinisikan sebagai subyek yang tergenderan (gendered), maka kerangka diskursif tersebut selanjutnya membatasi (demarcate) wilayah diskusi mana yang dapat kita masuki, serta di dalamnya subyek yang tergenderkan dapat menegosiasikan artinya. Kerangka diskursif waria tersebut itulah yang menentukan nama, cara berpakaian, tingkah laku, perubahan tubuh hubungan seksualitas dalam bingkai relasi kuasa.

Bagi Foucault, praktik dan proses diskursus merupakan syarat utama terbentuknya sistem pengetahuan (bodies of knowledge)9. Foucault melakukan pergeseran makna atas konsep diskursus yang semula melulu tentang linguistik, kini mengarahkannya menjadi lebih dekat pada konsep disiplin (the concept of discipline) seperti yang telah dijelaskan oleh peneliti di atas.

Foucault menyatakan bahwa pengetahuan adalah politik. Ilmu-ilmu manusia adalah perwujudan kehendak untuk berkuasa, klaim ilmiah dan kebenaran tidak lain

9McHoul, Alec dan Wendy Grace. 1993. A Foucault Primer: Discourse, Power and The Subject.

(28)

merupakan strategi kuasa. Objektivitas dan netralitas adalah cara lain untuk memaksakan kehendak akan kekuasaan. Sasaran dari kuasa adalah tubuh dan kepatuhan. Instrumennya adalah metode pendisiplinan, baik dari disiplin ilmu, maupun disiplin sebagai kontrol sosial berupa aturan, sistem norma dan regulasi. Efek dari metode disiplin membuat subjek selalu merasa diawasi, meski pengawasan tidak dilakukan secara terus-menerus. Subjek dengan otomatis menjadi pengawas bagi dirinya sendiri. Metode pendisiplinan seperti ini terwujud dalam berbagai bentuk. Seperti contohnya perubahan nama, perubahan bentuk tubuh dan juga hubungan seksualitas. Lebih jauh Foucault membahas bahwa semua pengetahuan yang kita punyai merupakan hasil atau efek dari pertarungan kuasa. Pengetahuan yang sebagian besar masyarakat Yogyakarta ketahui saat ini adalah diskursus Heteronormativ dimana waria menjadi kaum yang marjinal dan dikategorikan sebagai masalah sosial. Hal tersebut juga dilanggengkan dengan institusi pendidikan sehingga terciptalah efek kebenaran. Disini bukan berarti diskursus Heteronormativ adalah sebuah kebenaran dan diskursus The Third Gender merupakan hal yang salah, maupun sebaliknya, karena kebenaran itu tidak bisa dicapai dan akan sia-sia bila menanyakan apakah sesuatu itu benar atau salah. Kebenaran adalah nilai yang diproduksi sendiri oleh masyarakat, bukan sesuatu yang alamiah. Akan tetapi yang terlihat adalah efek “kebenaran” yang disematkan dalam dan dihasilkan oleh sistem kekuasaan, sehingga tercipta jugalah efek pengetahuan tersebut.

(29)

I.7.4. Performativitas Waria

Identitas seksual tidak hanya didefinisikan sebagai jenis kelamin biologis tetapi juga gender. Judith Butler memulai penjelasan dengan konsep koherensi internal dan eksternal diri sebagai penentu identitas yang bersifat normatif. Adanya keterkaitan antara identitas, seks, dan substansi metafisik (Butler, 1999). Sejauh ini identitas merupakan media yang digunakan untuk menstabilisasi seks, gender dan seksualitas yang bersumber dari budaya. Budaya dipandang sebagai jenis kelamin dan ekspresi atau efek manifestasi seksual. Budaya berperan dalam membangun dan mengatur bentuk makna seksualitas. Hal ini menyebabkan yang menyebabkan kegagalan identitas gender menyesuaikan diri dengan norma–norma budaya dianggap sebagai sebuah ketidaknormalan (Alimi, 2004). Jadi budaya yang dimaksudkan disini adalah ketika jenis kelaminnya laki-laki dan memiliki penis maka seks dan gendernya dikatakan normal apabila berhubungan dengan perempuan, begitupula sebaliknya. Waria dianggap ketidaknormalan, karena jenis kelaminnya laki-laki akan tetapi memiliki ketertarikan seksualitas dengan laki-laki pula. Hal ini yang dianggap kegagalan dalam menyesuaikan dengan norma – norma budaya.

Gagasan sentral dalam pemikiran Judith Butler adalah performativitas gender dan seks. Gender, bahkan seks, bagi Judith Butler merupakan “pertunjukan”, bukan esensi, atau ekspansi dari seks yang ada pada tubuh. Bagi Butler, gender adalah drag, yaitu pertunjukan waria untuk menguji dan membuktikan mereka telah menghasilkan femininitas yang sebenarnya.

(30)

Bagi Butler, tidak ada tubuh atau seks diskursif. Tidak ada gender pra-diskursif. Tidak ada seksualitas pra-diskursif. Semua terbentuk dalam relasi kuasa dan pengetahuan. Secara khusus, teorinya adalah teori performativitas. Apabila feminisme memahami bahwa gender adalah manifestasi dan akibat dari seks. Seks merupakan “esensi” atau “interior core” yang harus dikeluarkan, diaktulisasikan menjadi gender. Seks juga merupakan sebab dari desire terhadap gender. Inilah yang dimaksud “stable

point of reference” (Alimi, 2011: 4). Maka Butler menganggap tidak ada kaitan

antara keduanya, hal tersebut merupakan kontruksi sosial.

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap waria di Yogyakarta, tidak terbukti bahwa gender merupakan aktualisasi dari seks. Waria di Yogyakarta memiliki alat kelamin laki-laki dan dikategorisasikan sebagai laki-laki, secara konstruksi hasrat mereka seharusnya adalah kepada perempuan, akan tetapi senyatanya hasrat mereka kepada laki-laki karena mereka sendiri berjiwa perempuan. Kata kunci untuk memahami pemikiran Butler ada 3, yaitu (1) Performativitas (2) Materialisasi, dan (3) Sitasionalitas.

Performativitas

Kata kunci pemikiran Butler berikutnya adalah “performativity”. Artinya apa yang kita katakan atau lakukan bersifat konstitutif. Bagi Butler, Gender terbentuk melalui imitasi. Imitasi adalah peniruan, dengan segala atribut dan karakternya. Tidak

(31)

ada gender asli atau primer yang ditiru oleh drag, tetapi gender itu sendiri merupakan imitasi.

There is no original or primary gender a drag imitates, but gender is a kind of imitation for which there is no original (Alimi, 2011: 5).

“Tidak ada yang asli atau gender yang utama dari yang diimitasi oleh drag, tetapi gender sendiri adalah imitasi dari sesuatu yang tidak asli.”

Seperti halnya yang telah disebutkan penulis di atas, bahwa laki-laki akan melakukan sesuai dengan konstitutifnya sesuai dengan konstrusi yang berlaku di masyarakat, begitupula dengan perempuan. Maka pada waria di Yogyakarta pun seperti itu. Mereka terbentu dari pengimitasian perempuan. Tindakan dan tingkah laku mereka pun meniru perempuan. Gender bagi Butler bukan seseorang, tapi adalah sesuatu yang diilakukan orang. Gender lebih merupakan doing dari pada being (an act… a

“doing” rather than a “being”. Artinya, tidak ada esensi gender dibalik ekspresi

gender; performativitas itulah yang membentuk apa yang dianggap sebagai esensi. “There is no gender identity behind the expressions of gender; that identity is

performatively constituted by the very “expressions” that are said to be its results.”

“Gender is a kind of imitation for which there is no original; in fact, it is a kind of imitation that produces the very notion of the original as an effect and consequence of the imitation itself. “Imitation and Gender Insubordination” in Inside/Out (1991) edited by Diana Fuss10

(32)

Oleh karena itu, gender dan seks bukanlah suatu hal yang kodrati atau alamiah, melainkan adalah atribut, yang terbentuk melalui performance atau performativitas. Pemapanan gender/seks itu tujuannya adalah untuk mengalamiahkan heteroseksualitas, dan seksualitas untuk reproduksi.

Materialisasi Seks

Materialisasi bukan dalam pengertian materialis yang berarti mata duitan, akan tetapi materialisasi disini adalah pembentukan menjadi material, menjadi daging, menjadi darah, yang tidur, makan dan istirahat. Bagi Butler tubuh—saraf, darah, kontur dan gerakannya-- termaterialkan oleh performativitas oleh pertunjukan. Rumus yang dipakai Butler adalah rumus post-strukturalis: “There is no nature, only

the effects of nature: denaturalization or naturalization. Derrida, Donner le temps”.

(Alimi, 2011: 10).

Butler menggunakan konsep “materialisasi” untuk membedakan konsepnya dengan “konstruksi” sebagaimana dikembangkan Foucault. Konstruksi sosial gender dan seksualitas Foucault masih belum bisa menjawab materialitas seks, gender dan seksualitas. Seks menurut Butler “is an ideal construct that is forcibly materialized

through time.”

Performativity cannot be understood outside of a process of iterability, a regularized and constrained repetition of norms. And this repetition is not performed by a subject; this repetition is what enables a subject and constitutes the temporal condition for the subject. This iterability implies that ‘performance’ is not a singular ‘act’ or event, but a ritualized production, a ritual reiterated under and through constraint, under and through the force of

(33)

prohibition and taboo, with the threat of ostracism and even death controlling and compelling the shape of the production, but not, I will insist, determining it fully in advance (Butler, 1993: 21).

Kendati demikian teori performativitas sering salah dipahami sebagai enactment gender dan seks sebagai “daily choice” (Butler, 1993: 20). Gender bukan sebagai

daily choice, atau yang dapat berubah-ubah. Pentingnya materialisasi gender dan seks

adalah sebagai sarana pembentukan gender itu sendiri. Pada waria di Yogyakarta, dari mulai perubahan nama, tingkah laku, suara, perubahan bentuk tubuh, dalam dalam hubungan seksualitas dilakukan setiap hari, sehingga terbentuk materialisasi seks dan gender tersebut, sehingga melekat dalam diri mereka sebagai proses dari pengimitasian mereka terhadap perempuan. Sehingga masyarakat pun terkadang tidak bisa membedakan mana yang perempuan asli ataupun waria karena pertunjukan mereka sebagai seorang perempuan tersebut.

Sitasionalitas

Performativitas terletak diluar intensionalitas. Butler menjelaskan dengan konsep sitasionalitas. Bagi Butler gender dan seks bukanlah sebuah kondisi, melainkan adalah pertunjukan terus menerus yang bukan hanya membentuk keaslian jenis kelamin melainkan juga mematerialisasikan jenis kelamin. Seks bukanlah sebuah fakta simple dan kondisi statis tubuh, melainkan proses dimana norma-norma pengatur mematerialkan seks dan mencapai materialisasi ini melalui pengulangan norma itu secara terus menerus dan dipaksakan. Pengulangan-penguulangan ini

(34)

menunjukkan bahwa materialisasi itu tidak pernah tercapai, tubuh juga tidak pernah berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan (Butler 532-3 dalam Alimi, 2011: 12).

Performativitas tidak dipahami sebagai tindakan singular dan sengaja, melainkan sebagai tindakan terus menerus dan sitasional, melalui mana diskursus menghasilkan efek yang dinamainya.” “Norma-norma pengatur tentang seks berfungsi secara performatif untuk membentuk materialitas tubuh, materialialitas seks, dan mematerialkan perbedaan seksual dalam rangka untuk mengkonsolidasi ideology imperarif heteroseksual.” Oleh karena itu, apa yang mendefinisikan kemapanan tubuh, kontur dan gerakannya secara penuh bersifat material, tetapi materialitas dilihat sebagai efek kuasa, sebagai efek kuasa yang paling produktif. Materialisasi tubuh tidak bisa dilepaskan dari materialisasi norma-norma pengatur (regulatory norms). Butler mereformulasikan materialisasi sebagai berikut:

“(1)the recasting of the matter of bodies as the effect of a dynamic of power, such that the matter of bodies will be indissociable from the regulatory norms that govern their materialization and the signification of those material effects; (20 the understanding of performativity not as the act by which a subject brings into being what she/he names, but rather, as that reiterative power of discourse to produce the phenomena that it regulates and contrains; (4) a rethinking of the process by which a bodily norm is assumed, approlaki-lakited, taken as not, strictly speaking, undergone by a subject, but rather that the subject, the speaking “I” is formed by virtue of having gone through such a process of assuming a sex; and (50 a linking of this process of “assuming” a sex with the question of identitification, and with the discursive means by which the heterosexual imperatives enables certain sexed identifications and forcloses and/or disavows other identifications” (Butler, 1993: 21).

Gender tidak bisa diperlakukan seperti pakaian, besok mau memakai yang ini, besoknya itu, pemilihan berada dalam intensionalitas. Untuk menjelaskan hal ini,

(35)

Butler menekankan pentingnya repetisi dalam performativitas. Repetisi ini yang fungsinya sebagai alat peng-materialisasi gender tersebut. Waria di Jogja pun melakukan pengimitasian atas apa yang secara konstitutif dilakukan oleh perempuan pada umumnya. Hal tersebut berlangsung setiap harinya, bukan hanya dilakukan sesuai kehendak mereka saja. Hal tersebut bertujuan untuk mematerialisasikan gender dan seks mereka. Prosesnya berlangsung setelah mereka coming out sebagai seorang waria. Hal tersebut berlangsung lama dan terus berulang-ulang agar dapat sesuai dengan gambaran perempuan yang mereka inginkan.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah merancang dan menghasilkan suatu aplikasi pengolahan data bimbingan dan pelanggaran siswa pada SMA Lampung Tengah sehingga dapat

Karya video musik Rannisakustik berjudul “Tot Namanya”, “Ibu”, dan “Putri Mencari” ini divisualisasikan menggunakan konsep tarian walaupun dengan porsi yang

Perbedaan genotipa domba tidak berpengaruh nyata terhadap komponen produk sampingan dan persentase potongan komersial karkas, sedangkan mutu daging domba komposit cukup baik

Kepadatan sel tertinggi terdapat pada perlakuan V4W4 hari ke-9 di mana konsentrasi pupuk vermikompos yang digunakan sebanyak 0.25% dan pupuk walne sebanyak 0.002% dengan

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh gambaran darah ikan nila ( Oreochromis niloticus ) yang dipelihara di kolam budidaya di Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru seperti

Berdasarkan tabel 4.3 diperoleh F deviation from linearity kedua variabel di atas yaitu F = 1,325 dengan p = 0,091 (p > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

Pengajaran mikro merupakan mata kuliah yang wajib ditempuh dan wajib lulus bagi mahasiswa program studi kependidikan terutama menjelang PPL. Mata kuliah ini dilaksanakan satu

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : (1) Siswa kelas XII SMAN 42 lebih dominan menggunakan effective coping