• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV APLIKASI PEMAKNAAN PENDERITAAN DALAM KITAB AYUB

2. Pergulatan Orang Beriman dalam Penderitaan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, manusia adalah ciptaan Allah yang secitra dengan-Nya. Karena itu manusia diberi anugerah kebebasan dan akal

budi untuk menentukan pilihan hidupnya, termasuk pengalaman penderitaan, itu adalah hasil dari pilihan bebas manusia sendiri.

Dari kebebasan manusia timbul kejahatan. Dalam gambaran yang mengesankan, Perjanjian Lama memperlihatkan sumber kejahatan dan kesengsaraan (Dreher,1973: 36). Ini adalah lukisan tentang jatuhnya manusia dalam dosa. Masih ingat tentang dosa asal? Manusia pertama menolak hakikat dirinya sebagai ciptaan. Hakikat dari ciptaan adalah terbatas dan tergantung pada Sang Penciptanya. Namun manusia tidak menerima hakikat dirinya sebagai ciptaan. Dengan bebas ia memutuskan untuk melanggar dan merusak batas-batas yang telah ditetapkan oleh Sang Penciptanya; “Perempuan itu melihat…lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya” (Kej 3: 6). Inilah awal dari dosa asal manusia.

Manusia tergiur oleh hawa nafsunya sendiri dan tidak peduli dengan aturan yang ditentukan oleh Sang Penciptanya. Kesalahan manusia pertama adalah menyalahgunakan kebebasan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Dengan sadar dan bebas, manusia melepaskan diri dari rangkulan Allah. Ini terjadi karena manusia ingin seperti Allah dan tidak menerima keterbatasan dan ketergantungannya kepada Allah, ini adalah unsur terdalam dari dosa asal manusia yang berasal dari pilihan bebas manusia pertama (Stanislaus, 2008: 26).

Penjelasan tadi menunjukkan adanya ketegangan antara kedosaan dan pertobatan untuk tetap memilih Allah, serta ketegangan antara usaha mencari kehendak Allah dan kehendaknya sendiri. Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, bahwa ada dialektika antara kecenderungan manusia yang didorong oleh rahmat dan kecenderungan kepada dosa (Mardi Prasetya, 1992: 15).

Realitas hidup yang terjadi pada dunia dewasa ini, orang beriman sering mengalami kesulitan dalam mengikuti suara hati. Padahal suara hati adalah bisikan dari Allah sendiri. Secara tradisional, suara hati dipahami dalam pengertian psikologis, yaitu “kesadaran”, dan dalam pengertian moral, yaitu kesadaran tentang yang benar dan yang salah” (Billy dan Keating., 2009: 21).

Manusia memiliki keterbatasan pengetahuan untuk memahami maksud Allah. Dalam hidupnya sehari-hari, orang beriman selalu berhadapan dengan berbagai masalah yang bervariasi, dan cara menyikapinya juga bervariasi. Seringkali terjadi konflik dalam hidup bersama yang terkadang berciri patologi, emosional, moral, rohani dan eksistensial. Semua itu menunjukkan kelemahan kodrat manusia yang cenderung berpihak pada dosa (Mardi Prasetya, 1992: 16).

Allah telah menciptakan dunia baik adanya (Kej 1-2), dan Allah menciptakan manusia secitra dengan-Nya (Kej 2: 7). Orang beriman percaya bahwa Allah adalah Mahabaik. Segala yang direncanakan Allah adalah baik. Segala yang berasal dari Allah itu baik. Bagaimana mungkin Allah membiarkan manusia menderita? Allah tidak pernah merencanakan hal yang jahat untuk menimpa manusia, karena Allah Mahacinta. Cinta Allah terbukti melalui anugerah kebebasan dan kesadaran yang diberikan kepada manusia sebagai ciptaan yang secitra dengan-Nya. Allah tidak pernah berpikir untuk merenggut kebahagiaan manusia, justru sebaliknya. Allah ingin manusia terbebas dari penderitaan akibat dosa. Cinta kasih Allah yang luar biasa juga terbukti ketika Allah mengirimkan putra-Nya yang tunggal di tengah hidup manusia, untuk menyampaikan kabar gembira Kerajaan Allah dan akhirnya sengsara dan wafat untuk menebus dosa umat manusia. Jadi, sungguh bukan hal yang benar jika mengatakan penderitaan semata-mata berasal dari Allah dan merupakan hukuman atas dosa manusia.

Yesus menolak penderitaan sebagai hukuman atas dosa orang yang menderita (Luk 13;2). Bila Kerajaan Allah sudah sampai pada kemuliaannya, semua penderitaan terhapuskan. Yesus menyerahkan diri ke dalam tangan orang jahat untuk menderita dan wafat di kayu Salib sebagai bukti ketaatan-Nya sampai mati. Dengan demikian Yesus sebagai manusia sempurna mengalahkan segala bentuk penolakan/ pemberontahan terhadap Allah dan mendamaikan dunia ciptaan dengan Sang Pencipta. Manusia ditebus dari dosa, pangkal dari segala deritanya. Umat Kristen perdana memandang penderitaan sebagai rahmat untuk ikut ambil bagian dalam penderitaan Yesus Kristus dan dalam kemuliaan-Nya (Heuken, 2005: 168).

Setelah melihat bagaimana pergulatan orang beriman dalam menghadapi penderitaan, akhirnya kita terdorong untuk menyikapinya secara tepat. Tentu saja semua itu tidak terlepas dari iman. Berikut akan dijelaskan bagaimana seharusnya kita sebagai orang Kristiani mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi penderitaan hidup.

a. Kesadaran Untuk Beriman dan Terlibat Dalam Memperjuangkan

Martabat Manusia yang Menderita

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, manusia itu lemah, diciptakan memiliki keterbatasan dan ketergantungan pada Allah Sang Pencipta (Stanislaus, 2008: 26). Namun manusia adalah makhluk kesayangan Allah yang paling berbahagia karena diberi anugerah akal budi dan suara hati. Dengan akal budi dan suara hatinya, manusia mempunyai kesadaran untuk menentukan pilihan dalam hidup, termasuk kesadaran untuk beriman.

Umat Kristiani dipanggil untuk beriman. Panggilan ini menumbuhkan sikap hati yang pasrah, aktif, setia, tekun, mencintai Allah dan sesama, bertanggungjawab walau mengalami kesulitan, dan hidupnya berpusat pada Kristus (Mardi Prasetya, 1992: 17). Allah menghendaki manusia untuk saling mengasihi, dan ikut terlibat dalam memperjuangkan dan membebaskan sesamanya KLMTD (kaum, miskin, tersingkir, lemah, dan difabel) dari ketidakadilan dan kejahatan-kejahatan dunia.

Jika kita mencintai Allah, kita juga harus mencintai sesama manusia. Mencintai Allah dapat kita wujudkan dengan cinta kepada sesama misalnya; berupa perhatian, sikap murah hati, dst. Dalam injil Matius Allah berfirman “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat. 25: 40) (Egan, 2001: 7). Allah menggambarkan dirinya sebagai orang yang paling hina. Jadi, menurut penulis bahwa perbuatan baik atau buruk yang kita lakukan di dunia ini, terutama kepada saudara kita KLMTD (Kaum lemah, miskin, tersingkir, dan difabel) merupakan perbuatan yang kita lakukan langsung menyentuh hati Allah. Hal ini juga sesuai dengan maksud dari ARDAS KAS 2011.

Selain memiliki kesadaran untuk beriman, kita juga hendaknya memiliki sikap berani bersyukur dalam pengalaman penderitaan. Hal ini merupakan sikap yang juga tidak dapat dilakukan tanpa iman. Dengan iman yang teguh kepada Allah, kita dapat menghadapi penderitaan seberat apapun. Berikut penulis akan memaparkan bagaimana orang beriman berani bersyukur dalam pengalaman penderitaannya. Berani bersyukur adalah sikap yang mencerminkan kesetiaan seseorang pada Allah.

b. Berani Bersyukur dalam Pengalaman Penderitaan: Kesetiaan Orang Beriman

Bagi orang beriman, penderitaan karena dosanya adalah konsekuensi. Konsekuensi ini tidak semata-mata untuk menjadi penyesalan, namun sebaliknya, sebagaimana dikatakan Yesus Kristus dalam “sabda bahagia di bukit”, penderitaan itu patut disyukuri. Berikut sabda-Nya:

Berbahagialah orang yang dianiaya sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu (Mat 5: 10-12; bdk. Luk 6: 20-23). Selain dari perkataan Yesus dalam injil tersebut, kita juga dapat menemukan pesan yang serupa dari Petrus dalam suratnya;

“13…, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya. 14Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu. 15Janganlah ada diantara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau. 16 Tetapi, jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu” (1 Pet 4: 13-16). Menyadari hal itu, penderitaan karena iman bukanlah sesuatu yang sia-sia, dan menjadi penyesalan melainkan suatu sarana yang dapat semakin mendekatkan manusia dengan Sang Penciptanya. Sebagai orang beriman, kita diajak untuk percaya bahwa penderitaan memiliki nilai dan makna. Yesus sendiri adalah alasan yang nyata bagi orang beriman untuk mengharapkan kebahagiaan, seperti janji Kristus.

B. Pokok-Pokok Gagasan Berkatekese bagi Orang Kristiani yang Menderita