• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perguruan Tinggi Badan Hukum …

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1.4. Perguruan Tinggi Badan Hukum …

2.1.4.1 Pengertian Perguruan Tinggi Badan Hukum

Pasal 1 UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan menyebutkan, yang dimaksud dengan badan hukum pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Penjelasan UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan alinea ke 4 menyebutkan, pengaturan badan hukum pendidikan merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindari dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik. Walaupun demikian, masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan, pengendalian mutu, dan penyiapan dana pendidikan.

2.1.4.2 Prinisp-Prinsip Perguruan Tinggi Badan Hukum

Pasal 4 ayat (2) UU BHP menyebutkan, pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh Badan Hukum Pendidikan (BHP) didasarkan pada prinsip:

1) otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun nonakademik;

2) akuntabel, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan BHP kepada pemangku kepentingan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

52

3) transparan, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan;

4) penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan;

5) layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik;

6) akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya;

7) keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya masing-masing;

8) keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidkan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan;

9) partisipasi atas tanggungjawab negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab negara.

Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan menyebutkan, badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan

53

pendidikan formal kepada peserta didik. Pasal 3 UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan lebih lanjut menyebutkan, badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Pasal 1 Ayat 12 UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan menyebutkan, pimpinan organ pengelola pendidikan dan semua pejabat dibawahnya yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh pemimpin organ pengelola pendidikan atau ditetapkan lain sesuai anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan. Bentuk badan hukum pendidikan, mengakibatkan perguruan tinggi memiliki hak pengaturan dalam bidang akademik, keuangan, administrasi, personalia, dan lainnya. Otoritas ini disertai dengan akuntabilitas yang seoptimal mungkin di mana setiap Tahunnya pimpinan perguruan tinggi harus menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada Menteri Keuangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga dalam kepemimpinan dan pengelolaan perguruan tinggi selama satu Tahun harus dipertanggung jawabkan oleh pengelola badan hukum pendidikan.

Badan hukum pendidikan juga menggunakan prinsip nirlaba, seperti halnya PTN badan hukum milik negara (PTNBH). Pasal 4 UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan menyebutkan, prinsip nirlaba yang dimaksud adalah prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba (keuntungan), akan tetapi seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan ditanamka kembali ke dalam badan hukum pendidikan guna meningkatkan kapasitas dan mutu layanan pendidikan. Pengaturan organ perguruan tinggi negeri menurut Pasal 15 Ayat (2) UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan menyebutkan, organ badan hukum pendidikan yang menjalankan

54

fungsi badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2) badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi terdiri atas: (a) organ representasi pemangku kepentingan; (b) organ representsi pendidikan; (c) organ audit bidang nonakademik dan (d) organ pengelola pendidikan.

Kekayaan yang dimaksud dalam UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) Pasal 37 menyebutkan:

a. Kekayaan awal BHP, BHPPD, dan BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan

b. Kekayaan BHP Penyelenggara sama dengan kekayaan yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis sebelum diakui sebagai badan hukum pendidikan

c. Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang belum diakui sebagai badan hukum pendidikan tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pendidikan, wajib menetapkan bagian kekayaan yang diperuntukkan bagi BHP Penyelenggara

d. Kekayaan dan pendapatan BHPP, BHPD, dan BHPM, dikelola secara mandiri, transparan, dan akuntabel oleg pimpinan organ pengelola pendidikan

e. Kekayaan dan pendapatan BHP Penyelenggara dikelola secara mandiri, transparan, dan akuntabel

f. Kekayaan dan pendapatan badan hukum pendidikan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk:

 Kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran

 Pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal badan hukum pendidikan memiliki satuan pendidikan tinggi

55

 Peningkatan pelayanan pendidikan

 Penggunaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. g. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan kekayaan dan pendapatan

sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) sampai dengan Ayat (6) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.

Pasal 4 Ayat (1) UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan menyebutkan, pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba. Yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapsitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Johannes Gunawan, Guru Besar Hukum Perjanjian Unpar mengatakan, “berbeda dengan sebuah perseroan terbatas (badan hukum laba) yang membagikan sisa hasil usaha komersial kepada para pemegang saham. Pembagian sisa hasil usaha seperti ini tidak mungkin terjadi pada BHP karena BHP tidak didirikan atas dasar saham sehingga di dalam BHP tidak terdapat pemegang saham.” Pasal 55 Ayat (2) UU No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan terkait tenaga pendidik dan kependidikan menyebutkan, sumber daya manusia badan hukum pendidikan dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai badan hukum pendidikan. Sebagai tenaga pendidikan dan kependidikan PNS yang dipekerjakan memperoleh remunerasi dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan remunerasi dari badan hukum pendidikan sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan.

56

2.1.4.3 Landasan Implementasi PTN-BH

Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro (2012) berpendapat bahwa, landasan implementasi PTN-BH mencakup 8 (delapan) poin:

1) Manfaat perubahan,

Manfaat perubahan sistem pendidikan tinggi terjadi di berbagai negara dan perubahan tersebut umumnya meliputi kebutuhan untuk otonomi yang lebih luas. Perubahan tersebut tidak terjadi tanpa adanya ketegangan. Oleh karena itu seluruh pelaku perubahan harus yakin akan nilai/hakekat/norma perubahan tersebut, paling tidak ditinjau dari perspektif kepentingan nasional dan bukan dari perspektif kepentingan individu. Seperti halnya di berbagai negara, pemahaman nilai/hakekat/norma perubahan tersebut ternyata masih rancu dan rentan terhadap penyalahgunaan.Dalam konsep Badan Hukum Milik Negara yang telah dicanangkan, ditetapkan bahwa otonomidiberikan kepada perguruan tinggi negeri agar dapat berperan sebagai kekuatan moral, dan hal ini merupakan salah satu aspek penting dalam reformasi pendidikan tinggi yang saat ini sedang dijalankan.

2) Kerangka legislatif dan peraturan,

Kerangka legislatif dan peraturan untuk sistem pendidikan tinggi yang otonom haruslah konsisten secara internal. Perkembangan yang ada selama ini di Indonesia, tampak nya bahwa satu aspek lebih cepat berkembang dari yang lainnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya kebuntuan proses. Paling tidak saat ini terasa bahwa pihak pemerintah belum sepenuhnya yakin akan validitas konsep otonomi pendidikan tinggit tersebut. Karena peraturan pemerintah tentang Badan Hukum Milik Negara sudah terbit maka perlu

57

adanya konsensus dari seluruh pimpinan politik dan badan pemerintah untuk menyiapkan perangkat peraturan dan perundangan yang mendukung.

3) Akuntabilitas,

Akuntabilitas, untuk menjamin akuntabilitas diperlukan tiga macam mekanisme berikut ini perwakilan dalam keanggotaan dan mekanisnie kerja Majelis Wali Amanat; valids iindependen terhdap keluaran penguruan tinggi; pengaturan proses audit terhadap penggunaan dana publik untuk menghasilkan keluaran tersebut. Adanya Majelis Wali Amanat merupakan mekanisme utama untuk memperoleh akuntabilitas terhadap publik secara luas. Dengan cara ini komunitas dapat memberikan pandangan nya terhadap formulasi strategi pengembangan perguruan tinggi dan di lain pihak perguruan tinggi dapa tmemberikan umpan balik kepada komunitas. Majelis Wali Amanat merupakan lembaga tertinggi dari perguruan tinggi dan oleh karena itu harus me nunjukkanakuntabilitasnya.

4) Rancangan pendanaan,

Keberhasilan proses akuntabilitas kelembagaan maka perlu dukungan pendanaan yang sesuai dengan semangat akuntabilitas yaitu pendanaan yang bersifat block-funding, adanya kebebasan dan keluwesan dalam penggunaan dana yang diarahkan kepada pencapaian hasil yang optimal. Dengan demikian pendanaan yang berbasis kepada keluaran (output/outcome based funding mechanism )menjadi penting karena adanya beberapa alas an kebijakan yang kuat. Pada saat ini pendanaan oleh pemerintah kepada perguruan tinggi negeri terdiri atas dana rutin (DIK) yang ditujukan untuk menanggung biaya operasional perguruan tinggi (90% untuk gaji pegawai) dan dana

58

pembangunan (DIP) yang ditujukan untuk

pembangunan/investasi/pengembangan termasuk di dalamnya tambahan biaya operasional sebesar 15% dari DIP tersebut. Sebuah pemikiran sedang dikembangkan untuk bagaimana dana DIK tersebut dapat diberikan dalam bentuk block-funding, dan tidak dalam bentuk seperti yang sekarang berlaku (itemized allocation). Penetapan besarannya menggunakan suatu formula dan kewenangan penggunaan sepenuhnya ada pada pimpinan institusi.

5) Formula pendanaan,

Besarnya pendanaan dari pemerintah memerlukan suatu formula yang dapat diterapkan di semua perguruan tinggi, berlaku secara nasional. Besaran yang perlu ditetapkan formulanya utamanya adalah pendanaan yang langsung untuk kegiatan pendidikan (R1 dan R2). Untuk menetapkan besaran komponen R1, tingkatan pendanaan harus dapat ditetapkan dan diterima di tingkat nasional, dan menggunakan satuan biaya pendidikan yang saat ini berlaku. Besaran tersebut kemudian didefinisikan sebagai kemampuan pemerintah untuk mendanai pendidikan mahasiswa di perguruan tinggi. Besaran tersebut diasumsikan cukup untuk mendanai berbagai kegiatan penyelenggaraan pendidikan tinggi di perguruantinggi.

6) Pengawasan,

Bagi institusi yang memperoleh otonomi finansial, fungsi pengawasan menjadi sangat penting dan konsep pengawasannya sangat berbeda dengan pengawasan yang selama ini dikenal di instansi pemerintah. Pengawasan tersebut akan diarahkan kepada pemenuhan kewajiban sesuai dengan peruntukan block-funding, apakah telah sesuai dengan tujuan pendanaan

59

tersebut. Termasuk dalam pengawasan ini adalah pengawasan terhadap tindakan korupsi dan penyalahgunaan dana pemerintah untuk sektor yang seharusnya tidak disubsidi. Dengan demikian pengawasan dilakukan tidak hanya terhadap perolehan dana dari pemerintah akan tetapi juga terhadap dana yang diperoleh dan sumber lainnya secara komprehensif. Pola pengawasan semacam ini sudah normal dilakukan untuk institusi yang otonomi secara finansial. Untuk keperluan tersebut di atas, perlu ditetapkan adanya pengawas eksternal yang mampumelakukan post-hoc auditing. Hasil pengawasan oleh pengawas eksternal tersebut kemudian dijadikan dokumen publik.

7) Transisi,

Transisi, untuk menjembatani antara kondisi saatini (sebagai PTN) sampai dengan saat sudah menjadi BHMN sepenuhnya, perlu adanya pola transisi yang sesuai sehingga tidak terjadi stagnasi proses pendidikan di perguruan tinggi. Dalam Peraturan Pemerintah yang terbit untukke 4 PTN (UI, UGM, ITB, IPB) dinyatakan bahwa masa peralihan untuk masalah kepegawaian (dari semula PNS menjadi non-PNS) adalah selama 10 tahun. Untuk masa transisi ini diperlukan pola pendanaan yang tepat karena masih tercampur antara pegawai yang PNS dan non-PNS serta pendanaan berbasis block-funding sudah harus dimulai

8) Kesiapan perguruan tinggi.

Kesiapan perguruan tinggi, sebelum perguruan tinggi siap melakukan proses otonomi sebagai BHMN, maka paling tidak terdapat tujuh butir yang harus dipersiapkan oleh perguruan tinggi sampai kepada tingkat sistem dan operasionalnya: mahasiswa, matakuliah, manajemen, sumber daya manusia,

60

keuangan, perolehan pendapatan, dan administrasi yang professional.Perguruan tinggi umumnya telah siap dengan sistem dan operasional untuk ke dua butir teratas, yaitu sistem untuk mahasiswa (misalnya pendaftanan, pendataan, pemantauan, hasil ujian, profil mahasiswa, data alumni dll.) dan sistem untuk matakuliah (misalnya isi kurikulum, tatacara dan modus penyajian, matakuliah yang terkait, dosen yang relevan, pencatatan dan pendataan matakuliah, hasil pembelajaran yang diharapkan, tuntutan mahasiswa, tingkat keberhasilan mahasiswa, dll). Kelima butir lainnya perlu dipersiapkan baik secara khusus oleh perguruan tinggi maupun bersama dengan pemerintah pusat (Ditjen Dikti dan instansi terkait lainnya). Persiapan terhadap ke lima butir dimaksud hendaknya menjadi prioritas utama demi terlaksananya proses perubahan menjadi PTN-BH.

2.1.4.4 Tujuan Badan Hukum Pendidikan

Adapun otonomi atau dalam istilah lain PTN-BH yang terjadi, pada dasarnya telah menjadi cita-cita/ tujuan dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 24 yang juga menjadi dasar dari lahirnya UU PT:

1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.

2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelole sendiri lembaganya sebagai pusat penyelengaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.

61

3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaanya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas (Surachman, 2016).

2.1.4.5 Kunggulan Badan Hukum Pendidikan

Dengan diterbitkannya PP 58/2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), perguruan tinggi negeri yang berbadan hukum dapat menggunakan pendanaan yang bersumber dari masyarakat, biaya pendidikan, pengelolaan dana abadi dan usaha-usaha PTN-BH, kerja sama Tridharma atau dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang diberikan oleh Pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi (Menristekdikti, 2014). Keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan (Poengky, 2008).

2.1.4.6 Kekurangan Badan Hukum Pendidikan

Dengan perubahan bentuk menjadi badan hukum, maka dalam kondisi yang paling buruk dapat terjadi 2 kemungkinan yaitu : perguruan tinggi menjadi bangkrut secara teknis dan jika demikian perlu ditetapkan bagaimana penanganannya, atau perguruan tinggi menjadi unit komersial yang menyimpang dari tugasnya dalam bidang pendidikan dan penelitian serta pengabdian pada masyarakat (Brodjonegoro, 2012). Potensi konflik akibat beralihnya yayasan perguruan tinggi ke badan hukum pendidikan, komersialisasi biaya masuk perguruan, sampai melambungnya biaya pendidikan di universitas setelah status beroperasinya perguruan tinggi berbadan hukum berjalan seolah adem ayem seiring perjalanan waktu. Hingga kini, belum jelas bentuk perguruan tinggi yang

62

ideal, betapapun pemerintah telah melegalisasi badan hukum pendidikan melalui UU Sisdiknas (Tung, 2015). Biaya semakin mahal sehingga mengakibatkan rakyat-rakyat kecil mengalami kesulitan untuk meneruskan pendidikan di perguruan tinggi, padahal kalau ditinjau sesuai dengan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD pemerintah Indonesia berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan(Soegito dkk, 2015: 162).

Dokumen terkait