• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peristiwa Terjadinya Sarune Pakpak

MASYARAKAT DAN SENI BUDAYA DAERAH PENELITIAN

2.11 Peristiwa Terjadinya Sarune Pakpak

Berdasarkan pendapat para informan, terjadinya sarune dalam kebudayaan pakpak mengalami proses yang panjang, sesuai dengan kultur agraris. Bertani ataupun bercocok tanam merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat Pakpak sejak dahulu kala sampai sekarang. Dari antara sekian

banyak cara bertani tersebut, salah satu di antaranya adalah menanam padi darat. Menanam padi darat merupakan cara bertani yang dipakai oleh masyarakat Pakpak dengan cara berpindah-pindah lahan. Biasanya lahan yang digunakan adalah daerah perbukitan ataupun lereng-lereng gunung. Pemilihan lahan ini didasarkan karena tanah diperbukitan ataupun lereng-lereng gunung banyak mengandung humus yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Lahan pertanian ini dapat bertahan hingga 2 sampai 3 kali panen. Kemudian untuk penanaman selanjutnya berpindah dan mencari lahan yang baru. Namun, biasanya masyarakat Pakpak memanfaatkan lahan yang lama sebagai tempat untuk menanam pohon kopi, kemenyan, dan karet.

Sistem panen padi darat pada zaman dulu dikerjakan secara gotong-royong. Sehingga jika musim panen tiba, maka daerah pemukiman masyarakat pasti sepi dan tak jarang pulu masyarakat tersebut lebuh memilih untuk bermalam di ladangnya.

Dari sistem kerja gotong-royong inilah awal mula terpikirkannya untuk menciptakan alat musik tradisional Pakpak yaitu sarune. Karena begitu ramai dan bergembiranya masyarakat mengerjakan panen maka di sela-sela waktu istirahat untuk menghilangkan rasa lelah diciptakanlah sesuatu yang menghasilkan bunyi-bunyian dari batang padi yang dalam bahasa Pakpak disebut nggala page. Batang padi yang berfungsi sebagai alat musik ini dibentuk sedemikian rupa kemudian ditiup sehingga menimbulkan suara nyaring dan merdu. Materi penghasil bunyi pada alat musik nggala page pada masyarakat Pakpak disebut juga pit. Masyarakat Pakpak meyakini bahwa ketika “pit” berbunyi dengan sendirinya burung-burung camar (garo-garo dalam bahsa

Pakpak) akan menari-nari dengan riang, seolah-olah ikut bersukaria atas panen tersebut.

Namun samakin lama masyarakat Pakpak melihat bahwa suara pit dapat membuat hujan turun. Ini menurut kepercayaan masyarakat Pakpak dahulu kala. Dampaknya dapat mengganggu proses pemanenan. Akhirnya dicarilah sejenis kayu hutan untuk dijadikan sebagai alat musik tardisional yang dapat mengeluarkan bunyi seperti suara pit.

Dari sekian banyak jenis kayu dihutan namun kayu siraja junjung bukit yang merupakan pilihan utama sebagai bahan baku alat musik sarune Pakpak ini. Kayu ini tumbuh di hutan lebat pada umumnya dan pohonnya tidak terlalu besar serta tidak berserat kasar.

Menurut kepercayaan masyarakat Pakpak terdahulu, untuk menebang atau mengambil kayu ini harus memenuhi persyaratan antara lain diuraikan sebagai berikut. (a) Gatap penter, yaitu merupakan sehelai daun sirih yang masih segar dan ruas- ruasnya saling bertemu. (b) Gatap i krimpit, yaitu beberapa helai (biasanya 7 helai) daun sirih kemudian dipincuk menjadi 7 pincuk kemudian setiap helai diisi dengan kapur, pinang yang dibelah kecil, kemiri, dan sebiji lada hitam. (c) Beras banu, yaitu salah satu jenis beras dari butiran padi yang dihasilkan oleh para petani di kawasan Pakpak.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Pengantar

Sumatera Utara adalah salah satu dari 34 provinsi yang terdapat di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Sumatera Utara ini, secara administratif pemerintahan terdiri dari 33 kabupaten dan kota. Sumatera Utara adalah wilayah yang merupakan gabungan dari Regensi Tapanuli dan Sumatera Timur, sewaktu pendudukan Hindia Belanda.

Secara etnikitas, Sumatera Utara terdiri dari tiga kelompok besar, berdasarkan asal-usulnya. Yang pertama adalah kelompok-kelompok etnik setempat yang terdiri dari: Karo, Pakpak (atau kadang disebut juga Pakpak-Dairi), Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, Nias, dan Melayu. Yang kedua adalah kelompok-kelompok etnik migran Nusantara, seperti: Aceh Rayeuk, Tamiang, Simeulue, Alas, gayo, Minangkabau, Banjar, Sunda, jawa,, Bugis, Bali, dan lain-lainnya. Kelompok-kelompok etnik yang ketiga adalah para migran Dunia, seperti: Hokkian, Khek, Kwong Fu, Hakka, Kwantung, Tamil, Punjabi, Benggali, Hindustani, Arab, Anglosakson, dan lain-lainnya.

Pada masa sekarang ini Sumatera Utara merupakan provinsi terpadat penduduknya di Pulau Sumatera yaitu lebih dari 13 juta. Komposisi penduduknya yang heterogen ini tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi, terutama perkebunan. Hingga akhirnya membuat kompsisi penduduknya beranekaragam, baik itu dari suku bangsa, agama, budaya, bahasa, dan lain-lainnya. Setiap kelompok etnik ini dalam konteks Sumatera Utara,

selain menguatkan identitas kelompoknya, juga harus berinteraksi secara sisial dengan kelompok etnik dan agama, serta budaya lainnya. Untuk itu diperlukan sikap dan penghayatan toleransi dalam kebhinnekaan dan ketunggalikaan. Demikian juga yang terjadi di kalangan etnik Pakpak.

Kelompok orang-orang yang disebut Pakpak, yang wilayah budaya induknya berada di kawasan Dairi, Pakpak Bharat, dan sekitarnya, merupakan salah satu kelompok etnik setempat Provinsi Sumatera Utara. Etnik Pakpak memiliki unsurt-unsur kebudayaan yang beraneka ragam, khas, dan menjadi ciri khas dan identitas kelompoknya. Salah satu dari unsur kebudayaannya adalah seni musik.

Musik Pakpak termasuk musik tradisi yang fungsional di tengah arus globalisasi. Musik ini jika didengar langsung sangat akrab di telinga pendengarnya. Dalam realitasnya musik tradisi Pakpak kurang dikenal di kalangan masyarakat Sumatera Utara. Hal ini diakibatkan tidak ada sarana pendukung atau media yang memperkenalkan tradisi Pakpak tersebut kepada masyarakat luas.

Namun demikian, di Desa Suka Ramai kecamatan Pakpak Bharat terdapat sebuah sanggar yang khusus melestarikan budaya Pakpak terkhusus dari segi musiknya. Sanggar inilah yang selalu diundang untuk tampil diacara pemerintah kota maupun pemerintah daerah setempat. Hal ini yang membuat musik Pakpak dapat mempertahankan keberadaannya pada masyarakat luas.

Adapun alat-alat musik yang terdapat dalam kebudayaan Pakpak, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. sarune, 2. gendrang, 3. gong, 4. kalondang, 5. hasapi, 6. balobat, 7. gotci, dan lain-lain. Alat-alat musik ini ada yang

disajikan secara solo, namun ada pula yang disajikan dalam ensambel, dan juga mengiringi nyanyian-nyaian tradisional Pakpak.

Pada umumnya penyajian musik Pakpak diadakan pada acara adat dan ritual. Namun pada saat upacara besar misalnya pada saat acara ritual harus menggunakan sarune. Dapat dikatakan bahwa sarune memiliki peranan penting dalam ensambel musik Pakpak, karena peran dan simbol sosial yang terkandung di dalam alat musik ini di tengah-tengah kebudayaan Pakpak.

Sarune Pakpak sudah tergolong langka, dan juga sangat sulit menemukan pemainnya yang dapat memainkannya. Kelangkaan ini diakibatkat karena dahulu orang-orang tua suku Pakpak tidak secara tegas dan memeberikan motivasi penuh kepada setiap keturunannya untuk belajar musik Pakpak.

Mempelajari musik Pakpak biasanya dilakukan secara kelisanan. Pembelajaran yang dilakukan masih mengunakan sistem otodidak. Artinya setiap orang yang mau belajar musik tersebut maka orang tersebut harus berhubungan langsung kepada orang yang memang mahir memainkan alat musik tersebut. SAetiap orang yang mau belajar harus mendatangi, berdialog, dan mungkin saja harus mengikuti aturan- aturan ritual dari alat musik itu sendiri.

Menurut penulis sendiri, alat musik sarune Pakpak akan mengalami “kepunahan” jika tidak ada lagi yang bisa memainkannya apalagi menjelaskan apa itu sarune Pakpak. Hal ini juga akan mengakibatkan pudarnya ciri khas dari budaya musik Pakpak. Selain itu, idak menutup kemungkinan akan menghilangkan jati diri Pakpak. Apalagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, dimana alat musik Barat telah ambil bagian dalam ensambel musik tradisi. Seperti contoh alat musik keyboard yang dapat berfungsi ganda yang dapat memainkan ritem dan melodi secara bersamaan dan

dengan didukung oleh kecanggihan program maka keyboard dapat menghasilkan suara yang mirip dengan suara sarune. Jika kita tidak memberi perhatian terhadap fenomena ini, maka tidak menutup kemungkinan sarune yang dahulu dianggap sakral dari segi musikalnya akan menjadi alat musik yang biasa-biasa saja.

Sangatlah ironis jika seorang manusia kehilangan jati dirinya, begitu juga dengan kebudayaan. Seperti yang sering kita dengarkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budanya. Atas kesadaran inilah penulis membuat tulisan tentang kebudayaan Pakpak, khususnya teknik permainan sarune..

Dalam tulisan ini, saya memfokuskan untuk membahas tentang teknik dalam memainkan alat musik sarune Pakpak dan cara pembuatannya. Untuk itu saya mimilih beberapa masyarakat Pakpak yang berprofesi sebagai pemusik Pakpak dan menjadikannya sebagai sebagai informan pangkal yang dapat membantu saya dalam mengkaji teknik permainan dan pembuatan sarune Pakpak. Penulis berharap dengan penelitian dan tulisan yang dibuat dapat memperkaya wawasan penulis dan pembaca tentang budaya Pakpak. Selain itu penulis berharap pembaca dapat mengerti cara memainkan sarune Pakpak.

Untuk mendukung skripsi ini tentang sarune, penulis mencari informasi tentang sarune kepada informan pangkal yaitu Bapak Pandapotan Solin. Beliau adalah ketua di Sanggar Nina Nola yang memusatkan perhatian dan kegiatannya pada kebudayaan tradisi Pakpak.

Selain memimpin sanggar, beliau juga mahir dalam memainkan alat musik Pakpak begitu juga dengan membuatnya. Hampir seluruh alat musik yang ada di sanggar tersebut adalah hasil karya beliau kecuali sarune Pakpak. Dari

hasil perbincangan dengan beliau, maka didapat informasi bahwa ada seorang pemain sarune yang telah lanjut usia. Menurut beliau, pemain sarune tersebut adalah pemain sarune satu-satunya yang masih hidup. Berdasarkan informasi inilah yang menjadi awal penelitian penulis dalam mengumpulkan informasi-informasi tentang sarune Pakpak.

Dengan latar belakang sarune Pakpak dalam kebudayaan seperti itu, maka sangatlah tepat apabila dikaji teknik permainannya yang langka itu dikaji memalui disiplin etnomusikologi. Disiplin ini adalah yang penulis pelajari selama beberapa tahun belakangan ini, tepatnya sebagai mahasiswa Etnomusikologi angkatah tahun 2007. Penulis juga memiliki minat utama terhadap praktik pertunjukan musik, yang diajarkan di institusi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan.

Etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu yang mengkaji musik dalam konteks kebudayaan manusia (Merriam, 1964). Artinya jika seorang ahli etnomusikologi mengkaji musik, maka ia akan selalu melihatnya dalam perspektif kebudayaan di mana musik itu hidup, tumbuh, dan berkembang. Musik bukan hanya fenomena bunyi yang dihasilkan manusia, tetapi musik adalah bahagian dari fenomena manusia yang menghasilkan musik tersebut. mengkaji musik dalam kebudayaan berarti juga mengkaji eksistensi manusia yang menghasilkan musik tersebut. Tujuan akhir seorang etnomusikolog bukan mengkaji musik sebagai bunyi dengan hukum-hukum internalnya sendiri, tetapi adalah mengkaji manusia yang menghasilkan musik sedemikian rupa itu memiliki jati diri atau identitas yang khas.

Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain di dunia ilmu pengetahuan, etnomusikologi memiliki wilayah atau jangkauan pengkajian. Seorang

etnomusikolog mestilah paham tentang wilayah penyelidikan etnomusikologi. Apa pun yang dikerjakan oleh etnomusikolog di lapangan, pada hakekatnya ditentukan oleh rumusan metodenya sendiri dalam arti yang luas. Maka sebuah penelitian etnomusikologis dapat diarahkan seperti perekaman suara musik, atau masalah peran sosial pemusik di dalam masyarakat. Jikalau suatu penelitian diarahkan kepada kajian mendalam di suatu daerah penelitian, dan jika peneliti menganggap studi etnomusikologi bukan hanya sebagai kajian musik dari aspek lisan, tetapi juga terhadap aspek sosial, kultural, psikologi, dan estetika—paling tidak ada enam wilayah penyelidikan yang menjadi perhatian etnomusikologi (Merriam 1964).

Yang pertama adalah kebudayaan material musik. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yyang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon. Selain itu pula, setiap alat musik harus diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah teoretis perlu pula dicatat. Selain masalah deskripsi alat musik, masih ada sejumlah masalah analisis lain yang dapat menjadi sasaran penelitian lapangan etnomusikologi. Di antaranya adalah apakah terdapat konsep untuk memperlakukan secara khusus alat-alat musik tertentu di dalam suatu masyarakat? Adakah alat musik yang dikeramatkan? Adakah alat-alat musik yang melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial alain selain musik? Apakah alat-alat musik tertentu merupakan pertanda bagi pesan-pesan tertentu pada masyarakat luas? Apakah suara-suara atau bentuk-bentuk alat musik

tertentu berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara, atau tanda-tanda tertentu?

Nilai ekonomi alat musik juga penting dikaji dalam etnomusikologi. Mungkin ada beberapa spesialis yang mencari nafkahnya dari membuat alat musik. Apakah ada atau tidak spesialis pada suatu masyarakat? Apakah proses pembuatan alat musik melibatkan waktu pembuatnya? Alat musik dapat dijual dan dibeli, dapat dipesan; dalam keadaan apa pun, produksi alat musik merupakan bagian dari kegiatan ekonomi di dalam masyarakatnya secara luas. Alat musik mungkin dianggap sebagai lambang kekayaan; mungkin dimiliki perorangan; jika memilikinya mungkin diakui secara individual akkan tetapi untuk kepentingan praktis diabaikan; atau mungkin alat-alat musik ini menjadi lambang kekayaan suku bangsa atau desa tertentu. Penyebaran alat musik mempunyai makna yang sangat penting di dalam kajian-kajian difusi dan di dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan, dan kadang-kadang dapat memberi petunjuk atau menetukan perpindahan penduuduk melalui studi alatmusik.

Kategori kedua adalah kajian tentang teks nyanyian. Kajian ini meliputi kajian teks sebagai peristiwa linguistik, hubungan linguistik dengan suara musik, dan berbagai masalah isi yang dikandung oleh teks tersebut. Masalah hubungan antara teks dengan musik telah banyak diteliti di dalam etnomusikologi karena memberi manfaat yang jelas. Namun hingga kini belum pernah dilakukan kajian yang menggunakan linguistik modern dan teknik-teknik etnomusikologis.

Teks nyanyian mengekspresikan perilaku kebahasaan yang dapat dianalisis dari sudut struktur dan isi. Bahasa teks nyanyian cenderung mempunyai perbedaan sifat dengan ungkapan harian, dan kadangkala, seperti pada nama-nama pujian, atau bunyi pertanda gendang, teks tersebut merupakan bahasa

“rahasia” yang hanya diketahui sekelompok tertentu saja dari masyarakatnya. Dalam teks nyanyian, bahasa yang digunakan sering lebih elastis dibandingkan dengan bahasa sehari-hari, dan bahasa tersebut tidak hanya mengungkapkan proses kejiwaan seperti pengendoran tekanan, akan tetapi juga informasi tentang sifat yang tidak mudah diungkapkan. Dengan alasan yang sama, teks nyanyian sering mengungkapkan nilai-nilai yang dalam dan tujuan-tujuan yang hanya boleh dinyatakan dalam keadaan terpaksa di dalam ungkapan sehari-hari. Hal ini selanjutnya dapat mengarahkan kepada kepekaan terhadap simbol yang mengandung etos dari suatu kebudayaan, atau terhadap suatu jenis generalisasi karakter nasional. Pemahaman mengenai perilaku ideal dan nyata sering dapat diungkap mellaluiteks nyanyian, dan akhirnya teks juga digunakan sebagai catatan sejarah bagi kelompok tertentu, sebagai cara-cara untuk menanamkan nilai-nilai, dan sebagai cara untuk membudayakan generasi muda.

Aspek ketiga adalah meliputi kategori-kategori musik yang dibuat oleh peneliti yang sesuai dengan kategori yang berlaku dalam kelompok tersebut. Di dalam hubungan ini tentunya peneliti menyusun acara rekamannya, yang diklasifikasikan utuk menyertakan contoh-contoh akurat dari semua jenis musik di dalam situasi-situasi pertunjukan yang direncanakan dan dipertunjukkan sebenarnya.

Pemain musik atau musisi dapat menjadi sasaran keempat bagi etnomusikolog. Dari sekian hal yang penting adalah latihan untuk menjadi pemusik. Apakah seseorang dipaksa oleh masyarakatnya untuk menjadi pemusik, atau ia memilih sendiri karirnya sebagai pemusik? Bagaimana metode latihannya, apakah sebagai pemain musik potensial yang mengandalkan kepada kemampuan sendiri; apakah ia mendapatkan pengetahuan dasar tentang

teknik memainkan alat musiknya atau teknik menyanyi dari orang lain, atau apakah ia menjalani latihan yang ketat dalam waktu tertentu? Siapa saja pengajarnya, dan bagaimanakan metode mengajarnya? Hal ini mengarahkan kepada masalah profesionalisme dan penghasilan. Sebuah masyarakat mungkin saja membedakan beberapa tingkatan kemampuan pemusik, membuat klasifikasi dengan istilah-istilah khusus, dan memberikan penghargaan tertinggi kepada sesuatu yang dianggap benar-benar profesional; atau pemusik dapat saja tidak dianggap sebagai spesialis. Bentuk dan cara memberi penghargaan dapat sangat berbeda untuk setiap masyarakat, dan dapat terjadi bahwa pemusik sama sekali tidak mendapat bayaran.

Wilayah studi kelima adalah mengenai penggunaan dan fungsi musik dalam hubungannya dengan aspek budaya lain. Informasi yang kita dapatkan, menunjukkan bahwa didalam hubungan dengan penggunaan, musik meliputi semua aspek masyarakat; sebagai perilaku manusia, musik dihubungkan secara sinkronik dengan perilaku lainnya, termasuk religi, drama tari, organisasi sosial, ekonomi, struktur politik, dan berbagai aspek lainnya. Dalam mengadakan studi tentangmusik, peneliti dipaksa untuk mengadakan pendekatan budaya secara lengkap dalam mencari hubungan musik, dan di dalam maknanya yang dalam, ia mengetahui bahwa musik mencerminkan kebudayaan, sedangkan musik menjadi bagiannya.

Fungsi musik di dalam masyarakat merupakan objek penyelidikan lain dari penyelidikan tentang penggunaan tersebut, karena penelitiannya diarahkan kepada masalah-masalah yang jauh lebih dalam. Telah dinyatakan bahwa salah satu fungsi utama musik adalah untuk membantu mengintegrasikan masyarakat, suatu proses yang secara kontinu dilakukan di dalam kehidupan manusia.

Fungsi lain adalah untuk melepaskan tekanan-tekanan jiwa. Perbedaan antara penggunaan dan fungsi musik belum banyak dibicarakan di dalam etnomusikologi, dan studi-studi pada wilayah yang luas cenderung untuk memusatkan kepada masalah pertama dan mengenyampingkan masalah yang kedua. Studi-studi tentang fungsi jauh lebih menarik di antara keduanya, oleh karena studi tersebuts eharusnya mengarahkan kepada pengertian yanglebih dalam tentang mengapa musik merupakan suatu gejala universal dii dalam masyarakat.

Akhirnya, keenam, peneliti lapangan dapat mempelajari musik sebagai aktivitas kreatif di dalam kebudayaan. Yang penting di sini adalah tahap-tahap dari studi musik yang memusatkan pada konsep-konsep musik yangdigunakan di dalam masyarakat yang sedang diteliti. Yang mendasari semua pertanyaan adalah berbagai masalah perbedaan yang dibuat oleh pemusik dan bukan pemusik di antara apa yang dianggap musik dan bbukan musik, merupakan sasaran yang baru mendapatkan sedikit perhatian di dalam etnomusikologi. Apa sumber-sumber musik itu? Apakah musik disusun hanya melalui perantaraan bantuan dan persetujuan manusia super, atau apakah musik merupakan gejala-gejala manusia biasa? Bagaimana nyanyian-nyanyian baru muncul? Apabila penyusun musik mempunyai status tinggidi dalam masyarakat, bagaimana ia menyusun musik, dan bagaimana pendapatnya tentang proses penyusunan musik? Ukuran-ukuran kemampuan di dalam pertunjukan adalah penting sekali karena melalui pengertian ukuran ini peneliti dapat melihat musik yang baik dan buruk serta dapat melihatnya dengan cara-cara yang digunakan di dalam masyarakat. Masalah-masalah ini mengarahkan kepada evaluasi rakyatnya dan evaluasi analitis dari suatu teori tentang musik di dalam masyarakat tersebut;

juga mengarahkan kepada berbagai masalah khusus di mana bentuk divisualisasikan sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasikan, dan terhadap apakah aspek-aspek bentuk seperti interval musik atau pola-pola ritme inti khusus digunakan di dalam pemikiran pemusik dan bukan pemusik.

Kajian terhadap teknik bermain sarune Pakpak, sesuai dengan penjabaran Merriam tentang wilayah studi etnomusikologi adalah berada pada aspek keempat yaitu dalam tema pemusik. Dalam kaitan ini tentu saja bagaimana keadaan pemain sarune yaitu Bapak Kerta Sitakar, sebagai pemain sarune Pakpak yang “langka.” Penelitian ini, sesuai dengan arahan Merriam di atas, adalah mengenai aspek-aspek lebih lanjut di bawah tema musisi.

Di antaranya adalah apakah Bapak Kerta Sitakar dipaksa oleh masyarakatnya (yaitu etnik Pakpak) untuk menjadi pemusik, atau sebaliknya ia memilih sendiri karirnya sebagai pemusik yaitu pemain sarune? Lebih jauh bagaimana metode latihan Bapak Kerta Sitakar, apakah sebagai pemain musik potensial yang mengandalkan kepada kemampuan sendiri; apakah Bapak Kerta Sitakar mendapatkan pengetahuan dasar tentang teknik memainkan sarune Pakpak dari orang lain, atau apakah ia menjalani latihan yang ketat dalam waktu tertentu? Siapa saja pengajarnya, dan bagaimanakan metode mengajarnya? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang kemudian penulis dalami dalam penelitian lapangan.

Dengan latar belakang keberadaan sarune, Bapak Sitakar sebagai pemainnya, dan disiplin etnomusikologi sebagai dasar dalam mengkaji permainan sarune Bapak Sitakar, maka penelitian ini diberi judul: “Teknik Bermain Sarune pakpak oleh Bapak Kerta Sitakar.” Fokus kajian ini adalah pada teknik yang dilakukannya secara etnosains, yaitu menurut ilmu yang didapatinya

secara emik dari guru-guru terdahukkunya, dan pengalamannya sebagai pemain sarune Pakpak.

Dokumen terkait