TINJAUAN PUSTAKA
B. Alat dan Bahan 1 Alat
3. Perhitungan Letalitas Proses Termal
a. Metode Umum (Improved General Methods)
Metode umum (trapezoidal) menganggap letalitas antar titik (waktu) yang diukur membentuk garis lurus sehingga letalitas setiap selang waktu adalah luas trapesium dengan tinggi (tn-tn-1), panjang atas dan bawah masing-masing Ln dan Ln-1. Perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan spreadsheed (Excel). Nilai F0 merupakan hasil penjumlahan F0 parsial atau luasan dibawah kurva trapesium seperti pada persamaan II.1.
Perhitungan letalitas proses termal dengan metode umum dapat dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel dari data penetrasi panas yang telah diperoleh. Berikut langkah-langkah perhitungan letalitas proses termal dengan metode umum dengan bantuan Microsof Excel :
1. Masukkan data waktu pada satu kolom (misal kolom A). Rentang waktu tidak harus sama.
2. Masukkan data ∆t pada kolom berikutnya (kolom B) dengan cara t2-t1 2
3 A
A
Excel (III.1)
3. Masukkan data suhu produk pada kolom berikutnya (misalnya kolom C).
4. Pada kolom ketiga (kolom D) masukkan rumus untuk menghitung letalitas dan copy untuk baris-baris di bawahnya pada kolom tersebut.
) 18 / ) 250 2 (( 10 B Excel (III.2)
5. Pada cell pertama kolom ke-4 masukkan rumus untuk menghitung ∆t.L 3
* 3 D B
Excel (III.3)
6. Untuk menduga nilai letalitas sepanjang proses (F0), pada kolom berikutnya (E) tulis rumus penjumlahan tersebut, cell diatasnya dengan kolom sebelumnya pada cell tersebut.
4
3 D
E
Excel (III.4)
b. Metode Formula (Ball Methods)
Metode formula digunakan untuk merancang proses termal karena metode ini dapat meramalkan hubungan waktu dengan suhu dalam bahan pangan selama pemanasan. Perhitungan dengan menggunakan metode formula bila kurva pemanasan menunjukkan broken heating curves dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
32 1. Plotkan nilai suhu produk pada titik terdingin terhadap waktu pada kertas semilog. 2. Tarik kurva garis lurus berdasarkan titik-titik pada fase linier seperti pada Gambar 4
dibawah ini.
Gambar 4. Broken Heating Curves 3. Hitung faktor lag j = Tr – Ta / (Tr – To), fh1 dan fh2
4. Hitung gbh yang diperoleh dari grafik yang ditarik garis dari kiri ke kanan pada titik potong kurva. 5. Hitung I dimana I = Tm - Ti 6. Hitung nilai 1 log h bh bh f t g jI dan 2 log h bh bh f t t g g (III.5) 7. Hitung waktu proses (t) dengan menggunakan rumus
g g f g jI f t h bh bh
h1log 2log (III.6)
8. Kemudian tentukan nilai “g” dimana
g =
10 log( ) log 1 1 1 2
2 f jI f f g t
f h h h bh
h (III.7)
9. Tentukan nilai (fh/U)g dan (fh/U)gbh dengan cara melakukan interpolasi data dari hubungan nilai fh/U dengan nilai g untuk Stumbo Prosedure seperti pada Gambar 5 dibawah ini. (Asumsi fc=fh2 dan j = jc)
33 U fh Z=14 g j Z=18 g j Z=22 g j 0.2 0.000091 0.0000118 0.0000509 0.0000168 0.0000616 0.0000226 0.3 0.00175 0.00059 0.0024 0.00066 0.00282 0.00106 0.4 0.0122 0.0038 0.0162 0.0047 0.020 0.0067 0.5 0.0396 0.0111 0.0506 0.0159 0.065 0.0197 0.6 0.0876 0.0224 0.109 0.036 0.143 0.040 0.7 0.155 0.036 0.189 0.066 0.25 0.069 0.8 0.238 0.053 0.287 0.103 0.38 0.105 0.9 0.334 0.07 0.400 0.145 0.527 0.147 1.0 0.438 0.009 0.523 0.192 0.685 0.196 2.0 1.56 0.37 1.93 0.68 2.41 0.83 3.0 2.53 0.70 3.26 1.05 3.98 1.44 4.0 3.33 1.03 4.41 1.34 5.33 1.97 5.0 4.02 1.32 5.40 1.59 6.51 2.39 6.0 4.63 1.56 6.25 1.82 7.53 2.75 7.0 5.17 1.77 7.00 2.05 8.44 3.06 8.0 5.67 1.95 7.66 2.27 9.26 3.32 9.0 6.13 2.09 8.25 2.48 10.00 3.55 10 6.55 2.22 8.78 2.69 10.67 3.77 15 8.29 2.68 10.88 3.57 13.40 4.60 20 9.63 2.96 12.40 4.28 15.30 5.50 25 10.7 3.18 13.60 4.80 16.9 6.10 30 11.6 3.37 14.60 5.30 18.2 6.70 35 12.4 3.50 15.50 5.70 19.3 7.20 40 13.1 3.70 16.30 6.00 20.3 7.60 45 13.7 3.80 17.00 6.20 21.1 8.0 50 14.2 4.00 17.7 6.40 21.9 8.3 60 15.1 4.3 18.9 6.80 23.2 9.0 70 15.9 4.5 19.9 7.10 24.3 9.5 80 16.5 4.8 20.8 7.30 25.3 9.8 90 17.1 5.0 21.6 7.60 26.2 10.1 100 17.6 5.2 22.3 7.80 27.0 10.4
Gambar 5. Hubungan nilai fh/U dengan nilai g untuk Stumbo Prosedure
10. Setelah nilai (fh/U)g dan (fh/U)gbh diperoleh, selanjutnya menentukan nilai “r” berdasarkan Gambar 6 dibawah ini.
34 11. Hitung nilai U dimana:
U =
bh g h h h g h h U f f f r U f f 2 1 2 (III.8)12. Hitung nilai Fi dengan
Fi =
z Tm 250
10 (III.9)
13. Hitung nilai F0 dimana:
0 F = i F U (III.10) 14. Hitung jumlah mikroorganisme akhir setelah pemanasan dengan cara sebagai berikut:
N =
Fi Do No / 10 (III.11) 4. Pengamatan a. Nilai pH (AOAC, 1995)Pengukuran derajat keasaman dilakukan dengan bantuan pH meter. Alat terlebih dahulu distandarisasi dengan menggunakan larutan buffer pH 4.0. Formula sampel diambil ±100 ml dalam gelas piala. Elektroda pH meter dicelupkan ke dalam sampel, kemudian dilakukan pembacaan nilai pH sampel setelah diperoleh nilai yang konstan.
b. Total Padatan Terlarut (Muchtadi dan Sugiono, 1990)
Pengukuran total padatan terlarut sampel dilakukan dengan menggunakan hand refraktometer Atago PR-201 sebanyak dua tetes sampel yang diteteskan pada refraktometer.
Total padatan terlarut dinyatakan dalam ˚Brix.
c. Analisa Mikrobiologi (Uji Total Mikroba)
Sampel yang diambil, dihancurkan dengan menggunakan stomacher kemudian diambil 10 ml sampel dan diencerkan dengan 90 ml larutan pengencer. Setelah itu dilakukan pengenceran kembali pada 10-2 dan 10-3, dari tiap pengenceran tersebut diambil 1 ml untuk pemupukan pada cawan petri, setiap pemupukan dilakukan duplo. Setiap cawan petri dituangkan media PCA (Plate Count Agar) dan diinkubasi pada suhu 37˚C selama 48 jam. Kemudian diamati jumlah mikrobanya.
d. Pengukuran Kekuatan Gel
Berdasarkan penelitian Asyhar (1988), gel cincau hitam yang dihasilkan diukur kekuatannya dengan Sun Rheometer, dengan kondisi pengukuran sebagai berikut:
a. Beban Maksimum = 2 kg
b. R/H Hold = 1999 gram
c. P/T Press = 30 mm/m
d. Kecepatan turun kertas = 300mm/menit e. Kecepatan alat = 30 mm/menit
35 e. Uji Organoleptik
Uji organoleptik meliputi uji hedonik dan uji ranking terhadap warna, bau, rasa, tekstur, dan penerimaan umum. Panelis yang digunakan merupakan panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Skala hedonik yang digunakan yaitu pada kisaran 1 sampai 7, dimana 1= sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = agak suka, 5 = suka, 6 = sangat suka, dan 7 = amat sangat suka. Sampel dalam beberapa formula langsung disajikan dan dinilai oleh panelis semi tidak terlatih berdasarkan kesukaannya setelah itu dilakukan uji ranking atau pengurutan tingkat kesukaan panelis terhadap formula yang disediakan. Form uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 8.
f. Pengukuran Sineresis (AOAC, 1995)
Sineresis gel yang terjadi selama penyimpanan diamati dengan menyimpan gel cincau hitam
yang terbentuk pada suhu ruang (28˚ - 30˚C) selama 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Masing-masing gel diwadahi dengan cawan untuk menampung air yang dibebaskan dari dalam sel selama penyimpanan. Sineresis gel dihitung dengan menghitung kehilangan berat selama penyimpanan lalu dibandingkan dengan berat awal gel.
Sineresis gel = 100% A
B A
dimana : A = berat awal sampel sebelum penyimpanan (gram) B = berat akhir sampel setelah penyimpanan (gram)
36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Pembuatan Gel Cincau Hitam
Gel cincau hitam dibuat dengan bahan baku tanaman cincau hitam kering (Mesona palustris) yang diperoleh dari penjual tanaman cincau hitam kering yang berada di desa Situ Daun, Ciampea, Jawa Barat. Tanaman cincau hitam kering yang telah dibeli, kemudian dipisahkan dari benda asing, misalnya rumput-rumput kering, gumpalan tanah kering, dan batu-batuan secara manual dengan menggunakan tangan. Setelah diperoleh tanaman cincau hitam kering yang telah bebas dari benda asing, pada tahap selanjutnya dilakukan pemisahan tiap bagian cincau, yaitu batang dan daun. Batang yang masih panjang dipotong dengan ukuran ±5 cm agar lebih mudah dalam proses pemasakan.
Komposisi tiap bagian tanaman cincau hitam untuk setiap pemasakan yaitu 60:40, yaitu 60% daun dan 40% batang. Gambar 7 menunjukkan bahan baku pembuatan gel cincau hitam. Menurut Yuliawati (1995) dalam Irawan (2001) menyatakan setiap bagian-bagian tanaman cincau hitam akan menghasilkan gel dengan kualitas yang berbeda-beda. Diantara daun, batang, dan akar tanaman cincau hitam, daun merupakan bagian tanaman cincau hitam yang menghasilkan gel dengan kualitas terbaik. Hal ini yang mungkin menyebabkan negara Cina, Taiwan, dan Korea, hanya menggunakan bagian daunnya saja. Namun, harga daun cincau kering saja lebih dari dua kali lipatnya harga tanaman cincau kering yang terdiri dari batang dan daun.
(a) Daun cincau
(b) Batang cincau
37 Proses kemudian dilanjutkan dengan pencucian tanaman cincau hitam kering seperti pada Gambar 8 sebelum dilakukan perebusan. Menurut Muchtadi (1994), pencucian berguna untuk membuang kotoran yang melekat dan dapat mengurangi jumlah mikroba yang terdapat pada permukaan bahan. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali secara manual dengan menggunakan air mengalir. Bahan dimasukkan ke dalam wadah (ember) kemudian dialiri dengan air yang mengalir.
Gambar 8. Pencucian bahan baku
Bahan baku yang telah dicuci kemudian dimasukkan ke dalam panci kemudian ditambahkan 20 liter air dan 40 gram air abu Qi. Penambahan abu qi ditujukan untuk membentuk kondiri basa yang dapat menyebabkan rusaknya dinding sel tanaman, sehingga isi sel yang terdapat dalam dinding sel dapat terekstrak keluar. Semua bahan tersebut dipanaskan dengan api kecil selama 5-6 jam agar menghasilkan ekstrak cincau hitam yang optimal. Lama waktu yang digunakan untuk ekstraksi dapat meningkatkan kadar ekstrak sebab kontak bahan akan menjadi lebih lama. Semakin lama ekstraksi dan semakin tingginya kadar abu qi akan diperoleh ekstrak yang semakin banyak (Supriharsono, 1991). Penambahan abu qi ditunjukkan oleh Gambar 9.
Gambar 9. Penambahan abu qi
Setelah pemasakan selama 5-6 jam, ekstrak tersebut kemudian disaring dengan menggunakan saringan sehingga diperoleh ekstrak yang bersih dari campuran serat-serat tanaman cincau. Ampas tanaman cincau hitam yang tersisa masih mengandung ekstrak, sehingga ekstrak tersebut perlu diambil dengan bantuan pengepres seperti pada Gambar 10, agar seluruh ekstrak tanaman cincau dapat diperoleh secara maksimal.
38
Gambar 10. Alat Pengepres
Dari pemasakan satu kilogram tanaman cincau kering dengan 20 liter air, dan 40 gram air abu qi maka dapat diperoleh ±16 liter ekstrak cincau hitam dengan penyusutan volume sebanyak 4 liter. Ekstrak cincau hitam yang masih panas didiamkan hingga suhunya mencapai suhu normal ruang. Hal ini disebabkan karena jika ekstrak dalam keadaan panas dimasukkan dengan tepung (pati) maka akan terbentuk gumpalan-gumpalan. Menurut Fardiaz dan Wahab (1985) dalam Nusantoro dan Haryadi (2007), pati merupakan komponen penting dalam pembentukkan gel cincau hitam. Gel tidak akan terbentuk tanpa adanya penambahan pati. Fraksi pati yang berperan dalam pembentukkan gel adalah amilosa. Kadar amilosa yang terlalu tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat, dan cenderung menyerap air lebih banyak. Sedangkan pati yang mengandung amilopektin tinggi biasanya tidak membentuk gel yang kaku, tetapi hanya membentuk pasta yang lunak serta mengkerut dan pecah (Glicksman,1969 dalam Nusantoro dan Haryadi (2007)). Gel hanya akan dapat terbentuk jika campuran dipanaskan sampai suhu gelatinisasi pati. Tabel 4 di bawah ini memberikan gambaran tentang perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati dalam bahan pangan. Gelatinisasi dipengaruhi oleh jenis pati, kondisi pH, suhu, dan ukuran granula (Hariyadi dan Nusantoro (2007)).
Tabel 4. Perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati dalam bahan pangan Bahan Pangan Suhu Gelatinisasi (˚C) Kandungan Amilosa (%)
Jagung 62-72 22-28
Tapioka 62-73 17-22
Gamdum 58-64 17-27
Beras 68-78 16-17
Sagu - 26
Sumber: Wahab (1983) dalam Rahmawansyah (2006)
Ekstrak cincau hitam yang telah dingin kemudian dicampurkan dengan tepung tapioka sebanyak 30 gram/liter ekstrak dan gula sebanyak 150 gram/liter ekstrak. Takaran tepung tapioka dan gula diambil berdasarkan resep pembuatan gel cincau hitam kaleng dalam buku Olahan Cincau Hitam yang ditulis oleh Widyaningsih (2007). Tepung tapioka dipilih karena menurut Lay dan Liu (1998) dalam Irawan (2001) menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji sensoris, gel cincau hitam yang dibuat
39 dengan pati tapioka memiliki rasa yang paling baik, elastisitas rendah, dan sineresis yang lebih nyata dibandingkan dengan pati jagung dan pati gandum. Menurut Yuliawati (2005) dalam Hariyadi dan Nusantoro (2007), selain pati tapioka, dapat pula digunakan pati aren, pati ganyong, pati garut, dan pati sagu. Tepung tapioka sebelum dicampurkan ke dalam ekstrak cincau, terlebih dahulu dilarutkan ke dalam 20 ml air per 30 gram tepung tapioka agar tidak terjadi penggumpalan pati pada cairan ekstrak yang akan dicampurkan. Campuran tersebut kemudian dipanaskan hingga menghasilkan massa kental. Massa kental tersebut kemudian dituang ke dalam kaleng dengan berat bersih 540 gram gel cincau hitam per kaleng dalam keadaan panas.
B.
Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam
Gel cincau hitam yang telah dibuat, kemudian dikemas ke dalam kaleng. Penggunaan kaleng memberikan beberapa keuntungan, antara lain : (1) dapat menjaga bahan pangan di dalamnya: makanan di dalam wadah yang tertutup secara hermetis dapat dijaga terhadap kontaminasi oleh mikroba, serangga, atau bahan asing lain yang mungkin dapat menyebabkan kebusukan atau penyimpangan penampakan dan citarasanya, (2) dapat menjaga bahan pangan terhadap perubahan kadar air yang tidak diinginkan, (3) dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan gas oksigen, gas-gas lain atau bau-bauan dan dari partikel-partikel radioaktif yang terdapat di atmosfir, (4) untuk beberapa bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia, maka kaleng juga dapat menjaga bahan tersebut terhadap cahaya (Muhtadi,1994), mampu melindungi makanan dari proses produksi hingga mencapai tangan konsumen, mampu mempertahankan produk dari kerusakan fisik, kimia, dan mikrobiologis sampai makanan tersebut dikonsumsi, serta sesuai dengan karakteristik produk sehingga dapat mengoptimalkan fungsi kaleng dan menghindari migrasi komponen-komponen kemasan yang dapat mebahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen (Kusnandar et al., 2006).
Pengemasan cincau hitam dalam kemasan kaleng memberikan beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan cincau hitam yang disimpan dalam kemasan cup propilen seperti pada penelitian sebelumnya dalam Rahmawansyah (2006). Dari segi keamanan, kemasan logam dapat melindungi produk di dalamnya dari kejahatan konsumen, seperti penambahan zat berbahaya tertentu ke dalam kedalam produk misalnya melalui suntikan, sedangkan pengemasan di dalam cup propilen lebih rentan terhadap bahaya tersebut. Selain itu, penggunaan kemasan logam (kaleng) mampu melindungi bahan pangan yang berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia akibat adanya cahaya. Dalam proses penyimpanan dan transportasi, kemasan logam (kaleng) lebih kuat dibandingkan dengan kemasan cup propilen dalam melindungi produk terhadap guncangan, tekanan, dan gesekan sehingga mutu produk lebih terjaga. Dari segi nilai ekonomis, gel cincau hitam kaleng ini memiliki berat bersih yang lebih banyak (540 gram) dan dapat diaplikasikan pada berbagai jenis minuman sehingga dapat dikonsumsi secara massal atau dapat pula dikonsumsi secara langsung. Untuk gel cincau hitam yang dikemas dalam cup propilen memiliki berat bersih yang lebih sedikit yaitu 200 gram, sehingga hanya cukup dikonsumsi oleh satu orang.
Pengalengan gel cincau hitam menggunakan kaleng yang berukuran 306 x 405 yang dibuat oleh United Can Company. Ukuran ini menunjukkan bahwa kaleng tersebut memiliki diameter
16 6
3 inci dan tingginya 16
5
4 inci. Bilangan yang pertama menunjukkan diameter kaleng, sedangkan bilangan yang kedua menunjukkan tinggi kaleng. Kaleng kemudian disterilisasi dengan dipanaskan di dalam air panas, sebelum digunakan. Kemudian kaleng ditiriskan untuk siap digunakan. Adonan gel cincau hitam yang telah mengental kemudian dituangkan ke dalam kaleng sebanyak 540 gram. Menurut Hudaya (2011), volume head space tidak lebih dari 10% kapasitas wadah. Head space
40 (ruang hampa) yang bertujuan untuk memberikan ruang bila selama sterilisasi terjadi pengembangan isi serta membantu proses penutupan kaleng karena pada waktu uap air mengembun di dalam kaleng, maka tekanan di dalam ruang hampa menjadi turun, sehingga tekanan atmosfir dari luar akan menekan tutup kaleng dan penutupan menjadi kuat (Winarno et al. (1980) dalam Kusnandar (2006)).
Kaleng yang telah terisi, kemudian dilakukan exhausting (penghampaan) dengan cara memanaskan kaleng beserta isinya dengan tutup kaleng masih terbuka yang bertujuan untuk menghilangkan sebagian udara dan gas-gas lain dari dalam kaleng sesaat sebelum dilakukan penutupan kaleng. Exhausting berlangsung selama 5 menit. Suhu produk ketika keluar dari exhauter
diatas 60˚C yaitu 61,2˚C untuk ulangan 1 dan 61,4˚C untuk ulangan 2. Hal ini penting diperhatikan sebab pada suhu di bawah 60˚C dikhawatirkan terjadi pertumbuhan mikroba, baik mikroba mesofilik
maupun termofilik yang tumbuh pada kisaran suhu 35-55˚C sehingga akan menambah jumlah awal mikroba yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan sterilisasi. Gambar 11 dibawah ini ditunjukkan proses exhausting gel cincau hitam kaleng.
Gambar 11. Exhausting gel cincau hitam kaleng
Setelah exhausting, kaleng segera ditutup dengan suhu produk yang masih relatif tinggi dengan menggunakan menggunakan alat double seamer. Suhu produk yang masih relatif tinggi memberikan efek kevakuman karena semakin rendah tekanan di dalam kaleng sehingga tekanan atmosfir di luar dapat menekan tutup kaleng dan penutupan menjadi kuat.
Proses penutupan kaleng dengan menggunakan double seamer dimulai dengan operasi pertama yaitu meletakkan kaleng dan tutup kaleng yang akan dirapatkan di atas base plate, kemudian kaleng akan terangkat dan bergabung dengan tutup kaleng. Setelah bergabung, maka rol 1 akan menyentuh lekukan pada tutup kaleng sehingga tutup terlipat ke bawah lalu membengkok lagi keatas seiring dengan perputaran mesin. Setelah itu rol 1 menjauh, kemudian dilakukan operasi kedua, yaitu rol 2 bekerja dengan menekan lipatan yang sudah terbentuk pada operasi pertama yang diikuti dengan mesin yang terus berputar. Setelah rol 2 selesai, maka rol 2 bergerak menjauh lalu base plate bersama- sama kaleng yang telah tertutup bergerak turun, dan proses penutupan kaleng selesai. Proses penutupan kaleng ditunjukkan oleh Gambar 12.
41 Gambar 12. Proses penutupan kaleng
C.
Penentuan Titik Terdingin Produk, Waktu Venting, dan Come Up Time
Setelah gel cincau hitam dikemas dalam kaleng, maka selanjutnya dilakukan proses termal dengan melakukan sterilisasi komersial. Menurut Hariyadi (2000), sterilisasi komersial adalah suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak ada lagi mikroorganisme yang hidup. Bahan pangan yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin saja masih mengadung spora bakteri (terutama bakteri non-patogen), namun setelah proses pemanasan tersebut spora bakteri non-patogen bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal.Proses termal diawali dengan pengukuran distribusi panas. Pengukuran distribusi panas dilakukan dengan bantuan termokopel yang dihubungkan dengan recorder. Termokopel dipasang pada 7 tempat yaitu 3 buah dipasang di dalam kaleng produk untuk menentukan titik terdingin (coldest point) dan 4 buah dipasang di dalam retort untuk mengukur suhu lingkungan pada bagian kanan, kiri, atas, dan bawah. Hasil uji distribusi panas dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil uji distribusi panas, titik terdingin (coldest point) pada produk terdapat pada ½ tinggi kaleng. Menurut Kusnandar et al. (2006), untuk produk yang kental sehingga transfer panas terjadi secara konduksi, sehingga titik terdingin terletak pada pusat geometri kaleng. Gambar 13 menunjukkan kurva perbandingan suhu pada titik-titik yang diramalkan sebagai coldest point. Hasil pengujian penentuan titik terdingin dapat dilihat pada Lampiran 2.
42 Gambar 13. Kurva penentuan titik terdingin (coldest point).
Venting adalah proses pengeluaran udara yang terdapat di dalam retort sebelum proses sterilisasi dimulai yang bertujuan untuk menghindari terjadinya penghambatan penetrasi panas dari retort ke dalam kaleng yang akan mempengaruhi keberhasilan proses sterilisasi. Selain itu, venting juga bertujuan untuk menyeimbangkan antara suhu dengan tekanan, serta meningkatkan suhu awal kaleng agar sesuai dengan suhu retort (Kusnandar et al., 2006). Berdasarkan kurva distribusi panas pada Gambar 14 dan Gambar 15 dapat dilihat waktu venting dan come up time pada ulangan 1 dan ulangan 2.
43 Gambar 15. Kurva distribusi panas ulangan 2
Dari kurva diatas, dapat diketahui bahwa waktu venting ulangan 1 yaitu 4 menit pada suhu retort114,1˚C dan pada ulangan 2 waktu ventingberada pada menit ke 4 pada suhu 113,5˚C. Menurut Kusnandar et al. (2006), venting berlangsung kira-kira 8 menit hingga suhu retort mencapai 110˚C. Setelah venting selesai, saluran klep venting ditutup, sedangkan saluran uap panas tetap dalam keadaan terbuka.
Setelah mencapai suhu venting, saluran uap panas masih dalam keadaan terbuka, sehingga suhu retort semakin meningkat hingga mencapai suhu proses yang diinginkan. Suhu proses pada
ulangan 1 mencapai 120,1˚C. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu retort yang diinginkan yaitu 10 menit yang dinamakan sebagai come up time. Pada ulangan 2, suhu proses yang digunakan
yaitu 117,7˚C. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu retort tersebut yaitu 12 menit. Menurut Kusnandar et al. (2006), come up time (CUT) adalah waktu yang diperlukan untuk menaikkan suhu retort sampai mencapai suhu proses yang dikehendaki. Dengan demikian CUT dihitung dari mulai saat pertama pipa uap dibuka sampai akhirnya retort mencapai suhu retort. Dari pengalaman empiris, diketahui bahwa hanya 40% dari CUT mempunyai efek letal yang signifikan bagi tercapainya sterilitas. Perbedaan suhu proses antara ulangan 1 dengan ulangan 2 disebabkan oleh adanya kebocoran pada retort pada saat ulangan 2 dilakukan, sehingga suhu proses yang digunakan tidak dapat sesuai yang direncanakan.
D.
Penentuan Kecukupan Panas Pada Proses Sterilisasi Gel Cincau Hitam
Kaleng
Pada uji distribusi panas yang telah dilakukan, maka telah diketahui titik yang paling lambat menerima panas (coldest point) yaitu pada titik geometris kaleng (1/2 tinggi kaleng). Suhu pada titik inilah yang dijadikan acuan dalam perhitungan kecukupan panas pada proses sterilisasi gel cincau hitam kaleng. Penentuan kecukupan panas pada proses sterilisasi dihitung dengan menggunakan dua macam metode yaitu metode umum (improved general methods) dan metode formula. Dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan suhu antara suhu recorder dengan suhu termometer pada retort. Suhu yang terbaca pada termometer pada retort lebih besar dibandingkan dengan suhu pada recorder. Namun, suhu yang terbaca oleh recorder yang dijadikan sebagai acuan.
44 Untuk menghitung kecukupan panas perlu ditentukan mikroba yang akan dijadikan target, dalam hal ini target mikroba yang akan dimusnahkan adalah Clostridium botulinum. Menurut Muchtadi (2008), Clostridium botulinummemiliki nilai D pada suhu 250˚F sebesar 0,2 menit dan nilai
z sebesar 18˚C. Pada penelitian kali, ini jumlah siklus yang akan diturunkan sebanyak 12 siklus
logaritma (12D), sehingga dari nilai yang telah ditetapkan tersebut, dapat dirancang nilai F0 dalam proses sterilisasi sebesar 12 x 0,2 = 2,4 menit. F0 merupakan waktu yang dibutuhkan untuk memusnahkan mikroba dengan z =18.
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode umum (trapezoidal), pada ulangan 1, waktu yang dibutuhkan untuk memusnahkan mikroba dengan nilai z =18 atau waktu untuk mencapai tingkat sterilitas yang diinginkan adalah 24 menit pada suhu 120,1˚C atau dapat disebut dengan F120,1. Tabel hasil perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan metode umum ulangan 1 terdapat pada Lampiran 3a. Nilai F120,1 setara dengan nilai F0 yaitu 3,05 menit. Artinya pada suhu
250˚C tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 3,05 menit. Nilai 3,05 dianggap cukup
karena telah melebihi waktu yang ditargetkan sebelumnya. Gambar 16 menggambarkan hubungan Lr dengan waktu hingga mencapai tingkat sterilisasi yang diinginkan.
Pada ulangan 2, berdasarkan perhitungan dengan metode umum, waktu yang dibutuhkan untuk memusnahkan mikroba dengan nilai z = 18 adalah 22 menit yang dilakukan pada suhu 117,7˚C (F117,7). Nilai F117,7 setara dengan nilai F0 yang menunjukkan nilai 2,41, artinya pada suhu 250˚C tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 2,41 menit. Nilai 2,41 dianggap cukup karena sudah mencapai waktu yang ditargetkan sebelumnya. Gambar 17 menunjukkan grafik hubungan letalitas (Lr) dengan waktu hingga mencapai tingkat sterilisasi yang diinginkan. Lampiran 3b menunjukkan tabel hasil perhitungan waktu sterilisasi optimum dengan metode umum pada ulangan 2.