HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Periode Inkubasi Pythium spp pada Tanaman Tembakau
Hasil pengamatan periode inkubasi yang diamati selama 24 hsi
menunjukkan bahwa periode inkubasi tercepat terdapat pada perlakuan F6
(Gliocladium sp. 6 gr/bibit) yaitu 6 hsi, dilanjutkan dengan perlakuan F1 yaitu 7
hsi, F2 (Trichoderma sp. 6 gr/bibit) yaitu 11 hsi, F3 (Trichoderma sp. 12 gr/bibit)
sebesar 17 hsi, sedangkan perlakuan F4, F5, F7, F8, F9, tidak menunjukkan gejala
serangan. Pinem (2005) mengatakan semakin tinggi dosis Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. yang diberikan maka semakin rendah persentase serangan
Pythium spp. Hal ini disebabkan karena semakin banyak kerapatan konidia dalam
setiap gram media jagung, maka daya parasitasi Trichoderma sp. dan Gliocladium
sp. terhadap Pythium spp. semakin efektif. Sehingga dengan pemberian dosis
yang lebih tinggi maka persentase serangan akan lebih rendah.
Hal yang sama dikemukakan oleh Wibowo (2003) mengatakan
Trichoderma sp. umum digunakan untuk pengendalian patogen dalam bentuk
tepung yang diaplikasikan dengan dosis tertentu. Keunggulannya yang lain adalah
sebagai bioprotektan bagi tanaman muda serta perkebunan. Beberapa keuntungan
dari penggunaan biofungisida tersebut adalah mudah dimonitor dan berkembang
Tabel 1: Periode Inkubasi Pythium spp. Pada Tanaman Tembakau (HST)
Perlakuan Hari setelah tanam
F0 - F1 7 F2 11 F3 17 F4 - F5 - F6 6 F7 - F8 - F9 -
Persentase Serangan Pythium spp. pada Tanaman Tembakau
Hasil analisis sidik ragam persentase serangan Pythium spp. pada tanaman
tembakau dapat dilihat dari Tabel 2 di bawah ini:
Table 2.: Persentase Serangan (%) Pythium spp. Pada Tanaman Tembakau
Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dan tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1% menurut Uji Jarak Duncan.
(angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi Data Arc Sin).
PERLAKUAN 3HSI 6HSI 9HSI 12HSI 15HSI 18HSI 21HSI 24HSI
F0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 0 (0.71)B 0 (0.71)B
F1 0 (0.71) 0 (0.71) 13,3 (3.25) 40 (5.35) 53 (6.17)a 53 (6.17)a 73,3 (8.53)A 73 (8.53)A
F2 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 6,6 (1.98) 6,6 (1.98)b 13,3 (3.25)a 13,3 (3.25)B 13,3 (3.25)B F3 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 13,3 (3.25)B 13,3 (3.25)B F4 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 0 (0.71)B 0 (0.71)B F5 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 0 (0.71)B 0 (0.71)B F6 0 (0.71) 6,6 (1.98) 6,6 (1.98) 6,6 (1.98) 6,6 (1.98)b 6,6 (1.98)b 6,6 (1.98)B 6,6 (1.98)B F7 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 0 (0.71)B 0 (0.71)B F8 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 0 (0.71)B 0 (0.71)B F9 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71) 0 (0.71)b 0 (0.71)b 0 (0.71)B 0 (0.71)B
Dari analisis sidik ragam (Tabel 2) dapat dilihat pada 3 hsi belum
ditemukan adanya gejala. Gejala Pythium spp. baru terlihat pada 6 hsi yaitu pada
perlakuan F6 pada pengamatan 3-12 hsi menunjukkan tidak berbeda nyata pada
semua perlakuan. Gejala Pythium spp. tidak ditemukan hingga akhir pengamatan
pada perlakuan F4, F5, F7, F8, F9. Sementara pada perlakuan F1 (Kontrol)
persentase serangan tertinggi yaitu sebesar 8.53%. Hal ini terjadi karena pada
perlakuan F1 tidak diberikan agens antagonis yang berfungsi untuk memberikan
perlindungan pada tanaman dari gangguan Pythium spp. Hal ini sesuai dengan
literatur Migheli (1994) yang menyatakan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.
merupakan agens antagonis yang banyak digunakan untuk mencegah
perkembangan beberapa patogen tanah. Penggunaan Trichoderma sp. secara
tunggal atau bersama-sama dengan spesies Trichoderma sp. lain telah digunakan
dalam mengendalikan beberapa penyakit seperti damping-off (Rhizoctonia sp.)
dan rebah semai (Pythium spp.).
Hasil analisis sidik ragam pada tanaman yang menggunakan jamur
Trichoderma sp. didapat persentase serangan Pythium spp. terendah terdapat pada
perlakuan F4 dan F5 sebesar 0,71 % berbeda sangat nyata dengan perlakuan F2
dan F3 dengan persentase serangan sebesar 3,25 %. Hasil ini menunjukkan
adanya perbedaan dosis jamur Trichoderma sp. dapat mempengaruhi persentase
serangan Pythium spp. Hal yang sama juga di dapatkan pada tanaman yang
menggunakan agen antagonis Gliocladium sp. Persentase serangan tertinggi di
dapatkan pada perlakuan F6 (Gliocladium sp. 6 gr/bibit) sebesar 1,98%,
sedangkan persentase serangan terendah di dapat pada perlakuan F7, F8, F9
Gliocladium sp. di lapangan harus tepat waktu, dosis dan caranya. Inokulasi
Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. yang bermanfaat akan lebih efektif
bila dilakukan bersamaan dengan penanaman benih sehingga agens antagonis
tersebut akan segera mengkolonisasi benih yang berkecambah. Dosis yang tepat
dapat mendukung keberhasilan dominasi agens antagonis introduksi di rhizosfer
tanaman.
Hasil pengamatan persentase serangan di dapat persentase serangan
Pythium spp. pada tanaman yang diberi Trichoderma sp. lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman yang diberi Gliocladium sp. Hal ini karena jamur
Gliocladium sp. memarasit inangnya dengan cara menutupi atau membungkus
patogen, memproduksi enzim-enzim dan menghancurkan dinding sel patogen
hingga patogen mati. Di samping itu, Gliocladium sp dapat hidup baik sebagai
saprofit maupun parasit pada cendawan lain, dapat berkompetisi akan makanan,
dapat menghasilkan zat penghambat dan bersifat hiperparasit (Papavizas, 1985).
Sedangkan jamur Trichoderma sp. memiliki mekanisme yaitu kompetisi terhadap
ruang dan makanan yang mampu menekan perkembangan patogen pada tanah dan
jaringan tanaman, serta mengumpulkan nutrisi organik, menginduksi ketahanan
dan inaktivasi enzim patogen. Trichoderma sp. dapat menekan pertumbuhan
patogen dengan cara melilit hifa patogen, mengeluarkan enzim β-1,3 glukonase dan kitinase yang dapat menembus dinding sel inang (Saragih et al., 2006).
Selain dapat digunakan sebagai bioprotektan jamur Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. ternyata juga dapat digunakan sebagai biofertilizer (pupuk
hayati), hal ini dapat dilihat dari perlakuan F4, F5, F7, F8, dan F9 yang memiliki
agens antagonis mengakibatkan Pythium spp. tidak mampu menginfeksi tanaman.
Rahardjo dan Djatnika (2001) melaporkan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.
telah dikenal luas sebagai cendawan pengendali hayati beberapa penyakit tular
tanah dan mampu menghasilkan hormon tumbuh sehingga dapat memacu
pertumbuhan tanaman.
Intensitas Serangan Penyakit Pythium spp. pada Tanaman Tembakau Deli Hasil analisis sidik ragam intensitas serangan pythium spp. pada tanaman
tembakau dapat dilihat dari Tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3. Intensitas serangan penyakit Pythium spp. pada tanaman tembakau deli
Perlakuan Intensitas serangan (%) F0 0 (0.71)C F1 41,3 (6,45)A F2 18.7 (3,64)B F3 5,3 (2,18)B F4 0 (0.71)C F5 0 (0.71)C F6 22.7 (4,70)B F7 0 (0.71)C F8 0 (0.71)C F9 0 (0.71)C
Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1% menurut Uji Jarak Duncan.
(angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi Data Arc Sin).
Hasil pengamatan intensitas serangan Pythium spp. di dapat intensitas
serangan tertinggi terdapat pada F1 sebesar 6,45 %, selanjutnya berturut- turut
adalah F6 (4,70%), F2 (3,64%), F3 (2,18%), sedangkan untuk perlakuan F4, F5,
Tingginya intensitas serangan Pythium spp. pada F1 disebabkan pada
perlakuan ini Pythium spp. tidak mempunyai hambatan untuk menginfeksi
tanaman tembakau, selain itu karena tembakau juga merupakan salah satu
tanaman inang dari Pythium spp. Erwin (2000) melaporkan salah satu penyakit di
pembibitan tembakau adalah penyakit rebah semai yang disebabkan oleh Pythium
spp. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan produksi sampai 20%. Jamur
umumnya berkembang di daerah tropis.
Pemberian jamur Gliocladium sp. 6 gr/bibit belum mampu mengendalikan
Pythium spp. Hal ini terlihat pada perlakuan F6 tidak berbeda sangat nyata dengan
perlakuan F1. Intensitas serangan F6 sebesar 4,70%, ini berarti hampir semua
tanaman pada perlakuan ini terserang gejala Pythium spp. Djatnika (2003)
melaporkan dengan penambahan mikroba tanah menyebabkan terjadinya
kompetisi dalam memperebutkan makanan sehingga nutrisi yang ada pada media
tanam tidak seluruhnya dapat diserap tanaman, akan tetapi sebagian dipakai oleh
mikroba tanah untuk proses metabolismenya, sehingga dengan pemberian media
jagung 6 gr belum mencukupi untuk pertumbuhan Gliocladium sp. maka