• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ADAT PELEBUR BASE DALAM PERKAWINAN ENDOGAMIPADA

B. Pergeseran Makna Adat Pelebur Base Dalam Perkawinan Endogami Pada

Suku Sasak di Desa Menceh Kecamatan Sakra Timur

Suatu kebudayaan yang dijalankan oleh suatu masyarakat tentunya

memiliki makna tersendiri di dalamnya. Begitu pula halnya dengan adat

istiadat yang merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Penggunaan adat

pelebur base dalam perkawinan endogami pada suku Sasak di Desa Menceh

Kecamatan Sakra Timur tentunya mengandung suatu makna yang sakral.

Melalui penjabaran proses penggunaan adat pelebur base di atas dapat

diketahui makna dari pelebur base tersebut. Sebelum peneliti memberikan

pembahasan yang lebih jauh mengenai makna dedosan pelebur base ini, maka

terlebih dahulu peneliti akan membahas makna pelebur base menurut asal

katanya (etimologi) dan hukum pelebur base tersebut.

Secara etimologi, pelebur base berasal dari bahasa Sasak yakni lebur dan

base. Dalam kamus (bausastra) Sasak-Indonesia Indonesia-Sasak karangan

Azhar (2010:15 dan 59), base berarti bahasa atau berbicara, sedangkan lebur

berarti lebur atau hancur. Melalui asal katanya dapat diartikan bahwa pelebur

67

Muhammad Kasim, ”pelebur base itu artinya bahasa itu melebur” (wawancara hari Sabtu 15 Juni 2013).

Mengenai hukumnya, melalui wawancara dengan beberapa orang

informan, pelebur base tidak hanya saat melakukan pembayaran dendanya

saja. Hukum pelebur base terus berlanjut dan harus dipatuhi hingga tujuh

keturunan. Dalam wawancara dengan Kasim, Muhrim, Senari, dan Seperah,

mereka menyebutkan bahwa hukum atau aturan dalam pelebur base, antara

lain:

1. Dalam pelebur base, bahasa panggilan atau sebutan dalam keluarga menjadi

melebur atau berubah. Umpama seorang lelaki menikah dengan anak

sepupunya. Sebelum terjadi perkawinan, ia memiliki bahasa panggilan

untuk anak sepupunya itu dengan “duan” atau “anak”. Namun setelah

menikah maka sebutan “duan” atau “anak” tersebut berubah menjadi “adiq

(panggilan untuk senine). Demikian halnya kepada saudara sepupunya

tersebut. Yang semula dipanggil dengan sebutan “kakak” atau “adiq” maka

setelah menikah berubah menjadi “amaq” (mentoaq mame) dan “inaq

(mentoaq nine). Sementara jika menikah dengan saudara sepupu bapak atau

ibu (bibi), sebelum terjadi perkawinan, ia memiliki bahasa panggilan untuk

saudara sepupu orang tuanya itu dengan “saik” atau “inaq kake”. Namun setelah menikah maka sebutan tersebut berubah menjadi “adiq”. Demikian

halnya kepada orang tua istrinya tersebut. Yang semula dipanggil dengan

sebutan “papuq mame” dan “papuq nine” maka setelah menikah berubah

68

2. Pelebur base hanya boleh terjadi sekali dan tidak boleh diulang kembali

oleh keturunan di bawahnya. Apabila terulang kembali maka akan dituntut

dan diberikan sanksi. Mengenai pemberian sanksi tergantung pada tingkat

kekuatan dari adat tersebut terhadap masyarakat setempat. Batas

pemberlakuan hukum pelebur base ini yakni hingga tujuh keturunan.

Namun melihat kenyataan yang ada zaman sekarang, ikatan kekeluargaan

hanya sampai sebatas empat keturunan, selebihnya sudah dianggap “orang”. Sehingga hukum pelebur base pun kini dibatasi hingga empat keturunan.

3. Apabila terjadi perceraian antara kedua belah pihak yakni suami dan istri

yamg sebelumnya telah menikah menggunakan pelebur base, maka dilarang

hukumnya untuk menikah kembali dengan anggota keluarga yang lain.

Apabila hal tersebut dilanggar maka akan dituntut dan dikenai sanksi.

Mengenai pemberian sanksi tergantung pada tingkat kekuatan dari adat

tersebut terhadap masyarakat setempat.

Hukum atau aturan mengenai pelebur base ini menunjukkan adanya

pergeseran makna yang terkandung di dalamnya. Pada mulanya batas

pemberlakuan hukum pelebur base yakni hingga tujuh keturunan. Namun

melihat kenyataan yang ada zaman sekarang, ikatan kekeluargaan hanya

sampai sebatas empat keturunan, selebihnya sudah dianggap “orang”. Sehingga hukum pelebur base pun kini dibatasi hingga empat keturunan. Mengenai

pemberian sanksi pun tergantung pada tingkat kekuatan hukum adat tersebut

69

sudah tidak sekuat dulu mencerminkan bergesernya pemahaman masyarakat

terhadap makna yang terkandung dalam adat pelebur base tersebut.

Kemudian sehubungan dengan hukum atau aturan adat pelebur base

tersebut di atas terdapat suatu kasus pelanggaran yang pernah terjadi.

Pelanggaran ini dilakukan oleh seorang lelaki bernama Guru Bangke yang

berasal dari Desa Borok Kecamatan Sakra Barat. Melalui penuturan

Muhammad Kasim, Senari, dan Muksin (35) tahun, beliau telah menikah

dengan anak sepupunya menggunakan dedosan pelebur base. Kemudian beliau

bercerai dengan istrinya, lalu megambil merariq sepupunya. Hal tersebut tentu

telah melanggar adat pelebur base. Sehingga beliau dituntut oleh keluarga,

pemangku adat, dan masyarakat setempat serta diberikan sanksi berupa

dipenjara kurang lebih tiga bulan.

Berbeda halnya dengan Amaq Rohan yang berasal dari Desa Menceh

Kecamatan Sakra Timur. Melalui penuturan Muhrim diketahui bahwa Amaq

Rohan menikah dengan anak sepupunya yang bernama Ilir menggunakan

dedosan pelebur base. Tak berapa lama menikah mereka pun bercerai.

Kemudian sekitar setahun yang lalu Amaq Rohan menikah lagi dengan seorang

perempuan yang bukan merupakan keluarganya yang berasal dari Pulau

Sumbawa. Dalam hal ini ia tidak dianggap melanggar adat. Sebab menikah lagi

dengan perempuan yang bukan satu keluarga atau satu kekerabatan dengannya,

diperbolehkan.

Mengenai makna dari adat pelebur base ini, Muhammad Kasim selaku

70

Dusun Kuangwai Desa Menceh, menjelaskan bahwa pelebur base merupakan

suatu adat yang berfungsi untuk memperjelas hubungan antara nine dan mame

(istri dan suami), memperjelas keturunan dari keduanya, dan menjaga agar

hubungan atau silsilah keluarga agar tidak rusak.

Sementara menurut penuturan Muhrim dan Senari, apabila adat pelebur

base ini tidak dilaksanakan maka kedua belah pihak tidak boleh bekawin

(melangsungkan perkawinan) karena dianggap telah melanggar adat. Sukirman

yang juga merupakan salah satu pemangku adat di Desa Menceh,

mengungkapkan bahwa apabila tidak menggunakan dedosan pelebur base

maka tidak boleh melangsungkan perkawinan karena dianggap telah melanggar

adat. Istilah yang disebutkan oleh Sukirman dalam hal ini yakni rantek bateq

mesaq.

Seperti halnya Sukirman, Jumasih dan Amaq Ismail alias Cani pun

menyebutkan istilah yang sama, rantek bateq mesaq. Berdasarkan penuturan

mereka, istilah ini diperuntukkan bagi seorang lelaki yang menikah dengan

keponakan atau bibinya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di

atas. Hal tersebut dianggap telah melanggar adat sehingga untuk dapat

melangsungkan perkawinan maka harus menggunakan dedosan pelebur base.

Sementara itu berdasarkan proses dan hukum pelebur base yang telah

dijabarkan di atas, makna pelebur base dapat dianalisis menggunakan teori

interaksionisme simbolik Herbert Blumer (1969). Dalam Spradley (2006:8),

Herbert Blumer (1969) mengidentifikasi tiga premis yang menjadi landasan

71

Premis pertama, “manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka”. Masyarakat Desa Menceh menggunakan dedosan pelebur base dalam perkawinan endogami

yang tak lazim atas dasar makna yang terkandung dari adat tersebut yakni

memperjelas hubungan antara nine dan mame (istri dan suami), memperjelas

keturunan dari keduanya, dan menjaga agar hubungan atau silsilah keluarga

agar tidak rusak.

Premis kedua, “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain”. Makna pelebur base tersebut muncul dari adanya interaksi antar anggota keluarga, yakni kuatnya sebutan

dalam keluarga bagi masyarakat Sasak, dan interaksi antar anggota masyarakat

bahwasanya terdapat suatu keyakinan yang kuat menurut adat mengenai

pelanggaran sebagaimana yang dijelaskan dalam penelitian ini, untuk ditebus

menggunakan dedosan pelebur base.

Premis ketiga, “makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang

dihadapi orang tersebut”. Sebagaimana penjabaran proses penggunaan adat

pelebur base di atas, yakni adanya perubahan mengenai adat pelebur base

zaman dahulu dengan zaman sekarang. Hal tersebut dapat terjadi atas dasar

adanya modifikasi (pengubahan) melalui suatu proses penafsiran para

pemangku adat suku Sasak yang berpedoman dengan ajaran agama Islam

kaitannya dengan aturan dalam perkawinan dan rasa kemanusiaan sebagai

72

Kemudian mengenai keberadaan dan pengaruh makna adat pelebur base

ini, pada dasarnya tidak hanya mencakup suku Sasak di Desa Menceh saja

melainkan suku Sasak pada umumnya. Berdasarkan pernyataan Muhammad

Kasim (wawancara hari Minggu, 4 Agustus 2013), adat perkawinan suku Sasak

sebagaimana yang dibahas dalam penelitian ini, tidak hanya berlaku di Desa

Menceh melainkan terdapat di daerah Lombok bagian selatan (Kecamatan

Sakra, Sakra Timur, Sakra Barat, Keruak, dan Jerowaru). Secara umum adat

perkawinan suku Sasak di daerah Lombok bagian selatan memiliki

keseragaman, termasuk dalam hal dedosan pelebur base.

Informasi ini pun diperkuat oleh penuturan dari beberapa informan lain

yakni Senari, Muhrim, Muksin, dan Sukirman mengenai kasus perkawinan

endogami dengan dedosan pelebur base, Guru Bangke, yang berasal dari Desa

Borok Kecamatan Sakra Barat. Rosidi yang mengungkapkan kasus perkawinan

endogami dengan dedosan pelebur base, Syaifuddin dan Isna, di Desa

Pengkelaq Emas Kecamatan Sakra Barat. Ruslan salah seorang warga Desa

Tanjung Luar Kecamatan Keruak, mengaku menikah menggunakan dedosan

pelebur base. Serta Irma salah seorang warga Desa Pringgabaya yang

mengungkapkan bahwa dedosan pelebur base di desanya dikenal dengan

sebutan nyedak base.

Hal ini menunjukkan bahwa dedosan/dedosak pelebur base terdapat pada

masyarakat Sasak pada umumnya, khususnya suku Sasak di Pulau Lombok

bagian Selatan. Mengenai penggunaan adat ini, sebagaimana yang dinyatakan

73

terhadap masyarakat setempat. Sehingga tentunya mengakibatkan pergeseran

74

BAB VI

Dokumen terkait