• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Non Performing Loan

2.3.1 Pengertian Non Performing Loan (NPL)

Setiap bank akan menjumpai pinjaman yang membawa resiko lebih besar daripada yang diperkirakan saat memberikan persetujuan permohonan kredit dalam fortopolio kreditnya, bahkan juga pinjaman yang mungkin membawa resiko jauh lebih besar daripada yang lazimnya masih bisa dihadapi. Pinjaman-pinjaman yang demikian dikategorikan dalam pinjaman yang bermasalah.

Kredit bermasalah atau problem loan dapat diartikan sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan dan atau karena faktor eksternal di luar kemampuan kendali debitur. Kredit bermasalah sering juga disebut non performing loan yang dapat diukur dari kolektibilitasnya. Kolektibilitas merupakan gambaran kondisi pembayaran pokok dan bunga pinjaman serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana yang ditanamkan dalam surat-surat

berharga. Penilaian kolektibilitas kredit digolongkan kedalam 5 kelompok yaitu (Kasmir, 2009 : 123):

1. Lancar (pas)

Suatu kredit dapat dikatakan lancar apabila:

a. Pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat waktu. b. Memiliki mutasi rekening yang aktif.

c. Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral). 2. Dalam perhatian khusus (special mention)

Dikatakan dalam perhatian khusus apabila memenuhi kriteria antara lain: a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang

belum melampui 90 hari. b. Kadang-kadang terjadi cerukan.

c. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan. d. Mutasi rekening relatif aktif.

e. Didukung dengan pinjaman baru. 3. Kurang lancar (substandard)

Dikatakan kurang lancar apabila memenuhi kriteria diantaranya:

a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari.

b. Sering terjadi cerukan.

c. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari.

d. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah.

e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur. f. Dokumen pinjaman yang lemah.

4. Diragukan (doubtful)

Dikatakan diragukan apabila memenuhi kriteria diantaranya:

a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 hari.

b. Terjadi cerukan yang bersifat permanen. c. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari. d. Terjadi kapitalisasi bunga.

e. Dokumen hukum yang lemah, baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan.

5. Macet (loss)

Dikatakan macet apabila memenuhi kriteria antara lain:

a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 270 hari.

b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru.

c. Dari segi hukum dan kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai yang wajar.

NPL mencerminkan resiko kredit, semakin kecil NPL semakin kecil pula resiko kredit yang ditanggung pihak bank. Agar nilai bank terhadap rasio ini baik

Bank Indonesia menetapkan kriteria rasio NPL net di bawah 5%. NPL dapat diperoleh dengan cara menghitung rasio antara kredit bermasalah dengan total kredit.

Rumus: NPL

=

KreditBermasalah

TotalKredit x 100%

Sumber. SEBI No.6/23/DPNP Tahun 2004

Rasio ini menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Artinya, semakin tinggi rasio ini maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar yaitu kerugian yang diakibatkan tingkat pengembalian kredit macet.

2.3.2 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Non Performing Loan

Dari sisi perspektif bank, terjadinya kredit bermasalah disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat dibedakan sebagai berikut (Siamat, 2005 : 360):

1. Faktor Internal

Faktor internal kredit bermasalah berhubungan dengan kebijakan dan strategi yang ditempuh pihak bank, yaitu:

a. Kebijakan perkreditan yang ekspansif

Bank yang memiliki kelebihan dana (excess liquidity) sering menetapkan kebijaksanaan perkreditan yang terlalu ekspansif yang melebihi pertumbuhan kredit secara wajar, yaitu dengan menetapkan sejumlah target kredit yang harus dicapai untuk waktu tertentu yang cenderung mendorong pejabat kredit menempuh langkah-langkah yang lebih agresif dalam penyaluran kredit sehingga mengakibatkan tidak lagi selektif

dalam memilih calon debitur dan kurang menerapkan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat dalam menilai permohonan kredit sebagaimana seharusnya.

b. Penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan

Pejabat bank sering tidak mengikuti dan kurang disiplin dalam menerapkan prosedur perkreditan sesuai dengan pedoman dan tata cara pemberian kredit dalam suatu bank. Hal yang sering terjadi, bank tidak mewajibkan calon debitur membuat studi kelayakan dan menyampaikan data keuangan yang lengkap. Penyimpangan sistem dan prosedur perkreditan tersebut bisa disebabkan karena jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang menangani masalah perkreditan belum memadai, maupun karena adanya pihak dalam bank yang sangat dominan dalam pemutusan kredit.

c. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit

Hal ini dapat dilihat dari dokumen kredit yang seharusnya diminta dari debitur tapi tidak dilakukan oleh bank, berkas perkreditan tidak lengkap dan tidak teratur, pemantauan terhadap usaha debitur tidak dilakukan secara rutin, termasuk peninjauan langsung pada lokasi usaha debitur secara periodik. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan tersebut menyebabkan kredit yang secara potensial akan mengalami masalah tidak dapat dilacak secara dini.

d. Lemahnya sistem informasi kredit

Sistem informasi kredit yang tidak berjalan sebagaimana seharusnya akan memperlemah keakuratan pelaporan bank yang pada gilirannya akan sulit melakukan deteksi dini. Hal tersebut dapat menyebabkan terlambatnya pengambilan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah.

e. Itikad kurang baik dari pihak bank

Pemilik atau pengurus bank seringkali memanfaatkan keberadaan banknya untuk kepentingan kelompok bisnisnya dengan sengaja melanggar ketentuan kehati-hatian perbankan terutama ketentuan legal lending limit. Skenario lain adalah pemilik dan atau pengurus bank memberikan kredit kepada debitur yang sebenarnya fiktif hanya untuk kepentingan pemilik atau pengurus bank.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ini sangat terkait dengan kegiatan usaha debitur yang menyebabkan terjadinya kredit bermasalah antara lain terdiri dari:

a. Penurunan kegiatan ekonomi dan tingginya tingkat bunga kredit

Kegiatan usaha debitur rentan terhadap terjadinya penurunan kegiatan ekonomi dan dalam waktu yang sama tingkat suku bunga mengalami kenaikan yang tinggi. Penurunan kegiatan ekonomi dapat disebabkan oleh adanya kebijakan penyejukan ekonomi atau akibat kebijakan pengetatan uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang menyebabkan

tingkat bunga naik dan pada gilirannya debitur tidak lagi mampu membayar cicilan pokok dan bunga kredit.

b. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur Persaingan bank yang sangat ketat dalam penyaluran kredit dapat dimanfaatkan debitur yang kurang memiliki itikad baik untuk memperoleh kredit melebihi jumlah yang diperlukan, untuk usaha yang tidak jelas, atau untuk kegiatan spekulatif. Dalam kondisi persaingan yang tajam, sering bank menjadi tidak rasional dalam pemberian kredit dan akan diperburuk dengan keterbatasan kemampuan teknis dan pengalaman petugas bank dalam pengelolaan kredit.

c. Kegagalan usaha debitur

Kegagalan usaha debitur dapat terjadi karena sifat usaha debitur yang sensitif terhadap pengaruh eksternal (external factors), misalnya kegagalan dalam pemasaran produk; karena perubahan harga dipasar, adanya perubahan pola konsumen, dan pengaruh perekonomian nasional. d. Debitur mengalami musibah

Musibah dapat saja terjadi pada debitur, misalnya meninggal dunia, lokasi usahanya mengalami kebakaran atau kerusakan sementara usaha debitur tidak dilindungi dengan asuransi.

3. Faktor Eksternal Bank dan Debitur

Yang mempengaruhi kelancaran usaha perusahaan atau bank yaitu:

a. Menurunnya kondisi ekonomi dan moneter negara atau sektor usaha. Bagi banyak perusahaan dampak langsungnya adalah menurunnya hasil penjualan barang dan jasa yang dihasilkan. Selanjutnya profitabilitas dan likuiditas keuangan menurun, sehingga kemampuan membayar pinjaman terpengaruhi. Manakala perekonomian mengalami krisis, maka biasanya tabungan masyarakat akan menjadi rendah dan konsumsi akan menjadi tinggi karena kurangnya kepercayaan pada lembaga perbankan dan semakin mahal dan langkanya barang-barang kebutuhan.

b. Situasi politik dalam dan luar negeri yang merugikan. c. Meningkatnya tingkat suku bunga pinjaman.

d. Bencana alam yang merusak atau memusnahkan fasilitas produksi yang mereka miliki.

e. Peraturan pemerintah dapat menjadi sebab lain merosotnya kemampuan debitur bank mengembalikan kredit. Peraturan yang bersifat membatasi berdampak besar atas situasi keuangan dan operasional serta manajemen nasabah serta adanya perubahan kebijaksanaan pemerintah di sektor rill. f. Melemahnya kurs nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang

asing. Faktor kurs nilai tukar semakin besar pengaruhnya terhadap debitur yang meminjam kredit dalam mata uang asing dan memasarkan produk mereka didalam negeri dengan harga dalam mata uang nasional.

Hal ini menyebabkan beban bunga dan pembayaran kembali kredit meningkat sampai diluar batas debitur untuk memikulnya.

2.3.3 Indikasi Kredit Bermasalah

Deteksi merupakan suatu kemampuan untuk mengenali tanda-tanda kemungkinan adanya suatu masalah atau paling tidak mengarah ke suatu masalah terhadap kredit yang sedang berjalan. Indikasi kemungkinan terjadinya kredit bermasalah dapat dibedakan dari dua sumber yaitu (Siamat, 2005 : 359):

1. Indikasi internal

a. Perkembangan kondisi keuangan yang cenderung berlawanan dari proyeksi yang diharpkan.

b. Terjadi penundaan pembayaran cicilan pokok dan bunga. c. Ada anggota eksekutif perusahaan yang mengundurkan diri. d. Meningkatnya penggunaan fasilitas overdraft.

e. Permintaan penambahan kredit tanpa menyertakan data-data keuangan yang lengkap dan mutakhir.

f. Permohonan perpanjangan atau penjadwalan ulang. g. Usaha nasabah terlalu ekspansif.

h. Debitur menghindari penyampaian informasi keuangan pada saat diminta.

2. Indikasi eksternal

a. Adanya penyelidikan dari lemabaga-lembaga keuangan lain.

b. Kreditur lain melakukan tindakan proteksi, misalnya penambahan dan pengikatan barang jaminan secara normal.

c. Kegagalan perusahaan membayar pajak.

d. Ada anggota eksekutif perusahaan yang mengundurkan diri. e. Pemogokan buruh (pekerja) secara terorganisasi.

f. Permohonan perpanjangan atau penjadwalan ulang. g. Peluncuran produksi baru oleh pesaing.

2.3.4 Penyelamatan Kredit Bermasalah

Penyelamatan kredit merupakan usaha yang dilakukan bank terhadap kredit yang digolongkan sebagai kredit bermasalah. Penyelamatan kredit dimaksud sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan kredit yang tergolong kredit bermasalah atau

non performing loan setelah semua upaya pembinaan kredit dilakukan.

Kredit yang telah diklasifikasi sebagai kredit bermasalah, sebelum dilakukan penyelamatan dapat ditempuh beberapa usaha sebagai berikut (Siamat, 2005 : 362):

1. Peringatan tertulis untuk segera menyelesaikan kewajibannya yang tertunggak disamping usaha lain untuk melakukan penagihan. Peringatan tersebut dapat diulangi sampai tiga kali. Apabila debitur belum juga menyelesaikan kewajibannya, maka bank dapat mencabut fasilitas kredit sehingga yang bersangkutan dapat dikenakan overdue.

2. Apabila setelah dilakukan peringatan tiga kali namun belum ada reaksi dan usaha debitur untuk melunasi utangnya, dapat ditempuh jalur hukum yaitu lembaga somatie yang ada di Pengadilan Negeri bagi bank swasta. Sedangkan bagi bank BUMN melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN).

Beberapa cara pendekatan yang dapat dipertimbangkan dalam upaya penyelamatan kredit bermasalah sebagai berikut:

1. Rescheduling (penjadwalan ulang)

Yaitu perubahan persyaratan kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu kredit. Kredit yang memperoleh fasilitas rescheduling hanyalah debitur yang memenuhi persyaratan tertentu antara lain: usaha debitur memiliki prospek untuk bangkit kembali, debitur menunjukkan itikad baik yaitu memiliki willingness to pay, dan adanya keyakinan bahwa debitur tetap berminat dan berniat untuk terus mengelola usahanya. Dalam proses rescheduling ini tunggakan pokok dan bunga dijumlahkan (dikapitalisasi) untuk kemudian dijadwalkan kembali pembayarannya dan untuk itu dibuat perjanjian rescheduling tersendiri.

2. Reconditioning (persyaratan ulang)

Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayarannya, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya, sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit. Dalam reconditioning ini dapat pula diberikan kepada debitur

keringanan berupa pembebasan sebagian bunga tertunggak atau penghentian perhitungan bunga bagi debitur yang bersifat jujur, terbuka dan cooperative, serta bagi debitur yang usahanya masih potensial dapat beroperasi dengan menguntungkan namun mengalami kesulitan keuangan.

3. Restructuring (penataan ulang)

Yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut penambahan dana bank, konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali dan atau persyaratan kembali.

4. Eksekusi Barang Jaminan

Yaitu penjualan barang-barang yang dijadikan jaminan dalam rangka pelunasan utang. Pelaksanaan ini dilakukan terhadap kategori kredit yang memang benar-benar, menurut bank, usaha debitur sudah tidak dapat lagi dibantu untuk disehatkan kembali atau usaha nasabah yang sudah tidak memiliki prospek untuk dikembangkan.

2.3.5 Dampak Non Performing Loan

Kredit macet dalam jumlah besar yang relatif besar atau bahkan informasi yang tidak benar mengenai kredit macet yang dialami bank tertentu, jika tidak segera diambil langkah penanggulangan, maka akan menimbulkan kegelisahan pada nasabah bank yang bersangkutan dan memungkinkan terjadinya rush. Kredit macet yang cukup besar dalam industri perbankan membawa dampak yang cukup luas yaitu secara:

1. Makro, mengingat sebagian dana yang dihimpun bank digunakan untuk menutup kewajiban baik jangka pendek atau panjang, maka kemampuan bank dalam memberikan kredit baru menjadi berkurang sehingga menutup kemungkinan calon debitur baru untuk memperoleh fasilitas kredit dari bank yang bersangkutan. Dampak lainnya bank cenderung terlalu selektif dan berhati-hati memberikan kredit sehingga ekspansi pemberian kredit menjadi menurun. Selain itu proses pemberian kredit cenderung lama dari prosedur normal dan mengakibatkan biaya dana serta bunga kredit menjadi lebih tinggi.

2. Mikro, merugikan perkembangan usaha dan kesehatan bank. Keadaan tersebut mempengaruhi likuiditas bank, dalam arti kemungkinan bank tidak dapat memenuhi kewajibannya segera. Disamping itu, bekerjanya penerimaan mempengaruhi solvabilitas dan rentabilitas bank, hal tersebut juga akan mempengaruhi keadaan permodalan.

Dokumen terkait