• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1 Gambaran Umum

3.1.1 Pergeseran Paradigma dari Inward Looking menjadi Outward Looking

Selama ini, kawasan perbatasan Indonesia hanya dianggap sebagai garis pertahanan terluar negara, oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam mengelola perbatasan hanya pada pendekatan keamanan (security approach).46 Padahal, di beberapa negara tetangga, misalnya Malaysia, telah menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan keamanan secara berdampingan pada pengembangan wilayah perbatasannya.

Jika dianalisa melalui beberapa kasus yang pada dasarnya telah mengancam perbatasan wilayah Indonesia. Kasus yang paling banyak menyita perhatian masyarakat adalah kasus sengketa antara negara Indonesia dan Malaysia atas pulau Sipadan dan Ligitan yang berakhir dengan lepasnya kedua pulau ini dari wilayah RI pada tahun 2002 lalu.47 Lepasnya kedua pulau ini terjadi setelah Mahkamah Internasional di Den Haag memenangkan Malaysia dengan alasan negara itu terbukti telah melakukan pengelolaan secara serius dan berkesinambungan di kedua pulau itu.48 Kemudian penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Singapura, telah

46

WILAYAH PERBATASAN.COM, Grand Design Pengelolaan Perbatasan 2010 - 2025,

http://www.wilayahperbatasan.com/grand-design-pengelolaan-perbatasan-2010-2025/, Di Akses pada 5 Juni 2013

47 Ibid

70

berlangsung sejak tahun 1970.49 Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan, bahkan penembakan dan penangkapan terhadap para nelayan pun sempat menjadi tontonan miris seluruh rakyat bangasa Indonesia50.

Beberapa kasus tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan kawasan perbatasan di Indonesia lemah, ditambah lagi oleh belum sepenuhnya ada kejelasan adanya perbatasan antara wilayah RI dan negara tetangga. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini belum bisa mengatasi masalah-masalah tersebut. Pada Pasal 14 Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara mengamanatkan pembentukan badan pengelola nasional dan badan pengelola daerah untuk bertanggung jawab mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan, namun pelaksanaannya belum berjalan dengan baik. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pengaturan tentang pengembangan wilayah perbatasan di kabupaten/kota secara hukum berada dibawah tanggung jawab pemerintah

49 Ibid

50

Tapal Batas Negeri Mengawal Serambi Indonesia. “Wilayah Perbatasan Branda Depan NKRI”.

71

daerah tersebut. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu perbatasan yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, keamanan dan pertahanan51.

Meskipun demikian, pemerintah daerah masih menghadapi beberapa hambatan dalam mengembangkan aspek sosial-ekonomi kawasan perbatasan. Beberapa hambatan tersebut diantaranya, masih adanya paradigma pembangunan wilayah yang terpusat, sehingga kawasan perbatasan hanya dianggap sebagai halaman belakang, sosialisasi peraturan perundang-undangan mengenai pengembangan wilayah perbatasan yang belum sempurna, keterbatasan anggaran, dan tarik-menarik kepentingan pusat-daerah bahkan antar instansi pemerintahan didaerah juga masih sering terjadi.

Selain itu pada dasarnya otoritas pengelolaan keamanan di perbatasan sendiri telah lama diserahkan kepada TNI. Hal ini salah satunya didasarkan pada Undang-Undang No. 34, tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahwa wewenang untuk menjaga keamanan di area perbatasan adalah salah satu fungsi pokok dari TNI. Masih lemahnya motivasi dan peran pemerintah pusat dan daerah untuk mengelola kawasan perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) berimplikasi pada otoritas penuh TNI sebagai pengelola perbatasan negara

51

Indonesia, Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,Nomor 43 Tahun 2008, Tentang wilayah Negara dan Nomor. 32 tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah.

72

dengan penekanan pada keamanan bukan pada kesejahteraan sosial ekonomi, sehingga pengelolaan kawasan perbatasan cendrung mengarah pada paradigm Inward looking dari pada Outward looking.

Saat ini di beranda depan wajah bangsa ini kita hanya dapat menyaksikan Malaysia yang mampu membangun pusat-pusat pertumbuhan di perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya52. Sementara masyarakat perbatasan, umumnya miskin dan secara ekonomi lebih berorientasi ke negara tetangga dengan melakukan migrasi temporer maupun permanen dengan motif utama ekonomi, sebagaimana hal itu terjadi di sepanjang kawasan perbatasan Kabupaten Nunukan dengan Sabah - Malaysia. Ironinya, stelsel pemerintahan dalam frame hubungan pusat dan daerah tersebut, berdampak serius terhadap desain dan implementasi kebijakan pembangunan kawasan perbatasan. Di tingkat pusat misalnya, berdasarkan data dari Dirjend Pemerintahan Umum (PUM) Depdagri,53 Setidaknya ada 24 instansi yang mengajukan anggaran APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) untuk pembangunan kawasan perbatasan dari berbagai perspektif. Kondisi serupa juga terjadi pada level birokrasi

52

Bappenas, 2003. “Strategi dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan”, hasil Laporan Studi Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Deputi Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta; Supiadi, A. 2004

53

Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum-Departemen Dalam Negeri, “Perbatasan Antar Negara”, Makalah dipresentasikan pada acara Seminar Nasional: Pengelolaan Wilayah Perbatasan Dalam Rangka Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, diselenggarakan oleh UPN Veteran, Yogyakarta, 18 November 2008.

73

Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan, yang di dalamnya banyak bersinggungan dengan berbagai dinas yang sama-sama berkepentingan dengan kawasan perbatasan54.

Kompleksitas persoalan pengelolaan perbatasan tersebut, pada dasarnya berkutat pada masalah birokrasi yang egosentris, maka benang merah yang dapat disimpulkan adalah adanya keinginan kuat untuk merevitalisasi kawasan perbatasan agar bisa seimbang dengan kemajuan pembangunan di kawasan perbatasan negara tetangga.55 Dalam konteks pembangunan perbatasan, kebijakan keamanan yang selama ini menjadi pendekatan sentral, telah berdampak serius terhadap akses keadilan bagi masyarakat perbatasan dalam mendapatkan jatah pembangunan sosial-ekonomi yang setara dengan masyarakat di luar perbatasan. Namun, dalam perkembangan mutakhir Indonesia telah mengembangkan paradigma pengelolaan keamanan melalui pola pendekatan yang disebut dengan pendekatan komprehensif. Dalam pendekatan ini, berbagai faktor diintegrasikan seperti keamanan, kesejahteraan dan lingkungan. Diharapkan melalui kebijakan tersebut maka pengelolaan keamanan perbatasan bisa lebih baik, sehingga secara perlahan wajah perbatasan mengalami

54

Tapal Batas Negeri Mengawal Serambi Indonesia. “IMPLIKASI GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI PADA MASALAH PERBATASAN DI INDONESIA” website : http://tapalbatasnegeri.wordpress.com/ diakses pada 20 juni 2013

55

Website : Universitas Gajah Mada. Posisi Kelembagaan, Kendala Dalam Mengelola Perbatasan Negara.http://www.ugm.ac.id/id/berita/7880posisi.kelembagaan.kendala.dalam.mengelola.perbatasan. negara diakses pada, 15 Juli 2013

74

perubahan yang lebih baik pula56. Secara praktis, perubahan paradigma dan pendekatan pembangunan perbatasan negara, khususnya di Kalimantan dapat dilacak melalui penelusuran kasus dan dinamika yang melingkupi hubungan kedua negara tersebut.

Pertama, pergesekan politik dengan Malaysia. Misalnya, dalam kasus SipadanLigitan yang berujung pada kekalahan Indonesia di Mahkamah Internasional pada 2002. Bermula dari kasus ini yang diiringi dengan rentetan kasus-kasus perbatasan lainnya yang bersifat hukum dan politis, seperti sengketa batas wilayah, patok perbatasan, illegal loging, illegal fishing dan lain sebagainya57.

Berbagai fenomena tersebut memberikan inspirasi bagi pemerintah untuk secara serius mengelola perbatasan negara yang selama berpuluh tahun tidak pernah disentuh. Titik tolak (starting point) dari upaya tersebut dimulai pada 2007 lalu dengan disahkannya UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Semangat yang melandasi kelahiran undang-undang ini selain bernuansa ekonomi-maritim juga erat kaitannya dengan batas maritim negara dengan sejumlah negara tetangga. Undang-undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor: Kep. 10/Men/2002 tentang

56

Lihat Sugeng Hadiwinata, 2009. “Dari Pendekatan Keamanan Menuju Pendekatan Komprehensif”, dalam Wuryandari, Keamanan di Perbatasan Indonesia-Timor Leste: Sumber Ancaman dan Kebijakan Pengelolaannya, Pustaka Pelajar dan P2P LIPI, Yogyakarta, 2009, hlm. 319.

57

75

Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Tanggal 9 April 200258.

Setahun berikutnya, disahkan UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Melengkapi kedua instrumen hukum tersebut, pemerintah melalui Peraturan Presiden No.12 Tahun 2010 membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan, yang secara teknis dilengkapi dengan Permendagri No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan di Daerah. Jika dilihat dari perspektif Hukum Internasional, kesadaran terhadap kawasan perbatasan negara tersebut terbilang cukup terlambat. Sebab, pada 1982, Indonesia melalui perjuangan Deklarasi Djuanda yang berujung manis dengan disahkannya UNCLOS 1982 oleh PBB, telah memberikan banyak keuntungan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State). Semestinya, kedua undang-undang “perbatasan negara” tersebut dilahirkan tidak terlalu jauh dari UNCLOS 1982, sehingga konsentrasi berikutnya lebih fokus pada sisi pengelolaan wilayah perbatasan59.

Kedua, peristiwa lainnya yang menggugah kesadaran atas pengelolaan wilayah perbatasan Negara tersebut, secara historis berasal dari gagasan pemimpin negara tetangga, yakni Dato’ Musa Hitam dalam sebuah

58

Indonesia, Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Kep.10/Men/2002, Undang – Undang No.27 Tahun 2007; Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil. dan Kep.10/Men/2002 ;

Tentang Pedoman Umum perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Tanggal 9 April 2002.

59

Diskursus mengenai dinamika perbatasan laut dan pengelolaanya dapat dibaca dalam Cribb dan Ford, Indonesia Byond The Water’s Edge: Managing an Archipelagic State. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2009. hlm.3.

76

kesempatan sidang perbatasan di Kuala Lumpur pada 1983, yang melontarkan gagasan untuk membangun jalinan kerjasama pembangunan perbatasan—yang kemudian hari dikenal dengan sebutan kerjasama sosial-ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo)60.

Berangkat dari gagasan itulah kemudian Indonesia mulai memberikan perhatian terhadap pembangunan kawasan perbatasan dari sisi sosial dan ekonominya. Sebelum itu, kebijakan terhadap perbatasan didominasi oleh isu-isu pertahanan dan keamanan yang menyebabkan kawasan perbatasan menjadi kawasan terisolir dan berbahaya. Kondisi ini secara sadar telah menegasikan eksistensi penduduk yang ada di kawasan tersebut, sehingga hak-haknya secara konstitusional untuk mendapatkan pembangunan guna meningkatkan taraf kehidupan mereka yang sejajar dengan kawasan lainnya menjadi terabaikan. Bersamaan dengan itu, penulis kemudian menilai bahwa sudut pandang pemerintah terhadap negara adalah sebagai kawasan belakang negara.

Kemudian berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) juga telah dijelaskan bahwa dalam pengembangan wilayah perbatasan perlu diprioritaskan dan mendapat perlakuan khusus dalam rangka peningkatan taraf hidup,

60

Irwan Lahnisafitra, “Pentingnya Kerjasama Sosial Ekonomi Malaysia - Indonesia (Sosek Malindo) dan Kaitannya dengan Pertumbuhan Sub Regional ASEAN (Studi Kasus : Kerjasama Sosek Malindo Tingkat Daerah Kalbar-Sarawak)”, Makalah dipresentasikan dalam kegiatan Seminar Internasional Indonesia – Malaysia Update, UGM

77

kesejahteraan masyarakat, serta mengokohkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain61. Program prioritas ini dijabarkan lagi dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang disusun setiap tahun dan bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadikan wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara melalui delimitasi dan demarkasi batas, pengamanan wilayah perbatasan dan pembangunan sosial ekonomi wilayah sepanjang perbatasan62.

Dalam Rencana pembangunan tahunan wilayah perbatasan 2004 misalnya dijabarkan dalam 3 (tiga) kelompok kegiatan, yaitu kelompok kegiatan penetapan garis batas internasional, kelompok kegiatan pengamanan wilayah perbatasan dan kelompok kegiatan pengembangan wilayah perbatasan. Kemudian, berdasarkan RPJMN 2004-2009 disebutkan bahwa pembangunan kawasan perbatasan menjadi beranda depan negara. Program ini ditujukan untuk: (1). menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional; (2). meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya, serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Selanjutnya,

61

Indonesia, Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ; Undang – undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional.

62

Grand Design Pengelola Batas wilayah negara dan Kawasan Perbatasan Republik Indonesia. Tahun,2011-2025;

http://kawasan.bappenas.go.id/images/RI_PERBATASAN/RI%20PERBATASAN.pdf. Diakses pada 25 Juni 2013.

78

arah kebijakan pembangunan kawasan perbatasan 2010-2014 adalah: “Mempercepat pengembangan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara sekaligus pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga secara terintegrasi dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keamanan negara dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup”63.

Karakteristik berbagai perundang-undangan yang terkait dengan perbatasan, memiliki keterkaitan erat dengan upaya percepatan penyelesaian batas wilayah negara, serta mencerminkan adanya pergeseran paradigma dan arah kebijakan pembangunan kawasan perbatasan dari yang selama ini cenderung berorientasi “inward looking”, menjadi “outward looking” sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Di samping itu, pendekatan pengelolaan perbatasan negara pun, tampak mengalami pergeseran dengan mengedepankan kombinasi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) yang dilaksanakan secara serasi dengan pendekatan keamanan (security approach)64.

63

Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Republik Indonesia, 2011. Desain Besar (Grand Design) Pengelolaan Batas Wilayah Negara Dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025, SERI BNPP 01S-0111, Jakarta, hlm.9.

64

Pasal 7 Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Tentang Desain Besar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025

79

3.1.2 ISU DAN PERMASALAHAN - PERMASALAHAN DALAM

Dokumen terkait