30
EDISI / 3 Maret 2015 ANGGUR MERAHUntung tak dapat diraih, malangpun tak dapat ditolak. Setelah gagal menjadi anggota DPRD Kabupaten TTS, Kepala Desa Fatuulan Arkilaus Naktonis,Alm. belum mengembalikan modal bergulir. Beberapa sapi bantuan Alokasi Dana Desa
digunakannya untuk pertanggungjawaban sapi DeMAM.
Setelah dilanda kekalahan menjadi anggota DPRD TTS,
“
Arkilaus Naktonis, mantan kepala desa pun meninggal. Kami juga tidak tau harus bagaimana? Modal yang mestinya bergulir juga
tersendat. Sebelumnya, kami sempat menunggu beliau beberapa kali untuk
menjelaskan persoalan itu dalam rapat bersama” demikian keterangan Julius Natonis, Penjabat Kepala Desa Fatuulan.
Ia menjelaskan salah satu kendala yang ditemui terkait pegembalian dana bantuan bergulir ala Pemerintah Provinsi NTT itu. Kendala lainnya adalah kematian
ternak sapi peliharaan akibat sulitnya beradaptasi dengan hujan dan
kelembaban udara yang tinggi di desanya.
Pepatah usang di atas
mungkin tepat untuk memulai cerita perkembangan
Program Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM) di Desa Fatuulan, Kecamatan Kie, Kabupatan TTS. Menurut mantan Sekretaris Kepala Desa Fatuulan itu, masalah yang ada (belum
terealisirnya pengembalian) juga disumbangkan mantan Kepala Desa Fatuulan
sebelumnya.
Kepala Desa periode 2002-2013 yang sudah meninggal
itu meminjam sapi pribadi dan sapi dari Alokasi Dana Desa (ADD) untuk
pertanggungjawaban bantuan DeMAM. Setelah gagal menjadi calon legislatif dari wilayahnya, beliau kemudian meninggal dunia.
Rasa letih perjalanan
panjang, terbayar saat kabut putih menyapa kami
memasuki kawasan Hutan Nianam, sesaat sebelum perkampungan Fatuulan. Nuansa sejuk, segar karena kelembaban udara puncak Fatuulan kembali
mengingatkan saya kepada nyamannya daerah para mojang priangan, Bandung. Seperti namanya, Fatu - Ulan atau batu hujan menurut terjemahan Bahasa Dawan memang dikenal dingin. Bulan Mei, Juni hingga Juli di sebut-sebut penduduk
sebagai waktu dengan intensitas hujan dan kelembaban tertinggi.
Kebanyakan ternak mati saat itu. Jika ternak peliharaan mampu melewati masa sulit itu, umumnya mereka dapat bertahan hidup lebih lama. Itulah salah satu cerita dari peliputan redaksi, saat menggali informasi tentang kendala yang ditemui
31
EDISI / 3 Maret 2015
ANGGUR MERAH
Hadir malam itu setidaknya empat ketua kelompok penerima manfaat bersama anggota. Mereka menyambut kami dengan ramah, siri pinang dalam oko mama, kalungan kain (sakatenu) dilanjutkan dengan makan malam bersama. Kami tentu tidak berharap tercatat sebagai pelaku gratifikasi. Kami ingin dapat menggali informasi
sebanyak-banyaknya, langsung dari mulut pertama.
Dalam penugasan lapangan seperti ini, sulit rasanya menghindari ajakan “makan sirih, pinang” bersama. Dalam kesopanan menyapa tamu, prosesi santun ini tentu tidak asing lagi dijumpai. Supaya dapat diterima, akrab, kami hanyutkan diri dalam peradaban yang mungkin terlanjur sering dianggap sebagai kebiasaan berbasa-basih semata.
Desa ini tercatat memiliki tujuh kelompok penerima
manfaat dengan total 75 orang anggota. Lima kelompok diantaranya
megusahakan penggemukan ternak sapi jantan dengan modal Rp.4 juta untuk tiap orang. Sementara sapi betina mendapatkan
bantuan modal sebesar Rp.3 juta per orangnya.
Dua Kelompok lainnya memilih usaha
pengembangbiakan bawang merah dan wortel. Hingga peliputan ini dilakukan, tercatat telah dikembalikan modal sebesar
Rp.41.500.000,- ke kas desa. Keterangan Sekretaris Desa terkait iklim di atas
terkonfirmasi juga oleh keterangan anggota
kelompok yang hadir malam sebelumnya. Menurut Ketua Kelompok Fatumuka Hendrik Tualaka sapinya yang
sempat di tawar seharga Rp.9 juta (Foto bersama bantuan sapi jantan).
Kelompok ini berjumlah sepuluh orang. Sisa tunggakan Tahun 2012 sebesar 2 jutaan per
anggota. Diinformasikan jika kelompok mereka mengalami kematian satu ekor sapi. Dua ekor sapi juga dilaporkan mati oleh Kelompok Nifumuti. Benyamin Nenabu memberi keterangan mewakili
kelompoknya.
Hadir sebagai anggota kelompok disebutkannya jika kendala dalam kelompok mereka juga disebabkan karena tumpang tindihnya program sejenis yang dibiayai dari Alokasi Dana Desa. Empat ekor sapi yag diperoleh kelompok mereka juga berkat bantuan program pemberdayaan ekonomi masyarakat di era Bupati Daniel Banunaek. Antoia Nomleni, Ketua Kelompok mereka berhalangan hadir saat itu.
32
EDISI / 3 Maret 2015 ANGGUR MERAHKejadian serupa dialami juga Kelompok Tetesan Embun dengan Nahor Tefa sebagai ketuanya. Begitu pula
dengan keterangan yang disampaikan Imanuel Nenabu, Kelompok Oeleu mengisahkan sapi jantan miliknya. “Ambil sapi di musin hujan, pasti mati!” demikian katanya.
Secara umum, mereka menyebutkan jika kendala utama yang dijumpai warga desa Fatuulan adalah akibat dari kurangnya sosialisasi tentang pengelolaan dana pemberdayaan itu.
Pemahaman yang keliru tentang hibah menjadi sering terdengar. Beberapa
masyarakat merasa tidak perlu mengembalikan bantuan yang sudah
diterima. Hingga penugasan kami berakhir, tenaga
Pendamping Kelompok Masyarakat (PKM) atas nama Agnes Faot tidak kami jumpai.
Untuk mengatasi problem ternak yang mati, mereka mengusulkan agar
pemerintah daerah dapat membantu mereka
menggunakan bibit lokal, terbukti adaptif terhadap alam.
Sementara untuk persoalan tenaga pendamping
masyarakat (PKM), para anggota kelompok menyarankan agar PKM dapat terus memberikan penjelasan yang lengkap kepada masyarakat desa Fatuulan.
“Tenaga PKM kami harapkan untuk melakukan upaya penjelasan dan pembekalan secara terus menerus kepada anggota kelompok. Program ini sangat baik. Karenanya perlu terus dijelaskan mekanisme pengelolaan, pengembalian, kontrol, perguliran dan lainnya” demikian pendapat Nahor Tefa, Ketua Kelompok Tetesan Embun.
Perjalanan menuju Desa Fatuulan bagi sebagian besar orang bisa dibilang biasa, mungkin pula membosankan atau tidak menyenangkan, karena buruknya kondisi jalan. Penerangan mengandalkan sehen (listrik tenaga surya), singnal seluler nyaris tidak terlihat. Sebaiknya anda segera akrab dengan pemilik charger batteray untuk
handphone, laptop juga kamera. Itu saran kami. Rasa berbeda redaksi bagikan. Pengalaman memasuki wilayah kabupaten terluas di Pulau Timor itu seperti
petualangan baru. Kesan ini mulai kami dapatkan ketika senja menyapa memasuki Daerah Oinlasi, satu lagi desa di Kecamatan Mollo Selatan sebelum memasuki Kecamatan Kie. Boti dengan cerita alamnya, adalah salah satu pilihan wisata budaya menarik yang harus
dikunjungi. Jika waktu memungkinkan, hmmm… begitu pikir kami. (Lwl)
33
ore itu di antara hujan yang mulai reda, kami menjelajahi jalan
S
negara menuju Desa Niki-Niki Un, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Semula tim berusaha menemui Gabriel A.P. Nope, Kepala Desa Niki-Niki Un di rumahnya karena hari sudah menjelang sore kira-kira pukul 16.00 Wita. Setelah tiba di depan pintu rumah dan mengetuknya, pintu lantas dibuka oleh seorang ibu. Antara rasa was-was dan takut menerima kehadiran orang baru yang belum dikenalnya, sang ibu menerima tim di pintu rumahnya. Setelah sedikit basa-basi memperkenalkan diri, kami menyatakan niat untuk bertemu Kepala Desa Niki-Niki Un. Senyum mulai merekah dari bibir sang ibu, yang memerah lantaran terus mengunyah sirih pinang. “O...Bap Desa di kantor desa. Bap desa son tenggal di sini,” kata ibu itu dengan logat Timor yang kental. Kami pun lantas memutar haluan menuju Kantor Desa Niki-Niki Un yang letaknya di pinggir jalan negara Trans Timor. Setelah memperkenalkan diri sebagai tim dari Biro Humas Setda Provinsi NTT untuk melakukan tugas peliputan
kemudian menjelaskan kepada sang kepala desa dan beberapa anggota pokmas yang hadir. Dana ini hibah dari pemerintah
provinsi kepada masyarakat Desa Niki-Niki Un untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di desa ini. Dana ini milik masyarakat Desa Niki-Niki Un dan abadi di desa ini. Pengelolaan dana ini melalui pokmas yang telah dibentuk. Modal awal usaha yang diterima setiap anggota pokmas, setelah ada hasilnya modal awal itu disetor kembali dengan sedikit tambahan dana
sesuai kesepakatan bersama untuk digulirkan kembali kepada anggota pokmas yang lain dalam Desa Niki-Niku Un. Dengan demikian, jumlah dana ini makin
bertambah, terus bertambah dan menjadi modal usaha yang makin besar untuk aktivitas ekonomi
masyarakat di Desa Niki-Niki Un.
Setelah diberi pemahaman diskusi panjang lebar,
Gabriel berjanji untuk makin intens berkomunikasi dengan seluruh anggota pokmas dan masyarakat Desa Niki-Niki Un untuk bersama
mengelola dan
mengendalikan dana Anggur Merah yang telah diterima masyarakat melalui pokmas.
Dana Desa Mandiri Anggur Merah meretas kemandirian perbaikan ekonomi
masyarakat desa. (*)
pelaksanaan Program Desa Mandiri Anggur Merah, komunikasi mulai mencair dan lancar. Dengan antusias, Kepala Desa Gabriel Nope, menerima kami. Kami pun terlibat dalam dialog penuh hangat dan kekeluargaan. “Kami baru saja menerima kunjungan Bapak Alex Ena, anggota DPRD Provinsi NTT. Beliau juga mempertanyakan soal pelaksanaan Program Desa Mandiri Anggur Merah di Desa Niki-Niku Un. Kami sudah jelaskan apa adanya. Program ini baik, sangat membantu masyarakat kecil. Hanya saja kendalanya, masyarakat salah paham soal dana hibah dan dana bergulir,” tutur Gabriel Nope. Ketika ditanyai lebih lanjut soal salah paham itu Gabriel menjelaskan, masyarakat memahami dana bantuan ini sebagai dana hibah dari pemerintah provinsi kepada kelompok masyarakat
penerima program, bukan ke desa baru digulirkan untuk seluruh masyarakat.
“Masyarakat tau sa bilang dana hibah untuk dong na. Jadi son perlu kas kembali. Sekarang tiba-tiba DPRD datang, bapa dong datang, tentara dan polisi ju datang, baomong supaya kami kas kembali itu dana. Nanti katong kumpul kasi kembali itu dana,“ kata Gabirel Nope. Tentang kenyataan adanya pemahaman seperti ini, tim