( studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. )
SKRIPSI
Oleh :
ADHITAMA JOKO DICKMANTYO
NPM. 0671010039
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR
SURABAYA
(
studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB.)
SKRIPSI
D
iajukan
U
ntuk
M
emenuhi
P
ersyaratan
M
emperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
UPN “Veteran”Jawa Timur
Oleh :
ADHITAMA JOKO DICKMANTYO
NPM. 0671010039
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR
SURABAYA
karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL-BELI DIBAWAH TANGAN
STUDI KASUS PADA PUTUSAN NOMOR :
22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB.
Adapun penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir
yaitu penyusunan skripsi. Terselesaikannya skripsi, tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu, khususnya kepada :
1.
Bapak Hariyo Sulistiyantoro, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan Dosen
Pembimbing I yang siap membantu memberikan dukungan dan bimbingan
serta pengarahan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga dalam
hal ini penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
2.
Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum. selaku Wadek Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
3.
Bapak Subani, S.H., M.Si selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
4.
Ibu Yana Indawati SH.Mkn selaku Pembimbing II yang selalu siap membantu
memberikan waktu, kesempatan, dukungan dan bimbingan serta pengarahan
kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga penulis dapat
6.
Ibu Endang Sulistyo Kartikawati S.H. selaku pemilik kantor notaris/PPAT
yang memberikan penulis ruang serta tempat untuk melakukan praktek skripsi
serta selalu sabar dan selalu menyediakan waktu serta kesempatan kepada
penulis untuk bertanya dan berkonsultasi, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
7.
Kedua orang tua tercinta, Eyang Kakung, Alm.Eyang Putri dan adikku yang
telah memberikan dukungan moril maupun materiil serta doanya selama ini.
8.
Rudi Setyawan, Yudian Amada, Aditya Wisma, Doni Eko serta kawan-
kawan angkatan 2006 yang lain , serta adik-adik kelas seperjuangan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, maka
Penulis berharap kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak,
semoga skripsi ini dapat menjadi momentum awal yang berharga dan bermanfaat
bagi perkembangan disiplin ilmu terutama dalam bidang Ilmu Hukum serta
tegaknya hukum di Indonesia.
Surabaya, April 2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN. ...ii
HALAMAN PENGESAHAN. ...iii
HALAMAN REVISI. ...iv
ABSTRAKSI. ... ...v
KATA PENGANTAR. ...vi
DAFTAR ISI. ... ...ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1
Latar Belakang Masalah. ...1
1.2
Rumusan Masalah. ... 6
1.3
Tujuan Penelitian... 6
1.4 Manfaat Penelitian... 6
1.5 Kajian Pustaka...6
1.6 Metodelogi Penelitian...16
1.7 Sistematika Penelitian. ... 17
BAB II KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL-BELI DI BAWAH
TANGAN DALAM TEORI DAN PRAKTEK
2.1
Kekuatan Hukum Perjanjian Jual Beli Di Bawah Tangan. ... 18
BAB III PENERAPAN PUTUSAN NOMOR :
22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO
3.1 Peralihan hak atas tanah. ... 33
3.2 Pensertifikatan Hak Atas Tanah
22 PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO ... 40
3.3 Hak Atas Tanah ... 41
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan... 53
4.2 Saran ...54
DAFTAR BACAAN
NPM
: 0671010039
Tempat Tanggal Lahir
: Surabaya, 22 September 1988
Program Studi
: Strata 1 (S1)
Judul Skripsi
:
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI DIBAWAH TANGAN
TERHADAP KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH
( studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. )
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis apakah perjanjian
jual-beli dibawah tangan dapat digunakan untuk mendapatkan hak kepemilikan atas
tanah, dan mengetahui tinjauan menurut hukum adat terhadapkepemilikan hak atas
tanah, serta mengetahui kesadaran hukum masyarakat Probolinggo terhadap
kepemilikan hak atas tanah.
Jenis penelitiannya adalah hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau
penelitian hukum kepustakaan. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian
hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran
(deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum di tempat tertentu dan pada saat tertentu
yang terjadi dalam masyarakat. Metode pengumpulan data ini adalah dengan studi
pustaka yaitu mengumpulkan data-data yang diperoleh yang dari buku-buku dan dari
sumber-sumber data sekunder. Metode pengolahan data yang digunakan adalah
Editing yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat dipertanggungjawabkan.
Metode analisis data menggunakan metode induktif, yaitu menalar dari kasus-kasus
individual nyata ke hal yang umum-abstrak.
Perjanjian jual-beli dapat terjadi cukup dengan kata sepakat antara para pihak
yang menyelenggarakannya, tetapi agar mempunyai kekuatan hukum, harus dibuat
akta jual –beli oleh pejabat yang berwenang. Apabila ada perjanjian yang dibuat
dibawah tangan maka harus ada legalisasi yang dibuat oleh notaris. Hal ini
menunjukkan bahwa hukum perdata selalu membutuhkan otentisitas dalam setiap
perjanjiannya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Proses kepemilikan hak atas tanah di masyarakat pedesaan terkadang
hanya dilakukan secara lisan, kepercayaan atau saling mempercayai dan ditulis
secara sederhana, kemudian dilaporkan secara lisan ke perangkat desa dan
menindak lanjuti dengan mencatatkan di buku krawangan atau buku letter C.
Kepemilikan hak atas tanah dengan proses tersebut sangat rentan dengan
perselisihan antar pihak yang melakukan peralihan, penyalahgunaan yang
dilakukan oleh orang yang mempunyai kepentingan, dan tidak memiliki bukti
otentik yang kuat.
Undang-undang nomer 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria ( untuk
selanjutnya disingkat UUPA ) mengatur tentang peralihan hak atas tanah.
Pasal-pasal yang mengatur tentang peralihan hak tersebut adalah Pasal-pasal 20,26,28,35,38
dan 43. Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum yang sengaja dilakukan
untuk mengalihkan hak atas tanah kepada orang lain yang menerima pengalihan.
Perbuatan hukum peralihan itu dapat berupa jual beli, hibah, tukar menukar,
pemisahan dan pembagian harta biasa (bukan warisan) dan pembagian harta
warisan, penyerahan hibah wasiat (legaat), dan penyerahan tanah sebagai modal
perusahaan1.
1
Sejak tahun 1996 setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan dengan
akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 pasal 19, sekarang telah diganti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 pasal 37 tentang pendaftaran tanah
(selanjutnya disingkat menjadi PP Pendaftaran tanah), yang menyatakan bahwa
setiap perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak atas tanah, harus
dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat dihadapan pejabat yang mempunyai
kewenangan yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah nomor 37 tahun 1998. Dalam ketentuan PP pendaftaran tanah
tersebut telah ditentukan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus
menolak membuat akta peralihan atau pembebanan hutang dengan jaminan hak
atas tanah, apabila :
1. Para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum atau saksi tidak memenuhi
syarat untuk perbuatan hukum tersebut.
2. Para pihak atau salah satu pihak bertindak atas dasar kuasa mutlak.
3. Belum diperoleh izin bila pemindahan itu memerlukan izin.
4. Obyeknya dalam sengketa.
5. Tidak diperoleh syarat lain atau melanggar peraturan perundang-undangan
yang berlaku .
6. Tidak menyerahkan surat bukti hak atas tanah surat keterangan kepala desa,
pasal, 24 ayat (1) dan ( 2).
7. Tidak menyerahkan surat surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang
tanah tersebut belum bersertifikat dari kantor pertanahan.
8. Mengenai bidang tanah dan hak milik satuan rumah susun yang sudah
terdaftar :
a. Sertifikat aslinya tidak disampaikan
Untuk mencegah terjadinya akumulasi penguasaan tanah dalam satu
tangan, agar tidak bertentangan dengan tujuan Undang Undang Pokok Agraria
(UUPA) dan untuk memelihara kecocokan antara administrasi pertanahan atau
daftar-daftar tanah dengan kenyataan di lapangan, maka setiap peralihan hak perlu
diawasi dan dikendalikan serta didaftarkan.
Pengaturan mengenai pengawasan dan pengendalian hak atas tanah, telah
dituangkan dalam PP Pendaftaran tanah tentang pendaftaran tanah. Terbitnya
peraturan pemerintah ini dilatar belakangi oleh kesadaran akan pentingnya peran
tanah dalam pembangunan yang semakin memerlukan dukungan kepastian hukum
di bidang pertanahan.
Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum hak-hak atas tanah,
maka daftar-daftar yang ada di kantor pertanahan harus selalu cocok dengan fakta
di lapangan. Oleh karena itu setiap mutasi hak atas tanah dan
perubahan-perubahan mengenai obyek hak, harus selalu diikuti dengan pencatatan dalam
daftar di pendaftaran tanah.
Perolehan kepemilikan hak atas tanah ada 2 proses yaitu peristiwa hukum
dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum adalah waris, sedangkan perbuatan
hukum meliputi hibah, pembagian hak bersama, jual beli dan tukar menukar.
Khusus untuk tukar menukar, sudah jarang dilakukan lagi, karena kekhawatiran
mengenai pajak yang bisa dipalsukan oleh si pemilik tanah. Tukar menukar
sekarang beralih menjadi jual beli, karena harus menggunakan keterangan pajak
Masalah yang sering terjadi, dalam proses peralihan hak yang tidak sesuai
dengan prosedur yang diatur dalam undang-undang, sering menimbulkan sengketa
yang berakhir di pengadilan, hal ini akibat karena kurangnya pemahaman
masayarakat tentang prosedur peralihan hak atas tanah.
Perjanjian adalah hal utama yang perlu diperhatikan oleh para pihak
sebelum pembuatan akta autentik sebagaimana diatur dalam pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ( untuk selanjutnya disingkat KUHPer ) dan
harus memenuhi syarat sah nya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam
ketentuan pasal 1320 KUHPer yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab atau causa yang halal.
Secara umum perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada seorang lainya untuk melaksanakan sesuatu hal sehingga timbul
suatu hubungan yang disebut perikatan .Jadi perjanjian merupakan sumber dari
perikatan .
Kesepakatan merupakan hal yang wajib ada dalam setiap perjanjian ,hal
ini karena perbuatan hukum yang terjadi adalah perbuatan hukum yang bersegi
dua atau jamak. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini
dikenal dengan asas konsensualisme, asas ini pada dasarnya perjanjian dan
perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata
Berdasar kesepakatan pula bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya
mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat
orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk perjanjian yang mengikat
pihak ketiga.
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian
yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang
harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian
tersebut dapat dinyatakan sah, yang dimaksud dengan causa dalam hukum
perjanjian adalah suatu sebab yang halal.
Pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka
barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk
dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa
tersebut haruslah halal, jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai
kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang
atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan
perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan
pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana.
Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukup sukar
ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan
masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas,maka timbul permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian jual-beli dibawah tangan dalam teori
dan praktek ?
2. Bagaimana penerapan putusan nomor :22/PDT.G/2009/PN. Kabupaten
Probolinggo Oleh para pihak yang berperkara?
1.3. Tujuan penelitian.
1. Untuk mengetahui kekuatan hukum perjanjian jual-beli dibawah tangan dalam
teori dan praktek.
2. Untuk mengetahui penerapan putusan nomor :22/PDT.G/2009/PN. KAB.
PROB. Oleh para pihak yang berperkara.
1.4. Manfaat penelitian.
a. Secara teori, sebagai bahan referensi untuk mengkaji tentang kekuatan hukum
perjanjian jual-beli dibawah tangan dalam teori dan praktek.
b. Secara praktek, sebagai bahan pelajaran baru dan juga kontribusi pemikiran
serta informasi tambahan dalam studi hukum.
1.5. Kajian Pustaka
Sehubungan dengan kajian tentang masalah kekuatan hukum perjanjian
jual-beli dibawah tangan terhadap kepemilikan hak atas tanah studi kasus pada
putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. ,maka dapat dikemukakan
a. Pengertian perjanjian
Menurut pasal 1313 KUHPer menyatakan,
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Definisi Perjanjian dapat ditemukan dalam doktrin (Ilmu Pengetahuan
Hukum), diantaranya pendapat Subekti mengatakan “perjanjian adalah suatu
peristiwa, di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.2 Sedangkan, menurut
Prof. Abdulkadir Muhammad, “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan
mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal
mengenai harta kekayaan”3.
b. Syarat sahnya perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab atau causa yang halal.
Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif , karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif, karena
2 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan XII, PT. Intermasa, Jakarta, 2005, h. l2.
3
mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu.4
c. Jenis-Jenis Perjanjian
1. Perjanjian timbal balik dan sepihak. Pembedaanya berdasarkan pada
kewajiban berprestasi. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang
mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik,misal jual beli,
sewa-menyewa, tukar-menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang
mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang
lain untuk menerima prestasi, misal perjanjian hibah,hadiah.
2. Perjanjian bernama dan tak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian
yang sudah mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai
perjanjian-perjanjian khusus dan jumlahnya terbatas, misalnya jual beli,
sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan, pengangkutan, melakukan
pekerjaan dll. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai
nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.
3. Perjanjian obligatoir dan kebendaan. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian
yang menimbulkan hak dan kewajiban, misalnya dalam jual beli, sejak terjadi
konsensus mengenai benda dan harga, penjual wajib menyerahkan benda dan
pembeli wajib membayar harga,penjual berhak atas pembayaran
harga,pembeli berhak atas benda yang dibeli. Perjanjian kebendaan adalah
perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual beli,
hibah,tukar-menukar. Sedangkan dalam perjanjian lainnya hanya memindahkan
4
penguasaan atas benda (bezit), misalnya dalam sewa-menyewa,pinjam
pakai,gadai.
4. Perjanjian konsensual dan real. Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang
terjadinya itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja bagi
pihak-pihak. Tujuan perjanjian baru tercapai apabila ada tindakan realisasi hak
dan kewajiban tersebut. Perjanjian real adalah perjanjian yang terjadinya itu
sekaligus realisasi tujuan perjanjian yaitu pemindahan hak.
Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan
sifat hukum adat bahwa setiap perjanjian yang objeknya benda tertentu,
seketika terjadi persetujuan serentak ketika itu juga terjadi peralihan hak ini
disebut kontan (tunai).5
d. Unsur paksaan dan itikad baik
Akibat persetujuan Menurut pasal 1338 KUHPer, berbunyi
“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi merka yang membuatnya. Perrsetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
e. Asas-asas perjanjian
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan
dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan.Beberapa asas tersebut adalah
sebagai berikut ini.
1. Asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas mengadakan
perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur
5
undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak
dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan umum.
2. Asas pelengkap. Asas ini mengandung arti bahwa ketentuan
undang-undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan
membuat ketentuan-ketentuan undang-undang. Tetapi apabila dalam
perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan lain,maka berlakulah
ketentuan undang-undang. Asas ini hanya mengenai pihak-pihak saja.
3. Asas konsensual. Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian itu
terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara
pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat
dan mempunyai akibat hukum.
4. Asas obigatoir. Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian yang
dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan
kewajiban saja, belum memindahkan hak milik6.
f. Perjanjian Jual-Beli
Menurut pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jual-beli adalah
“suatu perjanjian, dengan mana para pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.7
6
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cetakan ke III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandar Lampung 2000, h.225
7
g. Perjanjian Dibawah Tangan
Perjanjian yang dibuat dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat
sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya
disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut8. Dalam pasal 1874 KUHPer
dijelaskan bahwa,
“sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani dibawah tangan, surat-surat urusan rumah-tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum”.
h. Jenis-jenis Hak Atas Tanah
Hak atas tanah menurut hukum adat yang memberi wewenang
sebagaimana atau mirip dengan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1) UUPA dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional setelah mendengar kesaksian dari masyarakat setempat,
dikonversi menjadi hak milik9.
1. Hak guna usaha, suatu hak guna usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikontrol secara langsung oleh negara untuk
waktu tertentu, yang dapat diberikan kepada perusahaan yang berusaha
dibidang pertanian, perikanan atau peternakan.
2. Hak guna bangunan, hak guna bangunan digambarkan sebagai hak
untuk mendirikan dan memiliki bangunan diatas tanah yang dimiliki
8
www.hukumonline.com, Perjanjian Bawah Tangan , diakses Tanggal 21 Desember 2010, Pukul 20.10 WIB
9
oleh pihak lain untuk jangka waktu maksimum 30 tahun. Suatu hak
guna bangunan dapat dipindahkan kepada pihak lain.
3. Hak pakai, hak pakai adalah hak untuk memanfaatkan, dan/atau
mengumpulkan hasil dari tanah yang secara langsung dikontrol oleh
negara atau tanah yang dimiliki oleh individu lain yang memberi
pemangku hak dengan wewenang dan kewajiban sebagaimana
dijabarkan didalam perjanjian pemberian hak.
4. Hak milik atas satuan bangunan bertingkat, adalah hak milik atas suatu
bangunan tertentu dari suatu bangunan bertingkat yang tujuan
peruntukan utamanya digunakan secara terpisah untuk keperluan
tertentu dan masing-masing mempunyai sarana penghubung ke jalan
umum yang meliputi antara lain suatu bagian tertentu atas suatu bidang
tanah bersama.
5. Hak sewa, suatu badan usaha atau individu memiliki hak sewa atas
tanah berhak memanfaatkan tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk
pemanfaatan bangunan dengan membayar sejumlah uang sewa kepada
pemiliknya.
i. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998
tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT adalah pejabat umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
Tugas pokok dan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 2 PP no.37 tahun
1998, yang berbunyi sebagai berikut :
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut :
a. Jual beli
b. Tukar-menukar
c.Hibah
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e.Pembagian hak bersama
f.Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik
g. Pemberian hak tanggungan
h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan
1.6. Metodologi Penelitian
Jenis penelitiannya adalah ”hukum normatif yaitu Penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau
penelitian hukum kepustakaan”.10
Tipe penelitian menggunakan penelitian hukum deskriptif bersifat
pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap
tentang keadaan hukum di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi
dalam masyarakat.11
B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder adalah
data dari penelitian kepustakaan dimana dalam data sekunder terdiri dari 3 (tiga)
bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier sebagai berikut:
1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan
permasalahan yang dibahas. Terdiri dari :
a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang
jabatan notaries
c) KUHPerdata, Subekti
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum normatif, PT RajaGrafindo persada, Jakarta, 2010, h.13
11
2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan
hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur, hasil
karya sarjana. Terdiri dari:
- Buku-buku tentang hukum perjanjian
- Buku-buku tentang Penelitian Hukum
- Handout-handout mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum
3) Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap dari
kedua bahan hukum sebelumnya yaitu kamus hukum.12
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ini adalah dengan studi pustaka. Studi
kepustakaan yaitu mengumpulkan data-data yang diperoleh dari buku-buku dan
dari sumber-sumber data sekunder dan mempelajari buku-buku, UU, KUH
Perdata, Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan perjanjian bawah tangan
terhadap kepemilikan hak atas tanah.
D. Metode Pengolahan Data
Metode yang digunakan dalam Pengolahan Data ini adalah Editing. Editing
yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat diper tanggungjawabkan. 13
E. Metode Analisis Data
Metode analisis data menggunakan metode induktif, yaitu menalar dari
kasus –kasus individual nyata ke hal yang umum-abstrak.14
12 Ibid , h.13
13 Ibid
14
F. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai tempat
pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban terhadap masalah.
Lokasi yang di pilih sebagai lokasi penelitian adalah Kantor Notaris Endang
Sulistyo Kartikawati, S.H yang beralamat di Jl. Raya Leces 2A, Probolinggo dan
kantor BPN Kota Probolinggo sebab sebagai tempat praktik magang.
G. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini adalah 3 (tiga) bulan, dimulai dari bulan Januari
sampai dengan Maret 2011. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari
minggu pertama. Tahap persiapan penelitian ini, meliputi : penentuan judul
penelitian, penulisan proposal, seminar proposal, penyusunan skripsi, dan sidang
skripsi.
1.7. Sistematika Penelitian
Bab isi skripsi ini terdiri dari 2 (dua) bab, yaitu bab II, dan bab III.Bab II
merupakan jawaban terhadap permasalahan pertama ,dan bab III merupakan
jawaban terhadap permasalahan kedua.
Bab I tentang pendahuluan yang menguraikan tentang situasi-situasi yang
melatar belakangi adanya rumusan masalah sebagai landasan atau kunci adanya
penelitian atau penulisan skripsi ini. Uraian selanjutnya mengenai penjelasan
judul ,alasan pemilihan judul,penelitian dan penulisan judul.Kemudian dilanjutkan
dengan metode penelitian sebagai arahan untuk sarana dalam pemecahan masalah
karena berisi mengenai pendekatan masalah ,sumber data ,prosedur pengumpulan
yang menguraikan mengenai alasan penempatan sistematika kerangka penulisan
skripsi ini
Bab II berisi tentang, Kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan
dalam teori dan praktek. Dalam bab ini menguraikan tentang kekuatan hukum
perjanjian jual beli dibawah tangan. Uraian selanjutnya adalah Perjanjian jual beli
dibawah tangan dalam teori dan praktek.
Bab III berisi tentang Penerapan putusan nomor
22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO. Uraian pertama adalah
Peralihan hak atas tanah. Uraian selanjutnya adalah penerapan putusan nomor
22.PDT/.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO oleh para pihak. Uraian
terakhir adalah tentang hak atas tanah.
Bab IV adalah bagian terakhir dari penulisan skripsi. Bab ini berisi tentang
kesimpulan dan saran dari penulisan skripsi. Pada kesimpulan akan dikemukan
jawaban atas permasalahan dalam skripsi itu sendiri, sedangkan saran
mengetengahkan beberapa sumbangan pemikiran dalam rangka pemecahan
BAB II
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI DIBAWAH TANGAN DALAM TEORI DAN PRAKTEK
2.1. Kekuatan Hukum Perjanjian Jual Beli Di Bawah Tangan
Umumnya perjanjian jual beli dilakukan dengan menggunakan akta
autentik, tetapi tidak sedikit juga yang melakukan jual beli dengan akta di
bawah tangan. Perjanjian adalah suatu peristiwa, di mana seorang berjanji
kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal".15
Suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian
harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320
KUHPerdata yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Cakap untuk membuat perikatan
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab atau causa yang halal.
15
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga
dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan,
penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga
dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum.16
Sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua
subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia
sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu, jadi
yang dikehendaki oleh pihak yang satu. juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.
pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaligh dan sehat
pikirannya adalah cakap menurut hukum dalam Pasal 1330 KUHPerdata
disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
adalah :
1) Orang-orang yang belum dewasa.
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan
semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Sebagai syarat ketiga suatu perjanjian harus mengenai suatu hak
tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah
16
pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam
perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah
ada atau sudah berada ditangannya berutang pada waktu perjanjian dibuat,
tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan,
asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Akhirnya oleh Pasal 1320
KUHPerdata ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang
sah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab (bahasa Belanda Oorzaak,
bahasa Latin Causa) ini dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian. Dengan
segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu
adalah suatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang
termaksud. Bukan itu yang dimaksudkan oleh Undang-undang dengan sebab
yang halal itu. Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian
atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak
dipedulikan oleh undang-undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan
apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang dicita-citakan seorang,
yang diperhatikan oleh hukum atau undang-undang hanyalah tindakan
orang-orang dalam masyarakat.
Terjadinya Perjanjian Jual-Beli :
Unsur-unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga sesuai
dengan asas "konsensualisme" yang menjiwai hukum perjanjian KUHPerdata,
perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat
mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak telah setuju tentang barang dan
harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah.17
17
Sifat konsensual dari jual-beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458
KUHPerdata yang berbunyi :
"Jual-beli dianggap sudah tercapai antara kedua belah pihak seketika setelah
mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu
belum diserahkan dan harganya belum dibayar".
Konsensualisme berasal dari kata konsensus yang berarti kesepakatan.
Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara para pihak-pihak yang
bersangkutan dicapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki
oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu
bertemu dalam sepakat tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua
belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan misalnya : "setuju",
"accord", "ok", dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh
tanda tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti)
bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan
itu. Dapat diketahui dan disimpulkan bahwa hukum perjanjian KUHPerdata
menganut asas konsensualisme. Menurut Subekti, asas tersebut harus
disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata yaitu Pasal yang mengatur tentang
syarat sahnya suatu perjanjiian dan tidak dari Pasal 1338 (1) KUHPerdata seperti
diajarkan oleh beberapa penulis karena dengan kata lain kekuatan seperti itu
diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Bukankah oleh Pasal
1338 (1) KUHPerdata yang berbunyi: "semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya", itu
dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan
"semua perjanjian yang dibuat secara sah". Perjanjian yang dibuat secara sah itu
diberikan oleh Pasal 1320 KUHPerdata dengan hanya mengenai ketentuan
pertama yaitu sepakat saja disebutkan tanpa dituntut suatu bentuk/cara
(formalitas) apapun. Sepertinya dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah
tercapai kata sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah
perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang yang membuatnya.18
Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak atau
keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di
dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin
melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian.
Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan
perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang
dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa
yaitu pihak yang "menawarkan" (melakukan "offerte") maupun oleh pihak yang
menerima penawaran tersebut.19 Dengan demikian, maka yang akan menjadi alat
pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah
pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang
berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah
tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting karena merupakan saat lahirnya
perjanjian yang mengikat laksana suatu Undang-undang), kita terpaksa berpijak
pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Ini
pula merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bukankah dari ketentuan
bahwa kita harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu timbul perasaan
18
Ibid., h.4
19
aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak
mungkin dituntut memenuhi kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak
pernah dinyatakan kepadanya. Apabila timbul perselisihan tentang apakah
terdapat konsensus atau tidak (yang berarti apakah telah dilahirkan suatu
perjanjian atau tidak), maka hakim atau pengadilanlah yang menetapkannya.20
Pernyataan timbal balik dari kedua belah pihak merupakan sumber
untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal balik di antara mereka. Semua
pernyataan dapat tidaknya dipertanggungjawabkan pada (menimbulkan
kewajiban-kewajiban bagi) pihak yang melakukan pernyataan itu. Dapat
dikatakan bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga menurut
yurisprudensi, pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat
adalah pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya. Suatu pernyataan
yang kentara dilakukan secara tidak sungguh-sungguh atau mengandung suatu
kekhilafan atau kekeliruan tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar
kesepakatan. Dalam perjanjian sungguh-sungguh dituntut tercapainya suatu
perjumpaan kehendak, sudah lampau.
Perjumpaan kehendak atau konsensus itu diukur dengan
pernyataan-pernyataan yang secara bertimbal balik telah dikeluarkan. Berdasarkan
pernyataaan-pernyataan timbal balik itu dianggap bahwa sudah dihasilkan
sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti
Undang-undang). Sekali sepakat itu dianggap ada, maka hakimlah yang akan
menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa yang telah dilahirkan dan
apa saja hak dan kewajiban para pihak.
20
Jual-beli adalah suatu perjanjian konsensuil artinya ia sudah dilahirkan
sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum)
pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai
unsur-unsur yang pokok yaitu barang dan harga, biarpun jual-beli itu mengenai
barang yang tak bergerak.
Sifat konsensuil jual bell ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata
yang berbunyi "Jual-beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak
sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun
barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar."
1)Dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah dan dibuatkan akta
jual beli.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.3711998 tentang Tugas dan
Kewenangan PPAT, sebagai berikut :
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan
dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut :
a. jual beli; b. tukar-menukar; c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng); e. pembagian harta bersama;
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
2)Didaftarkan di Badan Pertanahan Untuk Perolehan Haknya.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa pendaftaran tanah
diselenggrakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum
dibidang pertanahan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa
pendaftaran tanah diselenggrakan dalam rangka memberikan jaminan
kepastian hukum dibidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya
adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena
akan menghasilkan surat-surat bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2)
huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2). Pasal 38 ayat (2).
pendaftaran tanah juga tetap dilaksanakan melalui dua cara , yaitu
pertama-tama sacara sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau
kelurahan.
Proses pendaftaran di Kantor Pertanahan:
a) Setelah berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, Kantor
Pertanahan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik
nama kepada PPAT, selanjutnya oleh PPAT tanda bukti penerimaan
ini diserahkan kepada Pembeli.
b) Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dan
sertifikat dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor
c) Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan
kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat dengan dibubuhi
tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala Kantor
Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
d) Dalam waktu 14 (empat belas hari) pembeli sudah dapat mengambil
sertifikat yang sudah atas nama pembeli di kantor pertanahan21
Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat
sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya
disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut. Sedangkan kekuatan
pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak
menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya
di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan
kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut. Lain halnya
dengan akta autentik, akta autentik atau biasa disebut juga akta notaris memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya dapat dijadikan bukti di pengadilan
tanpa terlepas dari adanya pihak-pihak yang tidak mengakui mengenai perjanjian
yang telah dibuat dan berlaku bagi pihak ketiga.
Akta autentik artinya dapat dipercaya karena dibuat dihadapan seorang
Pejabat umum yang ditunjuk untuk itu yang dalam hal ini biasanya adalah
seorang Notaris. Sehingga akta yang buat dihadapan Notaris tersebut dapat
dipergunakan sebagai alat bukti di depan Pengadilan.
21
Sedangkan istilah surat atau akta di bawah tangan adalah istilah yang
dipergunakan untuk pembuatan suatu perjanjian antara para pihak tanpa
dihadiri atau bukan dihadapan seorang Notaris sebagaimana yang disebutkan
pada akta autentik di atas. Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah
perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu
standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak
tersebut. Sedangkan kekuatan pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut
apabila para pihak tersebut tidak menyangkal dan mengakui adanya perjanjian
tersebut (mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya
salah satu pihak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada
dalam perjanjian tersebut.
Lain halnya dengan akta autentik, akta autentik atau biasa disebut juga
akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya dapat
dijadikan bukti di Pengadilan tanpa terlepas dari ada pihak-pihak yang tidak
mengakui adanya perjanjian yang telah dibuat dan berlaku bagi pihak ketiga.
Dalam akta notaris/autentik dapat dijamin kepastian tanggalnya.
Pembuktian merupakan bagian yang penting dalam proses persidangan
suatu perkara di pengadilan. Dengan pembuktian, hakim akan mendapatkan
gambaran yang jelas mengenai perkara yang sedang menjadi sengketa di
pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dijelaskan dalam hal apa
saja pembuktian itu harus dilakukan, siapa saja yang diwajibkan untuk
Menurut hukum perdata suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis atau
otentik,karena untuk mendapatkan kepastian hukum sehingga apabila timbul
permasalahan di pengadilan dapat menjadi bukti yang sah.Untuk perjanjian
dibawah tangan, harus dengan legalisasi yang dibuat oleh notaris untuk
mendapatkan kekuatan hukumnya.
Dalam hal yang berkaitan dengan perolehan hak atas tanah, maka hukum
perdata memerlukan suatu bukti yang nyata yaitu dengan dibuatnya perjanjian
tertulis atau otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu,
yaitu PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat
Akta Tanah) sementara yaitu Camat.
Apabila ada perjanjian yang dibuat dibawah tangan maka harus ada
legalisasi yang dibuat oleh notaris. Hal ini menunjukkan bahwa hukum perdata
selalu memerlukan otentisitas dalam setiap perjanjiannya.
2.2 Perjanjian Jual Beli dibawah tangan dalam teori dan praktek
Jual beli dibawah tangan merupakan hal yang wajar terjadi, terutama di
pelosok-pelosok desa. Hal ini disebabkan karena masih minimnya pengetahuan
masyarakat terhadap hukum. Istilah surat atau akta di bawah tangan adalah istilah
yang dipergunakan untuk pembuatan suatu perjanjian antara para pihak tanpa
dihadiri atau bukan dihadapan seorang Notaris sebagaimana yang disebutkan pada
akta autentik di atas.
Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat
sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya
pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak
menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya
di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan
kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut.
Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan memiliki ciri dan
kekhasan tersendiri, berupa22:
1. Bentuknya yang bebas
2. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum
3.Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh
pembuatnya
4.Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi
juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya
dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang
sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.
Suatu akte dibawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat
oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian
jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri
oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang
menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal
tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran
apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan
22
tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte
resmi.
Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan
surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran
penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya
dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal
tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda
tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte
tersebut telah melakukan pemalsuan surat.
Kesadaran hukum masyarakat Kabupaten Probolinggo dari tahun ke tahun
cenderung meningkat, terutama untuk proses peralihan hak atas tanah. Hal ini
dikarenakan pemerintah mendorong masyarakat untuk sertifikasi tanah
sebagai bukti kepemilikan tanah secara otentik. Akibat dari kepemilikan tanah
secara non otentik dapat menimbulkan sengketa di kemudian hari.Hal ini
terdapat dalam sebuah kasus gugatan yang terjadi di Kabuapaten Probolinggo,
yang tertuang pada putusan nomor 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB yaitu
mengenai sengketa sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar
Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo23. Sebagai penggugat adalah Endji
melawan Sarini sebagai tergugat I dan Haji Misro sebagai tergugat II.
Permasalahan dimulai ketika penggugat masih kecil (sekitar umur 6 tahun),
tanpa sepengetahuan penggugat, kemudian tanah sengketa tersebut dikuasai
oleh tergugat I dengan tidak memperhatikan kepentingan penggugat selaku
23
pemilik tanah sengketa tersebut . Setelah itu , oleh tergugat I tanah tersebut
dipindah tangankan kepada tergugat II sampai dengan sekarang.
Untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi, diperlukan adanya
tambahan pengetahuan tentang proses kepemilikan hak atas tanah secara benar
kepada masyarakat, terutama masyarakat yang masih tinggal di
pelosok-pelosok desa.
Kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan secara teori tidak
bisa terjadi, dalam pasal 1470 KUHPer, dinyatakan
“Begitu pula tidak diperbolehkan menjadi pembeli pada penjualan dibawah tangan, atas ancaman yang sama, baik pembelian itu dilakukan oleh mereka sendiri maupun oleh orang-orang perantara : kuasa-kuasa mengenai barang-barang yang mereka dikuasakan menjualnya ; pengurus-pengurus mengenai benda-benda milik Negara dan milik badan-badan umum, yang dipercayakan kepada pemeliharaan dan pengurusan mereka. Namun itu adalah terserah kepada Presiden untuk memberikan kebebasan dari larangan itu kepada pengurus-pengurus umum. Segala wali dapat membeli benda-benda tak bergerak kepunyaan anak-anak yang berada dibawah perwalian mereka. Dengan cara yang ditetapkan dalam pasal 399.”
Tetapi dalam prakteknya, perjanjian jual beli dibawah tangan bisa
terjadi, bahkan banyak masyarakat yang menggunakannya. Sebenarnya
perjanjian jual beli dibawah tangan sah-sah saja dilakukan, namun perjanjian
tersebut kurang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Secara praktek, kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan
bisa mengikat kedua belah pihak selama dapat dibuktikan dan atau diakui oleh
penjualnya.
Perjanjian jual beli dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak belum
mendapat kekuatan hukumnya, perjanjian jual beli harus dilegalisasi terlebih
dahulu.
Legalisasi dalam pengertian sebenarnya adalah membuktikan bahwa
dokumen yang dibuat oleh para pihak itu memang benar-benar di tanda tangani
oleh para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu diperlukan kesaksian seorang
Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk itu yang dalam hal ini adalah
Notaris untuk menyaksikan penanda tanganan tersebut pada tanggal yang sama
dengan waktu penanda tanganan itu. Dengan demikian Legalisasi itu adalah
me-legalize dokumen yang dimaksud dihadapan Notaris dengan membuktikan
kebenaran tandan tangan penada tangan dan tanggalnya.
Legalisasi adalah pengesahan akta dibawah tangan oleh Notaris atau
pejabat umum lainnya yang ditunjuk oleh undang- undang dengan membubuhkan
BAB III
PENERAPAN PUTUSAN NOMOR 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN
PROBOLINGGO
3.1. Peralihan hak atas tanah.
Putusan hakim diikuti dengan upaya hukum, jika para pihak tidak puas
dengan putusan hakim tersebut. Tetapi, jika tidak ada upaya hukum lagi dari pihak
yang berlawanan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka putusan
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Seperti dalam putusan perkara
nomor 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO mengenai sengketa
sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton
Kabupaten Probolinggo.
Setiap peralihan hak atas tanah selalu diikuti atau disertai dengan
bukti-bukti surat yang melekat pada tanah yang dialihkan, sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku pada waktu terjadinya peristiwa peralihan hak.
Dalam putusan perkara nomor 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB yaitu
mengenai sengketa sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar
melawan Sarini sebagai tergugat I dan Haji Misro sebagai tergugat II.
Permasalahan dimulai ketika penggugat masih kecil (sekitar umur 6 tahun), tanpa
sepengetahuan penggugat, kemudian tanah sengketa tersebut dikuasai oleh
tergugat I dengan tidak memperhatikan kepentingan penggugat selaku pemilik
tanah sengketa tersebut . Setelah itu , oleh tergugat I tanah tersebut dipindah
tangankan kepada tergugat II sampai dengan sekarang.
Dari putusan hakim, disebutkan bahwa asal mula tanah sengketa tersebut
adalah dari buku C desa No. 155 persil 17 luas 0,313 ha atas nama Bapak
Sameno Nadin dan pada tanggal 2 Mei 1970 telah dikasih kepada buku C desa
812 persil 17 luas 0,313 ha. Atas nama Endji sebagaimana dalam bukti P.1 yang
sesuai pula dengan bukti T-4 yang merupakan buku C desa. Perubahan dari bukti
T-4 buku C desa No. 812 kepada bukti T-3 buku C desa atas nama Sarini Saripa,
terdapat hubungan yang terputus, karena perubahan tersebut tidak terdapat
keterangan, mengapa berubah akan tetapi hanya tertulis kasih.
Awalnya tanah sengketa tersebut, sejak Sagi dan Senema meninggal
dikerjakan oleh Nudin,ayah Senema bersama dengan Yatim dan sejak Nudin dan
Yatim meninggal tanah tersebut dikerjakan oleh Sarini, anak Nudin dari istri ke2
Arbidin alias Aryam.Sarini mengerjakan tanah tersebut bersama dengan Liyami
.Liyami adalah anak angkat Sarini yang merupakan anak dari Sarijo adik kandung
dari Sarini ,hal ini berdasar keterangan saksi penggugat Misnatun, Mat Astayat,
Dalam putusan ini disebutkan ada bukti perjanjian yaitu, akta jual beli no.
580/Paiton/XII/2005 antara Sarini dan Saripa alias Sunarmi sebagai penjual
dengan H.Misro sebagai pembeli. Menurut keterangan dari saksi tergugat, yaitu
H.Abdul Kholiq Hudi menyatakan bahwa ada 2 proses perolehan kepemilikan hak
atas tanah, yaitu peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum adalah
waris, sedangkan perbuatan hukum meliputi hibah,pembagian hak bersama,jual
beli dan tukar menukar. Khusus tukar menukar, sudah jarang dilakukan lagi,
karena kekhawatiran mengenai pajak yang bisa dipalsukan oleh si pemilik tanah.
Tukar menukar sekarang beralih menjadi jual beli, karena harus menggunakan
keterangan pajak yang paling baru.
Dari bukti penggugat bertanda P.1 surat ketetapan pajak hasil bumi atas
nama Endji C no.812, persil 17, S II , luas 0,313 ha. Yang diterbitkan pada
tanggal 2 Mei 1970, dalam kolom sebab dan tanggal perubahan tanah pada
tanggal 2 Mei 1970 kasih dari no. 155, hal tersebut bersesuaian dengan C no. 155
atas nama P. Sameno Nadin yang dilihat Majelis Hakim pada saat sidang di
tempat pada tanggal 21 Agustus 2009 dalam buku C desa di kantor desa yang
ditunjukkan oleh kepala desa Karanganyar bernama Emmat dan dihubungkan lagi
dengan bukti T-4 buku C desa no. 812 persil 17 S II luas 0,313 ha. Atas nama
Endji, yang di dalam kolom sebab dan tanggal perubahan tanah pada tanggal 18
September 1981 kasih ke C no. 1068, dimana C 1068 atas nama Sarini Saripa
(bukti T-2), dan bukti T-1 akta jual beli no. 580/Paiton/XII/2005 antara Sarini dan
Saripa alias Sunarmi sebagai penjual dengan H.Misro (Tergugat II) sebagai
Adapun dari perjanjian di bawah tangan pada putusan tersebut adalah
kurang kuat ,disebabkan karena dalam proses kepemilikanya para Tergugat secara
melawan hak dan melawan hukum sehingga tanah tersebut menjadi sengketa dan
menimbulkan gugatan.
Kekuatan hukum dalam perjanjian,pembuktiannya terletak di antara para
pihak yang melakukan suatu perjanjian tersebut dan apabila para pihak tersebut
tidak menyangkal atau mengakui adanya perjanjian tersebut, dengan mengakui
tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat. artinya salah satu pihak tidak
dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian
tersebut. Karena setiap terjadi suatu perjanjian akan dapat dikatan sah atau benar
dan dipertanggung jawabkan oleh yang bertanda tangan dalam perjanjian.
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian historis yang
mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian
yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya
berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu
dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar
yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana
seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali
apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan
seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya
alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan
mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran
formil saja.
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk
menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan
benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus
terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara.
Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi
dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil,
maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan
kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui
sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai
(notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah
diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari
Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus
membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan
menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan
memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat.
Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak
yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan
beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh
berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan
dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 KUHPer, bahwa:
" Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia
mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"
Berbeda dengan akta autentik, dalam akta autentik atau yang biasa disebut
dengan akta notaries, maka akta tersebut memiliki kekuatan hukum, sepanjang
yang hadir dihadapan notaris adalah benar-benar para pihak yang berkepentingan,
oleh karena itu setiap orang yang melakukan perjanjian wajib hadir dihadapan
notaris, maka perjanjian yang dibuatnya memiliki kekuatan hukum, tetapi jika
dalam pembuktian di pengadilan bila terjadi sengketa, para pihak dapat tidak
mengakui adanya perjanjian yang telah dibuat dihapan notaris.
Dalam akta autentik untuk sementara ini dapat dijamin kepastian hukumya,
hadir dihadapan notaris. Perjanjian yang dibuat di hadapan notaris dapat
merupakan suatu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara autentik
sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan
oleh pembuat akta (notaries) dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta
yang dibuat akan menguraikan apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya
itu dinamakan akta yang dibuat “oleh” (door) notaris ( sebagai pejabat umum ).
Akta autentik dapat disebut sebagai Akta Notariil yaitu akta yang dibuat dan
dibacakan serta ditandatangani di hadapan notaris, sedangkan substansi perjanjian
yang termuat sebagai isi akta merupakan keinginan para pihak yang melakukan
perjanjian, tapi sebagai pejabat umum, seorang notaris bertanggung jawab penuh
atas isi akta tersebut, tentang kebenaran dan ketentuan-ketentuan yang ada di
dalamnya, menjamin bahwa para pihak yang menandatangani perjanjian adalah
orang yang cakap menurut hukum.
Sedang akta yang di legalisasi adalah akta yang disebut dengan akta atau
perjanjian di bawah tangan, substansi perjanjian dibuat dan disepakati olah para
pihak yang melakukan perjanjian, agar perjanjian tersebut lebih memiliki
kekuatan hukum, para pihak meminta legalitas notaris, sebelum di legalitas para
pihak yang melakukan perjanjian harus hadir dihapan notaris dan membacakan
substansi perjanjian, bila dipandang cukup selanjutnya perjanjian tersebut
dicatatkan dalam buku register dengan memberi nomor, dan dilegalitas oleh
Dalam hal ini perjanjian yang dilagalisasi notaris memiliki kelemahan
bahwa notaris tidak bertanggungjawab terhadap substansi perjanjian, notaris
hanya menjamin tanggal perjanjian dan orang/pihak yang menandatangani
perjanjian adalah orang yang cakap dan berwenang.
Berbeda dengan akta yang di Waarmerk, karena akta yang dibuat di bawah
tangan yang sudah ditandatangani oleh para pihak dan dibawa di hadapan notaris
dan kemudian dicatatkan di dalam buku regester, dengan memberi nomor.8 Dalam
hal ini notaris hanya menjamin tanggal dari akta itu saja.
Perbedaan antara perjanjian yang dibuat oleh notaris yang disebut akta
autentik dan perjanjian yang di buat di bawah tangan, yang selanjutnya disebut
akta dibawah tangan adalah:
a Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti ( perhatikan bunyi pasal 1
P.J.N. yang menyatakan “menjamin kepastian tanggalnya dan
seterusnya), sedang mengenai tanggal dari akta atau perjanjian yang
dibuat dibawah tangan tidak selalu demikian;
b. Grosse dari akta atau perjanjian yang dibuat di hadapan notaris dalam
beberapa hal memiliki kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim,
sedangkan akta atau pejanjian yang dibuat di bawah tangan tidak pernah
mempunyai kekuatan eksekutorial.
3.2. Penerapan putusan nomor 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN
PROBOLINGGO
Dalam pokok perkara menetapkan menurut hukum, bahwa tanah sengketa
adalah milik Penggugat, yaitu Endji Atau Suradji, karena penggugat lah yang
dapat membuktikan asal muasal tanah sengketa tersebut.
Menurut hukum, penguasaan tanah sengketa yang dilakukan para tergugat
adalah tanpa hak dan melawan hukum, karena terdapat cacat dalam akta jual beli,
karena pihak penjual adalah orang yang tidak berwenang melakukan jual beli
sesuai dengan pasal 1457 KUHPer yang maksudnya jual beli suatu bentuk
perikatan untuk memberikan sesuatau yang terwujud dalam bentuk penyerahan
kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada
penjual.
Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum segala pemindahan hak atas
tanah sengketa beserta surat-surat yang berkaitan dengan pemindahan hak tersebut
kepada para tergugat atau siapa saja.
Menghukum para tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari mereka
untuk mengosongkan tanah sengketa dari semua benda miliknya dan selanjutnya
menyerahkannya kepada penggugat dalam keadaan kosong dan baik.
Penerapan putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN. KABUPATEN
PROBOLINGGO telah dilaksanakan oleh para pihak karena tidak ada upaya
hukum yang lain.
3.3. Hak Atas Tanah
Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat
atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.
berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang
menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo
pasal 53 UUPA, antara lain:
Hak Milik
Hak Guna Usaha
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai
Hak Sewa
Hak Membuka Tanah
Hak Memungut Hasil Hutan
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.
Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya
bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut
hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan
atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan
dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan
sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan
pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang
keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak
yang dimaksud antara lain :
Hak gadai,
Hak usaha bagi hasil,
Hak menumpang,
Hak sewa untuk usaha pertanian.
Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya
akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut menimbulkan
pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali
hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum Tanah
Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga bertentangan dengan
jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus
dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak.
Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah
tersebut adalah pemegang hak gadai.
Hak menumpang dimasukkan dalam hak–hak atas tanah dengan eksistensi
yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak
menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum
agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah
dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan
yang oleh karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat
hanya menunngu perintah dari penguasa tertinggi.
Sutan Syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat
Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budaya
masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan pemerintahan diktatorial.
Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan jangka pendek.
Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia dari
pemerintahan yang sewenang–wenang dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas
tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk
mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak–hak atas tanah
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :
Hak Milik
Hak Guna Usaha
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai
Hak Sewa Tanah Bangunan
Hak Pengelolaan
2. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
Hak Gadai
Hak Usaha Bagi Hasil
Hak Sewa Tanah Pertanian
Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara
paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang
bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban
hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang–undang
nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda–benda
diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama mi