• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.3.4 Perilaku Kawin dan Berkembang Biak

Di kebun binatang, baik harimau jantan maupun betina dapat hidup hingga usia 20-an tahun. Kematangan seksual pada harimau betina tercapai ketika mereka berumur sekitar 3-4 tahun, sedangkan jantan sekitar usia 4-5 tahun (Nowak 1991). Harimau betina dapat melahirkan anak hingga umur sekitar 15 tahun. Di daerah yang beriklim sedang (temperate), estrus pada harimau betina terjadi secara bermusim. Di daerah beriklim tropis, estrus pada harimau betina terjadi sepanjang tahun kecuali ketika mereka sedang hamil atau membesarkan anak. Harimau betina akan memberikan signal kesiapannya untuk kawin dengan cara meninggalkan tanda-tanda aroma bau

18

(scent) serta suara auman. Selanjutnya, kopulasi-kopulasi singkat antara harimau jantan dan betina terjadi terus-menerus selama jangka waktu sekitar lima hari. Harimau termasuk satwa ovulator yang terinduksi (induced ovulator) sehingga harus dirangsang melalui kopulasi yang sering agar terjadi kehamilan (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

Periode kehamilan harimau betina adalah sekitar 103 hari. Harimau jantan tidak tinggal dengan betina setelah perkawinan. Individu jantan juga tidak berpartisipasi dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya. Jumlah anak harimau pada setiap kelahiran biasanya 2-3 ekor, namun seekor anak umumnya mati sesaat setelah dilahirkan. Anak-anak harimau dilahirkan dalam keadaan buta dengan berat tubuh antara 0,7-1,0 kg, tergantung pada subspesies harimau (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

Anak-anak menyusu pada induk harimau selama 6-8 minggu, kemudian setelah masa itu induk harimau akan mengajak anak-anak untuk makan hewan buruan bersama-sama. Anak-anak harimau akan mulai belajar berburu hewan mangsa sendiri pada usia sekitar 18 bulan. Setelah kawin dan melahirkan anak-anaknya, harimau betina tidak akan mengalami estrus lagi, hingga anak-anaknya berumur antara 1,5-3 tahun, dimana pada usia tersebut anak-anaknya telah memiliki keterampilan yang cukup untuk memulai hidup sendiri. Harimau betina muda cenderung untuk membangun daerah jelajahnya yang berdekatan dengan wilayah induknya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

2.1.4 Distribusi

Hingga awal tahun 1900-an, rentang wilayah penyebaran harimau (Panthera tigris) dunia mencakup 70 derajat pada garis lintang dan 100 derajat pada garis bujur, serta tersebar di 30 negara yang dikenal saat ini yaitu mulai dari Turki dan Armenia di wilayah barat daratan Asia hingga ke Indonesia, kemudian ke timur jauh Rusia, serta hingga ke ujung selatan India (Sanderson et al. 2006). Namun, Dinerstein et al. (2006) dan Sanderson et al. (2006) memperkirakan bahwa wilayah penyebaran harimau dunia yang

19

tersisa saat ini hanya tinggal sebesar 7% dari total luas berdasarkan sejarah penyebaran geografisnya (Gambar 3).

Gambar 3. Peta sejarah distribusi harimau (cokelat muda) dan wilayah pe- nyebaran saat ini (hijau) di seluruh dunia (Dok: STF).

Pada awal abad ke-19, harimau sumatera (P. t. sumatrae) juga penyebarannya masih ditemukan hampir di seluruh kawasan berhutan di sepanjang Pulau Sumatera, terutama di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan pegunungan. Namun, daerah penyebaran harimau sumatera saat ini terbatas pada fragmen-fragmen hutan yang kebanyakan ukurannya kecil serta terpisah antara satu dengan lainnya. Pada kawasan-kawasan tersebut harimau sumatera menyebar pada ketinggian 0-2.000 meter dari permukaan laut (dpl)

(O‟Brien et al. 2003), tetapi kadang-kadang ditemukan juga pada ketinggian lebih dari 2.400 meter dpl (Linkie et al. 2003). Menurut Griffiths (1994), hutan dataran rendah (ketinggian < 600 m dpl) dapat mendukung populasi harimau dua kali lebih besar dari pada dataran tinggi. Di Sumatera, terbukti bahwa kelimpahan harimau berkurang seiring dengan naiknya elevasi

20

kawasan dari permukaan laut (Linkie et al. 2006, Wibisono 2006, Wibisono

et al. 2009).

Penyebaran suatu spesies pada suatu wilayah dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya sejarah evolusi spesies, perubahan geografis, interaksi antar spesies dan respon lingkungan, serta dampak aktivitas manusia pada suatu wilayah (Jarvis 2000). Namun, penyebaran harimau sumatera saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia, terutama seperti kegiatan konversi kawasan hutan untuk perkebunan, transmigrasi, pemukiman, serta kegiatan pembangunan infrastuktur lainnya (Soehartono et al. 2007). Smirnov & Miquelle (1999) menyatakan bahwa penyebaran dan kepadatan hewan mangsa juga merupakan faktor yang turut mempengaruhi penyebaran harimau pada suatu wilayah.

Keberadaan harimau sumatera di alam belum seutuhnya diketahui dengan akurat. Perpaduan antara kajian-kajian sebelumnya (Faust & Tilson 1994, Seal et al. 1994, Sanderson et al. 2006) dengan beberapa hasil survey terkini, memprediksi bahwa saat ini harimau sumatera setidaknya tersebar di 19 fragmen kawasan konservasi dan kawasan-kawasan hutan lainnya, yang letaknya masing-masing terpisah satu sama lain (Soehartono et al. 2007). Namun, analisis yang dilakukan Wibisono & Pusparini (2010) menyebutkan bahwa harimau sumatera terbukti masih ditemukan pada 27 fragmen habitat yang ukurannya lebih dari 250 km2 (Gambar 4).

2.1.5 Populasi

Sekitar satu abad lalu, di dunia masih terdapat sekitar 100.000 ekor harimau yang berkeliaran pada berbagai habitat di wilayah sejarah penyebarannya (GTI 2010). Jumlah populasi harimau saat ini terus menurun seiring dengan berkurangnya luas habitat harimau dunia yang mencapai 93% (Dinerstein et al. 2006, Sanderson et al. 2006). Penurunan tersebut terutama diakibatkan oleh perdagangan ilegal bagian tubuh harimau untuk obat-obatan tradisional, penangkapan atas harimau-harimau yang berkonflik (Tilson et al. 1994, Sunquist et al. 1999), berkurangnya hewan mangsa (Seidensticker

21

1986, Karanth & Stith 1999), serta hilangnya habitat alami (Dinerstein et al. 2006). Jumlah populasi harimau di dunia saat ini diperkirakan hanya tinggal sekitar 3.000-3.500 ekor yang hidup pada habitat alaminya (Sanderson et al. 2006, Morrel 2007, GTI 2010).

Gambar 4. Peta distribusi harimau di Pulau Sumatera pada lima tahun ter- akhir (Wibisono & Pusparini 2010).

Borner (1978) pernah memperkirakan bahwa jumlah populasi harimau sumatera ketika itu sekitar 1.000 ekor. Kemudian pada tahun 1985 perkiraan tersebut menurun menjadi 800 ekor harimau yang hidup di 26 kawasan konservasi dan hutan lindung lainnya (Santiapillai & Ramono 1987). Penilaian status distribusi dan populasi yang dilakukan tahun 1992 lalu, menunjukkan bahwa populasi harimau sumatera di alam diperkirakan hanya tinggal sekitar 500 individu (Tilson et al. 1994). Melihat pada semakin

22

tingginya ancaman terhadap kelangsungan hidup harimau saat ini, para ilmuwan dan pakar konservasi percaya bahwa jumlah harimau sumatera di alam telah mengalami penurunan yang drastis dalam beberapa dekade terakhir (Wibisono & Pusparini 2010). Bahkan diyakini jumlah harimau sumatera di alam saat ini hanya tinggal sekitar 300 ekor (Soehartono et al. 2007).

Kelangsungan hidup suatu populasi di alam berhubungan erat dengan demografi, genetik, serta faktor-faktor lingkungan (Noss et al. 1996). Selain itu, rendahnya angka kelahiran, tingginya angka kematian anak, tingginya tingkat ancaman, serta rendahnya populasi hewan mangsa merupakan faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi satu spesies di alam (Alikodra 1990). Menurut Karanth et al. (2002), secara alamiah populasi harimau di alam tergolong rendah. Di hutan daratan rendah Sumatera kepadatan populasi harimau berkisar antara 1-3 ekor/100 km2, sedangkan di hutan dataran tinggi atau pegunungan kepadatan populasinya sekitar 1 ekor/100 km2 (Santiapillai & Ramono 1993). Jenis-jenis hewan mangsa yang mendukung penyebaran populasi harimau sumatera diantaranya adalah rusa sambar, babi hutan, kijang, kancil atau napu serta beruk (Franklin et al. 1999, O‟Brien et al.

2003).

2.2 Habitat dan Daerah Jelajah