• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perikanan dan Kelautan

Dalam dokumen Status Lingkungan Hidup 2003 (Halaman 30-34)

BAB III. ANALISIS ISU LINGKUNGAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN

KOMPONEN LINGKUNGAN

3.2.2 Perikanan dan Kelautan

Potensi perikanan di Provinsi Gorontalo relative besar, mencakup : potensi perikanan darat, payau dan perikanan laut. Kegiatan perikanan darat lebih dominan dilakukan di Danau Limboto berupa budidaya ikan dengan menggunakan jaring apung, karamba dan jaring tancap serta penangkapan dengan menggunakan alat tangkap berupa pancing, jaring dan bibilo.

Kegiatan perikanan darat yang dominan di Danau Limboto sebenarnya telah banyak memberikan sumbangan terhadap degradasi lingkungan danau. Luas Danau Limboto pada tahun 1932 adalah sekitar 7.000 ha dengan kedalaman rata-rata 30 m. Namun pada tahun-tahun selanjutnya, kondisi danau semakin mengalami degradasi berupa laju penyempitan dan pendangkalan danau semakin cepat hingga pada tahun 1990 luas efektif danau yang tercatat hanya sekitar 2.700 ha dengan kedalaman rata-rata 2,5 m.

Kondisi Danau Limboto saat ini sebetulnya sudah berada pada fase eutrofi. Hal ini ditandai dengan laju aktivitas biologis yang sangat tinggi, tingkat kesuburan tinggi, populasi beberapa jenis organisme yang sangat tinggi (ganggang dan tumbuhan air), beberapa jenis biota (ikan asli danau) menunjukkan tanda-tanda kepunahan seperti ikan manggabai dan payangka), akibatnya keragaman jenis biota semakin menurun. Beberapa jenis ikan asli danau telah punah, dengan demikian, danau Limboto sebetulnya sudah tidak layak untuk dimanfaatkan sebagai pengembangan usaha budidaya perikanan.

Namun, ironisnya di Danau Limboto masih dilakukan kegiatan budidaya ikan dengan metoda jaring apung, keramba dan jaring tancap sebanyak 2.000 unit tanpa melalui kajian daya dukung danau untuk kegiatan tersebut. Jumlah tersebut telah melewati carryng capacity (daya dukung) dan daya lenting danau. Sisa pakan yang tidak termanfaatkan oleh ikan budidaya akan mengalami pembusukan dan pada akhirnya menurunkan mutu air danau berupa penurunan DO, pH, peningkatan BOD dan COD serta timbulnya senyawa beracun berupa CO2, H2S, NH3 dan CH4. Oleh karena itu, pemanfaatan danau Limboto untuk

kegiatan budidaya ikan merupakan salah satu sumber penyebab penurunan kualitas lingkungan danau tersebut.

Penangkapan ikan dengan menggunakan bibilo adalah salah satu cara penangkapan dengan memanfaatkan pulau terapung berupa tanaman air. Pada

bibilo ikan akan berkumpul kemudian ditangkap dengan jaring insang. Kelemahan dari metoda ini adalah penguapan air semakin meningkat, mempercepat laju pendangkalan danau dan terjadinya eutrofikasi serta timbulnya senyawa-senyawa beracun di dasar danau akibat dekomposisi bibilo yang mati. Oleh karena itu, penangkapan ikan dengan cara ini adalah salah satu penyebab peningkatan laju degradasi ekosistem Danau Limboto.

Penangkapan ikan dengan menggunakan aliran listrik dan bius adalah salah satu cara penangkapan yang mengancam kelestarian biota perairan Danau Limboto. Metoda penangkapan ini selain mematikan ikan-ikan besar, telur dan larva ikan, juga mematikan biota lainnya berupa plankton dan benthos sehingga rantai makanan dan jaring makanan terputus yang berimplikasi pada rusaknya sistim aliran energi pada ekosistem danau.

Limpasan air Danau Limboto yang kualitasnya rendah masuk ke estuaria melalui sungai Bolango dan Sungai Bone berakibat pada penurunan kualitas air muara Sungai Bone. Akibat lebih lanjut adalah kehidupan beberapa jenis biota perairan estuaria (muara) Sungai Bone dan sekitarnya yang tidak toleran terhadap perubahan kondisi lingkungan hidupnya mengalami gangguan sehingga keragaman jenisnya pada ekosistem ini berkurang.

Selanjutnya kegiatan perikanan payau merupakan usaha perikanan yang dilakukan pada perairan payau yaitu perairan dengan salinitas berkisar antara 5 – 30 promil. Kegiatan perikanan di lokasi ini berupa budidaya ikan pada kolam (empang/tambak). Budidaya ikan payau atau tambak di Provinsi Gorontalo dominan dilakukan di Kecamatan Anggrek dan Kecamatan Kwandang Kabuapten Gorontalo. Pada umumnya areal tambak tersebut merupakan hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak. Luas hutan mangrove di Provinsi Gorontalo berkisar 11.585 ha yang menyebar di dua kabupaten yaitu sekitar 5.100 ha di Kabupaten Gorontalo dan 6.481 ha di Kabupaten Boalemo (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Gorontalo, 2002). Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap tokoh masyarakat di Kecamatan Kwandang dan Kecamatan Angrek Kabupaten Gorontalo, ternyata hutan mangrove yang dikonversi menjadi areal pertambakan diperkirakan sudah seluas 70 % dari luas total semula.

Tingkat teknologi budidaya air payau (tambak) yang dilakukan di Provinsi Gorontalo masih tergolong tradisional, sehingga dampaknya terhadap penurunan kualitas lingkungan belum nyata. Namun kegiatan ini menimbulkan dampak terhadap degradasi hutan bakau (karena ekspansi ke areal bakau) sehingga fungsi ekologis ekosistem tersebut semakin berkurang dan berakibat pada peningkatan laju erosi dan sedimentasi ke laut serta terjadinya abrasi pantai, terputusnya siklus unsur hara, hilangnya daerah pemijahan dan nursery ground

(daerah pembesaran) dan feeding ground (daerah mencari makan) beberapa biota laut. Jika kegiatan pembukaan hutan mangrove dibiarkan berlangsung terus menerus, maka akan berimplikasi pada penurunan produktivitas perairan pantai dan berdampak lanjut terhadap penurunan pendapatan nelayan.

Berikut, kegiatan perikanan laut di Provinsi Gorontalo dilakukan di Teluk Tomini dan Laut Sulawesi. Jenis kegiatan perikanan laut yang dominan adalah penangkapan dan budidaya laut. Usaha budidaya laut yang dilakukan di Provinsi Gorontalo adalah budidaya rumput laut dan budidaya ikan sistim keramba apung. Usaha ini perlu dikembangkan mengingat potensi areal untuk

pengembangan usaha ini masih sangat mendukung utamanya di Kabupaten Gorontalo dan Boalemo.

Kegiatan perikanan tangkap di laut yang mengancam kelestarian komoditas perikanan adalah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom, penggunaan bahan beracun berupa cyanide dan penggunaan pukat harimau. Penggunaan alat tangkap ini selain mematikan ikan target, juga memtikan ikan non target seperti larva ikan dan biota laut lainnya (karang dan organisme yang bersimbiose dengan terumbuh karang). Hal ini lebih lanjut akan berimplikasi negative terhadap penurunan stock populasi ikan meskipun dalam jangka waktu yang relatif lama.

Kegiatan lainnya di wilayah perikanan yang justru berdampak sangat parah adalah kegiatan penambangan terumbu karang untuk keperluan bahan bangunan; Kegiatan penambangan ini sudah berlangsung cukup lama dan dilakukan oleh penduduk di Provinsi Gorontalo. Kegiatan ini dilakukan pada semua kecamatan yang terletak di pantai.

3.2.3 Peternakan

Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat Gorontalo adalah sapi, kuda, kambing dan babi. Data Profil Provinsi Gorontalo (2002) menunjukkan bahwa jenis ternak yang paling banyak dipelihara adalah sapi berkisar 159.334 ekor, kemudian menyusul berturut-turut : kambing sebanyak 83.931 ekor, kuda 9.997 ekor dan babi 8.432 ekor. Selain ternak besar, penduduk setempat juga beternak unggas seperti ayam ras, ayam buras, itik dan burung puyuh. Pada tahun 2002 jenis peternakan unggas yang paling banyak diusahakan adalah buras sebanyak 641.897 ekor, ayam ras 131.168 ekor dan itik 47.093 ekor.

Usaha peternakan ini tersebar di tiga kabupaten, dan belum ada usaha peternakan skala besar, sehingga dampak kegiatan terhadap lingkungan relative kecil. Kotoran ternak piaraan justru dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pupuk organik.

3.2.4 Pertambangan

Kegiatan pertambangan sangat potensil menimbulkan degradasi lingkungan hidup jika tidak dilakukan secara hati-hati. Kegiatan pertambangan di Provinsi Gorontalo sebagian besar adalah tambang golongan C yaitu tambang pasir, kerikil dan batu. Kegiatan pertambangan ini dominan dilakukan di alur sungai utamanya Sungai Bone, Sungai Bolango. Permasalahan lingkungan yang timbul dari kegiatan ini adalah perubahan pola aliran sungai Bone dan semakin dalamnya dasar sungai, yang akhirnya dapat merusak pondasi beberapa jembatan serta pintu air irigasi.

Kegiatan pertambangan lainnya adalah pertambangan emas. Kegiatan pertambangan emas di Provinsi Gorontalo tersebar di beberapa wilayah yaitu Wilayah Marisa Kabupaten Pohuwato, wilayah Pasolo Desa Buladu, Kecamatan Sumalata dan wilayah tambang Mopuya Desa Kaidundu, Kecamatan Bone Pantai Kabupaten Gorontalo, Wilayah Suwawa Kabupaten Gorontalo, dan wilayah Boliohuto Kabupaten Gorontalo.

Hasil penelitian PSL IKIP Gorontalo (2002) menunjukkan bahwa penambangan emas di Desa Buladu dan Desa Kaidundu telah menyebabkan kandungan logam berat Hg (merkuri) pada badan air sungai Dubalango dan Sungai Mopuyo telah melewati ambang batas baku mutu (0,001 mg/l). Kadar Hg pada badan air dan sedimen Sungai Dubalango (sungai sekitar penambangan Pasolo) adalah masing-masing berkisar antara 0,0002 – 0,016038 mg/l dan 104,2172 – 927,2519 mg/l, Sedang konsentrasi Hg pada badan air dan sediment Sungai Mopuya (sungai sekitar penambangan Mopuya) adalah masing-masing berkisar antara 0,0002 – 0,2457 mg/l dan 22,7798 – 53,1579 mg/l.

Permasalahan yang terjadi akibat kegiatan pertambangan emas adalah pencemaran logam berat Hg pada badan air sungai. Kandungan merkuri pada air sungai tersebut kemudian akan mengalir menuju ke muara dan akhirnya akan masuk ke perairan laut. Pencemaran merkuri pada air sungai Dubalango akan mencemari perairan Laut Sulawesi dan pencemaran merkuri pada air sungai Mopuya akan mencemari perairan Teluk Tomini. Karena logam ini termasuk unsur yang nondegradable sehingga akan terakumulasi pada badan air yang selanjutnya akan terjadi bioakumulasi dan biomagnifikasi melalui rantai makan pada tumbuhan dan hewan laut yang selanjutnya akan berdampak pada kesehatan manusia yang mengkonsumsi tumbuhan dan hewan laut yang telah terkontaminasi logam merkuri tersebut. Dampak lingkungan lainnya yang disebabkan dari kegiatan pertambangan ini adalah berubahnya bentang alam, hilangnya vegetasi dan flora yang ada di atasnya. Akibat terbukanya lahan akan meningkatkan erosi dan sedimentasi di sungai.

3.2.5 Industri

Jumlah Industri yang ada di Provinsi Gorontalo cukup banyak dan telah memberikan kontribusi yang cukup besar pada PDRB Provinsi Gorontalo. Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang direkrut, Industri tersebut dibagi ke dalam 4 (empat) golongan besar yaitu industri besar, industri sedang dan industri rumah tangga. Data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Provinsi Gorontalo (2002), menunjukkan jumlah industri kecil dan menengah yang kini sedang beroperasi di Provinsi Gorontalo adalah sebanyak 640 buah.

Jenis industri yang potensil menimbulkan dampak terhadap degradasi lingkungan adalah industri batu bata sebanyak 31 buah, industri kapur tembok sebanyak 19 buah, industi Cold Storage (pembekuan ikan) sebanyak 7 (tujuh) buah, meubel kayu 46 buah, meuble rotan 6 (enam) buah dan molding 19 buah, industri makanan, minuman dan tembakau 43 buah. Selain Jumlahnya yang cukup besar, industri itu tersebar sehingga diperkirakan potensil menimbulkan permasalahan lingkungan, di antaranya adalah sebagai berikut :

Dalam dokumen Status Lingkungan Hidup 2003 (Halaman 30-34)

Dokumen terkait