• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergeseran Paradigma Administrasi Publik

Dalam dokumen Realitas Kebijakan Publik (Halaman 51-57)

Secara teoritik telah terjadi pergeseran paradigma administrasi publik dari model administrasi publik tradisional (old public admi-nistratiton) ke model manajemen publik yang baru (new pulic ma-nagement), menuju model pelayanan publik baru (new public ser-vice).

Sedikit kilas balik kepada dinamika perkembangan adminis-trasi publik tersebut di atas;

Pertama, administrasi publik ortodok (lama); tokoh-tokoh yang ada dalam fase ini antara lain Woodrow Wilson, Frederick Taylor, Luther Gullick dan Herbert Simon. Konsepnyanya adalah adminis-trasi publik netral dari nilai-nilai. Pandangan ini dalam banyak hal sangat terkait dengan model normatif yang menunjuk pada apa

yang seharusnya dilakukan seorang administrator dalam meru-muskan kebijakan publik. Dalam hal ini, kebijakan publik dipahami sebagai proses politik yang harus mempertimbangkan persoalan efisiensi (yang dilawankan dengan sifat responsifitas proses kebi-jakan/politik). Hal ini merupakan kriteria utama dalam menilai su-atu kerja administratif. Ciri lainnya adalah desain publiknya bersifat system tertutup (closed system) dengan menyandarkan pada kontrol tunggal eksekutif sebagai otoritas tertinggi yang beroperasi secara top-down. Bila ditinjau dari model perumusan kebijakan public, maka landasan teoritis utama yang digunakan oleh peng-anut aliran Administrasi Publik Lama adalah teori pilihan rasional (rational choice theory).

Kemudian, model normatif dianggap sebagai sebuah model yang tertutup, tidak bisa terus dipertahankan. Para ahli teori dan praktisi, seperti Marshall Dimock, Robert Dahl, dan –yang termasy-hur— Dwight Waldo, menganggap model normatif tidak memberi-kan ruang gerak yang luas bagi adanya keterbukaan, tidak adanya partisipasi publik oleh karena modelnya yang sangat sentralistik, yang terpusat pada satu otoritas dan bersifat top-down. Namun pemikiran Dimock, dkk belum menemukan model yang bisa meng-gantikan secara ajeg model normatif, sehingga secara umum me-reka juga tetap patuh pada model normatif.

Kedua, pada perkembangan selanjutnya muncul model alter-natif terhadap birokrasi tradisional dengan memasukkan unsur-unsur bisnis yang sifatnya privat untuk urusan-urusan yang sifatnya publik, yang kemudian dikenal dengan aliran Manajemen Publik Baru (New Public Management). Salah satu tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Tedd Gaebler dan David Osborne dengan karya monumentalnya, yaitu Reinventing Government. Model ini menawarkan mekanisme pasar atau ekonomi sebagai alternative “terbaik” dalam mendesain kebijakan publik. Desain kebijakan pu-blik mengacu pada teori pilihan pupu-blik (public choice theory), teori agency (agency theory), yang secara umum berpusat pada model ekonomi.

Ketiga, alternatif terbaru yang sampai saat ini terus dibahas, yaitu Pelayanan Publik Baru (New Public Service). Ada empat wa-cana kontemporer yang menjadi fokus dari aliran ini, yaitu: (1) teori tentang kewarganegaraan demokratis, (2) model-model komunitas dan masyarakat sipil, (3) humanisme organisasi, dan (4) adminis-trasi publik postmodern. Pelayanan Publik Baru dipahami sebagai alur dari wacana (kebijakan) postmodern. Inti dari kebijakan post-modern terletak pada spirit utama dalam filsafat administrasi publik, bahwa yang paling penting dalam setiap proses politik (ke-bijakan) adalah bagaimana kebijakan tersebut efektif dan

partisi-patif. Dalam melihat kehidupan sosial, kebijakan postmodern me-mandang, baik fakta ataupun nilai sangat sulit untuk dipisahkan, alih-alih, dalam banyak kasus, persoalan nilai ternyata lebih ber-harga ketimbang fakta-fakta dalam memahami tindakan manusia. “… postmodern public administration theorist have a central com-mitment to the idea of “discourse”, the notion that public prob-lems are more likely resolved through discourse than through “ob-jective” measurenment or rational anlysis” (Mc Swite 1997, 377). Dalam model new public service, pelayanan publik berlandas-kan teori demokrasi yang mengajarberlandas-kan egaliter dan persamaan hak diantara warga negara. Dalam model ini kepentingan publik dirumuskan sebagai hasil dialog dari berbagai nilai yang ada di dalam masyarakat. Kepentingan publik bukan dirumuskan oleh elite politik seperti yang tertera dalam aturan. Birokrasi yang mem-berikan pelayanan publik harus bertanggung jawab kepada ma-syarakat secara keseluruhan. Peranan pemerintah adalah mela-kukan negosiasi dan menggali berbagai kepentingan dari masya-rakat dan berbagai kelompok komunitas yang ada. Dalam model ini birokrasi publik bukan hanya sekedar harus akuntabel pada berbagai aturan hukum melainkan juga harus akuntabel pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, norma politik yang berlaku, stan-dar profesional dan kepentingan masyarakat.

Tabel-1.3 Pergeseran Paradigma Administrasi Publik

ASPEK OLD PUBLIC ADMINIS-TRATION NEW PUBLIC ADMINIS-TRATION NEW PUBLIC SERVICE

Dasar Teoritis Teori politik Teori ekonomi Teori Demokrasi Konsep kepentingan publik Kepentingan publik = sesuatu yang didefinisi-kan secara politis , tercan-tum dlam aturan

Kepentingan publik mewakili agregasi dari kepentingan individu Kepentingan publik adalah hasil dari

dialog tentang berbagai nilai Kepada siapa birokrasi harus bertanggungjawab Klien (clients) dan pemilih Pelanggan (Customer) Warga Negara (citizens)

Peran pemerintah Pengayuh (Rowing) Mengarahkan (Steering) Menegosiasikan dan mengelabo-rasikan berbagai kepentingan warga negara/ kelompok komunitas Akuntabilitas Menurut hirarki

administratif Kehendak pasar yang merupa-kan hasil keinginan pelanggan (customers) Multi aspek: akuntabel pada hukum,nilai komunitas, norma politik, standar profesional, kepentingan warga negara

Dasar teoritis pelayanan publik yang ideal menurut paradigma new public service yaitu pelayanan publik yang harus responsif terhadap berbagai kepentingan dan nilai-nilai publik yang ada. Tu-gas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan masyarakat dan kelompok komunitas, hal ini mengandung pengertian bahwa karakter dan nilai yang terkan-dung didalam pelayanan publik tersebut harus berisi preferensi nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Karena masyarakat ber-sifat dinamis maka karakter pelayanan publik juga harus selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakat (Dwiyanto, 2006: 145).

Disamping itu pelayanan publik model baru harus bersifat non-diskriminatif sebagaimana dimaksud dasar teoritis yang digunakan yaitu teori demokrasi yang menjamin adanya persamaan warga negara tanpa membeda-bedakan asal-usul, kesukuan, ras, etnik, agama, dan latar belakang kepartaian. Ini berarti setiap warga ne-gara diperlakukan secara sama ketika berhadapan dengan biro-krasi publik untuk menerima pelayanan sepanjang syarat-syarat yang dibutuhkan terpenuhi. Hubungan yang terjalin antara birokrat publik dengan warga negara adalah hubungan impersonal sehing-ga terhindar dari sifat nepotisme dan primodial.

BAB II

Dalam dokumen Realitas Kebijakan Publik (Halaman 51-57)

Dokumen terkait