• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM KUMPULAN CERPEN GERGASI KARYA DANARTO

2) Perilaku Sufistik

Perilaku Sufistik yang terdapat di dalam cerpen “Semak Belukar” ini tampak dilakukan oleh tokoh kakek dan tokoh aku. Perilaku sufistik tokoh kakek berupa makam

cinta yang dianggap sebagai makam tertinggi. Kecintaan yang dilakukan oleh kakek ini

bukanlah cinta yang mutlak terhadap Allah, melainkan cinta terhadap sesama makhluk Allah, dalam hal ini semut. Nurbakhsh (1993:4) menyebutkan cinta seperti ini sebagai

cinta persahabatan yang dilandasi oleh kesepakatan sosial. Kecintaan tokoh kakek

terhadap sesama makhluk ini dalam tasawuf dipandang merupakan sarana untuk mencintai Allah. Bahkan, dalam hadis Bukhari dan Muslim (dalam al-Ghazali, 29—31) dikemukakan, Nabi Saw. bersabda bahwa menyayangi binatang dapat menyebabkan seseorang masuk surga, sebaliknya seseorang dapat masuk neraka karena menganiaya binatang. Cinta kakek yang tulus kepada semut-semut itu, bermula dari konflik yang terjadi antara semut-semut yang sering mengganggu dapur tokoh aku dengan ibunya. Dalam situasi ini kakek datang memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepada para semut itu, yang mendatangkan manfaat timbal balik. Kakek menjadi lebih sehat dan cekatan, dan para semut itu menjadi jinak dan lebih gemuk. Kecintaan kakek kepada semut-semut itu dinyatakannya dengan selalu memberi mereka makanan yang cukup dan perhatian yang luar biasa, termasuk mendoakan meraka. Dengan demikian, terjalinlah

hubungan yang akrab di antara meraka. Hal ini dapat dilihat dari penuturan narator

dengan menggunakan sudut pandang pengarang “diaan” berikut.

Ibu tentu saja marah-marah dan mengancam ingin membasmi kawasan semak belukar itu, tapi kakek turun tangan sambil memberi wejangan. Makanan yang boleh dikata berlebihan di rumah kami, itulah yang menarik serangga itu untuk berbondong-bondong mendatanginya. Lagian memberi makan serangga – tidak cuma binatang-binatang besar – perlu pula digalakkan. Mereka juga bagian

dari kita, punya hak atas apa yang kita miliki. Panjang lebar kakek “berpidato”,

begitu fasih dan jernih hingga kami terpana tak bisa memberi tanggapan apa-apa. Sejak itulah kakek lalu banyak main ke semak belukar itu, memberi makan seluruh serangga. Ribuan serangga berhimpun mengitari kakek yang menebar-nebar beras atau jagung yang lantas mereka sergap (Danarto, 1996:164—165).

………

Semak belukar itu akhirnya merupakan bagian hidup kakek, yang memberikan semangat dan kesegaran baru. Tiap paginya, dalam shalat subuhnya, kakek tak lupa menyelipkan doa – begitu katanya – bagi semut-semut itu. Dan setelah sarapan, punya kebiasaan baru dengan menengok kawasan belukar itu sambil menebar-nebar beras atau jagung maupun roti tawar sisa. Acara ini menjadi istimewa karena tidak saja mampu menguras perhatian tetapi juga memberikan kesehatan yang jauh lebih memadai bagi kakek. Encok beliau sedikit demi sedikit berkurang, seolah digerogoti oleh sahabat-sahabatnya itu, di samping juga kakek menjadi cekatan terhadap segala kegiatan (Danarto, 1996:165—166). Kutiapan di atas juga memperlihatkan nada simpati narator terhadap perilaku kakek yang telah memberikan perhatian dan kasih sayangnya terhadap para semut itu.

Tokoh kakek dalam cerpen “Semak Belukar” ini, selain memperlihatkan perilaku sufistik pada makam cinta, juga melakukan kezuhudan. Kezuhudan yang dilakukan kakek dalam cerpen ini tampaknya, dapat digolongkan pada akhlak isar (mendahulukan kepentingan orang lain). Isar yang dilakukan kakek ini tidak saja berupa kemurahan hatinya memberi makan para semut sahabatnya, yang tergolong pada kedermawanan orang awam, tetapi juga kedermawanan dengan perbuatan. Dengan demikian, isar yang dilakukan tokoh kakek dapat digolongkan pada kedermawanan orang yang khusus (al-Ghazali, 1998:153).

Isar tokoh kakek dengan perbuatan ini, terlihat ketika sebuah lubang dari semak belukar di belakang rumahnya keluar para semut sahabanya, dengan menggotong mayat tentara. Kakek juga turun tangan dan memperlakukan jenazah itu dengan hati-hati. Hal ini terlihat dari penuturan narator dengan menggunakan sudut pandang pengarang “akuan” berikut, yang memperlihatkan nada simpati terhadap perilaku kakek.

Saya lihat dari lubang yang menganga, beribu-ribu semut sahabat kakek itu menggaet jenazah-jenazah tentara itu keluar dan menyeretnya pelan-pelan hingga tubuh-tubuh itu seolah melayang-layang. Semut-semut itu rupanya tidak peduli bahwa sepak kerjanya itu disimak oleh mata-mata manusia yang terkagum- kagum sambil berdiri mematung. Tustel dan kamera video tak kelihatan berhenti bekerja mengincar terus kesibukan gerombolan semut itu.

Begitu satu tubuh dapat diseret keluar, lalu menyusul tubuh yang lain. Begitu susul-menyusul tak habis-habisnya. Semut-semut itu – barangkali saja jutaan jumlahnya – seperti tak lelah-lelahnya sejak kemarin siang bekerja. Di mana kakek? Kakek ternyata sekarang menjadi mandor, mengatur para pemuda kampung kami yang menggotong tubuh-tubuh itu dan harus meletakkannya dengan pantas. Sementara itu, para perawat mengangkat tubuh-tubuh itu ke mobil ambulan dan membawa ke rumah sakit. Bu Dokter memeriksa satu per satu tubuh itu, barangkali saja masih ada yang bernafas. Tetapi ternyata tak seorang pun yang masih hidup. Melihat tampangnya, jenazah-jenazah itu adalah tentara Timur Tengah dan tentara kulit putih (Danarto, 1996:171—172).

Kakek juga mengkoordinasi pengumpulan jenazah ini siang-malam, tak mengenal lelah, sementara orang lain ada yang jatuh sakit, tetapi kakek bersama pasukan semutnya tetap tegar (Danarto, 1996:175). Hal ini juga memperlihatkan nada simpati tokoh aku terhadap kakeknya itu.

Tokoh aku dalam cerpen ini memperlihatkan perilaku sufistik juga. Perilaku itu, semula dinyatakannya dengan sikap simpatinya terhadap perilaku kakeknya, tetapi lama- kelamaan ia merasa kedekatan pada kakeknya itu sehingga ia merasa bahwa kakeknya itu adalah ayahnya. Sebaliknya, ia merasa bahwa ayahnya adalah kakeknya. Perubahan ini dapat diinterpretasikan sebagai perubahan pandangan yang dimiliki oleh tokoh aku, ia seakan-akan mewarisi perilaku kakeknya itu. Dalam tasawuf, keadaan seperti ini dikenal dengan istilah hal, yaitu sesuatu yang datang dari Tuhan ke dalam hati seseorang, tanpa ia mampu menolaknya bila ia datang atau menariknya bila ia pergi, dengan ikhtiarnya sendiri. Dengan demikian, hal merupakan anugerah atau karunia yang diberikan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya dan yang tidak bertalian dengan penyiksaan diri di bagian yang berikutnya (Nasr, 2000:91).

Hal lain yang juga diterima oleh tokoh aku adalah keajaiban yang dialaminya ketika ia terperosok ke dalam lubang, sewaktu akan menumpang di rumah temannya. Melalui kekuatan yang aneh, ia tersedot masuk ke dalam lubang itu dan mengalami perjalanan spiritual yang panjang. Ia menyaksikan pertempuran sengit antartentara Timur

Tengah, melihat pasukan semut yang menggotong tentara yang gugur ke permukaan, yaitu lubang di kawasan semak belukar di belakang rumahnya. Hal ini terlihat dari penuturan tokoh aku berikut.

“Allah, Allah, Allah,” dzikir saya berkepanjangan sambil merangkak terus

dan menyebar-nyebarkan pasir ke depan, ke kiri, ke kanan, untuk menggertak apa saja yang mungkin menghadang (Danarto, 1996:178).

………..

Sekujur tubuh rasanya dipompa dengan darah sepenuh-penuhnya, kulit mengokohkannya, dan menggelembunglah badan ini menjadi ringan, sebagai pelembungan, pelan-pelan terangkat dari tanah berpasir yang empuk itu, lama- lama meninggi sampai suatu batas yang entah, sementara mata tetap saya katupkan serapat mungkin. Mendadak ini tubuh terantuk dinding gua, sebagai terantuknya pelembungan pada dinding atau pepohonan, ia menghindar pelan, lalu menyusuri dinding itu agaknya, untuk terus membubung ke atas (Danarto, 1996:179).

……….

Saya membelokkan tubuh di suatu tikungan dan sinar-sinar menghambur garang membuat mata silau. Dentuman dan ledakan menggelegar. Rentetan tembakan. Desingan gencar di kanan, di kiri, di atas. Dinding-dinding berantakan menghantam tubuh saya. Wajah saya tertutup siraman pasir. Rentetan tembakan, Masya Allah. Di hadapan saya tergelar perang padang pasir yang dahsyat (Danarto, 1996:180).

………

Tentara-tentara yang gugur itu serta-merta diangkut oleh jutaan semut yang kemudia saya ketahui adalah sahabat-sahabat kakek itu, ke sana, ke permukaan bumi, muncul di semak belukar belakang rumah kami itu. Allahu Akbar (Danarto, 1996:181).

Dengan bantuan tali yang ditemukannya, tokoh aku merambat ke atas dengan susah payah. Tiba-tiba ia tersedot ke atas sehingga muncul di semak belukar di belakang rumahnya. Akan tetapi, rumahnya telah berubah serba modern dan semua penghuninya tidak dikenalnya. Ketika ia kembali ke belakang rumahnya, tempat itu pun menjadi tempat pengecoran patung perunggu. Patung-patung itu dipajang di sebuah plaza yang amat indah. Ia melihat patung kakeknya, para cavers, dan semut-semut sahabat kakeknya terpajang di tempat itu (Danarto, 1996:184—186).

Peristiwa yang dialami tokoh aku, tampaknya memiliki kemiripan dengan pengalaman yang dialami oleh tujuh pemuda saleh penghuni goa (kahfi) sebagaimana dikemukakan dalan Surat al-Kahfi:9—26. Kisah tujuh pemuda saleh ini dipandang sebagai kisah waqiiyyah (benar-benar terjadi), karena tekanan raja Dikyanus (Decius)

yang memerintah tahun 249—251 memaksa mereka memeluk agama Nasrani. Ketujuh pemuda saleh itu mendapat ilham dari Allah untuk mengasingkan diri di sebuah goa, di gunung Naikhayus, tidak jauh dari kota Uspus (Antolia Selatan). Di dalam goa itu, mereka ditidurkan Allah selama 309 tahun. Ketika mereka terjaga, zaman telah berubah, antara lain uang yang mereka miliki ternyata tidak laku lagi dibelanjakan sehingga mereka dituduh penipu lalu ditangkap. Mereka akhirnya menceritakan kejadian yang mereka alami. Ternyata raja Decius telah meninggal ratusan tahun sebelumnya dan yang sedang memerintah pada masa itu adalah raja Theodosius yang beriman kepada Allah

(Ensiklopedi Islam, 1994:225).

Ketika tokoh aku kembali muncul di belakang rumahnya, semua yang ada di tempat itu sudah berubah. Arsitektur rumah dan seluruh perabot rumahnya sudah berubah menjadi ultra modern. Penghuni rumah itu tidak lagi dikenalnya dan tidak pula mengenalnya. Tempat di belakang rumahnya, yang ketika ditinggalnya penuh kesibukan orang-orang mengakat jenazah, berubah menjadi kesibukan orang-orang mengangkat patung-patung perunggu yang akan dipasang di taman-taman dan plaza-plaza. Di antara patung yang diangkut itu adalah patung kakeknya, para semut sahabat kakeknya, dan para

cavers. Jalan-jalan yang dilaluinya menuju plaza amat mulus dan luas, sedangkan ketika

ia meninggalkannya, jalan itu berlubang-lubang dan tanpa trotoar. Plaza ultra modern itu sendiri, ketika ditinggalkannya adalah kawasan semak belukar tempat ia mencari kembang kering bersama teman-temannya untuk dijual sebagai penambah uang saku (Danarto, 1996:186).

Semut-semut ganas yang akhirnya menjadi sahabat tokoh kakek yang menghuni

semak belukar dalam cerpen “Semak Belukar” ini, tampaknya dapat diinterpretasikan

sebagai orang-orang miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka kecuali mencuri. Tidak ada orang yang mau memperhatikan hidup mereka. Ketika ibu tokoh aku marah-marah atas perlakuan semut-semut, yang memakan semua makanan dan menghabisi semua perabotan yang ada di dapurnya, ia mengancam akan membasi kawasan tempat tinggal semut-semut itu (Danarto, 1996:163—164), ketika itu tokoh kakek dengan murah hati mengulurkan tangan, membantu mereka. Ia mengatakan

digalakkan. Mereka juga bagian dari kita, punya hak atas apa yang kita miliki” (Danarto,

1996:165). Ucapan tokoh kakek, tampaknya disitir dari al-Quran Surat az-Zariyat:19. Sejak kakek mau menyisihkan sebagian yang dimilikinya untuk para semut itu, ia tampak lebih sehat dan lebih gesit daripada sebelumnya. Sejak itu pula, hubungan antara kakek dan semut-semut itu terjalin dengan baik; semut-semut itu tidak lagi memperlihatkan keganasannya, bahkan mereka akhirnya membatu kakek melakukan pekerjaan yang amat besar, yaitu mengangkat jenazah para tentara yang gugur di medan perang (Danarto, 1996:165—174). Dengan demikian, tokoh kakek berhasil mengendalikan nafsu buruk yang terdapat di dalam diri manusia, sehingga nafsu itu dapat diarahkan ke hal-hal yang positif. Hal ini sekaligus memperlihatkan nada simpati narator terhadap perilaku tokoh kakek. Mengubah nafsu buruk menjadi hal-hal positif seperti yang dilakukan kakek ini merupakan salah satu tugas yang harus dilakukan oleh para penempuh jalan sufi (Schimmel, 1998:116—117).

Perubahan dalam diri aku, yaitu perubahan perasaan tentang kakek dan ayahnya, tampaknya tidak cukup diinterpretasikan sebagai kedekatan hubungan secara fisik antara tokoh aku dan kakeknya. Perubahan perasaan ini tampaknya menandakan adanya gejala penjembatanan jurang kesadaran spiritual pada masa modern ini. Tokoh aku merupakan kelompok usia muda yang menaruh perhatian terhadap dunia tasawuf, yang sebelumnya diminati oleh generasi-generasi terdahulu (kakek). Dengan demikian, tokoh aku dapat dikatakan sebagai lambang munculnya kesadaran kelompok intelektual muda terhadap kehidupan spiritual atau tasawuf (Nasr, 2000:xi).

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

Dari uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen

“Semak Belukar” ini, terlihat bahwa tokoh kakek melakukan perilaku sufistik itu dilatarbelakangi oleh rasa cintanya kepada sesama makhluk Allah. Rasa cinta kepada makhluk Allah ini merupakan sarana untuk mencintai Allah. Cinta kakek terhadap sesama makhluk Allah ini berupa cinta kepada semut-semut atau dapat diinterpretasikan sebagai masyarakat miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka selain dari mencuri. Cinta kakek kepada mereka juga terwujud dalam bentuk isar

perbuatan yang merupakan akhlak makam zuhud. Kedua perilaku sufistik kakek ini ternyata mampu memberikan kemanfaatan yang timbal balik. Di satu sisi kakek menjadi lebih sehat dan lebih gesit daripada sebelumnya, di sisi lain para semut itu berubah menjadi jinak, bahkan menjadi sahabat setia kakek. Kakek dan para semut itu dapat menjalin kerja sama yang baik ketika mereka menghadapi masalah, yaitu mengakat para jenazah tentara yang gugur. Dengan demikian, perilaku sufistik yang dilakukan kakek mampu mengubah nafsu-nafsu yang buruk menjadi kekuatan yang positif sehingga dapat mengatasi masalah yang ada.

Tokoh aku, yang baru memiliki kesadaran terhadap tasawuf, mengalami hal

sehingga ia merasakan sebagian rahmat Allah kepda para sufi, yaitu memperoleh pengetahuan langsung dari Allah. Hal ini dialaminya ketika ia tersedot ke dalam lubang sehingga terbukalah rahasia mengenai asal-usul jenazah yang muncul di belakang rumahnya itu. Ia juga mengalami keajaiban berupa kelamaan perjalanan spiritual sehingga ketika ia kembali ke dunia nyata, segala sesuatuanya telah jauh berubah. Dengan demikian, baik tokoh aku apalagi tokoh kakek, melakukan perilaku sufistik tidak bertujuan untuk memperoleh kekuatan luar biasa bagi dirinya, bukan juga untuk menyatukan diri kepada Allah. Mereka melakukan perilaku sufistik itu didorong oleh keinginan untuk lebih berperanserta dalam menghadapi dan memecahkan segala masalah yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat.

2.2.9 Cinta dan Pengabdian kepada Sesama, Sarana Pengabdian kepada Allah 1) Sinopsis Cerpen “Gandasturi”

Ibu tokoh saya, yang dijatuhi hukuman selama dua tahun karena dituduh mengurangi jatah pemberian obat kepada pasien di sebuah rumah sakit tempat ia bekerja, tiba-tiba kabur dari tempat tahanan setelah mendekam di dalamnya selama empat puluh hari. Kejadian ini menimbulkan misteri, baik bagi petugas maupun bagi anak-anak tokoh ibu karena kunci selnya tetap terkunci. Pencarian yang dilakukan di rumahnya dan di rumah-rumah saudaranya sia-sia. Ibu tidak ditemukan.

Ada beberapa hal aneh yang dilakukan ibu selama ia di sel, yaitu ia tidak mau berbicara kepada siapa pun dan tidak makan atau minum apa pun. Hal ini menyebabkan teman-teman satu selnya ketakutan dan mengusulkan agar ia dipisahkan dari mereka.

Walaupun ibu sendirian di selnya, keadaannya juga tidak berubah. Sehari sebelum ia lenyap dari penjara, keadaanya tak ubahnya seperti patung.

Baru dua minggu Ibu ditahan, suaminya meninggal sehingga tokoh saya, sebagai anak tertua menggantikan kedudukan kedua orang tuanya. Ia berdagang kue gandasturi yang dibuatnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Ketika tokoh aku dan adik-adiknya masih merasakan keheranan atas misteri kaburnya ibunya dari penjara, tersiar kabar tentang beberapa jenis obat yang ditarik dari peredaran karena berbahaya. Salah satu jenis obat yang ditarik itu adalah obat yang tidak diberikan ibu kepada pasien di rumah sakit tempat ia bekerja. Tokoh saya amat gembira, seakan-akan ia memperoleh pembenaran terhadap perbuatan ibunya.

Ketika tokoh aku bersama adik-adiknya berkunjung ke kuburan ayahnya, ada kuburan baru di sisi kubur ayahnya itu. Nama ibunya tertulis di nisan kuburan itu. Hal ini menimbulkan kesedihan baru bagi tokoh aku beserta keempat orang adik-adiknya yang masih mengharapkan kehadiran ibu mereka.

2) Perilaku Sufistik

Perilaku sufistik yang terdapat di dalam cerpen “Gandasturi” ini tampak dilakukan oleh tokoh saya dan tokoh ibu. Perilaku sufistik yang dilakukan oleh tokoh aku berkaitan dengan makam tawakal, yaitu berserah diri secara total kepada Allah Swt. Ketawakalan dilandasi oleh keyakinan bahwa Allah Swt. tegak dengan zat-Nya dan menegakkan zat yang lain. Hal ini akan membuahkan ketenangan di dalam diri orang yang melakukannya (Al-Gazali, 1998:142).

Ketawakalan yang dilakukan oleh tokoh saya ini bukanlah ketawakalan yang

berlebih-lebihan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum sufi klasik yang keras sehingga menyebabkan seseorang menjadi pasif, melainkan ketawakalan seperti yang disarankan Nabi Muhammad Saw. kepada seorang Badui agar ia mengikat lutut ontanya dulu baru berserah diri kepada Allah (Schimmel, 1986:123—124). Tokoh saya yang ditinggalkan ayahnya untuk selamanya, setelah ibunya ditahan di penjara, harus menggantikan kedudukan kedua orang tuanya itu dalam menghidupi dan membimbing keemapt orang adiknya. Usaha yang dilakukannya adalah menjual kue gandasturi buatannya sendiri. Hal ini terlihat dari penuturan narator dengan menggunakan sudut

pandang “akuan” berikut, yang juga memperlihatkan nada simpati narator terhadap usaha tokoh saya dan saudara-saudaranya.

Ibu dikenakan hukuman dua tahun, dan ketika baru di dalam penjara dua minggu, ayah seorang pegawai negeri meninggal kena serangan jantung. Praktis seluruh tanggung jawab keluarga berpindah ke pundak saya seorang jebolan SMA, yang belum bekerja. Dengan empat adik-adik kecil, Sri (kelas satu SMP), Ton (kelas enam SD), dan si kembar Pipin dan Nining (masih TK), saya putuskan jualan kue untuk menyambung hidup. Sri dan Ton, yang tak mungkin melanjutkan sekolahnya, dengan saya bergantian berbelanja, membuat dan menggoreng kuenya. Dari kue gandasturi yang terbuat dari kacang hijau dan gula merah, dibentuk bundar kecil yang dilapisi terigu, lalu digoreng inilah napas kami sehari-harinya.

Warung gandasturi kami buka jam 6 pagi dengan harapan anak-anak sekolah pada sarapan kue ini. Lumayan juga, sasaran kami mengena, ada saja yang beli. Termasuk bapak-bapak. Ada yang membeli untuk dimakan sambil jalan ke kantor. Begitu habis, kami menggoreng lagi. Terus-menerus. Sampai waktu Ashar masuk, biasanya, alhamdulilallah, warung kami tutup. Setelah shalat, saya tidur siang untuk dua jam. Sedang Sri dan Ton menyiapkan kue setelah Isya, sambil terkantuk-kantuk (Danarto, 1996:220—221).

Tokoh Ibu dalam cerpen “Gandasturi” ini juga tampak melakukan perilaku sufistik. Perilaku sufistik yang dilakukan tokoh Ibu ini berkaitan dengan makam zuhud, yaitu menginggalkan dunia dan menjauhkan diri dari kehidupan kebendaan (Ensiklopedi

Islam, 1994:125). Kezuhudan yang dilakukan oleh tokoh Ibu ini berupa menghindari

makan, minum, dan berbicara selama empat puluh hari. Dalam kaitannya dengan lapar,

sufi terkenal Rumi, mengatakan “Lapar adalah makanan Tuhan; dengan lapar ia menggerakkan tubuh orang yang benar.” Al-Balkhi mengatakan “Keadaan lapar terus-

menerus selama empat puluh hari dapat mengubah kegelapan hari menjadi cahaya,”

(Schimmel, 1986:119). Dalam kaitannya dengan diam (kontemplasi), tarikat moderat Naqsabandiyah dan tarikat moderat lainnya mengatakan bahwa orang-orang yang benar- benar berpuasa adalah orang yang membebaskan pikirannya dari makanan yang berupa usul-usul setan sehingga pikiran kotor tidak akan masuk ke dalam pikiran meraka; tidurnya orang seperti itu adalah kebaktian, setiap mereka berjalan, berlalu, dan diam merupakan pengagungan terhadap Tuhan dan napas mereka adalah pujian kepada Tuhan (Schimmel, 1986:121). Perilaku kezududan tokoh Ibu ini terlihat dari tuturan narator melalui tokoh saya berikut.

… ibu masuk penjara dan kami selalu menengoknya dengan kiriman

makan atau buah-buahan sekedarnya. Namun, di luar dugaan, ibu tak pernah makan kiriman itu. Juga jatah makan penjara tak pernah disentuhnya. Kami dan para penjaga penjara sungguh tak bisa mengeri apa mau ibu. Apakah ibu sedang melancarkan mogok makan?

Sering ibu diinterogasi. Tapi sungguh tak bergeming, jangankan ngobrol dengan sesama orang penjara, menjawab pertanyaan para interogator pun tidak. Diam, ya, diam, itulah dilakukan ibu dalam penjara. Apakah diam merupakan tameng ibu? Sampai datang waktu ibu ditempatkan di satu sel sendirian. Apa sebenarnya yang sedang dipikirkan ibu, tentu hanya ibu sendiri yang tahu. Jika saya lihat ketika kami mengengok selnya, ibu kelihatan terbebani pikiran berat yang harus segera dipecahkan. Kepada kami pun ibu tak mau berbincang-bincang, sampai membuat si kembar, Pipin dan Nining menangis. Selalu setiap kali

Baca selengkapnya

Dokumen terkait