• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Perilaku Pernikahan Dini

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Dimana perilaku terdiri dari persepsi (perception), respon terpimpin (guided respons), mekanisme (mechanisme), adaptasi (adaptation) (Notoatmodjo, 2003).

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan hasil dari perubahan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Pada garis besarnya perilaku manusia dapat terlihat dari 3 aspek yaitu aspek fisik, psikis, dan sosial. Dari aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleks dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap.

2.2.2 Faktor-Faktor Perilaku

Perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Dalam perilaku kesehatan menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003) terbagi tiga teori penyebab masalah kesehatan yaitu : a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing faktors) yaitu faktor-faktor yang

mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi.

b. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau menfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan.

c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.

2.2.3 Pengertian Pernikahan Dini

Pernikahan dini yaitu perkawinan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas. Di dalam Undang-Undang Perkawinan terdapat beberapa pasal di antaranya pada pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada pasal 2 menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Usia dini merujuk pada usia remaja. WHO memakai batasan umur 10-20 tahun sebagai usia dini. Sedangkan pada Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) bab 1 pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan usia dini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, batasan tersebut menegaskan bahwa anak usia dini adalah bagian dari usia remaja. Dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh departemen kesehatan adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum menikah. Sementara itu, menurut Badan Koordinasi keluarga Berencana

(bkkbn) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21 tahun.

Pernikahan dini pada remaja pada dasarnya berdampak pada segi fisik maupun biologis remaja yaitu (Nugraha, 2002):

a. Remaja yang hamil akan lebih mudah menderita anemia selagi hamil dan melahirkan, salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi, kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, interaksi dengan lingkungan teman sebaya menjadi berkurang, sempitnya mendapatkan kesempatan kerja, yang otomatis lebih mengekalkan kemiskinan (status ekonomi keluarga rendah karena pendidikan yang minim).

b. Dampak bagi anak, akan melahirkan bayi lahir dengan berat rendah, sebagai penyebab utama tingginya angka kematian ibu dan bayi, cedera saat lahir, komplikasi persalinan yang berdampak pada tingginya mortalitas.

c. Pernikahan dini merupakan salah satu faktor penyebab tindakan kekerasan terhadap istri, yang timbul karena tingkat berpikir yang belum matang bagi pasangan muda tersebut.

d. Kesulitan ekonomi dalam rumah tangga.

e. Pengetahuan yang kurang akan lembaga perkawinan. f. Relasi yang buruk dengan keluarga.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini

Menurut Alfiah (2010) dalam Jannah (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan dini yaitu:

a. Faktor Ekonomi

Terjadi pada masyarakat yang tergolong menengah ke bawah. Biasanya berawal dari ketidakmampuan mereka melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Terkadang mereka hanya bisa melanjutkan sampai sekolah menengah saja atau bahkan tidak bisa mengenyam sedikitpun kenikmatan pendidikan, sehingga menikah

merupakan sebuah solusi dari kesulitan yang mereka hadapi. Terutama bagi perempuan, dimana kondisi ekonomi yang sulit, para orangtua lebih memilih mengantarkan putri mereka untuk menikah, karena paling tidak beban mereka akan berkurang. Tetapi berbeda bagi anak laki-laki yang mempunyai peran dalam kehidupan berumah tangga sangatlah besar, sehingga bagi kaum adam minimal harus mempunyai keterampilan terlebih dahulu sebagai modal awal membangun rumah tangga mereka. Bagi sebuah keluarga yang miskin, pernikahan usia dini dapat menyelamatkan masalah sosial ekonomi keluarga.

b. Faktor Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan menjadikan para remaja tidak mengetahui berbagai dampak negatif dari pernikahan anak. Dengan demikian meraka menikah tanpa memiliki bekal yang cukup tentang dampak bagi kesehatan reproduksi, mereka tentu tidak tahu. Untuk itu perlu sosialisasi dampak negatif ini, karena rata-rata mereka hanya lulusan SD. Padahal pentingnya untuk memberikan pendidikan seks mulai anak berusia dini. Hal ini bertujuan agar anak nantinya setelah dewasa mengetahui betul perkembangan reproduksi mereka, bagaimana menjaga kesehatan reproduksi mereka, dan kapan atau pada usia berapa mereka sudah bisa memantaskan diri untuk siap melakukan hubungan yang sehat. c. Kekhawatiran Orang Tua

Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki sangat dekat sehingga segera mengawinkan anaknya.

d. Media Massa

Banyaknya media massa yang menayangkan seks menyebabkan remaja modern kian permisif (suka membolehkan) terhadap seks.

h. Faktor Adat

Faktor adat juga turut mengambil andil yang cukup besar, karena kebudayaan ini diturunkan dan sudah mengakar layaknya kepercayaan. Dalam adat setempat mempercayai apabila anak perempuannya tidak segera menikah, itu akan memalukan keluarga karena dianggap tidak laku dalam lingkungannya. Atau jika ada orang yang secara finansial dianggap sangat mampu dan meminang anak mereka, dengan tidak memandang usia atau status pernikahan, kebanyakan orangtua menerima pinangan tersebut karena beranggapan masa depan sang anak akan lebih cerah, dan tentu saja ia diharapkan bisa mengurangi beban sang orangtua. Tak lepas dari hal tersebut, tentu saja banyak dampak yang tidak terpikir oleh mereka sebelumnya.

Menurut R.T. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda adalah:

a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga

b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.

c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.

Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:

a. Masalah ekonomi keluarga

b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya.

c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992).

Menurut teori Syafrudin dan Mariam, 2010. Faktor yang menyebabkan pernikahan usia dini adalah :

1. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan secara umum dapat didefenisikan adalah suatu usaha pembelajaran yang direncanakan untuk mempengaruhi individu ataupun kelompok sehingga mau melaksanakan tindakan-tindakan untuk menghadapi masalah-masalah dan meningkatkan kesehatannya. Berkaitan dengan defenisi tersebut, maka pendidikan dibedakan atas tiga jenis yaitu pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan nonformal.

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan formal terdiri dari pendidikan formal berstatus negeri dan pendidikan formal berstatus swasta.

Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai oleh seorang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri dan sebagai calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang lebih banyak berperan mengurus rumah tangga dan anak yang akan hadir. Pola lainnya yaitu karena biaya pendidikan yang tak terjangkau, anak

berhenti sekolah dan kemudian dinikahkan untuk mengalihkan beban tanggungjawab orangtua menghidupi anak tersebut kepada pasangannya (UNICEF, 2006). Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat pendidikan yang rendah dan usia saat menikah.

2. Ekonomi

Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia dini (UNICEF, 2001). Secara umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin, meskipun terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas. Di banyak negara, pernikahan anak seringkali terkait dengan kemiskinan. Sayangnya, pernikahan gadis ini juga menikah dengan dengan pria berstatus ekonomi tak jauh berbeda, sehingga menimbulkan kemiskinan baru.

3. Sosial Budaya

Budaya adalah satu kesatuan yang kompleks, termasuk didalamnya pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat, dan kesanggupan serta kebiasaan yang diperolah manusia sebagai anggota masyarakat. Latar belakang budaya mempunyai pengaruh yang penting terhadap aspek kehidupan manusia, yaitu kepercayaan, tanggapan, emosi, bahasa, agama, bentuk keluarga, diet, pakian, bahasa tubuh

• Adat Istiadat

Di banyak daerah di Indonesia ada semacam anggapan jika anak gadis yang telah dewasa belum berkeluarga dipandang merupakan aib keluarga. Untuk mencegah aib tersebut, para orangtua berupaya secepat mungkin menikahkan anak gadis yang dimilikinya, yang pada akhirnya mendorong terjadinya pernikahan dini.

Di banyak daerah masih ditemukan adanya pandangan dan kepercayaan yang salah, misalnya kedewasaan seseorang dinilai dari status pernikahan, adanya anggapan bahwa status janda lebih baik daripada perawan tua, adanya anggapan bahwa kejantanan seseorang dinilai dari seringnya melakukan pernikahan.

UNICEF mengemukakan dua alasan utama terjadinya pernikahan dini (early marriage):

1. Pernikahan dini sebagai sebuah strategi untuk bertahan secara ekonomi (early marriage as a strategy for economic survival).

Kemiskinan adalah faktor utama yang menyebabkan timbulnya pernikahan dini. Ketika kemiskinan semakin tinggi, remaja putri yang dianggap menjadi beban ekonomi keluarga akan dinikahkan dengan pria lebih tua darinya dan bahkan sangat jauh jarak usianya. Hal ini adalah strategi bertahan sebuah keluarga.

2. Untuk melindungi wanita (protecting girls)

Pernikahan dini adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa anak perempuan yang telah menjadi istri benar-benar terlindungi, melahirkan anak yang sah, ikatan perasaan yang kuat dengan pasangan, dan sebagainya. Menikahkan anak di usia muda merupan salah satu cara untuk mencegah anak dari perilaku seks pranikah. Kebanyakan masyarakat sangat menghargai nilai keperawanan dan dengan sendirinya hal ini memunculkan sejumlah tindakan untuk melindungi anak perempuan mereka dari perilaku seksual pranikah.

Mathur, Greene, dan Malhotra (2003) dalam International Center for Research On Women (ICRW), juga mengungkapkan beberapa penyebab pernikahan dini, yaitu: 1. Peran gender dan kurangnya alternatif (gender roles and a lack of alternatives)

Remaja adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dan merupakan suatu periode ketika anak laki-laki dan anak perempuan menghadapi sejumlah tekanan yang menuntut mereka untuk menyesuaikan diri, menyelidiki, dan mengalami kehidupan seperti yang telah budaya definisikan. Anak laki-laki pada sebagian besar masyarakat menghadapi tekanan sosial dan budaya selama masa remaja untuk berhasil di sekolah, membuktikan seksualitasnya, ikut serta dalam olahraga dan aktivitas fisik, mengembangkan kelompok sosial dengan teman sebayanya, menunjukkan kemampuan mereka dalam menangani ekonomi keluarga dan tanggung jawab finansial. Remaja putri mengalami hal yang berlawanan. Pengalamam masa remaja bagi para remaja putri di banyak negara berkembang lebih difokuskan pada masalah pernikahan, menekankan pada pekerjaan rumah tangga dan kepatuhan, serta sifat yang baik untuk menjadi istri dan ibu.

2. Nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pranikah (value of virginity and fears about premarital sexual activity)

Beberapa budaya di dunia, wanita tidak memiliki kontrol terhadap seksualitasnya, tetapi merupakan properti bagi ayah, suami, keluarga, atau kelompok etnis mereka. Oleh karena itu, keputusan untuk menikah, melakukan aktivitas seksual, biasanya anggota keluarga yang menentukan, karena perawan atau tidaknya seseorang sebelum menikah menentukan harga diri keluarga. Ketika anak perempuan mengalami menstruasi, ketakutan akan aktivitas seksual sebelum menikah dan kehamilan menjadi perhatian utama keluarga.

3. Pernikahan sebagai usaha untuk menggabungkan dan transaksi (marriage alliances and transactions)

Tekanan menggunakan pernikahan untuk memperkuat keluarga, kasta, atau persaudaraan yang kemudian membentuk penggabungan politik, ekonomi, dan sosial cenderung menurunkan usia untuk menikah pada beberapa budaya. Transaksi ekonomi juga menjadi bagian integral dalam proses pernikahan.

4. Kemiskinan (the role of proverty)

Kemiskinan dan tingkat ekonomi lemah juga merupakan alasan yang penting menyebabkan pernikahan dini pada remaja putri. Remaja putri yang tinggal di keluarga yang sangat miskin, sebisa mungkin secepatnya dinikahkan untuk meringankan beban keluarga.

Adapun pernikahan usia remaja yang disebabkan oleh faktor dari diri sendiri, yaitu:

1. Menurut Sarwono (2006), pernikahan muda atau pernikahan dini banyak terjadi pada masa pubertas karena remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual yang membuat mereka melakukan aktivitas seksual sebelum menikah sehingga menyebabkan kehamilan yang kemudian solusinya adalah dengan menikahkan mereka.

2. Sanderowitz dan Paxman dalam Sarwono (2006) menyatakan bahwa pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berpikir secara emosional untuk melakukan pernikahan. Mereka berpikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah. Faktor penyebab lain pernikahan muda adalah perjodohan orangtua. Perjodohan sering terjadi akibat putus sekolah dan permasalahan ekonomi.

3. Menurut Surjandi (2002), pernikahan usia remaja juga sering disebabkan oleh rasa ingin coba-coba, perubahan organobiologik yang dialami remaja mempunyai sifat selalu ingin tahu dan mempunyai kecenderungan mencoba hal-hal baru.

2.2.5 Dampak Akibat Pernikahan Dini 1. Dampak Positif

a. Dukungan Emosional

Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).

b. Dukungan Keuangan

Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban ekonomi menjadi lebih menghemat.

c. Kebebasan yang Lebih

Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka secara finansial dan emosional. d. Belajar Memikul Tanggung Jawab di Usia Dini

Banyak pemuda yang waktu masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil karena ada orang tua mereka. Dengan menikah, mereka harus dapat mengatur urusan mereka tanpa bergantung pada orang tua.

e. Terbebas dari Perbuatan Maksiat

Dengan menikah akan menghindarkan seseorang dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.

2. Dampak Negatif a. Segi Pendidikan

Seseorang yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau SMA, tentu

keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat terjadi karena motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain, pernikahan dini dapat menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.

Selain itu belum lagi masalah ketenagakerjaan, seperti realita yang ada di dalam masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya dapat bekerja sebagai buruh saja. Dengan demikian dia tidak dapat mengeksplor kemampuan yang dimilikinya.

b. Segi Kesehatan

Perempuan yang menikah di bawah umur 20 tahun mempunyai resiko terhadap alat reproduksinya sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid karena pada masa remaja ini, alat reproduksinya belum matang untuk melakukan fungsinya. Rahim (uterus) baru siap melakukan fungsinya setelah umur di atas 20 tahun sampai dengan usia 35 tahun, karena pada masa ini fungsi hormonal melewati masa yang maksimal. Pada usia 14-18 tahun, perkembangan otot-otot rahim belum cukup baik kekuatan dan kontraksinya sehingga jika terjadi kehamilan rahim dapat rupture (robek). Pada usia 14-19 tahun, sistem hormonal belum stabil, kehamilan menjadi tak stabil, mudah terjadi pendarahan dan terjadilah abortus atau kematian janin. Usia kehamilan terlalu dini dari persalinan memperpanjang rentang usia reproduksi aktif.

Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni 1. Kanker Leher Rahim

Dalam laporan WHO kanker leher rahim setidaknya sudah merenggut jiwa wanita hingga 5 juta, sedangkan di Indonesia walaupun belum jelas berapa angka pastinya, diperkirakan 90-100 jiwa dari 100 ribu penduduk mengindap kanker leher rahim. Hal ini menjadikan kanker leher rahim pembunuh wanita nomer dua setelah kanker payudara.

Perkawinan dalam usia muda merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keganasan mulut rahim. Kanker serviks adalah kanker yang menyerang bagian ujung bawah rahim yang menonjol ke vagina. Kanker serviks merupakan kanker yang berasal dari leher rahim ataupun mulut rahim yang tumbuh dan berkembang dari serviks, dapat menembus keluar serviks sehingga tumbuh di luar serviks bahkan terus tumbuh sampai dinding panggul. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Sekitar 70% – 80% dari pengidap kanker serviks disebabkan oleh virus HPV 16 dan HPV 18 sebagai penyebab utamanya.

Infeksi HPV paling sering terjadi pada kalangan dewasa muda (18-28 tahun). Perkembangan HPV ke arah kanker serviks pada infeksi pertama tergantung dari jenis HPV-nya. HPV tipe risiko rendah atau tinggi dapat menyebabkan kelainan yang disebut pra-kanker.

2. Resiko Tinggi Ibu Hamil

Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut ilmu kesehatan, bahwa

usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental, kebutaan dan ketulian, berisiko pada kematian, pendarahan, keguguran, hamil anggur. Selain itu, risiko kematian akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi.

Remaja tahap awal beresiko paling besar untuk menghadapi masalah dalam masa hamil dan melahirkan anak, BBLR, kematian bayi dan abortus, remaja tahap awal cenderung memulai perawatan prenatal lebih lambat daripada remaja berusia lebih tua dan wanita dewasa, mereka memiliki resiko tinggi.

Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan membawa banyak kerugian. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat mengalami trauma. c. Segi Psikologi

Menurut para psosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda, dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan di atas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

Dokumen terkait