• Tidak ada hasil yang ditemukan

Periode Pertama (1971 sampai 1995) : Era Penguasaan Hutan Negara oleh Swasta

5 DINAMIKA PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA DI DESA BUNGKU

5.1 Sejarah Penguasaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Agraria di Desa Bungku

5.1.1 Periode Pertama (1971 sampai 1995) : Era Penguasaan Hutan Negara oleh Swasta

Tahun 1970 merupakan tahun yang dikenal dengan tahun pembabatan hutan, terutama di luar Jawa ketika penebangan hutan mulai diserahkan kepada pemegang HPH (Wiranto et al. 2004). Upaya eksplotasi sumberdaya alam digerakkan oleh adanya dukungan peningkatan penanaman modal asing (PMA) melalui UU No. 1 Tahun 1967 maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN) melalui melalui UU No. 6 Tahun 1968 (Nurjayana 2005). Sementara itu di bidang pengusahaan sumber daya hutan dibentuk instrumen hukum yang dimulai dengan pembentukan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Kemudian, untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 yunto PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH). Segera setelah peraturan pemerintah ini dikeluarkan, kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar-besaran dilakukan pemerintah, terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya (Papua), melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada pemilik modal asing maupun modal dalam negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Nurjayana 2005). Hutan di sekitar Desa Bungku merupakan hutan yang terkena dampak adanya kebijakan yang berpihak pada modal tersebut. Hampir seluruh hutan di Desa Bungku dikuasi oleh pemegang HPH, terutama HPH PT Log.

Perusahaan Log mulai melaksanakan kegiatan pengusahaan hutan pada tahun 1971 berdasarkan legitimasi SK Mentri Pertanian Nomor 408/Kpts/Um/9/1971 tanggal 23 September 1971. Perusahaan tersebut mendapatkan Addendum FA/NAD/004/II/1983 tanggal 24 Pebruari 1983 untuk perubahan status dari semula status PMA menjadi PMDN. Perusahaan Log di Provinsi Jambi kemudian diperpanjang pada tahun 1993 dan 1997 melalui legitimasi SK Mentri Kehutanan Nomor 116/kpts-II/1993 tanggal 25 Februari 1993 dan SK Nomor 674/kpts-II/1997 tanggal 10 Oktober 1997. Berdasarkan SK perpanjangan HPH dari Mentri Kehutanan No.116/kpts-II/1993 PT Log mengusahakan hutan seluas 70 269 Ha di Provinsi Jambi (Cahyana 2000).

Secara de jure PT Log diberikan hak mengelola hutan negara selama 40 tahun, yaitu tahun 1971 sampai 2011. Namun, menjelang tahun 1998 PT Log menelantarkan izin lokasinya sehingga tahun 2008 izin lokasi PT Log secara

resmi dikembalikan kepada pemerintah. Baru pada tahun 2009 dan tahun 2010, secara resmi izin pengelolaan hutan sebagian beralih kepada perusahaan restorasi dan perusahaan HTI. Saat penguasaan beralih kepada perusahaan restorasi dan perusahaan HTI banyak wilayah hutan yang sudah dikuasai masyarakat yang mulai massif membuka lahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan pemukiman pada sekitar tahun 1995.

Secara historis, hutan di sekitar Bungku merupakan ruang jelajah masyarakat SAD Bathin sembilan. Sesuai namanya, Bungku berasal dari kata Sungai Bungkul yang letaknya berada diantara hulu Sungai Bulian9 dan hulu Sungai Bahar10. Secara berkelompok, SAD Bathin Sembilan mendiami wilayah di sekitar aliran sungai-sungai di antara Bahar dan Bulian. Karena wilayah PT Log merupakan wilayah jelajah hidup masyarakat SAD Bathin Sembilan, pada tahun 1987 PT Log mengadakan program pembinaan suku terasing dengan membangun rumah-rumah sosial untuk SAD. Pemerintah melakukan pembinaan suku terasing dan mempercayakan pelaksanaannya kepada PT Log untuk SAD yang berada di dalam wilayah HPH.

Periode tahun 1971 sampai 1998 ini menunjukan adanya fenomena dimana hutan yang menjadi ruang jelajah hidup masyarakat adat diklaim sebagai hutan negara yang diserahkan penguasaanya kepada swasta besar penghasil kayu. Negara menteritorialisasi kawasan hutan sebagai kawasan hutan negara dan lebih mempercayakan pengelolaan hutan kepada swasta dengan mengesampingkan keberadaan SAD Bathin Sembilan. Pembangunan hutan berorientasi pada pertumbuhan semata. Sementara itu, hak masyarakat adat yang sudah hidup turun temurun di atasnya, harus mengalah pada rencana pengembangan kehutanan tersebut (Colchester et al. 2011). Nasionalisasi kawasan hutan oleh negara menjadi pintu masuk investasi swasta untuk mengeksploitasi hutan. Sementara itu, masyarakat yang sudah tinggal didalamnya diabaikan yang membuat mereka rentan tersingkirkan.

Dalam rangka menudukung keberhasilan bisnis kehutanan tersebut, pemerintah membangun rumah-rumah sosial untuk memukimkan masyarakat asli SAD Bathin Sembilan yang tinggal berpindah-pindah menguasai kawasan hutan. Hadirnya program pembangunan rumah sosial menjadikan masyarakat SAD Bathin Sembilan terbatasi ruang gerak hidupnya dalam memanfaatkan sumberdaya hutan.

Pada tahun 1987 PT Log mengadakan program pembinaan suku terasing (SAD). Program ini ditindaklanjuti oleh Harmoko dengan turun langsung ke Bayu Lincir pada tahun 1988. Pemerintah ingin membina suku terasing dan mempercayakan pelaksanaan pembinaan suku terasing kepada PT Log karena termasuk ke dalam wilayah HPH PT Log. Direktur PT Log berjanji ke Harmoko untuk membuat sekolah, perumahan, masjid, dan balai untuk

9,2

Bulian merupakan istilah yang juga digunakan untuk Ibu Kota Kabupaten Batang Hari, yaitu Muara Bulian dan Sungai Bulian berada di Kabupaten Batang Hari. Sementara itu Bahar merupakan istilah yang juga dijadikan sebagai wilayah administratif yang sejak tahun 2000 menjadi bagian wilayah hasil pemerakaran, yaitu Kabupaten Muaro Jambi. Desa Bungku menjadi batas antara pemekaran Kabupaten Batang Hari menjadi dua kabupaten dengan Kabupaten Muaro Jambi, sehingga ditingkat lokal desa batas-batas administratif kabupaten menuai persoalan.

suku terasing. Tetapi faktanya hingga saat ini hanya sumur bor dan balai untuk SAD yang terealisasi. (RBY, 60 tahun)

Keberpihakan pada modal besar untuk mengoptimalkan keuntungan yang sebesar-besarnya atas sumberdaya hutan, mengabaikan eksistensi masyarakat akar rumput yang sangat bergantung hidupnya pada ketersediaan sumber-sumber agraria tersebut. Masyarakat akar rumput umumnya memanfaatkan sumberdaya hanya untuk sekedar bertahan hidup atau memperoleh kehidupan yang layak. Hal ini menjadi pemicu awal terbukanya jurang ketimpangan yang semakin menganga lebar. Para penguasa lahan bermodal besar memiliki legitimasi yang sah atas penguasaan sejumlah luasan lahan karena dilindungi oleh hukum dan kebijakan pemerintah. Sementara itu, kaum marginal (masyarakat adat) menguasai tanah secara informal sehingga tidak legible. Dalam perekonomian fomal oleh Des Soto (dalam Sohibudin, 2012) sumberdaya agraria jika dikuasi oleh masyarakat hanya dipandang sebagai “modal mati milik orang miskin” sehingga rentan diserobot oleh pihak lain karena kurang menggiurkan untuk dijadikan aset ekonomi produktif.

Meskipun demikian, teritorialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kawasan hutan tidak sepenuhnya menghilangkan keberadaan masyarakat SAD Bathin Sembilan yang tinggal di dalamnya. Masyarakat SAD Bathin Sembilan masih dibiarkan hidup menjelajahi kawasan hutan, terutama di areal yang sudah ditebangi pohonnya oleh perusahaan. Jika pun tidak berada di areal hutan yang sudah ditebangi, masyarakat SAD Bathin Sembilan menjelajah hutan lain yang masih „aman‟ dari penguasaan pihak lain.