• Tidak ada hasil yang ditemukan

Baja di Indonesia

3.3. Metode Analisis dan Pengolahan Data

4.2.1. Sejarah Indu

4.2.1.4. Periode Antara 1997-2011

Tahun 1997 merupakan awal terjadinya krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia yang juga melanda Bangsa Indonesia. Krisis ekonomi berdampak buruk terhadap perkembangan industri terutama perkembangan

industri manufaktur karena kebanyakan berbahan baku impor yang tinggi sehingga menyebabkan industri ini cukup sulit untuk mempertahankan industrinya.

Krisis ekonomi menyebabkan fluktuasi nilai tukar yang tajam, hal ini mengakibatkan industri mengalami pertumbuhan negatif. Krisis ekonomi berdampak kurang baik bagi kondisi industri besi baja di Indonesia karena dengan krisis ekonomi menyebabkan adanya kenaikan biaya-biaya input produksi yang sangat besar sehingga dengan krisis ekonomi jumlah perusahaan dan tenaga kerja industri besi baja di Indonesia mengalami penurunan. Kondisi industri besi baja belum menunjukkan perbaikan yang baik sejak terjadinya krisis ekonomi hingga tahun 1999. Di tahun 2000 walaupun terjadi penurunan jumlah unit usaha akan tetapi kondisi industri besi baja nasional secara keseluruhan sudah menunjukkan

Subsektor

Pertumbuhan Subesektor Industri Pengolahan (persen)

1996 1997 1998 1999 2000 Makanan, minuman, dan tembakau 17,2 14,9 -3,1 5,3 0,7 Tekstil, barang kulit dan alas kaki 8,7 -4,4 -14,0 8,0 10,5 Barang kayu dan hasil hutan

lainnya

3,2 -2,1 -26,0 -13,7 6,1 Kertas dan barang cetakan 6,9 9,0 -5,4 3,2 10,2 Pupuk kimia dan barang dari karet 9,0 3,4 -15,0 9,8 12,8 Semen dan barang galian non

logam

11,0 4,5 -30,5 5,3 7,3 Logam dasar besi dan baja 8,0 -1,4 -25,6 -1,1 16,2 Alat angkut, mesin, dan peralatan 4,6 -0,4 -52,6 -10,3 51,5

Barang lainnya 9,7 6,0 -34,7 -2,8 8,1

Total 11,7 7,4 -14,4 3,8 7,2

Tabel 4.1 Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Indonesia Tahun 1996-2000

adanya perbaikan ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik seiring dengan berjalannya proyek-proyek pembangunan kembali infrastruktur yang rusak. Industri besi baja nasional pada tahun 2001 hingga saat ini sangat terancam dengan masuknya produk-produk baja ilegal dan produk baja dengan harga

dumping karena menyebabkan adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Berbagai kasus mengenai adanya produk baja dumping dan ilegal ini telah ditangani oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Beberapa negara pada tahun 2003 seperti Cina, Irak, dan Rusia sedang giat-giatnya dalam melakukan pembangunan sehingga hampir sebagian besar bahan baku baja terserap untuk keperluan pembangunan negara tersebut. Komite Studi Ekonomi Internasional

IronandSteel Institute (IISI) melaporkan bahwa pada tahun 2003 impor besi baja Cina mencapai 257 juta ton/tahun. Cina menyerap sepertiga dari total impor besi baja dunia. Konsumsi besi baja Cina hingga tahun 2004 meningkat kembali menjadi 290 juta ton/tahun (Warta Ekonomi, 2006). Hal ini menyebabkan telah terjadi kelangkaan bahan baku baja untuk keperluan produksi besi baja di Indonesia. Besarnya permintaan bahan baku besi baja menyebabkan terjadinya kenaikan harga bahan baku baja tersebut sehingga dapat berpengaruh pada aktifitas produksi industri besi baja dalam negeri yang sebagian besar bahan bakunya impor. Cina mengalami kelebihan pasokan besi baja pada awal 2006 hasil produksi yang berlebihan sehingga banyak produk-produk baja Cina mengalami kelebihan pasokan besi baja hasil produksi yang berlebihan sehingga banyak produk-produk baja Cina yang masuk ke Indonesia dan diketahui ada beberapa produk yang disalurkan dengan harga dumping. Cina dikabarkan pada

tahun 2006 mengalami kelebihan pasokan sebanyak 116 juta ton (Darmayanti, 2007).

Konsumsi baja di Indonesia pada tahun 2007 masih sangat rendah, yaitu sekitar 33 kg perkapita yang masih dibawah konsumsi negara-negara di Asia Tenggara yang rata-rata mengkonsumsi 45 kg perkapita. Produksi baja nasional pada tahun 2007 belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh kebutuhan baja. Indikasi impor produk baja dari luar negeri terutama dari Cina dan India karena harga yang relatif murah dengan perbandingan harga domestik dapat mencapai dua kali lipat dari harga impor, meski secara kualitas belum tentu sebaik baja produksi Krakatau Steel dan industri baja dalam negeri lainnya. Relatif murahnya harga baja dari Cina dan India ini selain karena industri baja di negara asal syarat dengan insentif, hambatan perdagangan seperti kuota impor bagi masuknya produk baja luar negeri ke Indonesia juga relatif kecil. Di sisi lain penerapan standar mutu bagi produk baja dari luar negeri (melalui peberapan SNI) belum secara efektif diberlakukan.

Industri baja domestik banyak yang bangkrut akibat mudahnya produk baja luar negeri masuk ke Indonesia sebagai konsekuensi kalah bersaing dengan produk serupa dari negara lain khususnya Cina. Indikasi kebangkrutan ini antara lain ditandai dengan adanya penutupan sekitar 30% perusahaan baja di dalam negeri dalam kurun waktu lima tahun sebelumnya. Jumlah perusahaan baja nasional berdasarkan data Gabungan Pengusaha Besi dan Baja pada 2001 tercatat mencapai 201 unit usaha, namun pada 2006 menyusut tinggal 134 perusahaan. Volume impor baja asal Cina hanya 4 juta ton senilai USD 1.68 miliar pada 2001,

sedangkan pada tahun 2006 angka impor itu meroket menjadi 6.18 juta ton dengan nilai USD 4.2 miliar.

Industri baja nasional juga relatif tertinggal dan kalah efisien bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Utilisasi kapasitas produksi industri baja relatif sangat rendah (rata-rata sekitar 56 persen). Banyak hal yang menyebabkan kondisi ini terjadi, antara lain (i) industri penyedia bahan baku belum berkembang; (ii) kurangnya ketersediaan dan meningkatnya harga energi industri baja hulu; (iii) ketergantungan permanen industri baja nasional pada bahan baku impor; (iv) rendahnya jumlah investasi pembangunan industri; (v) rendahnya pertumbuhan konsumsi baja nasional; (vi) rendahnya daya saing dari berbagai sisi; (viii) regulasi yang kurang efektif sehingga perlu adanya penataan kembali terutama dari sisi pengawasan. Kebutuhan baja nasional akan meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Proyeksi konsumsi pada tahun 2020 mencapai 70 kg perkapita. Ini adalah tantangan yang tidak mudah bagi industri baja nasional untuk dapat memenuhi kebutuhan baja yang tinggi tersebut, ditengah kondisi baja nasional yang kini terseok-seok. Pemerintah selaku regulator dan pemilik baja terbesar di Indonesia (yaitu Krakatau Steel) harus menyiapkam langkah-langkah strategis bagi peningkatan kapasitas industri baja nasional Indonesia.

Industri baja nasional memang membutuhkan peningkatan kapasitas untuk memenuhi defisit baja nasional. Langkah ini akan sulit terealisasi bila industri baja nasional Indonesia dibiarkan bertarung dengan pemain global yang sudah kuat. Langkah pemerintah membiarkan tarif impor bagi baja luar negeri lebih

rendah dibandingkan negara lain (seperti Thailand dan Malaysia) dalam jangka pendek memang dapat dibenarkan bila dilihat dari kepentingan konsumen. Kebijakan ini dalam jangka panjang akan menyebabkan matinya industri baja dalam negeri yang ujungnya akan merugikan kepentingan konsumen. Inisiatif dari pemerintah pada tahun 2010 untuk menjual Krakatau Steel ke pihak asing bukan solusi yang tepat bila dikaitkan untuk meningkatkan produksi baja Krakatau Steel dan nasional. Krakatau Steel apabila dijual ke asing dalam keadaan masih merugi (distress) harganya pasti akan jatuh. Banyak kasus akuisisi baja diluar ini yang mengalami kegagalan karena masalah incompatible motive, incompatible culture, overpromising, cheating, minimum commitment on development, dan sebagainya yang perlu menjadi pelajaran bagi Indonesia. Krakatau Steel sebagai aset strategis seharusnya tetap dipertahankan pemerintah untuk sewaktu-waktu dibutuhkan dalam rangka menjaga gawang pemerintah pada industri baja nasional. Peningkatan kapasitas produksi baja nasional dapat dilakukan dengan membuka investasi baru yang seluas-luasnya bagi pemain baru (lokal dan asing). Hambatan regulasi pada sektor investasi baja perlu dibenahi untuk mengatasi berbagai problem pada industri baja nasional (Sunarsip dan Nasution, 2007).

Industri besi baja pada tahun 2010 dikejutkan dengan rencana privatisasi Krakatau Steel (KS). Krakatau Steel mempunyai kinerja yang cukup baik dari tahun 2005 sampai awal tahun 2010, dengan laba bersih dapat dilihat pada Tabel 4.2. Terdapat suatu kondisi sehingga perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis ini diprivatisasi oleh pemerintah dengan alasan ingin meningkatkan pembenahan perusahaan, yaitu: peningkatan efisiensi,

pertumbuhan, dan perbaikan pengelolan manajemen. Ada dua cara untuk melakukan privatisasi ini yaitu Initial Public Offering (IPO), dan Strategic Sales

(SS). Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Laba bersih (Rupiah) 184 milyar 135 milyar 313 milyar 460 milyar 495 milyar 998 milyar Sumber: Rakyat Merdeka, 2011.

Privatisasi ini juga merupakan jalan menuju rencana pendirian perusahaan

joint venture antara perusahaan baja pelat merah KS dan perusahaan baja terbesar ketiga di dunia, Posco milik Korea Selatan. Krakatau Steel merupakan salah satu BUMN yang berkecimpung pada produksi baja terbesar di Indonesia. Terjadi privatisasi KS melalui penerbitan dan penjualan saham baru berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 67 tahun 2010. Krakatau Steel telah resmi tercatat di Bursa Efek Indonesia tepat pada tanggal 10 November. Initial Public Offering KS dijual seharga Rp. 850 per lembar. Angka ini terbilang rendah dari harapan, karena awalnya harga saham melalui IPO KS diperkirakan bisa mencapai Rp 1.150 per lembar. Krakatau Steel dengan begitu bisa mendapat dana maksimal lebih dari Rp 3,1 trilyun. Alasan Kementerian BUMN di balik penentuan harga saham perdana KS sebesar Rp 850 per unit itu agar bisa memberi ruang kepada investor untuk memperoleh capital gain menarik. Di perusahaan joint venture

yang diberi nama Krakatau Posco (KP) itu KS hanya akan memiliki saham minoritas sebesar 30 persen. Perusahaan patungan itulah yang untuk selanjutnya akan mengambil peran besar melakukan ekspansi. Krakatau Steel pada setiap

ekspansi berkewajiban menyetorkan tambahan modal kepada perusahaan KP. Hal itu kelihatannya akan sulit dilakukan tanpa harus menjual lagi aset maupun saham pemerintah di KS. Konsekuensi dari hal ini adalah saham pemerintah di KS akan berkurang, begitu juga dengan posisi KS di perusahaan joint venture KP akan melemah.

Industri besi baja pada tahun 2011 mengalami berbagai kondisi. Cuaca buruk dan ekstrem yang terjadi pada tahun 2011 tidak hanya mengganggu pasokan komoditas pangan saja, baja pun ikut terkena imbas negatifnya. Hal ini bakal mendongkrak harga baja pada tahun 2011 sebesar 11-23 persen. Harga bahan baku baja saat ini sudah naik dibanding akhir Desember 2010. Harga baja

scrap naik 16 persen dari USD 450 per ton di akhir 2010 menjadi USD 520 per ton pada Januari 2011. Harga Iron ore akan naik 7 persen dari USD 174 per dmtu menjadi USD 186 per dmtu dan kenaikan ini disebabkan adanya pembatasan ekspor dari India. Harga slab naik 17 persen dari USD 580 per ton menjadi USD 680 per ton dan hal ini disebabkan Arcelor Mittal menghentikan aktivitas produksi 3 blessfurnished di Eropa akhir tahun 2010 serta produsen baja Sidor di Venezuela menghentikan produksinya sementara karena ada ledakan. Harga Billet

naik 14 persen dari 592 per ton menjadi USD 670 per ton.

Asosiasi Besi dan Baja Nasional menyatakan Indonesia masih harus mengimpor baja kurang lebih 3 juta ton tahun 2011 ini. Impor dilakukan untuk memenuhi tingginya kebutuhan baja dalam negeri. Kondisi demand baja nasional adalah 8-9 juta ton/tahun sedangkan produksi nasional hanya 4-5 juta ton/tahun. Produksi Krakatau Steel adalah 2,75 juta ton jadi total konsumsi 7,425 juta ton,

sehingga impor menjadi kurang lebih 3 juta ton. Sektor pendorong konsumsi baja yaitu sektor manufaktur dan konstruksi yang diperkirakan akan naik tajam tahun ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diramal bisa tembus 6,4 persen. Sektor manufaktur diprediksikan tumbuh menjadi 4,4 persen pada tahun 2011 dari 4 persen pada tahun 2010. Sektor konstruksi tumbuh menjadi 7,3 persen pada 2011 dari 6,8 persen pada tahun 2008. Konsumsi baja juga didorong oleh peningkatan produksi otomotif. Peningkatan produksi mobil berdasarkan data Gaikindo sebesar 15 persen pada tahun 2010 menjadi 560.000 unit dari sebelumnya berjumlah 483.000 pada tahun 2009. Sektor motor mengalami peningkatan sebesar 11 persen yaitu 5,9 juta unit pada tahun 2009 menjadi 6,5 juta unit pada tahun 2010. Permintaan baja nasional terhadap sektor otomotif secara otomatis mengalami kenaikan. Produksi HR (baja hitam) naik dari 236.000 ton pada tahun 2009 menjadi 275.000 pada tahun 2010 atau naik 20 persen, sedangkan produksi CR (baja putih) naik dari 239.000 pada tahun 2009 naik menjadi 267.000 pada tahun 2010 atau naik 10 persen (detik, 2011).

4.2.2. Perkembangan Volume Produksi, Jumlah Tenaga Kerja, Jumlah Perusahaan, dan Ekspor-Impor Besi Baja di Indonesia.

Industri logam dasar besi dan baja yang merupakan salah satu industri strategis dan vital harus cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah karena perannya ini sangat dibutuhkan bagi pembangunan-pembangunan industri-industri penting lainnya. Dampak dari adanya globalisasi ini dapat dirasakan oleh negara-negara di dunia, berupa adanya pembangunan-pembangunan infrastruktur yang memadai oleh banyak negara. Pembangunan infrastruktur yang banyak

berdampak peran industri besi dan baja tidak dapat diabaikan karena tentu saja permintaan besi dan baja ini akan meningkat. Industri logam dasar besi baja harus pula meningkatkan produksinya (Darmayanti, 2007).

Kendala sekaligus tantangan yang harus dihadapi oleh industri ini yaitu adanya ancaman dari negara luar yang menjual produk-produk yang lebih murah daripada yang diproduksi di dalam negeri, dengan salah satu contoh adalah produk tin plate. Perusahaan pembuat tin plate dalam negeri menilai adanya politik dumping yang dilakukan negara pengimpor karena harga yang ditawarkan lebih murah di Indonesia dibandingkan harga yang dijual di negaranya sendiri. Hal ini tentu saja sangat merusak dan dapat mematikan produksi dalam negeri karena produk dalam negeri akan sulit bersaing (Harjakusumah, 2010).

Adanya ancaman masuknya produk impor dengan cara dumping dan ilegal sangat berpengaruh pada produksi industri besi baja di Indonesia, karena produk baja nasional menjadi kalah bersaing dalam harga yang dipasarkan. Komite Anti

Dumping Indonesia (KADI) menyatakan bahwa KADI pernah menangani kasus anti dumping pipa baja dari Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Komite Anti

Dumping Indonesia kemudian menangani dua kasus anti dumping terhadap produk baja impor yaitu lembaran baja canai panas (HRC) dari India, Rusia, Cina, dan Ukraina pada tahun 2002. Komite Anti Dumping Indonesia selain itu juga menangani kasus anti dumping besi beton wire rod impor dari India dan Turki pada tahun yang sama (Darmayanti, 2007). Perkembangan Indeks produksi industri besi dan baja dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Dapat dilihat bahwa indeks produksi besi dan baja di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2006 hingga 2008. Penurunan terjadi dari tahun 2008 ke tahun 2009 dan kemudian naik kembali pada tahun 2010. Perkembangan volume produksi dalam sektor besi dan baja dasar berdasarkan jenis produk besi dan baja dapat dilihat pada Tabel 4.3.

No Kelompok 2006 (ribu ton) 2007 (ribu ton)

1 Besi Spons 1200,2 1322,7

2 Slap Baja 1291,8 1364,6

3 Billet/Ingot/Bloom 2512,7 2795,4

4 Besi Beton 1821,4 1842,6

5 Batang Kawat Baja 834,1 919,6

6 HRC & Plate 2494,1 3120,0

7 Pipa Las Lurus/Spiral 779,2 2243,0

8 CRC/Sheet 762,0 1350,0 9 BjLS/warna 322,3 1200,0 10 Tin Plate 83,5 130,0 120.00 130.00 140.00 150.00 160.00 170.00 180.00 2006 2007 2008 2009 2010