• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

A. Pola Radikalisasi Di Sekolah

5. Perilaku Radikalisme Islam Siswa

103

tindakan kekerasan. Seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

2) Radikal Non Teroris

Kelompok ini bergerak dalam bentuk residivis kelompok radikal non terorisme, gangsterisme atau vandalism. Contoh dari kelompok ini adalah Front Pembela Islam (FPI).

3) Radikal Milisi

Kelompok ini merupakan kelompok milisi yang terlibat dalam konflik-konflik komunal seperti konflik Ambon dan Poso. Contoh dari kelompok ini adalah Laskar Jiha>d, Lasykar Jundulla>h, dan Laskar Muja>hidi>n Indonesia.

4) Radikal Saparatis

Kelompok ini mempunyai tujuan untuk memisahkan diri dari Indonesia, seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Negara Islam Indonesia (NII).

5) Radikal Terorisme

Kelompok ini mempunyai tujuan untuk menegakkan hokum-hukum Islam dengan melakukan aksi-aksi terorisme. Contoh dari kelompok ini adalah Jama>‗ah Isla>miyah.87

5. Perilaku Radikalisme Islam Siswa

Sebelum terbentuknya karakter individu atau perilaku yang radikal, biasanya seseorang tersebut akan mengalami ada empat tahapan

87 Muslih, Resosialisasi dan Rehabilitasi BNPT dalam Dialog Publik, makalah ―Radikalisasi, Terorisme dan Deradikalisasi Paham Radikal‖ Semarang, 3 Desember 2011, t.h.

104

psikologis, yakni; pertama, pra radikalisasi, di mana seorang individu masih menjalani aktivitas dan rutinitas sebagaimana mestinya. Kedua, identifikasi diri, individu mulai mengidentifikasi diri dan berfikir ke arah radikal. Ketiga, indoktrinasi, mulai mengintensifkan dan memfokuskan kepercayaan terhadap gerakan yang akan diambil. Keempat, jihadisasi, seorang individu melaksanakan aksi atau tindakan atas keyakinannya yang dianggap sebagai bentuk jihad. Proses yang berbeda akan berpengaruh sejauh mana aksi radikal dilakukan oleh masing-masing individu.88

Teori psikologi perilaku radikalisme mencoba memotret dari sisi individu atau aktor, bagaimana perilaku radikal menjadi bagian tindakan sadar seorang individu. Perpektif psikologis dalam memahami radikalisme selain teori di atas, yaitu teori psikologi radikalisasi oleh Arie W. Kruglanski, Mr. David Webber. Menurutnya, seseorang menjadi radikal bahkan teroris, tidak lepas dari motif psikologis individu. Motif psikologis individu ini yang mendasari seseorang memiliki perilaku radikalisme bahkan terorisme. Seseorang selalu mencari signifikansi dalam dirinya. Pencarian signifikansi ini mewakili kebutuhan mendasar manusia untuk menjadi penting, untuk menjadi seseorang yang dihargai, untuk dihormati di mata orang lain, untuk mendapatkan rasa nilai atau harga diri.

Teori pencarian signifikansi mengidentifikasi tiga kondisi yaitu pertama adalah kehilangan signifikansi, di mana suatu individu merasa tidak signifikan sebagai akibat dari beberapa bentuk penghinaan, aib, atau

88

105

rasa malu. Jika penghinaan ini terjadi karena dari, atau diarahkan pada keadaan pribadi seseorang, maka hal tersebut sebagai kehilangan signifikansi identitas individu. Kehilangan signifikansi individu dapat memotivasi perilaku radikal.89

Kehilangan signifikansi ini juga terjadi pada makna identitas sosial. Sehingga komunitas atau kelompok sosial tertentu yang merasa diperlakukan tidak adil, penghinaan nilai-nilai yang dianggap suci, bisa menyebabkan perilaku kolektif radikalisme bahkan terorisme. Pencarian signifikansi individu dan kolektif, mengandaikan sebuah kondisi yang menjadi pembenaran bagi seseorang atau kelompok social untuk melakukan sesuatu yang dianggap bermakna dalam diri. Dalam konteks agama misalnya tindakan jihad atau perang suci merupakan salah satu bentuk sigifikansi diri dan kolektif.90

Kedua, dalam konteks pencarian sigifikansi, ideologi Kelompok menjadi narasi yang mampu mengidentifikasi sarana untuk signifikansi. Dengan pencarian signifikansi, individu-individu yang kehilangan signifikansi memilih cara, yang melaluinya mereka akan mencapai signifikansi tersebut. Mereka melakukannya melalui cara bergabung dengan kelompok radikal berdasarkan ideologi dan budaya radikalisme. Menjadi anggota kelompok radikal hanyalah satu cara menuju mencapai signifikansi. Ideologi radikalisme menjadi pembenaran kelompok dan

89

Arie W. Kruglanski, Mr. David Webber, ―The Psychology of Radicalization‖, Zeitschrift für Internationale Strafrechtsdogmatik – www.zis-online.com, 2014, diakses pada tanggal 10 Maret 2019, 380.

106

individu yang mengalami kehilangan signifikansi. Ideologi radikalisme harus mampu menjawab problem-problem signifikansi baik secara individu dan kolektif.91

Ketiga, proses sosial dan dinamika kelompok radikal. Ideologi adalah "mistifikasi harapan" atau "Ilusi sosial" yang dapat menjalankan validasi melalui konsensus sosial. Komitmen terhadap ideologi terus dikembangkan koneksi sosial dalam kelompok radikal. Secara sederhana memahami proses radikalisasi sebagai hasil dari tiga proses yang saling terkait yaitu motivasi, ideologi, dan proses sosial.

Radikalisasi dapat digambarkan sebagai pertama, komitmen tinggi untuk tujuan yang ditentukan dalam justifikasi terorisme ideologi. Kedua, komitmen tinggi terhadap kekerasan sebagai sarana melalui mana tujuan ini harus dicapai. Ketiga, mengurangi komitmen terhadap tujuan alternatif dan kebutuhan, dalam konteks deradikalisasi adalah proses terbalik, yaitu pertama, mengurangi komitmen terhadap tujuan. Kedua, mengurangi komitmen terhadap cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Ketiga, memulihkan tujuan dan masalah alternatif. 92

Dalam konteks siswa, nilai-nilai ideologi radikalisme diterima oleh siswa di sekolah maupun luar sekolah, melalui lima tahapan tahapan ranah sikap atau afektif seseorang atau siswa sebagaimana yang digagas David R. Krathwohl dalam Abdul Munip. Lima tahapan itu yaitu pertama, penerimaan (receiving), kedua, penanggapan (responding), ketiga, menilai

91 Ibid., 182.

92

Arie W. Kruglanski, Mr. David Webber, ―The Psychology of Radicalization‖……, 387.

107

(valueing), keempat, mengorganisasikan (organization), dan kelima, karakterisasi dengan nilai.93

Fenomena radikalisme agama (Islam) tercermin dari tindakan-tindakan destruktif-anarkis atas nama agama dari sekelompok orang terhadap kelompok pemeluk agama lain (eksternal) atau kelompok seagama (internal) yang berbeda dan dianggap sesat. Termasuk dalam tindakan radikalisme agama adalah aktifitas untuk memaksakan pendapat, keinginan, dan cita-cita keagamaan dengan jalan kekerasan. Radikalisme agama bisa menjangkiti semua pemeluk agama, tidak terkecuali di kalangan pemeluk Islam.

Lebih detil, Rubaidi sebagaimana Abdul Munip menguraikan lima ciri gerakan radikalisme. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya dari Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika al-Qur’a>n dan H}adi>th hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks al-Qur’a>n dan H}adi>th, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid‟ah. Keempat, menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi,

93

Abdul Munip, ― Menangkal Radikalisme di Sekolah‖ Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1 Nomer 2 (Desember, 2012), 98.

108

sekularisme dan liberalisme. Segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada al-Qur’a>n dan H}adi>th. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.94