• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah terhadap Dana Perimbangan

Menurut Ekaristi (2007) menunjukkan salah satu contoh perilaku asimetris terjadi karena pemerintah pusat tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kemampuan dan potensi daerah yang dimiliki untukmemaksimalkan pendapatannya. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk menggunakan celah kesempatan yang ada dengan dengan tidak memaksimalkan PAD agar pemerintah pusat bersedia untuk memberikan bantuan berupa DAU dalam jumlah yang besar. Hal inilah yang dikemudian hari berdampak pada menurunnya kemandirian daerah.

Menurut Ndadari dan Adi, (2008) Pemerintah daerah memperlihatkan adanya perilaku asimetris dengan cara memanipulasi pengeluaran pemerintah setinggi mungkin dengan tidak mengupayakan memaksimalkan PAD agar nantinya dapat memperoleh bantuan berupa transfer daripemerintah pusat. Timbulnya perilaku asimetris pada umumnya dikarenakan pemerintah pusat tidak memiliki informasi yang cukup, mengenai kemampuan dan potensi daerah yang dimiliki untuk memaksimalkanpendapatannya dan juga, pemerintah daerah menginginkan agar besarnya DAU dan DBH yang diterima tetap, atau dapat terus bertambahdari satu periode keperiode selanjutnya. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk menggunakan celah kesempatan yang ada dengan tidak

memaksimalkan PAD, agar pemerintah pusat bersedia untuk memberikan bantuan berupa DAU dan DBH dalam jumlah yang besar. Perilaku asimetris dapat dilihat saat pemerintah daerah mendapatkan transfer berupa DAU yang lebih kecil dari periode sebelumnya maka belanja pemerintah akan turun.

Ndadari dan Adi, (2008) menegaskan, Penurunan belanja yang ada tidak sebanding dengan penurunan PAD, belanja pemerintah justru lebih rendah dibanding dengan penurunan PAD. Kemudian pada saat pemerintah mendapatkan DAU yang lebih tinggi, maka pemerintah meningkatkan belanjanya, namun tidak disertai dengan peningkatan PAD yang signifikan.Sedangkan Gramlich (1977) menyatakan bahwa dalam kasus keuangan daerah ada respon yang tidak simetris terhadap perubahan besarnya transfer. Argumentasi ini didasarkan pada pemikiran bahwa transfer diberikan untuk suatu jangka waktu tertentu. Selama periode tersebut, pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari penerimaan transfer cenderung meningkat. Setelah transfer dikurangi, pihak-pihak tersebut mulai lobi untuk mempertahankan keuntungannya melalui kenaikan pajak lokal.

Transfer yang di berikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah memiliki kaitan yang erat dengan pertumbuhan perekonomian. Transfer dapat meningkatkan belanja dearah yang kemudian akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian.

Menurut Holtz-Eakin et al (1994) dalam Harianto dan Adi (2007) menyatakan adanya keterkaitan yang sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja modal.Respon tiap-tiap pemerintah daerah terhadap dana transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat berbeda-beda. Tidak semua

daerah memiliki kesiapan dalam menerima dana transfer tersebut. Dampaknya adalah terjadi perilaku yang tidak simetris sebagai respon terhadap dana transfer yang diberikan.

Maimunah (2006) juga membuktikan bahwa besarnya nilai DAU berpengaruh secara positif terhadap belanja daerah. Selain itu penelitian yang dilakukan Adi (2006) membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah memberikan dampak yang positif terhadap PAD. Hal ini membuktikan bahwa PAD dan transfer pemerintah dalam bentuk DAU dan DBH memiliki peran yang penting di dalam perekonomian suatu daerah.

Dalam APBD belanja daerah terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja rutin merupakan belanja yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintah sehari-hari, seperti belanja pegawai, belanja operasional dan pemeliharaan, serta belanja perjalanan dinas. Sedangkan belanja pembangunan digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas pelayanan publik berupa pembangunan sarana dan prasarana publik. Namun yang terjadi saat ini adalah bagi pemerintah pusat, DAU dijadikan sebagai instrumen horizontal imbalance untuk pemerataan atau untuk mengisi fiscal gap. Sedangkan bagi pemerintah daerah DAU dijadikan sebagai sarana untuk mendukung kecukupan (sufficiency). Dengan demikian dapat diartikan pemerintah daerah akan mengupayakan agar pemerintah pusat tetap memberikan DAU sehingga belanja daerah tercukupi.

Menurut Levaggi (1991), dalam Kuncoro (2006) hubungan antara pemerintah daerah digambarkan sebagaimana layaknya prinsipal dengan agen. Pemerintah pusat (prinsipal) akan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (agen) untuk menyelenggarakan penyediaan barang dan jasa publik di daerahnya.

Permasalahan mulai timbul saat ada asimetri informasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan berakibat pemerintah pusat tidak memiliki kontrol terhadap penggunaan transfer. Namun hal inilah yang justru menjadi tujuan dari bantuan tak bersyarat, yaitu pemerintah daerah mampu menentukan sendiri penggunaan transfer yang paling efisien sesuai dengan kebutuhan daerahnya.Perilaku asimetris juga dapat dilihat saat pemerintah daerah mendapatkan transfer berupaDAU yang lebih kecil dari periode sebelumnya maka belanja pemerintah akan turun. Penurunanbelanja yang ada tidak sebanding dengan penurunan PAD, belanja pemerintah justru lebihrendah dibanding dengan penurunan PAD. Kemudian pada saat pemerintah mendapatkan DAUyang lebih tinggi, maka pemerintah meningkatkan belanjanya, namun tidak disertai denganpeningkatan PAD yang signifikan.

Kuncoro (2007) menjelaskan bahwa saat masyarakat (pemerintah daerah) menerima transfer maka akan terjadi kenaikan penerimaan pajak daerah dan peningkatan konsumsi barang publik. Hal ini menunjukkan bahwa transfer meningkatkan konsumsi akan barang publik namun tidak menjadi substitut pajak daerah. Kondisi inilah yang dalam berbagai literatur disebut dengan flypaper effect.

Dougan dan Kenyon (1988) menyebutkan flypaper effect merupakan suatu keganjilan dimana kecenderungan dari dana bantuan (transfer) akan meningkatkan belanja publik yang lebih besar dibandingkan dengan pertambahan pendapatan yang diperoleh dari masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa flypaper effect muncul saat transfer pemerintah pusat digunakan sepenuhnya untuk membiayai kegiatan belanja pemerintah daerah tanpa diimbangi dengan peningkatan PAD.

Dadan (2006) juga menuturkan bahwa masalah timbul karena belum maksimalnya pengalokasian DAU karena dasar perhitungan fiscal needs yang tidak memadai. Ditambah lagi pengeluaran anggaran (APBD) belum mencerminkan belanja yang sesungguhnya dan cenderung tidak efisien. Seharusnya untuk membiayai pengeluaran dan belanja daerah, pemerintah perlu untuk mempertimbangkan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang dimilikinya. Salah satu cara yaitu dengan menggali dari sumber penerimaan pajak atau dari potensi SDA.

Davey (1988) menyatakan bahwa setiap transfer dari pusat pada dasarnya merupakan sedekah yang tidak diperlukan pemerintah daerah, jika mereka tidak terlalu boros dalam pengeluaran dan lebih tekun menarik pajak dari penduduknya. Transfer dana dari pusat justru akan mudah mengundang munculnya intervensi pusat kepada daerah yang akhirnya justru menimbulkan ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah pusat.

Dokumen terkait