• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL-BELI DI BAWAH

2.2 Perjanjian Jual Beli Dibawah tangan dalam Teori dan Praktek

Jual beli dibawah tangan merupakan hal yang wajar terjadi, terutama di pelosok-pelosok desa. Hal ini disebabkan karena masih minimnya pengetahuan masyarakat terhadap hukum. Istilah surat atau akta di bawah tangan adalah istilah yang dipergunakan untuk pembuatan suatu perjanjian antara para pihak tanpa dihadiri atau bukan dihadapan seorang Notaris sebagaimana yang disebutkan pada akta autentik di atas.

Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut. Sedangkan kekuatan

pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut.

Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan memiliki ciri dan kekhasan tersendiri, berupa22:

1. Bentuknya yang bebas

2. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum

3.Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya

4.Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.

Suatu akte dibawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan

22

www.hukumonline.com, Akta dibawah tangan, diakses tanggal 13 Januari 2008, pukul 17.08 WIB

tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi.

Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat.

Kesadaran hukum masyarakat Kabupaten Probolinggo dari tahun ke tahun cenderung meningkat, terutama untuk proses peralihan hak atas tanah. Hal ini dikarenakan pemerintah mendorong masyarakat untuk sertifikasi tanah sebagai bukti kepemilikan tanah secara otentik. Akibat dari kepemilikan tanah secara non otentik dapat menimbulkan sengketa di kemudian hari.Hal ini terdapat dalam sebuah kasus gugatan yang terjadi di Kabuapaten Probolinggo, yang tertuang pada putusan nomor 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB yaitu mengenai sengketa sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo23. Sebagai penggugat adalah Endji

melawan Sarini sebagai tergugat I dan Haji Misro sebagai tergugat II. Permasalahan dimulai ketika penggugat masih kecil (sekitar umur 6 tahun), tanpa sepengetahuan penggugat, kemudian tanah sengketa tersebut dikuasai oleh tergugat I dengan tidak memperhatikan kepentingan penggugat selaku

23

pemilik tanah sengketa tersebut . Setelah itu , oleh tergugat I tanah tersebut dipindah tangankan kepada tergugat II sampai dengan sekarang.

Untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi, diperlukan adanya tambahan pengetahuan tentang proses kepemilikan hak atas tanah secara benar kepada masyarakat, terutama masyarakat yang masih tinggal di pelosok-pelosok desa.

Kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan secara teori tidak bisa terjadi, dalam pasal 1470 KUHPer, dinyatakan

“Begitu pula tidak diperbolehkan menjadi pembeli pada penjualan dibawah tangan, atas ancaman yang sama, baik pembelian itu dilakukan oleh mereka sendiri maupun oleh orang-orang perantara : kuasa-kuasa mengenai barang-barang yang mereka dikuasakan menjualnya ; pengurus-pengurus mengenai benda-benda milik Negara dan milik badan-badan umum, yang dipercayakan kepada pemeliharaan dan pengurusan mereka. Namun itu adalah terserah kepada Presiden untuk memberikan kebebasan dari larangan itu kepada pengurus-pengurus umum. Segala wali dapat membeli benda-benda tak bergerak kepunyaan anak-anak yang berada dibawah perwalian mereka. Dengan cara yang ditetapkan dalam pasal 399.”

Tetapi dalam prakteknya, perjanjian jual beli dibawah tangan bisa terjadi, bahkan banyak masyarakat yang menggunakannya. Sebenarnya perjanjian jual beli dibawah tangan sah-sah saja dilakukan, namun perjanjian tersebut kurang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Secara praktek, kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan bisa mengikat kedua belah pihak selama dapat dibuktikan dan atau diakui oleh penjualnya.

Perjanjian jual beli dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak belum sebagai akta otentik, tetapi dipakai sebagai bukti transaksi jual beli saja, untuk

mendapat kekuatan hukumnya, perjanjian jual beli harus dilegalisasi terlebih dahulu.

Legalisasi dalam pengertian sebenarnya adalah membuktikan bahwa dokumen yang dibuat oleh para pihak itu memang benar-benar di tanda tangani oleh para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu diperlukan kesaksian seorang Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk itu yang dalam hal ini adalah Notaris untuk menyaksikan penanda tanganan tersebut pada tanggal yang sama dengan waktu penanda tanganan itu. Dengan demikian Legalisasi itu adalah me-legalize dokumen yang dimaksud dihadapan Notaris dengan membuktikan kebenaran tandan tangan penada tangan dan tanggalnya.

Legalisasi adalah pengesahan akta dibawah tangan oleh Notaris atau pejabat umum lainnya yang ditunjuk oleh undang- undang dengan membubuhkan pernyataan tertentu pada akta dibawah tangan tersebut.

BAB III

PENERAPAN PUTUSAN NOMOR 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO

3.1. Peralihan hak atas tanah.

Putusan hakim diikuti dengan upaya hukum, jika para pihak tidak puas dengan putusan hakim tersebut. Tetapi, jika tidak ada upaya hukum lagi dari pihak yang berlawanan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Seperti dalam putusan perkara nomor 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO mengenai sengketa sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo.

Setiap peralihan hak atas tanah selalu diikuti atau disertai dengan bukti-bukti surat yang melekat pada tanah yang dialihkan, sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku pada waktu terjadinya peristiwa peralihan hak.

Dalam putusan perkara nomor 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB yaitu mengenai sengketa sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo. Sebagai penggugat adalah Endji

melawan Sarini sebagai tergugat I dan Haji Misro sebagai tergugat II. Permasalahan dimulai ketika penggugat masih kecil (sekitar umur 6 tahun), tanpa sepengetahuan penggugat, kemudian tanah sengketa tersebut dikuasai oleh tergugat I dengan tidak memperhatikan kepentingan penggugat selaku pemilik tanah sengketa tersebut . Setelah itu , oleh tergugat I tanah tersebut dipindah tangankan kepada tergugat II sampai dengan sekarang.

Dari putusan hakim, disebutkan bahwa asal mula tanah sengketa tersebut adalah dari buku C desa No. 155 persil 17 luas 0,313 ha atas nama Bapak Sameno Nadin dan pada tanggal 2 Mei 1970 telah dikasih kepada buku C desa 812 persil 17 luas 0,313 ha. Atas nama Endji sebagaimana dalam bukti P.1 yang sesuai pula dengan bukti T-4 yang merupakan buku C desa. Perubahan dari bukti T-4 buku C desa No. 812 kepada bukti T-3 buku C desa atas nama Sarini Saripa, terdapat hubungan yang terputus, karena perubahan tersebut tidak terdapat keterangan, mengapa berubah akan tetapi hanya tertulis kasih.

Awalnya tanah sengketa tersebut, sejak Sagi dan Senema meninggal dikerjakan oleh Nudin,ayah Senema bersama dengan Yatim dan sejak Nudin dan Yatim meninggal tanah tersebut dikerjakan oleh Sarini, anak Nudin dari istri ke2 Arbidin alias Aryam.Sarini mengerjakan tanah tersebut bersama dengan Liyami .Liyami adalah anak angkat Sarini yang merupakan anak dari Sarijo adik kandung dari Sarini ,hal ini berdasar keterangan saksi penggugat Misnatun, Mat Astayat, Sudi, saksi tergugat H.Abd. Kholiq Hudi.

Dalam putusan ini disebutkan ada bukti perjanjian yaitu, akta jual beli no. 580/Paiton/XII/2005 antara Sarini dan Saripa alias Sunarmi sebagai penjual dengan H.Misro sebagai pembeli. Menurut keterangan dari saksi tergugat, yaitu H.Abdul Kholiq Hudi menyatakan bahwa ada 2 proses perolehan kepemilikan hak atas tanah, yaitu peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum adalah waris, sedangkan perbuatan hukum meliputi hibah,pembagian hak bersama,jual beli dan tukar menukar. Khusus tukar menukar, sudah jarang dilakukan lagi, karena kekhawatiran mengenai pajak yang bisa dipalsukan oleh si pemilik tanah. Tukar menukar sekarang beralih menjadi jual beli, karena harus menggunakan keterangan pajak yang paling baru.

Dari bukti penggugat bertanda P.1 surat ketetapan pajak hasil bumi atas nama Endji C no.812, persil 17, S II , luas 0,313 ha. Yang diterbitkan pada tanggal 2 Mei 1970, dalam kolom sebab dan tanggal perubahan tanah pada tanggal 2 Mei 1970 kasih dari no. 155, hal tersebut bersesuaian dengan C no. 155 atas nama P. Sameno Nadin yang dilihat Majelis Hakim pada saat sidang di tempat pada tanggal 21 Agustus 2009 dalam buku C desa di kantor desa yang ditunjukkan oleh kepala desa Karanganyar bernama Emmat dan dihubungkan lagi dengan bukti T-4 buku C desa no. 812 persil 17 S II luas 0,313 ha. Atas nama Endji, yang di dalam kolom sebab dan tanggal perubahan tanah pada tanggal 18 September 1981 kasih ke C no. 1068, dimana C 1068 atas nama Sarini Saripa (bukti T-2), dan bukti T-1 akta jual beli no. 580/Paiton/XII/2005 antara Sarini dan Saripa alias Sunarmi sebagai penjual dengan H.Misro (Tergugat II) sebagai pembeli.

Adapun dari perjanjian di bawah tangan pada putusan tersebut adalah kurang kuat ,disebabkan karena dalam proses kepemilikanya para Tergugat secara melawan hak dan melawan hukum sehingga tanah tersebut menjadi sengketa dan menimbulkan gugatan.

Kekuatan hukum dalam perjanjian,pembuktiannya terletak di antara para pihak yang melakukan suatu perjanjian tersebut dan apabila para pihak tersebut tidak menyangkal atau mengakui adanya perjanjian tersebut, dengan mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat. artinya salah satu pihak tidak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut. Karena setiap terjadi suatu perjanjian akan dapat dikatan sah atau benar dan dipertanggung jawabkan oleh yang bertanda tangan dalam perjanjian.

Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian historis yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan

seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.

Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain : - hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui

- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal

- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.

Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 KUHPer, bahwa:

" Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia

mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"

Berbeda dengan akta autentik, dalam akta autentik atau yang biasa disebut dengan akta notaries, maka akta tersebut memiliki kekuatan hukum, sepanjang yang hadir dihadapan notaris adalah benar-benar para pihak yang berkepentingan, oleh karena itu setiap orang yang melakukan perjanjian wajib hadir dihadapan notaris, maka perjanjian yang dibuatnya memiliki kekuatan hukum, tetapi jika dalam pembuktian di pengadilan bila terjadi sengketa, para pihak dapat tidak mengakui adanya perjanjian yang telah dibuat dihapan notaris.

Dalam akta autentik untuk sementara ini dapat dijamin kepastian hukumya, karena dalam akta akan termuat adanya tanggal ketika yang melakukan perjanjian

hadir dihadapan notaris. Perjanjian yang dibuat di hadapan notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara autentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta (notaries) dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta yang dibuat akan menguraikan apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat “oleh” (door) notaris ( sebagai pejabat umum ).

Akta autentik dapat disebut sebagai Akta Notariil yaitu akta yang dibuat dan dibacakan serta ditandatangani di hadapan notaris, sedangkan substansi perjanjian yang termuat sebagai isi akta merupakan keinginan para pihak yang melakukan perjanjian, tapi sebagai pejabat umum, seorang notaris bertanggung jawab penuh atas isi akta tersebut, tentang kebenaran dan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya, menjamin bahwa para pihak yang menandatangani perjanjian adalah orang yang cakap menurut hukum.

Sedang akta yang di legalisasi adalah akta yang disebut dengan akta atau perjanjian di bawah tangan, substansi perjanjian dibuat dan disepakati olah para pihak yang melakukan perjanjian, agar perjanjian tersebut lebih memiliki kekuatan hukum, para pihak meminta legalitas notaris, sebelum di legalitas para pihak yang melakukan perjanjian harus hadir dihapan notaris dan membacakan substansi perjanjian, bila dipandang cukup selanjutnya perjanjian tersebut dicatatkan dalam buku register dengan memberi nomor, dan dilegalitas oleh notaris.

Dalam hal ini perjanjian yang dilagalisasi notaris memiliki kelemahan bahwa notaris tidak bertanggungjawab terhadap substansi perjanjian, notaris hanya menjamin tanggal perjanjian dan orang/pihak yang menandatangani perjanjian adalah orang yang cakap dan berwenang.

Berbeda dengan akta yang di Waarmerk, karena akta yang dibuat di bawah tangan yang sudah ditandatangani oleh para pihak dan dibawa di hadapan notaris

dan kemudian dicatatkan di dalam buku regester, dengan memberi nomor.8 Dalam

hal ini notaris hanya menjamin tanggal dari akta itu saja.

Perbedaan antara perjanjian yang dibuat oleh notaris yang disebut akta autentik dan perjanjian yang di buat di bawah tangan, yang selanjutnya disebut akta dibawah tangan adalah:

a Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti ( perhatikan bunyi pasal 1 P.J.N. yang menyatakan “menjamin kepastian tanggalnya dan seterusnya), sedang mengenai tanggal dari akta atau perjanjian yang dibuat dibawah tangan tidak selalu demikian;

b. Grosse dari akta atau perjanjian yang dibuat di hadapan notaris dalam beberapa hal memiliki kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim, sedangkan akta atau pejanjian yang dibuat di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial.

3.2. Penerapan putusan nomor 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO

Dalam pokok perkara menetapkan menurut hukum, bahwa tanah sengketa yang terletak di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo

adalah milik Penggugat, yaitu Endji Atau Suradji, karena penggugat lah yang dapat membuktikan asal muasal tanah sengketa tersebut.

Menurut hukum, penguasaan tanah sengketa yang dilakukan para tergugat adalah tanpa hak dan melawan hukum, karena terdapat cacat dalam akta jual beli, karena pihak penjual adalah orang yang tidak berwenang melakukan jual beli sesuai dengan pasal 1457 KUHPer yang maksudnya jual beli suatu bentuk perikatan untuk memberikan sesuatau yang terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.

Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum segala pemindahan hak atas tanah sengketa beserta surat-surat yang berkaitan dengan pemindahan hak tersebut kepada para tergugat atau siapa saja.

Menghukum para tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari mereka untuk mengosongkan tanah sengketa dari semua benda miliknya dan selanjutnya menyerahkannya kepada penggugat dalam keadaan kosong dan baik.

Penerapan putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN. KABUPATEN PROBOLINGGO telah dilaksanakan oleh para pihak karena tidak ada upaya hukum yang lain.

3.3. Hak Atas Tanah

Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah

berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo pasal 53 UUPA, antara lain:

 Hak Milik

 Hak Guna Usaha

 Hak Guna Bangunan

 Hak Pakai

 Hak Sewa

 Hak Membuka Tanah

 Hak Memungut Hasil Hutan

 Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.

Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang

keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak yang dimaksud antara lain :

 Hak gadai,

 Hak usaha bagi hasil,

 Hak menumpang,

 Hak sewa untuk usaha pertanian.

Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah pemegang hak gadai.

Hak menumpang dimasukkan dalam hak–hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan budaknya. Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang di Indonesia

yang oleh karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat hanya menunngu perintah dari penguasa tertinggi.

Sutan Syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia dari pemerintahan yang sewenang–wenang dan mencapai kesejahteraan masyarakat.

Dokumen terkait