• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL-BELI DIBAWAH TANGAN TERHADAP KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH ( studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. ).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL-BELI DIBAWAH TANGAN TERHADAP KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH ( studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. )."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

( studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. )

SKRIPSI

Oleh :

ADHITAMA JOKO DICKMANTYO

NPM. 0671010039

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR

SURABAYA

(2)

(

studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB.)

SKRIPSI

D

iajukan

U

ntuk

M

emenuhi

P

ersyaratan

M

emperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

UPN “Veteran”Jawa Timur

Oleh :

ADHITAMA JOKO DICKMANTYO

NPM. 0671010039

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR

SURABAYA

(3)

karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL-BELI DIBAWAH TANGAN

STUDI KASUS PADA PUTUSAN NOMOR :

22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB.

Adapun penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir

yaitu penyusunan skripsi. Terselesaikannya skripsi, tidak lepas dari bantuan

berbagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu, khususnya kepada :

1.

Bapak Hariyo Sulistiyantoro, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan Dosen

Pembimbing I yang siap membantu memberikan dukungan dan bimbingan

serta pengarahan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga dalam

hal ini penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik

2.

Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum. selaku Wadek Fakultas Hukum Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

3.

Bapak Subani, S.H., M.Si selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

4.

Ibu Yana Indawati SH.Mkn selaku Pembimbing II yang selalu siap membantu

memberikan waktu, kesempatan, dukungan dan bimbingan serta pengarahan

kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga penulis dapat

(4)

6.

Ibu Endang Sulistyo Kartikawati S.H. selaku pemilik kantor notaris/PPAT

yang memberikan penulis ruang serta tempat untuk melakukan praktek skripsi

serta selalu sabar dan selalu menyediakan waktu serta kesempatan kepada

penulis untuk bertanya dan berkonsultasi, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

7.

Kedua orang tua tercinta, Eyang Kakung, Alm.Eyang Putri dan adikku yang

telah memberikan dukungan moril maupun materiil serta doanya selama ini.

8.

Rudi Setyawan, Yudian Amada, Aditya Wisma, Doni Eko serta kawan-

kawan angkatan 2006 yang lain , serta adik-adik kelas seperjuangan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, maka

Penulis berharap kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak,

semoga skripsi ini dapat menjadi momentum awal yang berharga dan bermanfaat

bagi perkembangan disiplin ilmu terutama dalam bidang Ilmu Hukum serta

tegaknya hukum di Indonesia.

Surabaya, April 2011

(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN. ...ii

HALAMAN PENGESAHAN. ...iii

HALAMAN REVISI. ...iv

ABSTRAKSI. ... ...v

KATA PENGANTAR. ...vi

DAFTAR ISI. ... ...ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1

Latar Belakang Masalah. ...1

1.2

Rumusan Masalah. ... 6

1.3

Tujuan Penelitian... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 6

1.5 Kajian Pustaka...6

1.6 Metodelogi Penelitian...16

1.7 Sistematika Penelitian. ... 17

BAB II KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL-BELI DI BAWAH

TANGAN DALAM TEORI DAN PRAKTEK

2.1

Kekuatan Hukum Perjanjian Jual Beli Di Bawah Tangan. ... 18

(6)

BAB III PENERAPAN PUTUSAN NOMOR :

22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO

3.1 Peralihan hak atas tanah. ... 33

3.2 Pensertifikatan Hak Atas Tanah

22 PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO ... 40

3.3 Hak Atas Tanah ... 41

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan... 53

4.2 Saran ...54

DAFTAR BACAAN

(7)

NPM

: 0671010039

Tempat Tanggal Lahir

: Surabaya, 22 September 1988

Program Studi

: Strata 1 (S1)

Judul Skripsi

:

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI DIBAWAH TANGAN

TERHADAP KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH

( studi kasus pada putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. )

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis apakah perjanjian

jual-beli dibawah tangan dapat digunakan untuk mendapatkan hak kepemilikan atas

tanah, dan mengetahui tinjauan menurut hukum adat terhadapkepemilikan hak atas

tanah, serta mengetahui kesadaran hukum masyarakat Probolinggo terhadap

kepemilikan hak atas tanah.

Jenis penelitiannya adalah hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau

penelitian hukum kepustakaan. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian

hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran

(deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum di tempat tertentu dan pada saat tertentu

yang terjadi dalam masyarakat. Metode pengumpulan data ini adalah dengan studi

pustaka yaitu mengumpulkan data-data yang diperoleh yang dari buku-buku dan dari

sumber-sumber data sekunder. Metode pengolahan data yang digunakan adalah

Editing yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat dipertanggungjawabkan.

Metode analisis data menggunakan metode induktif, yaitu menalar dari kasus-kasus

individual nyata ke hal yang umum-abstrak.

Perjanjian jual-beli dapat terjadi cukup dengan kata sepakat antara para pihak

yang menyelenggarakannya, tetapi agar mempunyai kekuatan hukum, harus dibuat

akta jual –beli oleh pejabat yang berwenang. Apabila ada perjanjian yang dibuat

dibawah tangan maka harus ada legalisasi yang dibuat oleh notaris. Hal ini

menunjukkan bahwa hukum perdata selalu membutuhkan otentisitas dalam setiap

perjanjiannya.

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Proses kepemilikan hak atas tanah di masyarakat pedesaan terkadang

hanya dilakukan secara lisan, kepercayaan atau saling mempercayai dan ditulis

secara sederhana, kemudian dilaporkan secara lisan ke perangkat desa dan

menindak lanjuti dengan mencatatkan di buku krawangan atau buku letter C.

Kepemilikan hak atas tanah dengan proses tersebut sangat rentan dengan

perselisihan antar pihak yang melakukan peralihan, penyalahgunaan yang

dilakukan oleh orang yang mempunyai kepentingan, dan tidak memiliki bukti

otentik yang kuat.

Undang-undang nomer 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria ( untuk

selanjutnya disingkat UUPA ) mengatur tentang peralihan hak atas tanah.

Pasal-pasal yang mengatur tentang peralihan hak tersebut adalah Pasal-pasal 20,26,28,35,38

dan 43. Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum yang sengaja dilakukan

untuk mengalihkan hak atas tanah kepada orang lain yang menerima pengalihan.

Perbuatan hukum peralihan itu dapat berupa jual beli, hibah, tukar menukar,

pemisahan dan pembagian harta biasa (bukan warisan) dan pembagian harta

warisan, penyerahan hibah wasiat (legaat), dan penyerahan tanah sebagai modal

perusahaan1.

1

(9)

Sejak tahun 1996 setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan dengan

akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, menurut Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 pasal 19, sekarang telah diganti dengan

Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 pasal 37 tentang pendaftaran tanah

(selanjutnya disingkat menjadi PP Pendaftaran tanah), yang menyatakan bahwa

setiap perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak atas tanah, harus

dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat dihadapan pejabat yang mempunyai

kewenangan yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Pemerintah nomor 37 tahun 1998. Dalam ketentuan PP pendaftaran tanah

tersebut telah ditentukan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus

menolak membuat akta peralihan atau pembebanan hutang dengan jaminan hak

atas tanah, apabila :

1. Para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum atau saksi tidak memenuhi

syarat untuk perbuatan hukum tersebut.

2. Para pihak atau salah satu pihak bertindak atas dasar kuasa mutlak.

3. Belum diperoleh izin bila pemindahan itu memerlukan izin.

4. Obyeknya dalam sengketa.

5. Tidak diperoleh syarat lain atau melanggar peraturan perundang-undangan

yang berlaku .

6. Tidak menyerahkan surat bukti hak atas tanah surat keterangan kepala desa,

pasal, 24 ayat (1) dan ( 2).

7. Tidak menyerahkan surat surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang

tanah tersebut belum bersertifikat dari kantor pertanahan.

8. Mengenai bidang tanah dan hak milik satuan rumah susun yang sudah

terdaftar :

a. Sertifikat aslinya tidak disampaikan

(10)

Untuk mencegah terjadinya akumulasi penguasaan tanah dalam satu

tangan, agar tidak bertentangan dengan tujuan Undang Undang Pokok Agraria

(UUPA) dan untuk memelihara kecocokan antara administrasi pertanahan atau

daftar-daftar tanah dengan kenyataan di lapangan, maka setiap peralihan hak perlu

diawasi dan dikendalikan serta didaftarkan.

Pengaturan mengenai pengawasan dan pengendalian hak atas tanah, telah

dituangkan dalam PP Pendaftaran tanah tentang pendaftaran tanah. Terbitnya

peraturan pemerintah ini dilatar belakangi oleh kesadaran akan pentingnya peran

tanah dalam pembangunan yang semakin memerlukan dukungan kepastian hukum

di bidang pertanahan.

Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum hak-hak atas tanah,

maka daftar-daftar yang ada di kantor pertanahan harus selalu cocok dengan fakta

di lapangan. Oleh karena itu setiap mutasi hak atas tanah dan

perubahan-perubahan mengenai obyek hak, harus selalu diikuti dengan pencatatan dalam

daftar di pendaftaran tanah.

Perolehan kepemilikan hak atas tanah ada 2 proses yaitu peristiwa hukum

dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum adalah waris, sedangkan perbuatan

hukum meliputi hibah, pembagian hak bersama, jual beli dan tukar menukar.

Khusus untuk tukar menukar, sudah jarang dilakukan lagi, karena kekhawatiran

mengenai pajak yang bisa dipalsukan oleh si pemilik tanah. Tukar menukar

sekarang beralih menjadi jual beli, karena harus menggunakan keterangan pajak

(11)

Masalah yang sering terjadi, dalam proses peralihan hak yang tidak sesuai

dengan prosedur yang diatur dalam undang-undang, sering menimbulkan sengketa

yang berakhir di pengadilan, hal ini akibat karena kurangnya pemahaman

masayarakat tentang prosedur peralihan hak atas tanah.

Perjanjian adalah hal utama yang perlu diperhatikan oleh para pihak

sebelum pembuatan akta autentik sebagaimana diatur dalam pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata ( untuk selanjutnya disingkat KUHPer ) dan

harus memenuhi syarat sah nya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam

ketentuan pasal 1320 KUHPer yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab atau causa yang halal.

Secara umum perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang

berjanji kepada seorang lainya untuk melaksanakan sesuatu hal sehingga timbul

suatu hubungan yang disebut perikatan .Jadi perjanjian merupakan sumber dari

perikatan .

Kesepakatan merupakan hal yang wajib ada dalam setiap perjanjian ,hal

ini karena perbuatan hukum yang terjadi adalah perbuatan hukum yang bersegi

dua atau jamak. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini

dikenal dengan asas konsensualisme, asas ini pada dasarnya perjanjian dan

perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata

(12)

Berdasar kesepakatan pula bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya

mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat

orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk perjanjian yang mengikat

pihak ketiga.

Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian

yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang

harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian

tersebut dapat dinyatakan sah, yang dimaksud dengan causa dalam hukum

perjanjian adalah suatu sebab yang halal.

Pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka

barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk

dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa

tersebut haruslah halal, jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai

kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang

atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan

perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan

pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana.

Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukup sukar

ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan

masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang

(13)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas,maka timbul permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian jual-beli dibawah tangan dalam teori

dan praktek ?

2. Bagaimana penerapan putusan nomor :22/PDT.G/2009/PN. Kabupaten

Probolinggo Oleh para pihak yang berperkara?

1.3. Tujuan penelitian.

1. Untuk mengetahui kekuatan hukum perjanjian jual-beli dibawah tangan dalam

teori dan praktek.

2. Untuk mengetahui  penerapan putusan nomor :22/PDT.G/2009/PN. KAB.

PROB. Oleh para pihak yang berperkara.

1.4. Manfaat penelitian.

a. Secara teori, sebagai bahan referensi untuk mengkaji tentang kekuatan hukum

perjanjian jual-beli dibawah tangan dalam teori dan praktek.

b. Secara praktek, sebagai bahan pelajaran baru dan juga kontribusi pemikiran

serta informasi tambahan dalam studi hukum.

1.5. Kajian Pustaka

Sehubungan dengan kajian tentang masalah kekuatan hukum perjanjian

jual-beli dibawah tangan terhadap kepemilikan hak atas tanah studi kasus pada

putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB. ,maka dapat dikemukakan

(14)

a. Pengertian perjanjian

Menurut pasal 1313 KUHPer menyatakan,

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Definisi Perjanjian dapat ditemukan dalam doktrin (Ilmu Pengetahuan

Hukum), diantaranya pendapat Subekti mengatakan “perjanjian adalah suatu

peristiwa, di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang

itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.2 Sedangkan, menurut

Prof. Abdulkadir Muhammad, “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan

mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal

mengenai harta kekayaan”3.

b. Syarat sahnya perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab atau causa yang halal.

Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif , karena

mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif, karena

2 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan XII, PT. Intermasa, Jakarta, 2005, h. l2.

3

(15)

mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang

dilakukan itu.4

c. Jenis-Jenis Perjanjian

1. Perjanjian timbal balik dan sepihak. Pembedaanya berdasarkan pada

kewajiban berprestasi. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang

mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik,misal jual beli,

sewa-menyewa, tukar-menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang

mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang

lain untuk menerima prestasi, misal perjanjian hibah,hadiah.

2. Perjanjian bernama dan tak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian

yang sudah mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai

perjanjian-perjanjian khusus dan jumlahnya terbatas, misalnya jual beli,

sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan, pengangkutan, melakukan

pekerjaan dll. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai

nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

3. Perjanjian obligatoir dan kebendaan. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian

yang menimbulkan hak dan kewajiban, misalnya dalam jual beli, sejak terjadi

konsensus mengenai benda dan harga, penjual wajib menyerahkan benda dan

pembeli wajib membayar harga,penjual berhak atas pembayaran

harga,pembeli berhak atas benda yang dibeli. Perjanjian kebendaan adalah

perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual beli,

hibah,tukar-menukar. Sedangkan dalam perjanjian lainnya hanya memindahkan

4

(16)

penguasaan atas benda (bezit), misalnya dalam sewa-menyewa,pinjam

pakai,gadai.

4. Perjanjian konsensual dan real. Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang

terjadinya itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja bagi

pihak-pihak. Tujuan perjanjian baru tercapai apabila ada tindakan realisasi hak

dan kewajiban tersebut. Perjanjian real adalah perjanjian yang terjadinya itu

sekaligus realisasi tujuan perjanjian yaitu pemindahan hak.

Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan

sifat hukum adat bahwa setiap perjanjian yang objeknya benda tertentu,

seketika terjadi persetujuan serentak ketika itu juga terjadi peralihan hak ini

disebut kontan (tunai).5

d. Unsur paksaan dan itikad baik

Akibat persetujuan Menurut pasal 1338 KUHPer, berbunyi

“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi merka yang membuatnya. Perrsetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

e. Asas-asas perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan

dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan.Beberapa asas tersebut adalah

sebagai berikut ini.

1. Asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas mengadakan

perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur

5

(17)

undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak

dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban

umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan umum.

2. Asas pelengkap. Asas ini mengandung arti bahwa ketentuan

undang-undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan

membuat ketentuan-ketentuan undang-undang. Tetapi apabila dalam

perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan lain,maka berlakulah

ketentuan undang-undang. Asas ini hanya mengenai pihak-pihak saja.

3. Asas konsensual. Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian itu

terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara

pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat

dan mempunyai akibat hukum.

4. Asas obigatoir. Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian yang

dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan

kewajiban saja, belum memindahkan hak milik6.

f. Perjanjian Jual-Beli

Menurut pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jual-beli adalah

“suatu perjanjian, dengan mana para pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.7

6

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cetakan ke III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandar Lampung 2000, h.225

7

(18)

g. Perjanjian Dibawah Tangan

Perjanjian yang dibuat dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat

sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya

disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut8. Dalam pasal 1874 KUHPer

dijelaskan bahwa,

“sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani dibawah tangan, surat-surat urusan rumah-tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum”.

h. Jenis-jenis Hak Atas Tanah

Hak atas tanah menurut hukum adat yang memberi wewenang

sebagaimana atau mirip dengan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat

(1) UUPA dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan oleh Kepala Badan

Pertanahan Nasional setelah mendengar kesaksian dari masyarakat setempat,

dikonversi menjadi hak milik9.

1. Hak guna usaha, suatu hak guna usaha adalah hak untuk

mengusahakan tanah yang dikontrol secara langsung oleh negara untuk

waktu tertentu, yang dapat diberikan kepada perusahaan yang berusaha

dibidang pertanian, perikanan atau peternakan.

2. Hak guna bangunan, hak guna bangunan digambarkan sebagai hak

untuk mendirikan dan memiliki bangunan diatas tanah yang dimiliki

8

www.hukumonline.com, Perjanjian Bawah Tangan , diakses Tanggal 21 Desember 2010, Pukul 20.10 WIB

9

(19)

oleh pihak lain untuk jangka waktu maksimum 30 tahun. Suatu hak

guna bangunan dapat dipindahkan kepada pihak lain.

3. Hak pakai, hak pakai adalah hak untuk memanfaatkan, dan/atau

mengumpulkan hasil dari tanah yang secara langsung dikontrol oleh

negara atau tanah yang dimiliki oleh individu lain yang memberi

pemangku hak dengan wewenang dan kewajiban sebagaimana

dijabarkan didalam perjanjian pemberian hak.

4. Hak milik atas satuan bangunan bertingkat, adalah hak milik atas suatu

bangunan tertentu dari suatu bangunan bertingkat yang tujuan

peruntukan utamanya digunakan secara terpisah untuk keperluan

tertentu dan masing-masing mempunyai sarana penghubung ke jalan

umum yang meliputi antara lain suatu bagian tertentu atas suatu bidang

tanah bersama.

5. Hak sewa, suatu badan usaha atau individu memiliki hak sewa atas

tanah berhak memanfaatkan tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk

pemanfaatan bangunan dengan membayar sejumlah uang sewa kepada

pemiliknya.

i. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998

tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT adalah pejabat umum yang

diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum

(20)

Tugas pokok dan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 2 PP no.37 tahun

1998, yang berbunyi sebagai berikut :

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah

dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum

tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai

berikut :

a. Jual beli

b. Tukar-menukar

c.Hibah

d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)

e.Pembagian hak bersama

f.Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik

g. Pemberian hak tanggungan

h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan

1.6. Metodologi Penelitian

(21)

Jenis penelitiannya adalah ”hukum normatif yaitu Penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau

penelitian hukum kepustakaan”.10

Tipe penelitian menggunakan penelitian hukum deskriptif bersifat

pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap

tentang keadaan hukum di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi

dalam masyarakat.11

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder adalah

data dari penelitian kepustakaan dimana dalam data sekunder terdiri dari 3 (tiga)

bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tersier sebagai berikut:

1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan

permasalahan yang dibahas. Terdiri dari :

a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang

jabatan notaries

c) KUHPerdata, Subekti

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum normatif, PT RajaGrafindo persada, Jakarta, 2010, h.13

11

(22)

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan

hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur, hasil

karya sarjana. Terdiri dari:

- Buku-buku tentang hukum perjanjian

- Buku-buku tentang Penelitian Hukum

- Handout-handout mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum

3) Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap dari

kedua bahan hukum sebelumnya yaitu kamus hukum.12

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ini adalah dengan studi pustaka. Studi

kepustakaan yaitu mengumpulkan data-data yang diperoleh dari buku-buku dan

dari sumber-sumber data sekunder dan mempelajari buku-buku, UU, KUH

Perdata, Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan perjanjian bawah tangan

terhadap kepemilikan hak atas tanah.

D. Metode Pengolahan Data

Metode yang digunakan dalam Pengolahan Data ini adalah Editing. Editing

yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat diper tanggungjawabkan. 13

E. Metode Analisis Data

Metode analisis data menggunakan metode induktif, yaitu menalar dari

kasus –kasus individual nyata ke hal yang umum-abstrak.14

12 Ibid , h.13

13 Ibid

14

(23)

F. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai tempat

pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban terhadap masalah.

Lokasi yang di pilih sebagai lokasi penelitian adalah Kantor Notaris Endang

Sulistyo Kartikawati, S.H yang beralamat di Jl. Raya Leces 2A, Probolinggo dan

kantor BPN Kota Probolinggo sebab sebagai tempat praktik magang.

G. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini adalah 3 (tiga) bulan, dimulai dari bulan Januari

sampai dengan Maret 2011. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari

minggu pertama. Tahap persiapan penelitian ini, meliputi : penentuan judul

penelitian, penulisan proposal, seminar proposal, penyusunan skripsi, dan sidang

skripsi.

1.7. Sistematika Penelitian

Bab isi skripsi ini terdiri dari 2 (dua) bab, yaitu bab II, dan bab III.Bab II

merupakan jawaban terhadap permasalahan pertama ,dan bab III merupakan

jawaban terhadap permasalahan kedua.

Bab I tentang pendahuluan yang menguraikan tentang situasi-situasi yang

melatar belakangi adanya rumusan masalah sebagai landasan atau kunci adanya

penelitian atau penulisan skripsi ini. Uraian selanjutnya mengenai penjelasan

judul ,alasan pemilihan judul,penelitian dan penulisan judul.Kemudian dilanjutkan

dengan metode penelitian sebagai arahan untuk sarana dalam pemecahan masalah

karena berisi mengenai pendekatan masalah ,sumber data ,prosedur pengumpulan

(24)

yang menguraikan mengenai alasan penempatan sistematika kerangka penulisan

skripsi ini

Bab II berisi tentang, Kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan

dalam teori dan praktek. Dalam bab ini menguraikan tentang kekuatan hukum

perjanjian jual beli dibawah tangan. Uraian selanjutnya adalah Perjanjian jual beli

dibawah tangan dalam teori dan praktek.

Bab III berisi tentang Penerapan putusan nomor

22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO. Uraian pertama adalah

Peralihan hak atas tanah. Uraian selanjutnya adalah penerapan putusan nomor

22.PDT/.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO oleh para pihak. Uraian

terakhir adalah tentang hak atas tanah.

Bab IV adalah bagian terakhir dari penulisan skripsi. Bab ini berisi tentang

kesimpulan dan saran dari penulisan skripsi. Pada kesimpulan akan dikemukan

jawaban atas permasalahan dalam skripsi itu sendiri, sedangkan saran

mengetengahkan beberapa sumbangan pemikiran dalam rangka pemecahan

(25)

BAB II

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI DIBAWAH TANGAN DALAM TEORI DAN PRAKTEK

2.1. Kekuatan Hukum Perjanjian Jual Beli Di Bawah Tangan

Umumnya perjanjian jual beli dilakukan dengan menggunakan akta

autentik, tetapi tidak sedikit juga yang melakukan jual beli dengan akta di

bawah tangan. Perjanjian adalah suatu peristiwa, di mana seorang berjanji

kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal".15

Suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian

harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320

KUHPerdata yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Cakap untuk membuat perikatan

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab atau causa yang halal.

15

(26)

Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga

dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan,

penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek

mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga

dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi

hukum.16

Sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua

subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia

sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu, jadi

yang dikehendaki oleh pihak yang satu. juga dikehendaki oleh pihak yang lain.

Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.

pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaligh dan sehat

pikirannya adalah cakap menurut hukum dalam Pasal 1330 KUHPerdata

disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian

adalah :

1) Orang-orang yang belum dewasa.

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan

semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

Sebagai syarat ketiga suatu perjanjian harus mengenai suatu hak

tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah

16

(27)

pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam

perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah

ada atau sudah berada ditangannya berutang pada waktu perjanjian dibuat,

tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan,

asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Akhirnya oleh Pasal 1320

KUHPerdata ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang

sah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab (bahasa Belanda Oorzaak,

bahasa Latin Causa) ini dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian. Dengan

segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu

adalah suatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang

termaksud. Bukan itu yang dimaksudkan oleh Undang-undang dengan sebab

yang halal itu. Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian

atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak

dipedulikan oleh undang-undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan

apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang dicita-citakan seorang,

yang diperhatikan oleh hukum atau undang-undang hanyalah tindakan

orang-orang dalam masyarakat.

Terjadinya Perjanjian Jual-Beli :

Unsur-unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga sesuai

dengan asas "konsensualisme" yang menjiwai hukum perjanjian KUHPerdata,

perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat

mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak telah setuju tentang barang dan

harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah.17

17

(28)

Sifat konsensual dari jual-beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458

KUHPerdata yang berbunyi :

"Jual-beli dianggap sudah tercapai antara kedua belah pihak seketika setelah

mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu

belum diserahkan dan harganya belum dibayar".

Konsensualisme berasal dari kata konsensus yang berarti kesepakatan.

Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara para pihak-pihak yang

bersangkutan dicapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki

oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu

bertemu dalam sepakat tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua

belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan misalnya : "setuju",

"accord", "ok", dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh

tanda tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti)

bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan

itu. Dapat diketahui dan disimpulkan bahwa hukum perjanjian KUHPerdata

menganut asas konsensualisme. Menurut Subekti, asas tersebut harus

disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata yaitu Pasal yang mengatur tentang

syarat sahnya suatu perjanjiian dan tidak dari Pasal 1338 (1) KUHPerdata seperti

diajarkan oleh beberapa penulis karena dengan kata lain kekuatan seperti itu

diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Bukankah oleh Pasal

1338 (1) KUHPerdata yang berbunyi: "semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya", itu

dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan

(29)

"semua perjanjian yang dibuat secara sah". Perjanjian yang dibuat secara sah itu

diberikan oleh Pasal 1320 KUHPerdata dengan hanya mengenai ketentuan

pertama yaitu sepakat saja disebutkan tanpa dituntut suatu bentuk/cara

(formalitas) apapun. Sepertinya dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah

tercapai kata sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah

perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang yang membuatnya.18

Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak atau

keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di

dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin

melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian.

Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan

perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang

dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa

yaitu pihak yang "menawarkan" (melakukan "offerte") maupun oleh pihak yang

menerima penawaran tersebut.19 Dengan demikian, maka yang akan menjadi alat

pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah

pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang

berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah

tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting karena merupakan saat lahirnya

perjanjian yang mengikat laksana suatu Undang-undang), kita terpaksa berpijak

pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Ini

pula merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bukankah dari ketentuan

bahwa kita harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu timbul perasaan

18

Ibid., h.4

19

(30)

aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak

mungkin dituntut memenuhi kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak

pernah dinyatakan kepadanya. Apabila timbul perselisihan tentang apakah

terdapat konsensus atau tidak (yang berarti apakah telah dilahirkan suatu

perjanjian atau tidak), maka hakim atau pengadilanlah yang menetapkannya.20

Pernyataan timbal balik dari kedua belah pihak merupakan sumber

untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal balik di antara mereka. Semua

pernyataan dapat tidaknya dipertanggungjawabkan pada (menimbulkan

kewajiban-kewajiban bagi) pihak yang melakukan pernyataan itu. Dapat

dikatakan bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga menurut

yurisprudensi, pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat

adalah pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya. Suatu pernyataan

yang kentara dilakukan secara tidak sungguh-sungguh atau mengandung suatu

kekhilafan atau kekeliruan tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar

kesepakatan. Dalam perjanjian sungguh-sungguh dituntut tercapainya suatu

perjumpaan kehendak, sudah lampau.

Perjumpaan kehendak atau konsensus itu diukur dengan

pernyataan-pernyataan yang secara bertimbal balik telah dikeluarkan. Berdasarkan

pernyataaan-pernyataan timbal balik itu dianggap bahwa sudah dihasilkan

sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti

Undang-undang). Sekali sepakat itu dianggap ada, maka hakimlah yang akan

menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa yang telah dilahirkan dan

apa saja hak dan kewajiban para pihak.

20

(31)

Jual-beli adalah suatu perjanjian konsensuil artinya ia sudah dilahirkan

sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum)

pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai

unsur-unsur yang pokok yaitu barang dan harga, biarpun jual-beli itu mengenai

barang yang tak bergerak.

Sifat konsensuil jual bell ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata

yang berbunyi "Jual-beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak

sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun

barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar."

1)Dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah dan dibuatkan akta

jual beli.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.3711998 tentang Tugas dan

Kewenangan PPAT, sebagai berikut :

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan

pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah

dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah

atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan

dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang

diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

sebagai berikut :

a. jual beli; b. tukar-menukar; c. hibah;

d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng); e. pembagian harta bersama;

(32)

g. pemberian Hak Tanggungan

h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

2)Didaftarkan di Badan Pertanahan Untuk Perolehan Haknya.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa pendaftaran tanah

diselenggrakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum

dibidang pertanahan

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa

pendaftaran tanah diselenggrakan dalam rangka memberikan jaminan

kepastian hukum dibidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya

adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena

akan menghasilkan surat-surat bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2)

huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2). Pasal 38 ayat (2).

pendaftaran tanah juga tetap dilaksanakan melalui dua cara , yaitu

pertama-tama sacara sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau

kelurahan.

Proses pendaftaran di Kantor Pertanahan:

a) Setelah berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, Kantor

Pertanahan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik

nama kepada PPAT, selanjutnya oleh PPAT tanda bukti penerimaan

ini diserahkan kepada Pembeli.

b) Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dan

sertifikat dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor

(33)

c) Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan

kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat dengan dibubuhi

tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala Kantor

Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.

d) Dalam waktu 14 (empat belas hari) pembeli sudah dapat mengambil

sertifikat yang sudah atas nama pembeli di kantor pertanahan21

Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat

sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya

disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut. Sedangkan kekuatan

pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak

menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya

di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan

kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut. Lain halnya

dengan akta autentik, akta autentik atau biasa disebut juga akta notaris memiliki

kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya dapat dijadikan bukti di pengadilan

tanpa terlepas dari adanya pihak-pihak yang tidak mengakui mengenai perjanjian

yang telah dibuat dan berlaku bagi pihak ketiga.

Akta autentik artinya dapat dipercaya karena dibuat dihadapan seorang

Pejabat umum yang ditunjuk untuk itu yang dalam hal ini biasanya adalah

seorang Notaris. Sehingga akta yang buat dihadapan Notaris tersebut dapat

dipergunakan sebagai alat bukti di depan Pengadilan.

21

(34)

Sedangkan istilah surat atau akta di bawah tangan adalah istilah yang

dipergunakan untuk pembuatan suatu perjanjian antara para pihak tanpa

dihadiri atau bukan dihadapan seorang Notaris sebagaimana yang disebutkan

pada akta autentik di atas. Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah

perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu

standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak

tersebut. Sedangkan kekuatan pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut

apabila para pihak tersebut tidak menyangkal dan mengakui adanya perjanjian

tersebut (mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya

salah satu pihak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada

dalam perjanjian tersebut.

Lain halnya dengan akta autentik, akta autentik atau biasa disebut juga

akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya dapat

dijadikan bukti di Pengadilan tanpa terlepas dari ada pihak-pihak yang tidak

mengakui adanya perjanjian yang telah dibuat dan berlaku bagi pihak ketiga.

Dalam akta notaris/autentik dapat dijamin kepastian tanggalnya.

Pembuktian merupakan bagian yang penting dalam proses persidangan

suatu perkara di pengadilan. Dengan pembuktian, hakim akan mendapatkan

gambaran yang jelas mengenai perkara yang sedang menjadi sengketa di

pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dijelaskan dalam hal apa

saja pembuktian itu harus dilakukan, siapa saja yang diwajibkan untuk

(35)

Menurut hukum perdata suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis atau

otentik,karena untuk mendapatkan kepastian hukum sehingga apabila timbul

permasalahan di pengadilan dapat menjadi bukti yang sah.Untuk perjanjian

dibawah tangan, harus dengan legalisasi yang dibuat oleh notaris untuk

mendapatkan kekuatan hukumnya.

Dalam hal yang berkaitan dengan perolehan hak atas tanah, maka hukum

perdata memerlukan suatu bukti yang nyata yaitu dengan dibuatnya perjanjian

tertulis atau otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu,

yaitu PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat

Akta Tanah) sementara yaitu Camat.

Apabila ada perjanjian yang dibuat dibawah tangan maka harus ada

legalisasi yang dibuat oleh notaris. Hal ini menunjukkan bahwa hukum perdata

selalu memerlukan otentisitas dalam setiap perjanjiannya.

2.2 Perjanjian Jual Beli dibawah tangan dalam teori dan praktek

Jual beli dibawah tangan merupakan hal yang wajar terjadi, terutama di

pelosok-pelosok desa. Hal ini disebabkan karena masih minimnya pengetahuan

masyarakat terhadap hukum. Istilah surat atau akta di bawah tangan adalah istilah

yang dipergunakan untuk pembuatan suatu perjanjian antara para pihak tanpa

dihadiri atau bukan dihadapan seorang Notaris sebagaimana yang disebutkan pada

akta autentik di atas.

Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat

sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya

(36)

pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak

menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya

di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan

kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut.

Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan memiliki ciri dan

kekhasan tersendiri, berupa22:

1. Bentuknya yang bebas

2. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum

3.Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh

pembuatnya

4.Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi

juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya

dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang

sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.

Suatu akte dibawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat

oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian

jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri

oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang

menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal

tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran

apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan

22

(37)

tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte

resmi.

Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan

surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran

penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya

dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal

tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda

tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte

tersebut telah melakukan pemalsuan surat.

Kesadaran hukum masyarakat Kabupaten Probolinggo dari tahun ke tahun

cenderung meningkat, terutama untuk proses peralihan hak atas tanah. Hal ini

dikarenakan pemerintah mendorong masyarakat untuk sertifikasi tanah

sebagai bukti kepemilikan tanah secara otentik. Akibat dari kepemilikan tanah

secara non otentik dapat menimbulkan sengketa di kemudian hari.Hal ini

terdapat dalam sebuah kasus gugatan yang terjadi di Kabuapaten Probolinggo,

yang tertuang pada putusan nomor 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB yaitu

mengenai sengketa sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar

Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo23. Sebagai penggugat adalah Endji

melawan Sarini sebagai tergugat I dan Haji Misro sebagai tergugat II.

Permasalahan dimulai ketika penggugat masih kecil (sekitar umur 6 tahun),

tanpa sepengetahuan penggugat, kemudian tanah sengketa tersebut dikuasai

oleh tergugat I dengan tidak memperhatikan kepentingan penggugat selaku

23

(38)

pemilik tanah sengketa tersebut . Setelah itu , oleh tergugat I tanah tersebut

dipindah tangankan kepada tergugat II sampai dengan sekarang.

Untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi, diperlukan adanya

tambahan pengetahuan tentang proses kepemilikan hak atas tanah secara benar

kepada masyarakat, terutama masyarakat yang masih tinggal di

pelosok-pelosok desa.

Kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan secara teori tidak

bisa terjadi, dalam pasal 1470 KUHPer, dinyatakan

“Begitu pula tidak diperbolehkan menjadi pembeli pada penjualan dibawah tangan, atas ancaman yang sama, baik pembelian itu dilakukan oleh mereka sendiri maupun oleh orang-orang perantara : kuasa-kuasa mengenai barang-barang yang mereka dikuasakan menjualnya ; pengurus-pengurus mengenai benda-benda milik Negara dan milik badan-badan umum, yang dipercayakan kepada pemeliharaan dan pengurusan mereka. Namun itu adalah terserah kepada Presiden untuk memberikan kebebasan dari larangan itu kepada pengurus-pengurus umum. Segala wali dapat membeli benda-benda tak bergerak kepunyaan anak-anak yang berada dibawah perwalian mereka. Dengan cara yang ditetapkan dalam pasal 399.”

Tetapi dalam prakteknya, perjanjian jual beli dibawah tangan bisa

terjadi, bahkan banyak masyarakat yang menggunakannya. Sebenarnya

perjanjian jual beli dibawah tangan sah-sah saja dilakukan, namun perjanjian

tersebut kurang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Secara praktek, kekuatan hukum perjanjian jual beli dibawah tangan

bisa mengikat kedua belah pihak selama dapat dibuktikan dan atau diakui oleh

penjualnya.

Perjanjian jual beli dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak belum

(39)

mendapat kekuatan hukumnya, perjanjian jual beli harus dilegalisasi terlebih

dahulu.

Legalisasi dalam pengertian sebenarnya adalah membuktikan bahwa

dokumen yang dibuat oleh para pihak itu memang benar-benar di tanda tangani

oleh para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu diperlukan kesaksian seorang

Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk itu yang dalam hal ini adalah

Notaris untuk menyaksikan penanda tanganan tersebut pada tanggal yang sama

dengan waktu penanda tanganan itu. Dengan demikian Legalisasi itu adalah

me-legalize dokumen yang dimaksud dihadapan Notaris dengan membuktikan

kebenaran tandan tangan penada tangan dan tanggalnya.

Legalisasi adalah pengesahan akta dibawah tangan oleh Notaris atau

pejabat umum lainnya yang ditunjuk oleh undang- undang dengan membubuhkan

(40)

BAB III

PENERAPAN PUTUSAN NOMOR 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN

PROBOLINGGO

3.1. Peralihan hak atas tanah.

Putusan hakim diikuti dengan upaya hukum, jika para pihak tidak puas

dengan putusan hakim tersebut. Tetapi, jika tidak ada upaya hukum lagi dari pihak

yang berlawanan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka putusan

tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Seperti dalam putusan perkara

nomor 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN PROBOLINGGO mengenai sengketa

sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton

Kabupaten Probolinggo.

Setiap peralihan hak atas tanah selalu diikuti atau disertai dengan

bukti-bukti surat yang melekat pada tanah yang dialihkan, sesuai dengan ketentuan

perundangan yang berlaku pada waktu terjadinya peristiwa peralihan hak.

Dalam putusan perkara nomor 22/PDT.G/2009/PN.KAB.PROB yaitu

mengenai sengketa sebidang tanah sawah yang terletak di Desa Karanganyar

(41)

melawan Sarini sebagai tergugat I dan Haji Misro sebagai tergugat II.

Permasalahan dimulai ketika penggugat masih kecil (sekitar umur 6 tahun), tanpa

sepengetahuan penggugat, kemudian tanah sengketa tersebut dikuasai oleh

tergugat I dengan tidak memperhatikan kepentingan penggugat selaku pemilik

tanah sengketa tersebut . Setelah itu , oleh tergugat I tanah tersebut dipindah

tangankan kepada tergugat II sampai dengan sekarang.

Dari putusan hakim, disebutkan bahwa asal mula tanah sengketa tersebut

adalah dari buku C desa No. 155 persil 17 luas 0,313 ha atas nama Bapak

Sameno Nadin dan pada tanggal 2 Mei 1970 telah dikasih kepada buku C desa

812 persil 17 luas 0,313 ha. Atas nama Endji sebagaimana dalam bukti P.1 yang

sesuai pula dengan bukti T-4 yang merupakan buku C desa. Perubahan dari bukti

T-4 buku C desa No. 812 kepada bukti T-3 buku C desa atas nama Sarini Saripa,

terdapat hubungan yang terputus, karena perubahan tersebut tidak terdapat

keterangan, mengapa berubah akan tetapi hanya tertulis kasih.

Awalnya tanah sengketa tersebut, sejak Sagi dan Senema meninggal

dikerjakan oleh Nudin,ayah Senema bersama dengan Yatim dan sejak Nudin dan

Yatim meninggal tanah tersebut dikerjakan oleh Sarini, anak Nudin dari istri ke2

Arbidin alias Aryam.Sarini mengerjakan tanah tersebut bersama dengan Liyami

.Liyami adalah anak angkat Sarini yang merupakan anak dari Sarijo adik kandung

dari Sarini ,hal ini berdasar keterangan saksi penggugat Misnatun, Mat Astayat,

(42)

Dalam putusan ini disebutkan ada bukti perjanjian yaitu, akta jual beli no.

580/Paiton/XII/2005 antara Sarini dan Saripa alias Sunarmi sebagai penjual

dengan H.Misro sebagai pembeli. Menurut keterangan dari saksi tergugat, yaitu

H.Abdul Kholiq Hudi menyatakan bahwa ada 2 proses perolehan kepemilikan hak

atas tanah, yaitu peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum adalah

waris, sedangkan perbuatan hukum meliputi hibah,pembagian hak bersama,jual

beli dan tukar menukar. Khusus tukar menukar, sudah jarang dilakukan lagi,

karena kekhawatiran mengenai pajak yang bisa dipalsukan oleh si pemilik tanah.

Tukar menukar sekarang beralih menjadi jual beli, karena harus menggunakan

keterangan pajak yang paling baru.

Dari bukti penggugat bertanda P.1 surat ketetapan pajak hasil bumi atas

nama Endji C no.812, persil 17, S II , luas 0,313 ha. Yang diterbitkan pada

tanggal 2 Mei 1970, dalam kolom sebab dan tanggal perubahan tanah pada

tanggal 2 Mei 1970 kasih dari no. 155, hal tersebut bersesuaian dengan C no. 155

atas nama P. Sameno Nadin yang dilihat Majelis Hakim pada saat sidang di

tempat pada tanggal 21 Agustus 2009 dalam buku C desa di kantor desa yang

ditunjukkan oleh kepala desa Karanganyar bernama Emmat dan dihubungkan lagi

dengan bukti T-4 buku C desa no. 812 persil 17 S II luas 0,313 ha. Atas nama

Endji, yang di dalam kolom sebab dan tanggal perubahan tanah pada tanggal 18

September 1981 kasih ke C no. 1068, dimana C 1068 atas nama Sarini Saripa

(bukti T-2), dan bukti T-1 akta jual beli no. 580/Paiton/XII/2005 antara Sarini dan

Saripa alias Sunarmi sebagai penjual dengan H.Misro (Tergugat II) sebagai

(43)

Adapun dari perjanjian di bawah tangan pada putusan tersebut adalah

kurang kuat ,disebabkan karena dalam proses kepemilikanya para Tergugat secara

melawan hak dan melawan hukum sehingga tanah tersebut menjadi sengketa dan

menimbulkan gugatan.

Kekuatan hukum dalam perjanjian,pembuktiannya terletak di antara para

pihak yang melakukan suatu perjanjian tersebut dan apabila para pihak tersebut

tidak menyangkal atau mengakui adanya perjanjian tersebut, dengan mengakui

tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat. artinya salah satu pihak tidak

dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian

tersebut. Karena setiap terjadi suatu perjanjian akan dapat dikatan sah atau benar

dan dipertanggung jawabkan oleh yang bertanda tangan dalam perjanjian.

Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian historis yang

mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian

yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya

berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu

dianggap benar.

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar

yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna

memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana

seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali

apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan

(44)

seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya

alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan

mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran

formil saja.

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk

menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan

benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus

terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara.

Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi

dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil,

maka gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan

kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui

sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.

Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :

- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui

- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal

- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai

(notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah

diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari

Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta

(45)

Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus

membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan

menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan

memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat.

Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak

yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan

beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh

berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan

dengan seksama olehnya.

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 KUHPer, bahwa:

" Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia

mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"

Berbeda dengan akta autentik, dalam akta autentik atau yang biasa disebut

dengan akta notaries, maka akta tersebut memiliki kekuatan hukum, sepanjang

yang hadir dihadapan notaris adalah benar-benar para pihak yang berkepentingan,

oleh karena itu setiap orang yang melakukan perjanjian wajib hadir dihadapan

notaris, maka perjanjian yang dibuatnya memiliki kekuatan hukum, tetapi jika

dalam pembuktian di pengadilan bila terjadi sengketa, para pihak dapat tidak

mengakui adanya perjanjian yang telah dibuat dihapan notaris.

Dalam akta autentik untuk sementara ini dapat dijamin kepastian hukumya,

(46)

hadir dihadapan notaris. Perjanjian yang dibuat di hadapan notaris dapat

merupakan suatu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara autentik

sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan

oleh pembuat akta (notaries) dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta

yang dibuat akan menguraikan apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya

itu dinamakan akta yang dibuat “oleh” (door) notaris ( sebagai pejabat umum ).

Akta autentik dapat disebut sebagai Akta Notariil yaitu akta yang dibuat dan

dibacakan serta ditandatangani di hadapan notaris, sedangkan substansi perjanjian

yang termuat sebagai isi akta merupakan keinginan para pihak yang melakukan

perjanjian, tapi sebagai pejabat umum, seorang notaris bertanggung jawab penuh

atas isi akta tersebut, tentang kebenaran dan ketentuan-ketentuan yang ada di

dalamnya, menjamin bahwa para pihak yang menandatangani perjanjian adalah

orang yang cakap menurut hukum.

Sedang akta yang di legalisasi adalah akta yang disebut dengan akta atau

perjanjian di bawah tangan, substansi perjanjian dibuat dan disepakati olah para

pihak yang melakukan perjanjian, agar perjanjian tersebut lebih memiliki

kekuatan hukum, para pihak meminta legalitas notaris, sebelum di legalitas para

pihak yang melakukan perjanjian harus hadir dihapan notaris dan membacakan

substansi perjanjian, bila dipandang cukup selanjutnya perjanjian tersebut

dicatatkan dalam buku register dengan memberi nomor, dan dilegalitas oleh

(47)

Dalam hal ini perjanjian yang dilagalisasi notaris memiliki kelemahan

bahwa notaris tidak bertanggungjawab terhadap substansi perjanjian, notaris

hanya menjamin tanggal perjanjian dan orang/pihak yang menandatangani

perjanjian adalah orang yang cakap dan berwenang.

Berbeda dengan akta yang di Waarmerk, karena akta yang dibuat di bawah

tangan yang sudah ditandatangani oleh para pihak dan dibawa di hadapan notaris

dan kemudian dicatatkan di dalam buku regester, dengan memberi nomor.8 Dalam

hal ini notaris hanya menjamin tanggal dari akta itu saja.

Perbedaan antara perjanjian yang dibuat oleh notaris yang disebut akta

autentik dan perjanjian yang di buat di bawah tangan, yang selanjutnya disebut

akta dibawah tangan adalah:

a Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti ( perhatikan bunyi pasal 1

P.J.N. yang menyatakan “menjamin kepastian tanggalnya dan

seterusnya), sedang mengenai tanggal dari akta atau perjanjian yang

dibuat dibawah tangan tidak selalu demikian;

b. Grosse dari akta atau perjanjian yang dibuat di hadapan notaris dalam

beberapa hal memiliki kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim,

sedangkan akta atau pejanjian yang dibuat di bawah tangan tidak pernah

mempunyai kekuatan eksekutorial.

3.2. Penerapan putusan nomor 22/PDT.G/2009/PN.KABUPATEN

PROBOLINGGO

Dalam pokok perkara menetapkan menurut hukum, bahwa tanah sengketa

(48)

adalah milik Penggugat, yaitu Endji Atau Suradji, karena penggugat lah yang

dapat membuktikan asal muasal tanah sengketa tersebut.

Menurut hukum, penguasaan tanah sengketa yang dilakukan para tergugat

adalah tanpa hak dan melawan hukum, karena terdapat cacat dalam akta jual beli,

karena pihak penjual adalah orang yang tidak berwenang melakukan jual beli

sesuai dengan pasal 1457 KUHPer yang maksudnya jual beli suatu bentuk

perikatan untuk memberikan sesuatau yang terwujud dalam bentuk penyerahan

kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada

penjual.

Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum segala pemindahan hak atas

tanah sengketa beserta surat-surat yang berkaitan dengan pemindahan hak tersebut

kepada para tergugat atau siapa saja.

Menghukum para tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari mereka

untuk mengosongkan tanah sengketa dari semua benda miliknya dan selanjutnya

menyerahkannya kepada penggugat dalam keadaan kosong dan baik.

Penerapan putusan nomor : 22/PDT.G/2009/PN. KABUPATEN

PROBOLINGGO telah dilaksanakan oleh para pihak karena tidak ada upaya

hukum yang lain.

3.3. Hak Atas Tanah

Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada

seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat

atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.

(49)

berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang

menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo

pasal 53 UUPA, antara lain:

 Hak Milik

 Hak Guna Usaha

 Hak Guna Bangunan

 Hak Pakai

 Hak Sewa

 Hak Membuka Tanah

 Hak Memungut Hasil Hutan

 Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.

Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya

bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut

hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan

atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan

dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan

sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan

pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang

(50)

keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak

yang dimaksud antara lain :

 Hak gadai,

 Hak usaha bagi hasil,

 Hak menumpang,

 Hak sewa untuk usaha pertanian.

Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya

akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut menimbulkan

pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali

hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum Tanah

Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga bertentangan dengan

jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus

dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak.

Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah

tersebut adalah pemegang hak gadai.

Hak menumpang dimasukkan dalam hak–hak atas tanah dengan eksistensi

yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak

menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum

agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah

dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan

(51)

yang oleh karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat

hanya menunngu perintah dari penguasa tertinggi.

Sutan Syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat

Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budaya

masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan pemerintahan diktatorial.

Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan jangka pendek.

Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia dari

pemerintahan yang sewenang–wenang dan mencapai kesejahteraan masyarakat.

Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas

tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk

mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak–hak atas tanah

dikelompokkan sebagai berikut :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :

 Hak Milik

 Hak Guna Usaha

 Hak Guna Bangunan

 Hak Pakai

 Hak Sewa Tanah Bangunan

 Hak Pengelolaan

2. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :

 Hak Gadai

 Hak Usaha Bagi Hasil

(52)

 Hak Sewa Tanah Pertanian

Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara

paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang

bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban

hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang–undang

nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda–benda

diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan

bangsa dan negara serta kepentingan bersama mi

Referensi

Dokumen terkait

memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter Adapun apa yang menjadi dasar hukum dalam pelayanan medik, menurut King bahwa

Upaya mengembangkan kemampuan sosial emosional dalam berbagi pada anak kelompok A TK Al Madinah Sukoanyar Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri adalah melalui kegiatan

Ketiga adalah Refers other atau menarik pelanggan baru untuk perusahaan atau menciptakan prospek bagi perusahaan dengan merekomendasikan produk atau jasa kepada orang

Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, pencerahan, bimbingan,

Akuntabilitas menunjukkan bahwa pengambil keputusan harus bertanggungjawab atas tindakan mereka, dan menunjukkannya ke masyarakat secara langsung (dapat dilakukan dalam

Faktor yang melatarbelakangi adanya perilaku yang menyimpang tersebut adalah adanya perbedaan lingkungan pekerjaan, masih rendahnya pengetahuan pemakai mengenai

(2008: 154) juga menyatakan bahwa pembelajaran yang melibatkan aktivitas Problem Posing dapat menimbulkan ketertarikan peserta didik terhadap matematika, meningkatkan